Cerpen Aliman Syahrani: Neurosis

19.14 Zian 0 Comments

Dan lelaki itu terpaksa dirawat di rumah sakit. Ia mendapat serangan penyakit aneh di kepalanya dan harus menjalani operasi secepatnya. Ia pun sudah pasrah. “Apapun yang bakal terjadi, ya, terjadilah,” cicit hatinya. Ia memang benar-benar telah pasrah.
“Jika saya masih boleh meminta, ya, Tuhan…,” suaranya tersisa pada saat zat anestesi mengaliri darahnya dan mengeleminasi semua-mua ingatannya. Tapi walau pun demikian, telinganya masih jelas menangkap suara-suara yang menggaung di sekitarnya. Ia merasa pikirannya masih terang. Bahkan tiba-tiba ia menyaksikan jasadnya sendiri terbaring di atas meja operasi itu, tak bergerak.
“Ya, Tuhan. Apakah operasi ini tidak berhasil?”

Ia terlengak menyaksikan jasadnya itu, yang tak bergerak sama sekali. Tapi tidakkah ia masih jelas mendengar gaung suara-suara di sekitarnya? Ia dapat menyaksikan kesibukan para dokter dan sejumlah perawat yang tengah menggerumuti jasadnya itu dan tampaknya begitu cekatan melaksanakan tugasnya masing-masing. Ia dapat mendengar detak halus monitor jantung di atas kepalanya, yang memecah kesunyian dan melahirkan kecemasan yang berkepanjangan. Bunyi ventilator yang membantu pernapasannya masih jelas tertangkap pula oleh telinganya. Dan gegas para perawat itu, sungguh jelas dalam auranya.
“Apakah saya masih hidup, ya, Tuhan? Bukankah saya tengah melakukan operasi?”

***

Tak pelak lagi, Ibram yakin kalau ada benjolan di kepalanya. Benjolan itu semakin kentara bila ia membaca surat kabar, mendengar radio, menonton televisi dan menggunakan heandphone.
“Bagai ada yang hendak tumbuh di kepalaku, dok. Dan benjolan itu membuat kepalaku seolah mau bertanduk,” cucur Ibram beberapa waktu lalu sebelum dioperasi pada Dr. Mugni, kawan akrabnya sewaktu kuliah dulu.
“Apa benar begitu, Bram?” tanggap Dr. Mugni setengah tak percaya.
“Benar, dok!” tekan Ibram dengan wajah serius. “Rasanya kepalaku ini akan bertanduk seperti kepala kerbau.”
“Jika memang seperti itu keadaannya, saya untuk saat ini belum bisa membantu banyak kepadamu. Saya cuma bisa menyarankan satu resep yaitu hindari saja keempat benda penyebab itu. Jauhi surat kabar, hindari radio, tinggalkan televisi dan lupakan handphone.”
“Dasar dokter, bisanya cuma memberikan resep tapi tak berani mengobati!” rutuk Ibram dongkol ketika pulang, hatinya masygul. “Mending aku cari dukun, walau pun tidak tahu penyakitnya, tapi dukun selalu berani untuk mengobati,” gerutu Ibram lagi setengah frustrasi.
Namun Ibram membatalkan niatnya untuk pergi ke dukun. Memang sejak dulu dia apriori perihal dukun-dukunan. Dia adalah seorang yang analis dan cenderung berpikir kritis, semua hal yang berbau mistis dan tidak realistis dia eleminasi jauh-jauh, sedangkan untuk menuruti anjuran Dr. Mugni dia ogah.
“Jika obatnya seperti yang dianjurkan dokter Mugni itu, untuk apa aku berkonsultasi dengannya. Toh yang demikian itu sudah terpikir juga olehku,” kesah Ibram sembari bermegah diri. “Ironisnya adalah, mustahil di abad David Beckham ini orang mampu bertahan hidup dan bisa sukses tanpa keempat benda itu. Dunia tanpa surat kabar, tanpa radio, tanpa televisi dan tanpa handphone adalah dunia yang tandus, dunia yang gersang, dunia yang mati. Tak ubahnya dengan planet-planet lainnya, planet yang tak ada kehidupan.”
Tapi dari hari ke hari benjolan di kepala Ibram kian tumbuh menonjol. Sekarang tak ada lagi sebuah topi pun yang dapat dikenakan dengan pas di kepala Ibram. Artinya benjolan di kepalanya tak bisa lagi disembunyikan, dan benjolan itu kini benar-benar tumbuh menjadi dua buah tunas tanduk seperti di kepala kerbau. Akhirnya, meski dengan perasaan setengah-setengah, Ibram kembali mendatangi Dr. Mugni. Dorongan untuk kembali memenumui Dr. Mugni adalah semata karena Mugni adalah kawan baiknya sedangkan kepercayaannya kepada mitos dokter yang serba bisa, serba ahli, serba tahu sudah lama sirna. Ia apatis terhadap segala yang mapan-mapan.
“Kebanyakan pasien memang orang bebal,” sindir Dr. Mugni sinis menyambut kedatangan Ibram. “Saya pernah mempunyai seorang pasien penderita serangan jantung dan tekanan darah tinggi serta penyakit kronis lainnya. Satu-satunya obat yang bisa saya berikan adalah, berhenti merokok dan jangan makan makanan yang berkadar lemak tinggi. Tapi pasien langganan saya itu tak menggubrisnya. Dia menginginkan saya menjadi tukang sulap dan menyulap penyakitnya agar sembuh total. Akhirnya dia kuberi kapsul. Memang kapsul itu bisa mengatasi serangan jantung tapi itu cuma sementara. Dan bila penyakitnya kambuh, dia datang lagi ke sini dan kuberikan lagi kapsul yang sama plus beberapa resep hiburan. Ya, aku cuma memberikan beberapa resep hiburan. Dokter-dokter sekarang harus mampu menjadi tukang hibur, kalau tidak, dia tak akan punya langganan tetap,” Dr. Mugni berhenti sebentar. Tangannya menghunus sebatang rokok, menyulut ujungnya dan kemudian menyesapnya dalam-dalam. Asap segera mengepul keluar dari dua lubang hidungnya dan mengembang memenuhi ruangan. Dr. Mugni menatap Ibram dengan pandangan hiba, dia kemudian menyambung, “Nah, seperti itu juga denganmu, kau telah kuberi obat yang sebenarnya tapi kau tidak melaksanakannya. Sekarang kau akan kuberikan resep lain, yakni kau harus menggergaji tanduk di kepalamu itu. Kau harus melaksanakan operasi. Sekarang terserah apa pendapatmu. Setuju atau tidak itu urusanmu. Ingat, aku hanya seorang dokter, bukan tukang sulap.”
Pulang dari klinik Dr. Mugni, Ibram tambah mendongkol.
“Kepalaku digergaji? Ah, dasal sial! Kalau hanya itu resepnya, untuk apa aku berkonsultasi segala? Toh pikiran seperti itu sudah lama terbayangkan olehku. Ah, dasar dokter. Dia hanya mampu menjelaskan apa yang sudah dipikirkan pasiennya,” salak Ibram memuntahkan serapah.
“Tak seorang pun berhak mengatur kepalaku. Aku merdeka sepenuhnya atas milikku yang satu-satunya ini. Aku bebas menentukan potongan rambutku, bebas menentukan jenis topi dan segala macamnya. Pokoknya, sebelum ada undang-undang yang melarang orang yang mempunyai tanduk di kepalanya melaksanakan kegiatan rutinnya, aku akan tetap bekerja. Kalau toh nanti keluar juga undang-undang demikian; yang melarang orang yang mempunyai tanduk di kepalanya berkeliaran; yang melarang orang-orang yang kepalanya bertanduk melaksanakan aktivitasnya, aku akan tetap melaksanakan aktivitas rutinku. Akan kubuktikan bahwa aku mempunyai kepala, bahwa aku berhak penuh atas kepalaku. Pokoknya, kepalaku ini adalah satu-satunya milikku yang paling berharga dan aku berhak penuh atas perlakuan apa pun yang akan kuberikan padanya,” tekad Ibram.

***

Begitulah. Akhirnya Ibram membiarkan saja kepalanya ditumbuhi tanduk. Dengan tanduk di kepala, dia berusaha untuk bersikap objektif. Dia mengeleminasi semua cemoohan orang lain, dia cuek dengan tertawaan orang lain, dia tidak ambil peduli keprihatinan orang lain. Pokoknya dia berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah hak prerogatifnya sebagai seorang yang punya kepala; apa yang dilakukannya adalah bukti kemerdekaannya.
Ibram pun tetap melaksanakan aktivitasnya. Dia tetap masuk ke kantor di mana ia bekerja, dia tetap minum kopi dan ngobrol di warung kopi, dia tetap membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi dan menggunakan handphone.
Namun konsekuensi logisnya tanduk di kepala Ibram juga semakin tumbuh membesar. Beberapa bulan kemudian, tanduk itu menjadi bercabang seperti tanduk menjangan. Kini di kepalanya sudah menancap sepasang tanduk bercabang yang begitu kokoh.
Ibram benar-benar kehilangan semua kepercayaan dirinya, semuanya. Dia benar-benar kehilangan gairah. Dia frustrasi! Dia tak tahu apa yang harus diperbuat atas kepalanya. Memang, sebenarnya masih ada keinginannya untuk menemui Dr. Mugni, tetapi niat itu diurungkannya. Dia apatis terhadap semua nasehat.
“Dokter Mugni tak memberiku apa-apa. Dia hanyalah seorang dokter. Dokter, di mana pun di dunia ini, tidak lebih dari orang-orang yang sok tahu tapi tak benar-benar mengetahui,” rutuknya pahit.
Walau sepasang tanduk yang tumbuh di kepalanya telah bercabang-cabang seperti tanduk menjangan, tapi pertumbuhan itu tetap saja bertambah. Kian hari pertumbuhan itu semakin menjadi.
“Tindakan apa yang harus kulakukan sekarang? Dengan sepasang tanduk di kepala yang terus tumbuh tanpa dapat dikendalikan, apakah aku masih bisa berkata bahwa aku punya hak penuh atas kepalaku? Apakah aku masih bisa berteriak bahwa aku merdeka sepenuhnya atas kepalaku? Ah, semakin banyak saja hal yang tak bisa kuatasi meski hanya untuk diriku sendiri. Aku mesti berbuat sesuatu atas kepalaku ini,” pikir Ibram benar-benar frustrasi.
“Biarlah. Biarlah dokter Mugni merasa besar kepala karena aku mengikuti anjurannya. Apa boleh buat, kejujuran, apa pun bentuknya, harus berhadapan dengan kejujuran lain, dan untuk mengatakannya harus ada polesan, harus ada bedak. Tak ada kejujuran yang benar-benar jujur. Tak ada kejujuran yang berdiri sendiri. Meski aku jujur mengatakan bahwa aku mengoperasi kepalaku karena inisiatifku sendiri tapi klaim dokter Mugni yang mengatakan bahwa dialah yang menyarankannya tak dapat aku bantah,” gerucau Ibram semakin frustrasi.

***

Tapi operasi yang dilaksanakan Ibram sungguh di luar dugaan. Ia tak mau sepenuhnya operasi itu persis seperti apa yang dianjurkan Dr. Mugni. Operasi itu adalah manifestasi lain dari inisiatifnya sendiri.
Ibram merakit sebuah bom kecil dan memasangnya dalam mulutnya. Kepada kawan-kawan dekat dan rekan-rekan sekerja serta beberapa relasi yang diundangnya, dia berkata:
“Aku yakin, kita semua pernah mengalami hal yang sama. Apa yang aku alami ini mungkin juga pernah kawan-kawan alami. Tetapi masing-masing kita menimbulkan efek yang berbeda. Mungkin masing-masing kita mempunyai cara tersendiri untuk mengatasinya. Kawan-kawan tidak menimbulkan efek seperti yang aku alami karena kalian mempunyai cara untuk mengatasinya. Aku tak bisa mengatasinya maka beginilah jadinya. Namun apa pun yang terjadi biarlah terjadi dan aku tak akan menyesalinya. Aku mengambil jalan ini semata-mata untuk membuktikan bahwa tak seorang pun berhak atas kepalaku. Akhirnya kepada kawan-kawan aku hanya bisa  minta maaf. Mudah-mudahan apa yang kita lakukan adalah amal yang bernilai ibadah untuk kita. Kita, pada akhirnya, hanyalah menanggung apa-apa yang kita lakukan. Apakah itu dosa atau pahala. Dan kita, pada akhirnya, hanyalah berhak memanen buah dari benih yang kita semai.”
Kemudian dengan tenang Ibram menarik picu bom yang ditanam di mulutnya itu. Maka tak ayal, dengan bunyi gedebyar, kepalanya yang bertanduk itu meledak bagai balon kena tusuk. Tapi aneh! Meski kepalanya telah berai berkeping-keping, jantung Ibram tetap berdetak. Diyakini Ibram masih hidup, oleh keluarga dan kawan-kawannya tubuh Ibram segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Ibram sendiri tak habis pikir, ia dapat melihat dengan jelas keluarga dan kawan-kawan dekatnya yang mengangkut tubuhnya dalam mobil ambulance dengan wajah-wajah tegang, dan akhirnya tubuh itu dibaringkan di bangsal rumah sakit begitu senyap.
“Ya, Tuhan, mengapa saya masih hidup? Bukankah saya telah meledakkan kepalaku?”
Sementara itu, di antara tetelan-tetelan daging kepala Ibram yang hangus bagai disate itu para dokter dan perawat menemukan juga lempengan-lempengan kecil seperti cip komputer.
Ketika dibaca ternyata di dalamnya tersimpan memori yang bertuliskan beberapa nama. Tumpukan nama-nama di dalam cip memori itulah, yang, berdasarkan tulisan terakhirnya yang tersimpan di dalam laci meja kerja Ibram, menyebabkan kepalanya sampai ditumbuhi tanduk sedemikian rupa.
“Setiap aku menonton televisi, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan menggunakan handphone,” demikian isi tulisan itu, “Di kepalaku seakan teronggok taik. Taik itulah yang menyebabkan kepalaku tumbuh dan bertanduk. Aku berusaha mengeleminasi agar nama-nama itu tak disebutkan, tapi di mana dan kapan pun aku berada nama-nama itu selalu ada. Dia dijadikan ‘jimat’ oleh sebagian orang untuk menghalalkan apa yang mereka inginkan. Aku muak. Kepalaku dijadikan WC untuk menampung nama-nama itu. Aku tak mau hal itu terus berlanjut. Kepalaku bukan WC yang bisa menampung apa saja; untuk mendengarkan kata-kata taik, untuk menyimpan nama-nama taik, untuk mengamankan rahasia-rahasia taik, untuk menyembunyikan rencana-rencana taik, untuk memback up data-data taik. Sekali lagi kukatakan bahwa kepalaku bukanlah WC!”
Akhirnya jenazah Ibram dikebumikan tanpa prosesi dan upacara. Orang-orang yang hadir melayat tercenung. Tiba-tiba saja di kepala mereka seakan teronggok taik, tapi untunglah mereka semua memakai peci. M


Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html

0 komentar: