Cerpen Muhammad Daffa: Perempuan Puisi

12.47 Zian 0 Comments

Cerpen M. Daffa: Perempuan Puisi

El menulis dengan air matanya. Setidaknya itulah yang kudengar dari orang-orang tentangnya. Belakangan ini, ia kembali menulis dengan air matanya. jejak tangisnya terdengar hingga ke puluhan kecamatan, dan terkadang hal ini mengganggu tetangga yang sedang beristirahat dengan nyenyaknya. Pernah suatu ketika ia kena tegur salah satu warga, tapi bukannya takut, El justru berkata, “Aku hidup dengan cinta, maka tangis dan air mataku kupersembahkan kepada cinta. Cinta tidak bisa dibagi-dibagi dengan rata. Cinta hanya dapat dibagi kepada diriku sendiri, juga siapa pun yang ingin menjadi kekasihku. Tapi bukan hanya sekadar kekasih. Melainkan penyair yang memiliki puisi-puisi ratusan ribu…”

Mendengar ocehan El yang terasa mengada-ngada, orang itu pun pulang dan tak datang-datang lagi ke rumah El hingga seterusnya. Bagi orang-orang di desa, El sudah terjangkit wabah kenangan. Wabah itu lebih parah dari demam berdarah. Wabah kenangan jauh lebih berbahaya dari seorang penyair yang mengasah mata kata-kata. Delapan tahun lalu, kekasihnya, George, diculik secara misterius oleh segerombolan orang yang membawa senapan laras panjang. El yakin mereka adalah mata-mata negara yang sengaja diutus untuk mengambil paksa orang-orang yang kena tuduh sebagai antek-antek kaum penyair. Penyair yang dimaksud bukan sembarang penyair, melainkan penyair yang memiliki kerja sampingan sebagai juru nujum di alun-alun. Biasanya mereka membuka jasa ketika jam tujuh pagi, atau ketika langit mulai menyemburatkan rona cakrawala yang terjerang matang.
Di desa kita, El tumbuh sebagai gadis yang pemalu. Namun belakangan ia berubah ketika George dan kawanannya datang. Membangun keberanian pada diri semua orang di sini, di desa yang kita beri nama Dukuh Kesempurnaan. Apa itu kesempurnaan? Apakah ia hanya sekadar omong kosong guna menutupi yang tak sempurna? Yang tak ingin padam dibaca mata? El tak peduli ia dihina atau direndahkan karena kecintaannya pada penyair dan puisi-puisi. Yang pasti, ia telah lama mencintai puisi ketimbang kekasihnya sendiri. Meski pernah ia akui kepadaku pernah mencium kekasihnya di jalan sepi sebanyak lima kali, tidak menutup kemungkinan banyak kabar yang menyeruak—ia bunting sebelum waktunya, dan kabar lain berkata bahwa ia dan George, kekasihnya, tidak sekadar saling cium, tapi lebih dari itu. Setelah George menghilang, El menjadi gandrung pada puisi yang ditulis oleh George dan kawan-kawannya seperjuangan. El begitu mencintai puisi-puisi itu, meraba huruf-hurufnya, menciumnya sebelum tidur, dan mengajaknya jalan-jalan ke pusat kota. Berbelanja barang-barang rumahan, membeli bunga-bunga, puisi-puisi George selalu dibawa olehnya. Aku tak paham mengapa ia jadi sedemikian jatuh cinta pada puisi-puisi itu—atau barangkali arwah George gentayangan dan masuk ke dalam huruf-huruf puisi yang ditulisnya? Menjelma wajah tiap kali El memandangnya lekat-lekat. Aku merasakan dampak panjang dari kesedihan yang ditanggung El. Ia jadi lebih sering pergi ke tempat-tempat yang bagiku terasa angker dan penuh hantu—mungkin berharap George akan kembali—dengan seluruh ketampanannya yang tak bisa aku sebut.
Setiap malam, menjelang tidur, El akan menangis. Dan tangisannya akan terdengar hingga ke berbagai kecamatan terjauh sekalipun. Hal inilah yang kemudian kubicarakan pada kawan lamaku, Hasim, di sebuah kedai kopi yang lumayan jauh dari rumah El. Aku takut akan mengganggu ibadah menangisnya—aku takut akan mengganggu ibadahnya menulis puisi. menulis nama George dan berdoa agar kekasihnya itu pulang sekadar menjenguk, meski lewat pertemuan singkat. “Aku akan kembali tersenyum dan merasa sangat bahagia kalau dia pulang…” demikian kira-kira yang pernah ia utarakan padaku. Itu jauh sebelum El gandrung menulis dengan bulir air matanya.

Barangkali ia terlalu capek dengan semua ini.
Ya, barangkali begitu. Tapi aku tidak yakin. El selalu memeluk dan mencium kertas-kertas yang berisi puisi George dan menuliskan puisi miliknya pribadi dengan air mata yang ditumpahkannya ke atas seratus lembar halaman buku harian. Apa itu tidak cukup untuk mengatakan bahwa ia sedang terserang wabah kenangan?
Ah, apa pula kau ini, wabah kenangan. Lucu sekali. Hidup hanya diukur dari seberapa banyak menangisi kenangan. Hal yang tak masuk akal. Kau kan tahu, aku ini sarjana fisika, jadi tidak percaya dengan substansi yang absurd begitu. Kau jangan ikut-ikut berkhayal seperti El. Bisa-bisa kamu juga ketularan dia nantinya.
Sim, aku butuh bantuanmu. Bantu El keluar dari ingatannya. Bantu El keluar dari jalan masa lalunya.
Aku usahakan. Ini di luar batas kemampuanku. Aku bukan psikolog. Jadi belum berpengalaman dengan yang demikian. Namun aku sudah riset pada beberapa orang dan hasilnya cukup memuaskan. Mereka sembuh. Mereka bisa kembali seperti semula. Pada kasus El, aku merasa tidak cukup yakin dengan metode yang diciptakan akan berhasil pula. Karena El sudah terlalu lama dengan kegilaannya.

***

El menulis. Berdiam. Memandang hening. Kisi-kisi jendela menguapkan sisa mimpi. George, kau kah yang kudengar? Bertubuh hujan di luar kamar ini? Aku masih menunggu puisi-puisimu kembali diedarkan, agar keberanian kembali menyala di Dukuh Kesempurnaan. Dan yang padam kembali menyala dalam kata-kata yang kau lantangkan.
Mari, George. Bangunlah dari tidurmu. Biar kita bangun keberanian di dada masing-masing. Berharap esok masih tersedia kata dan imaji-imaji. Aku sudah terlalu lama menunggumu pulang. Besok-besok biar aku yang datang kepadamu. Mencarimu. Karena aku meyakini bahwa kau belum mati.
Kau masih sepenuhnya terjaga. Di luar narasi air mataku yang derai. Bergelimang cinta yang kita bayangkan kekal.

***

Setiap malam, perempuan itu selalu menulis dengan air matanya. El tak bisa menahan seluruh keinginannya. Tiap kata terbersit, selalu menyeruak pula gagasan-gagasan untuk menuliskannya jadi sebuah puisi, atau hanya paragraf, di mana selalu tertera nama George di sana, lengkap beserta tanda tangannya. El yakin dan sangat percaya, George bukan sekadar penyair yang menuntun kata-katanya ke dalam bahasa gelap. Ia adalah terang dari segala terang. Cahaya dari seluruh cahaya. Menyelundupkan El ke lautan kenang. Ke dalam benak George lah seluruh jiwa El bersandar. Menaruh hati yang terpiuh cinta. Dan kelak pada waktunya akan tertuai puisi-puisi yang menebar rona percakapan masa lalu. El tak bisa berkata tidak. George akan kembali suatu saat. Tentu saja lewat puisi-puisi yang ditinggalkannya pada El, atau lewat puisi-puisi yang ditulis El dengan air matanya untuk George yang belum diketemukan keberadaannya.

***

Hasim tiba lebih cepat dari jadwal. Ia berkata bahwa El harus segera diasingkan. Mencari sebuah tempat untuk proses rehabilitasinya. Aku mengiyakan, meski sebenarnya tak rela harus melepas El—terlebih bersama Hasim yang dulu pernah jatuh cinta padanya—itu terjadi di sebuah senja, ketika mereka didera kelabilan remaja—El seorang yang rapuh dan tak banyak bercakap, dan Hasim—lelaki itu begitu mencintainya, namun tak pernah bisa memilikinya. Dan kini, aku membayangkan yang bukan-bukan tentang mereka. Apakah Hasim akan kembali mengutarakan perasaannya pada El, perempuan yang dulu begitu teramat dicintainya, ataukah ia hanya ingin menyembuhkan El secara total dari sakitnya? Dari wabah kenangan yang terus melekat di tubuh dan jiwanya?
Diam-diam, aku belajar menulis puisi dari apa yang kau tuliskan, El. Aku relakan kau pergi bersama Hasim. Toh ini demi kesembuhanmu juga. Kalau kau sembuh, aku akan ikut bahagia. Merayakan kebersamaan kita lagi.
Aku hanya ingin melihatmu sembuh—tanpa Hasim. Lelaki itu telah kubayar untuk mengobatimu secara total. Setelah semua proses selesai, dia harus pergi. Karena hanya aku yang boleh memilikimu. Tak ada yang lain. termasuk George. Yang kini hidup di benakmu.

***

Kau masih mengingatku, bukan?
Kau siapa?
Aku George. Kekasihmu. Penyair yang hidup di benakmu. Itu janji kita sebelum aku pergi.
Tidak, aku tidak pernah mengenalmu. Kau bukan George.
El, apa kau sadar dengan apa yang kau ucapkan? Begitukah caramu menyambutku?
Aku telah datang untukmu. Aku masih hidup, El. Aku masih terus bersamamu, setiap saat.
Tidak, kau bukan George! George telah lama hilang diculik. Mayatnya pun aku tak tahu di mana.
Dengar, El. Kau telah menemukanku. Kau telah menemukanku. El. Aku ada. Aku masih ada di benakmu.
Aku hidup dalam narasi-narasi yang kau tulis. Aku masih membersaimu, El. Meski kita hidup dalam ruang dan waktu berbeda.
Aku mencintaimu—lebih dari siapa pun—dan apa pun yang kau beri nama di luar cinta dan cerita.
Bacakan aku salah satu puisimu, buatlah aku yakin jika kau memang George dan bukan bayang-bayang petang.
Baiklah. Aku akan membacakannya. Ini percakapan kita yang terakhir. Setelah itu kau boleh mengusirku—atau biarkan aku tetap tinggal dalam puisi-puisi yang kau tulis di malam hari menjelang tidur.

KESUNYIAN NAMAMU

: teruntuk El
Jalan cinta bagimu, kekasih
Seberkas harum yang tak lekas
Mengumbar jeda
Cinta kita menuntun jejak cium
Di cangkir-cangkir, terbukalah mataku:
Kau ingatan di ruang tak bernama
Bantal-bantal yang terbujur
Setelah subuh pun lekas
Aku berlari ke dalam abad yang licin
Kening kita bertaut, aku tuliskan namamu
Kesunyian, lebih panjang dari perjalanan waktu
Tak kau tahu di mana umur menabuh jeda untuk pejam

***

Bagaimana perasaanmu, sekarang?
Apa?
Apa yang kau rasakan setelah mengalami perjalanan mimpi?
Tak ada. Tapi aku telah bertemu masa lalu. Ia bayang-bayang serupa petang.
Kau mencintainya?
Lebih dari apa pun—sampai kapan pun. Aku akan tetap merayakan air mata dengan puisi-puisi yang kutulis. Tak peduli kau masih terus ingin mengobatiku atau tidak.[]


Surabaya, Mei 2019

Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya tersebar di koran lokal dan nasional. Buku puisi tunggalnya TALKIN (2017) dan Suara Tanah Asal (2018). Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya.

Sumber:
Radar Banjarmasin, 14 Juli 2019
https://lakonhidup.com/2019/07/14/perempuan-puisi

0 komentar: