Cerpen Miranda Seftiana: Petuah Lelaki Bermata Abu

07.56 Zian 0 Comments

Matahari baru naik sepenggalah ketika angin menggoyangkan daun keladi yang tumbuh rendah di depan gedung poli klinik jiwa. Sekawanan burung pipit seakan bersaing tempat hinggap dengan sekelompok capung berwarna merah kecokelatan. Dahan ilalang yang panjang bahkan sampai merunduk menahan beban dua spesies bersayap ini.
Aku memandangi dengan gamang. Ada hening yang menyergap perasaan bersama kicau burung pipit gereja. Segalanya terasa sepi, nyaris tidak ada ketipak langkah yang mengarah ke sini. Mungkin karena poli klinik jiwa berada paling ujung gedung rumah sakit. Meski bisa jadi sepi yang kurasakan hanya milikku sendiri sebagai hasil akumulasi kehilangan paling mampu didefinisikan oleh hati.

"Merasa seperti di hutan belantara?" tegur seorang lelaki paruh baya. Retina matanya telah keabuan dengan rambut perak sebagian.
Aku menggeleng kecil sebagai jawaban, tersenyum tipis ketika ia mendaratkan duduk di kursi yang biasa menjadi ruang tunggu bagi pasien jiwa rawat jalan. Pada pergelangan kirinya tersemat sebuah arloji dengan rantai kuning keemasan. Sesuatu yang kukenali sejak masuk fakultas kedokteran beberapa tahun silam. Ia masih bersahaja sebagaimana ketika mengajar. Celana kain hitam dan kemeja lengan pendek berwarna kelam adalah ciri khas yang sulit dipisahkan.
"Dokter, bulik[1]." Sebuah suara di ambang pintu menarik perhatian kami dari sekawanan burung yang masih berebut tempat hinggap dengan capung.
"Hati-hati, Toyib," ujar beliau seraya melepaskan lambaian.
Sepasang ibu baya yang punggungnya hampir membentuk huruf C dan anak lelaki yang telah memiliki rambut halus tebal di bawah hidung itu berjalan menjauhi kami. Langkah mereka bersisian dengan sang ibu menggandeng lengan anak lelakinya. Mungkin lebih tepat disebut setengah memaksa, sebab anaknya seakan enggan beranjak dari klinik yang jika tidak terpaksa mustahil orang mau mendatangi.
"Dia pasien saya paling setia," gumam dokter spesialis jiwa yang kini duduk bersisian denganku. "Mungkin jika diibaratkan jenjang sekolah dasar, sejak dua tahun lalu semestinya dia sudah tamat."
"Diagnosa Oedipus complex, Dok?" tebakku mempertimbangkan kelekatan dengan sang ibu. Mereka bagai sepasang sendal yang apabila hilang sebelah maka akan tidak lagi berguna.
Lelaki berusia medio lima puluhan ini menggeleng kecil. "Skizofrenia residual. Gangguan jiwa berulang akibat keterikatan terlalu kuat dengan ayahnya. Sehingga ketika figur itu wafat, melanglang pula separuh kewarasannya," ucap Dokter Achyar dengan raut prihatin.
Batinku seperti disentak secara tiba-tiba. Aku juga punya keterikatan yang kuat dengan ayah walau tidak sampai jatuh cinta dan cemburu pada ibu seperti diagnosa electra complex. Berat sekali rasanya berpisah, sekalipun hanya di dunia. Anganku mulai merambahi masa silam sekarang. Adegan-adegan itu berpendar seumpama tayangan film hitam putih, sedikit buram dan samar. Namun, menghantar perasaan yang tetap sama; kecewa serta kehilangan yang nyata.
"Mencintailah sepenuh hati, bukan sepenuh jiwa. Agar ketika yang kamu cintai pergi, cukup sampai sakit hati, tidak perlu sakit jiwa," lirih Dokter Achyar nyaris berbisik.

***

Harum minyak kental yang dipercik ke telapak tangan masih tertinggal pada indra penghidu. Pun tabuhan tarbang yang bertalu-talu. Lantai rumah bergoyang dihantam riak air yang pecah oleh baling mesin alkon.
"Caram[2], caram ...." teriak orang-orang yang berdiri di teras.
Langkah mereka terburu, mengangkat ujung sarung hampir mencapai lutut agar tidak basah oleh air yang naik ke permukaan akibat papan kewalahan menahan beban. Deretan kembang barenteng yang tergantung di langit-langit bahkan ikut bergerak gaduh. Tapi kepanikan itu tak menjalar manakala di ruang tengah rumah lanting kami, orang-orang yang menengadahkan tangan sembari menyenandungkan kalimat puji kepada Nabi menyambut dengan gelak panjang.
"Kau tahu perbedaan saruan[3] di rumah lanting dan di daratan?" Seorang lelaki menyikut lengan temannya yang baru saja menurunkan sarung kembali.
"Satu di atas air, sedangkan satu lagi di atas tanah," celutuk lelaki lainnya. Kali ini lebih baya.
"Bukan, Julak," bantah si penanya.
"Lalu apa?" Ayahku ikut menuntut jawab rupanya.
"Kalau di darat, tamu yang duduk di teras akan mendapat makanan lebih dulu. Tapi kalau di rumah lanting, tamu di teras akan disambangi air lebih dulu," kelakarnya memecahkan gelak untuk kedua kalinya.
Tawa itu baru lesap tatkala seorang bayi dalam ayunan yang tergantung pada sela pembatas antara ruang tengah dan dapur melengkingkan tangis menyayat. Kulitnya yang sebening langsat sampai kemerahan. Mungkin bukan tangis itu yang menjadi satu-satunya alasan tawa para lelaki dewasa ini reda, melainkan juga picingan mata ayah ketika menimang Antang dari bahalai[4].
Aku tahu ayah sangat mencintai Antang, bayi lelaki pertama -anak ketiga- yang hadir saat usianya telah menuju senja. Paling tidak demikianlah perasaannya sebelum air sungai Martapura yang kehijauan di bulan sembilan menjelma laut merah.

***

Semenjak ayah divonis bersalah atas kepergian Antang yang bersimbah darah lalu berakhir di bangsal perawatan jiwa, ibu bagai tenggelam dalam dunianya sendiri. Setiap Jum'at, kala jingga melengkung di atas jembatan Pasar Lama, perempuan yang menghimpun rambut panjangnya dengan telakung itu akan melarung rangkaian kelopak mawar, melati, dan kenanga yang menjuntai pada helai pokok pisang. Persis saat pengeras suara langgar mulai memperdengarkan kalam Tuhan. Tidak ada yang berubah dan tak boleh berubah, termasuk perihal kambang barenteng yang secara khusus ia pesan dari Martapura. Ibu percaya, rangkaian bunga dari Banjarmasin dan Pahuluan berbeda dengan Martapura.
"Kambang barenteng dari Banjarmasin lebih tepat untuk digantung, menghiasi langit rumah dan langgar ketika selamatan atau maulid Nabi. Berbeda dengan kambang barenteng dari hulu sungai yang lebih tepat untuk badudus, karena terselip di sela sayatan janur yang mudah dilepas. Sedangkan yang dari Martapura dibuat dengan benang pelepah pisang agar bisa disematkan pada nisan."
Tutur ibu yang masih dapat kukenang. Sebelum ia menjadi bisu secara sengaja akibat pemberitaan bayi lelaki tewas ditikam belati oleh ayah kandungnya sendiri. Meski kenyataannya jauh lebih pahit dari yang tersaji pada halaman muka koran kriminal setempat. Karena sesungguhnya, ayahlah yang mesti menerima dua tikaman secara bersamaan.
Berawal dari luka kaki yang tak kunjung mengering oleh dokter puskesmas Sungai Mesa ia didiagnosa menderita diabetes melitus tipe II. Sesuatu yang membuatnya sadar telah setahun belakangan tidak lagi menafkahi ibu secara batin. Alasan yang mempertajam keraguannya perihal perupaan Antang, anak lelaki yang berbeda dengan kami semua. Hingga berujung pengakuan pedih ibu perkara berbagi ranjang pabila ayah melempar tampirai ke sudut-sudut pokok nipah di malam buta.

***

"Maaf sebelumnya, apa dokter pernah mengalami kehilangan?"
Embun perlahan menggelantung di matanya yang telah keabuan. Dokter Achyar mengangguk sendu. "Putra saya meninggal ketika usianya belum genap untuk disapih karena ketidaktahuan pengasuhnya menangani tersedak. Semuanya berlangsung tiba-tiba, tanpa firasat. Saya jelas berduka. Sebagai seorang dokter yang biasa menolong nyawa orang lain, pukulan tajam bagi saya ketika nyawa anak sendiri melayang tanpa sempat saya berikan pertolongan."
"Berapa lama dokter tenggalam dalam fase duka cita?" usutku iba.
"Bertahun-tahun sampai saya menemukan kenyataan bahwa luka tidak akan pernah sembuh jika diperam," tandas beliau.
"Mau menjenguk Bapak?" tawar lelaki yang menyusut air di sudut matanya itu kemudian, seperti berusaha mengalihkan topik percakapan.
Sudah menjadi kebiasaan selama tiga puluh enam bulan ke belakang. Aku akan bertandang ke poli jiwa ketika keriuhan di bangsal telah reda, waktu pelayanan hampir berakhir, menyisa berkas-berkas rekam medik yang akan dilimpahkan ke gedung depan. Saat itulah aku akan datang membawa hati yang nyaris menjadi serbuk. Melawan malu aku mengetuk pintu berlapis vinil. Seorang lelaki paruh baya akan menyambut dengan jabat yang tak lagi kukuh.
Kami berbincang sejenak, bertukar salam dengan kabar yang kuharap mengarah maju meski nyatanya tidak selalu kudapati begitu. Sebab beberapa kali realita telah menghantam harapanku hampir ke tubir putus asa. Maka jika sudah demikian, ia akan berujar lebih pelan, seakan sedang membacakan ayat penghiburan.
"Bapakmu adalah pasien paling tenang yang pernah saya temui. Ia tidak pernah berteriak apalagi membentak," Lelaki sebijak Mahatma Gandhi ini seperti berusaha menyanjung walau kutahu pasti perbandingan itu bukan disandingkan dengan skala normalitas. Melainkan sesama penghuni bangsal yang mirip penjara lantaran berpintu jerajak besi. "Paling-paling hanya menyeka air mata, itupun maunya secara rahasia," lanjutnya sebelum kami menuju ruang paling ujung, terletak di sudut dekat tangga menuju lantai dua dan tiga tempat psikolog berpraktik.
Aku menggeleng samar lalu berujar, "Saya mau ketemu Ibu. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."
"Apa itu?" usut beliau dengan raut ingin tahu yang kentara.
"Saya ingin membisikkan di telinga Ibu kalau saya tahu beliau mencintai anaknya segenap jiwa dan raga. Saya percaya ia mencintai saya dengan rela bertaruh nyawa. Tapi sejak hari ini, biarlah saya mencintainya sepenuh hati saja agar tidak ada lagi belenggu pabila Tuhan ingin menjemput jiwanya keharibaan."
Dokter Achyar mengulas senyum, sepasang matanya yang keabuan tampak mengembun. Ia mengulurkan telapak tangan yang besar -seperti milik ayah- ke puncak kepalaku. Kurasakan sebelah tangan yang kehilangan kekenyalan itu mengusap perlahan, mengalirkan rasa hangat yang telah lama kurindukan. Tepat semenjak ayah berstatus pasiennya tiga tahun silam. Dari ekor mataku terlihat ia mengangguk-angguk kecil.
"Karena hati yang lapang, jiwa yang tenang adalah milik mereka yang menabur kerelaan dengan subur. Meski yang hilang mungkin tidak kembali atau yang pergi takkan pernah pulang lagi. Saya berharap suatu saat bisa mengatakan ini pula pada Toyib," ucap Dokter Achyar mengiringi langkahku yang perlahan menjauh menuju ruang di mana seorang perempuan terbaring dalam dekapan monitor jantung, bertopang napas bukan lagi dengan hidung melainkan selang panjang. Ibuku; perempuan yang menurut dokter mengalami Acquired Immunodeficiency Syndrome.[]


Keterangan:
[1] Pulang
[2] Karam
[3] Kondangan
[4] Sarung tak dijahit

Miranda Seftiana, lahir di Hulu Sungai Selatan pada 16 September 1996. Anak dari pasangan Yudi Rahman dan Rubiati yang berdarah Banjar Pahuluan. Menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Cerpennya berjudul Sebatang Lengkeng yang Bercerita termasuk dalam Cerpen Pilihan Kompas 2015. Menurut Putu Fajar Arcana (Editor Kompas Minggu), Miranda merupakan penulis termuda yang karyanya masuk dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas, 19 tahun. Ia aktif menulis sejak menerbitkan kumpulan puisi pertama berjudul Senandung Cinta Untuk Bunda (Leutika Prio, 2011).
Karya-karyanya telah dipublikasikan pada beberapa media massa antara lain Kompas, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Mata Banua, Serambi Ummah, Media Kalimantan, dan lain sebagainya. Selain itu, karyanya juga terhimpun dalam berbagai antologi antara lain Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas; Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? (Penerbit Buku Kompas, 2016); Romansa Khatulistiwa (Penerbit Zukzez Express, 2016); Kalimantan Selatan: Menolak Untuk Menyerah (Tahura Media, 2015); Mengapa Saya Menulis (AE Publishing, 2015); Bawin Balian (Penerbit Writing Revolution, 2014); Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia (Scripta Cendekia, 2014); Asyik, Jelajah Nusantara (Diva Press, 2014); Sang Pelukis Kupu – Kupu (AG Pressindo, 2014); Dongeng Negeri Jump(a)litan (Penerbit Efarasti, 2014); Wanita Kedua (Soega Publishing, 2013); Terpenjara Di Negeri Sendiri (AG Pressindo, 2013); Ketika Wanita Bicara (AG Pressindo, 2013); Ci… Luk… Ba…!!! (Cinta… Luka… Banget…!!!) (Penerbit Efarasti, 2013); Primadona (Leutika Prio, 2012); Setiap Anak Terlahir Istimewa (Leutika Prio, 2012); Aku dan Idolaku (Nulisbuku, 2012); Karma Pala (Penerbit GPN, 2012); Merindu Rasul Dalam Sajak (Penerbit Seruni, 2012); Dear Love Buku #3 (Nulisbuku, 2012), dan lain-lain. Beberapa naskah yang pernah ia sunting antara lain Hong Kong Bercerita (AG Pressindo, 2013); Jayalah (AG Pressindo, 2013); Bunga – Bunga Surga (AG Pressindo, 2013); Jejak Luka (AG Pressindo, 2013); Ketika Cinta Bersemi (AG Pressindo, 2013); Teror Kota Bawah Tanah (AG Pressindo, 2013), dan lain sebagainya.

Sumber:
http://komcerpenesbjb.blogspot.com/2017/06/cerpen-karya-miranda-seftiana.html

0 komentar: