Cerpen Ratih Ayuningrum: Kutukan Ketiga
Para pelayat baru saja pulang satu per satu. Mereka bergantian menyalamiku. Wajah-wajah itu, wajah penuh selidik. Wajah yang seolah-olah menampakkan keprihatinan menderu.
Namun, desas-desus tersebut bergema begitu kencang. Aku menyusut airmata sembari mencoba menahan gejolak yang mengiris di dada.
“Kasihan sekali, Yati. Tidak tuntung pandang1”
“Kutukan itu, entah mengapa perempuan secantik dia harus menerima kutukan itu.”
“Sayang sekali.”
Desas-desus itu terbang terbawa angin. Menggenapi sejumput perih yang bersemayam di dada.
Rumah sudah mulai sepi. Pemakaman pun sudah selesai. Hanya ada beberapa anggota keluarga yang tertinggal untuk membantu membenahi segala keperluan. Kesedihan masih kental bergelayut di sudut-sudut rumah.
Menyisakan aroma cendana yang menguar memenuhi udara. Kupandang warna inai yang begitu pekat di kuku tangan. Pertanda bahwa inai tersebut masih dalam hitungan hari diusapkan. Merah pekat. Belum memudar.
“Makan lah dulu.” Kak Lina, kakak suamiku berkata, “Sejak tadi malam kulihat tidak ada satu butir nasi pun yang masuk ke perutmu. Hanya minum saja.”
Aku beringsut ke dapur. Perlahan di pintu dapur sayup suara kudengar. Langkahku tertahan.
“Sudah sejak awal aku tidak pernah menyetujui pernikahan mereka. Aku tahu ini pasti akan terjadi.
Perempuan itu pasti akan menimpakan nasib buruknya kepada anak lelakiku.”
Suara serak itu, sengau di antara tangis yang tertahan. Itu suara mertua perempuanku. Aku mengenalinya.
“Semua sudah terjadi. Seandainya semua bisa kita cegah kembali. Pesta baru saja usai. Piring-piring belum ditata kembali. Pelaminan pun masih belum dibereskan. Namun, hari ini, aroma melati harus berbaur dengan aroma cendana. Sungguh, mimpi pun rasanya tidak akan pernah secepat ini.” Suara julak Imay menimpali. Dia adalah kakak mertua perempuanku.
Aku berdehem. Kedua perempuan setengah baya itu menoleh ke arahku. Dengan gegas segera aku berbalik arah, menyimpan segenap perih yang menyusup perlahan. Sekilas sempat kudapati tatapan mertua perempuanku. Tatapan itu sungguh tajam tertuju untukku.
Aku tahu sejak awal perempuan itu tidak menyukaiku. Dia sangat menentang pernikahan kami berdua. Namun, pada akhirnya aku dan suamiku kemudian menikah, dua hari yang lalu dan disusul dengan resepsi pada malam harinya setelah akad nikah berlangsung.
Aku memandang foto kami berdua. Aku dan Kak Udin. Senyum bahagia terpancar di wajah kami berdua. Senyum yang kemudian tandas seketika, tadi pagi.
Sebelum embun benar-benar menguap, Kak Udin yang baru saja selesai mandi tiba-tiba tersungkur memegang dada. Aku seketika berteriak histeris. Semua berlalu begitu cepat. Kak Udin kemudian pergi untuk selama-lamanya. Aku terpana, inai di kuku masih lah merah pekat. Pelaminan belum juga dibereskan sempurna. Pernikahan kami hanya berumur dua hari dua malam saja.
“Dia terkena kutukan. Siapa pun lelaki yang menikah dengannya, akan menemui kematian. Setelah lelaki ketiga, baru kutukan itu akan lenyap. Kamu terlalu baik untuk dipilih menjadi lelaki ketiga itu, Udin. Lebih baik tinggalkan saja dia! Ibu dapat mengenali ciri kutukan itu padanya.”
“Itu semua hanya takhayul saja. Semua hanya mitos. Ibu tidak perlu khawatir. Saya mencintainya dan akan menikahinya. Semua akan baik-baik saja.”
Masih kuingat jelas ucapan Kak Udin saat mengenalkanku kepada ibunya.
Mataku memanas, mungkin benar yang dikatakan oleh ibu mertuaku. Aku terkena kutukan. Suamiku yang pertama meninggal saat usia pernikahan kami baru dua tahun. Dia kecelakaan sepulang bekerja. Setahun kemudian aku menikah kembali dengan duda beranak satu. Namun, setahun menjelang dia pun menemui ajalnya.
Laki-laki tersebut menemui kematian dengan cara yang tragis. Dia terjatuh dari atap lantai dua rumah kami pada saat tengah memeriksa atap yang bocor. Kedua suamiku terdahulu menemui kematian mereka dengan caranya sendiri. Dan, Kak Udin, suami ketigaku. Kami baru dua hari menikah. Kak Udin pergi meningalkanku untuk selamanya.
“Perempuan pembawa sial. Perempuan yang dikutuk. Entah kenapa, aku akhirnya harus menyetujui semuanya. Kalau saja semuanya menuruti kata-kataku, tentu aku tidak akan kehilangan anak lelakiku!”
Suara ibu mertuaku kembali terdengar meruntuk. Aroma cendana kembali menguar. Merasuki indra penciumanku.
Aroma ini begitu kuat. Kutatap wajahku di cermin. Apa yang salah denganku sehingga kutukan itu dialamatkan padaku? Wajahku begitu bersih, tanpa cela. Hidungku bangir dan bibirku merah merona. Cantik. Lantas, mengapa kata perempuan sial dan terkutuk harus disematkan padaku?
“Sudah, Bu. Sudah takdir Udin harus menerima nasib seperti ini. Tidak ada hubungannya dengan pernikahannya dengan Yati. Semua memang sudah berjalan sesuai takdirnya.” Suara kakak iparku.
“Dia memang telah dikutuk, Aina. Perempuan itu telah menularkan kutukan itu pada anak lelakiku! Anak lelakiku adalah korban ketiga dari tumbal kutukan yang diemban oleh perempuan tersebut!”
“Ibu, sudahlah! Tidak enak kedengaran tetangga!”
“Biar saja, biar semua orang tahu tentang perempuan itu! Sudah kukatakan bahwa perempuan itu terkena kutukan. Setiap laki-laki yang dekat dengannya akan menemui kematiannya. Aroma kematian itu begitu kental tercium dari sosoknya. Pada akhirnya semua harus terjadi. Udin telah pergi meninggalkan kita semua! Semua karena perempuan itu!”
Aku mengeram. Suara ibu mertuaku begitu jelas terdengar hingga ke dalam kamar. Kutatap cermin di depanku. Mataku semakin memanas. Bagaimana mungkin dia dapat berkata seperti itu. Perkataan itu sangat menyayat hatiku. Aku baru saja kehilangan suamiku dan perkataan ibu mertuaku sungguh sangat menggarami hatiku.
Kutukan itu, apakah benar adanya? Suara mertuaku serasa mengiris indra pendengaranku. Suamiku, terkena kutukan yang dibawa olehku. Kak Udin adalah tumbal ketiga dari kutukan itu.
“Pergi! Perempuan itu pembawa sial. Dia telah menyelesaikan tugasnya dengan mengambil Udin sebagai tumbal ketiga. Pergi! Tidak ada gunanya dia berada di rumah ini!”
Aku terkesiap. Suara mertua perempuanku menggelegar. Ada yang semakin teriris pada hatiku. Aku bukan perempuan pembawa sial. Aku bukan pembawa kutukan pada setiap lelaki yang menikahiku. Aku mengeram. Mataku nyalang. Suara mertua perempuanku semakin nyaring. Kalau memang kutukan ini benar-benar ada padaku, maka Kak Udin bukan penerima kutukan yang terakhir.
Aroma cendana semakin menguar kuat. Suara gagak begitu nyaring di atap rumah. Pekikan panjang kak Aina yang berlari menyongsongku seiring dengan ceceran amis darah di tangan kananku. Ya, kutukan ketiga itu tidak pernah ada. Mereka telah salah menilai takdirku. Aku telah menggenapkannya dengan tubuhku sendiri.[]
Keterangan:
Tuntung pandang: selesai sampai akhir
Julak : kakak tertua dari ibu/ayah
Sumber:
Banjarmasin Post, 30 April 2017
https://banjarmasin.tribunnews.com/2017/04/30/kutukan-ketiga
0 komentar: