Cerpen Meutia Swarna Maharani: Parfum

07.55 Zian 0 Comments

Ini malam Minggu. Harusnya ini menjadi malam yang menyenangkan untukku. Berbaring di ranjang yang empuk dengan keripik pisang buatan Mama dan segelas cokelat hangat, ditemani bisik deru pendingin ruangan dengan pengaturan suhu yang pas dan koneksi internet yang lancar. Harusnya begitu. Dan sampai detik ini, aku masih berharap seperti itu.
Tapi kenyataannya, Mama sekarang berdiri di hadapanku mengenakan kebaya hijau lumut yang sudah dipesannya di penjahit seminggu lalu. Sambil merapikan peniti yang tersemat di ujung kanan kerudungnya, Mama menatapku dan tersenyum hangat.

“Mama dan Papa pulang jam sembilan, ya.”
Aku mengangguk ketus tanpa balas menatap Mama.
“Kenapa Mama dan Papa harus sekali datang ke resepsi Tante Ira?”
“Karena Mama dan Papa diundang. Seperti Sara juga, pasti tidak enak, kan, kalau teman Sara mengundang ke pesta ulang tahun dan Sara tidak datang. Lagipula, Tante Ira itu rekan kerja yang paling dekat dengan Mama. Hari pentingnya adalah hari penting Mama juga.” Mama mengusap-usap kepalaku perlahan.
“Kenapa resepsinya harus malam?”
“Karena siangnya akad nikah.”
“Kenapa harus malam Minggu?”
“Karena kalau hari-hari biasa, Tante Ira dan Om Iwan sama-sama sibuk. Sara juga tidak mau waktu Mama ajak kemarin.”
“Kan, Sara tidak suka ramai, Ma. Lagipula kenapa Tante Ira harus menikah hari ini?”
Terdengar ketukan sepatu hak tinggi Mama yang beradu dengan ubin. “Kalau soal itu, lebih baik tanya Tante Ira langsung. Yang menikah, kan, Tante Ira, bukan Mama. Dan sepertinya Oma sudah sampai.”
Reflek mulutku membuka. “Oma jadi menginap di sini, Ma?”
Mama mengangguk sambil membuka pintu. “Nanti kamu tidur sama Oma, ya.”
Seketika terbayang sosok seorang wanita tua berambut putih dan memakai daster motif bunga-bunga yang terlampau besar untuk ukuran tubuhnya yang kecil. Hanya dengan membayangkannya, aku sudah dapat mengendus aroma parfum kegemaran Oma—parfum dari Mekkah yang selalu dipesannya tiap ada sanak saudara yang berangkat umrah atau naik haji. Bukannya menghina, tapi aku selalu mual tiap mencium parfum itu.
“Sara tidak mau tidur dengan Oma. Nanti Oma tidur dengan Papa saja, Mama tidur dengan Sara. Kenapa Mama tega sekali meninggalkan Sara berdua dengan Oma?”
Mama menaikkan sebelah alisnya beberapa saat, kemudian mengangkat bahu dan melangkah keluar dari kamarku.
Jangan salah sangka, bukannya aku benci Oma. Omaku hanya sedikit terlalu cerewet dan kuno. Umurnya tahun ini tujuh puluh dan tahun lalu, saat aku yang berkunjung ke rumah Oma, aku didakwa Oma memecahkan vas oriental yang berharga fantastis di rumahnya. Aku berani bersumpah bahwa beberapa menit sebelumnya aku melihat Inye, kucing kampung kesayangan Oma yang menyenggol vas itu. Sialnya, akulah satu-satunya makhluk berakal yang berada di ruangan itu bersama Inye. Semenjak itu hubunganku dan Oma yang memang sebelumnya tidak terlalu akur, menjadi semakin renggang.
Sayup-sayup kudengar suara deru mobil Papa menjauh meninggalkan pekarangan.
Suasana rumah mendadak senyap. Aku mendadak berharap seketika lenyap saja dari permukaan Bumi.
Benar saja, pintu kamarku kembali membuka. Oma masuk ke kamarku tanpa suara, tanpa melirikku. Ditentengnya tas kecil yang mungkin saja berisi perlengkapan Oma untuk acara menginap semalam.
Oma duduk di sampingku dan memangku tas kecilnya. Dibukanya perlahan retsleting tas dan dikeluarkannya dua lembar daster berwarna cerah bermotif bunga-bunga.
Samar-samar dapat kucium aroma parfum Mekkah yang Oma pakai. Spontan, aku menahan napas. Butuh beberapa detik sebelum Oma sadar aku sedang tidak bernapas. Oma melirikku dengan ekor matanya.
“Asal kamu tahu, tadi Oma sudah mandi. Oma juga sudah pakai minyak wangi.” Suara Oma yang serak mengalir dengan nada sinis.
Aku mengangguk pelan. Pernyataan Oma sudah jelas tanpa harus dijelaskan lebih lanjut. Oma sudah mandi dan pakai parfum—seandainya saja Oma tahu aroma parfumnya yang begitu menyengat itu yang membuatku tak betah berlama-lama di sampingnya.
“Kamu masih marah gara-gara Oma tuduh memecahkan vas?”
“Inye yang senggol, Oma. Sara tidak tahu apa-apa,” jawabku. Sungguh, susah sekali berbicara sambil menahan napas.
“Kalau kamu tidak merasa bersalah, kenapa waktu itu harus marah?” tanya Oma lagi.
Aku tidak menjawab—malas menjawab lebih tepatnya.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit berlalu dengan sunyi. Oma masih mengeluarkan isi tasnya perlahan-lahan. Kucuri kesempatan-kesempatan kecil sebisa mungkin agar bisa bergeser beberapa senti dari Oma.
“Sar,” panggil Oma pelan.
“Ya, Oma?”
“Kamu tidak suka Oma, ya?”
Lagi-lagi, aku kesulitan menjawab—malas menjawab lagi, untuk menegaskan.
“Dari kamu kecil, Oma merasa kamu yang paling menghindari Oma. Kenapa?”
Aku tetap bergeming.
“Padahal, setiap kamu datang berkunjung, Oma selalu buatkan bolu cokelat kesukaanmu.”
Dan lagi, siapa yang berani mengklaim aku menyukai bolu cokelat? Aku benci cokelat.
“Sudahlah. Oma mau ganti baju dulu.”
Baguslah. Hidungku sudah terasa gatal.
Oma bangkit dan berjalan keluar dari kamarku. Saat-saat seperti inilah yang membuatku lega saat bertemu Oma. Aku menghirup napas sebanyak mungkin.
Andai saja Oma sadar kalau dari kecil, tiap aku berdekatan dengan Oma, hidungku selalu memerah dan gatal. Kepalaku pusing dan perutku mual. Seandainya saja Oma tahu kalau cucunya ini alergi dengan parfum—apalagi yang berpotensi mempunyai aroma menyengat seperti kepunyaan Oma.
Bukan tidak pernah bilang, ratusan kali Papa dan Mama bilang kalau aku alergi parfum pada Oma. Ratusan kali Papa dan Mama mengingatkan, ribuan kali Oma menyanggah. Oma bilang, aku memang betul tidak suka pada Oma, bukan pada parfumnya. Atau, perlukah aku melambai-lambaikan surat keterangan dokter di depan batang hidung Oma untuk membuat Oma percaya kalau aku benar-benar alergi parfum?
Kurasakan hidungku yang semakin gatal. Aku berlari cepat mencari kaca.
Aku nyaris terpekik melihat hidungku sendiri yang membesar dan mulai bertotol-totol merah melebihi tomat. Perih dan gatal. Panik, aku mengeluarkan salep alergiku dari laci dan mengoleskannya perlahan-lahan di hidungku.
Setelahnya, aku mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Mama, memberitahukan alergiku kambuh. Memohon agar malam ini aku diperbolehkan tidur dengan Mama, bukannya Oma.
Oh, Oma, seandainya saja dirimu tahu.[]

Banjarbaru, 2 September 2016

Sumber:
https://www.scribd.com/document/426095171/Cerpen-1-Parfum

0 komentar: