Cerpen Rahmiyati: Pahlawan Kecilku

05.20 Zian 0 Comments

Sore makin meredupkan matahari yang sejak siang memancarkan cahaya kehidupan bagi manusia. Aku masih duduk di bangku di belakang rumah memandang hamparan sawah yang membentang hijau kekuningan. Beberapa anak kecil bermain kejar-kejaran sambil menunggu orangtua mereka yang masih sibuk di sawah.
Ingatanku kembali pada kenangan masa kecilku. Seakan melihat diriku ketika bermain dipematang sawah bersama teman masa kecilku. Seiring sore yang seolah bergegas menghampiri senja, ingatanku seperti tak pernah renta mengenang sosok teman kecilku.

Namanya Ogenk. Dia memiliki cita-cita jadi pahlawan. Pahlawan yang berjuang membela kebenaran, membasmi kejahatan. Pahlawan apa saja, yang penting bagi Ogenk adalah menjadi pahlawan. Saat itu, aku hanya tertawa dalam kebingunganku mendengarkannya bercerita tentang cita-cita dan mimpi masa depannya. Ogenk yang kali ini kukenang mungkin sudah lupa dengan cita-cita masa kecilnya.
Ogenk yang ku kenal selalu bersemangat. Semangatnya mungkin sama denganku waktu itu atau barangkali sama dengan anak-anak lainya yang sering menulis daftar cita-cita: ingin jadi dokter, pilot, polisi, tentara, camat, bupati atau bahkan presiden. Tapi sangat berbeda dengan Ogenk yang selalu menulis ingin jadi pahlawan. Rupanya tulisan Ogenk tanpa sengaja dibaca oleh teman-teman di sekolah. Ogenk diejek habis-habisan. Apalagi ketika ada salh seorang teman bertanya padanya, “Apa yang bisa dilakukan oleh seorang pahlawan saat ini?”. Ogenk diam seribu bahasa
Melihat Ogenk yang tak berkutik mereka makin menjadi-jadi. Kemudian salah satu dari mereka mengatakan, “Mestinya mati lebih dahulu, baru bisa mendapatkan gelar pahlawan. Pahlawan kemerdekaan atau pahlawan revolusi, seperti gambar-gambar pahlawan yang ditempel di kelas kita.” “Hahahaha…!” Kontan riuh bergemuruh di dalam kelas menertawakan Ogenk.
Ogenk tak kuasa menahan tangisnya. Di saat itu hanya aku yang bersimpati padanya. Aku btak pernah meninggalkannya meski tak tahu cara menenangkannya. Saat itu juga kubiarkan dia menangis sejadi-jadinya dan larut dalam ketidakmengertian tentang cita-citanya sendiri. Tak mampu kukatakan apapun padanya karena sesungguhnya akupun tak mengerti maksud dari cita-cita Ogenk.

***

Sejak kejadian itu Ogenk tak pernha lagi bicara tentang cita-cita . tapi aku sangat yakin di dalam hatinya cita-cita itu masih ada meski dalam ketidakmengertian seorang anak kecil yang tak mampu menjabarkan maksud dari cita-citanya.
Waktu terus berlalu mengiring persahabatan kami. Kedekatan yang terjalin telah menempatkan Ogenk menjadi sangat istimewa untukku. Ogenk selalu ada setiap aku mebutuhkannya, teman sekaligus sahabat yang selalu senantiasa menyayangiku. Air mataku menetes sekaligus bsia tersenyum sangat manis setiap kali aku mengenang keberadaanya dahulu.
Kami berpisah dengan cara yang tak terduga. Tepatnya ketika masih duduk di kelas IX SMP negeri. Ogenk menghilang bersama keluarganya. Sangat tiba-tiba, tak ada kabar sebelumnya dan aku sama sekali tidka mneyangka dia akan lenyap begitu saja. Apalagi sebelumnya dia tak pernah cerita akan pergi jauh.
Aku bertanya kepada setiap orang yang mungkin mnegetahui keberadaan Ogenk. Aku juga meneleponnya tapi tak pernah aktif. Ogenk benar-benar menghilang seperti di telan bumi. Aku hanya menerka-nerka mungkin keluarganya pindah rumah.
Seminggu berlalu akhirnya aku berinisiatif menanyakan keberadaan Ogenk kepada ibu wali kelas kami. Dengan perasaan gugup dan keberanian yang campur aduk aku menuju ruang guru untuk menemui ibu wali kelas.
Dugaanku ternyata benar Ogenk pindah sekolah ke ibu kota dna yang mnegurus surat pindah itu adalah ayahnya.

***

Hari demi hari kulalui di sekolah seperti biasa dengan semangat yang entah sama seperti dulu atau bahkan semangatku telah semakin jauh, sejauh kepergian Ogenk dari hidupku. Waktu perlahan mengaburkan rasa kehilanganku meski tetap terasa sampai hari ini. Ogenk, pahlawan kecilku yang tak pernah tergantikan.
Sejak saat itu, aku tak pernah tahu lagi keadaanya, dimana ogenk tinggal dan bersekolah.
Bertahun-tahun sudha rasa kehilangan itu kusimpan rapat-rapat dalam hatiku. Aku tak pernha lagi bertemu langsung dengannya. Tapi ingatan masa kecilku tentang pahlawan kecilku hari ini tetap sama. Sekarang Ogenk telah punya kehidupan sendiri dan dunia sendiri. Sangat jauh berbeda denganku saat ini. Setelah lulus SMP aku tidak lagi melanjutkan sekolah karena orangtuku tidka punya biaya. Jauh berbeda dnegan Ogenk.
Saat ini Ogenk dikenal sebagai aktivis. Tentang Ogenk itu awalnya kuketahui dari salah satu TV swasta yang menaynagkan acara debat antar mahasiswa. Salah satu pembicara dari debat itu, sangat kukenal. Awalnya aku smepat pangling. Pada saat yang sama pikirnaku tiba-tiba menerawang pada sahabat masa kecilki yang tak mungkin bisa kulupakan. Lekuk wajah dan gaya bicara serta kecerdasan dan jalan pikiran yang cemerlang dari sosok mahasiswa itu benar-benar meyakinkanku bahwa dia adalah Ogenk.
Belakangan kuketahui Ogenk dan teman-temannya sesama aktivis sering berdemonstrasi memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Wajahnya sering kulihat di televisi atau Koran-koran yang memberitakan aksi penolakan atas kebijakna pemerintah yang dianggap menyengsarakan rakyat.
Makin hari wajhnya kian sering kulihat. Bersuara lantang, berorasi di depan massa aktivis, membuat hatiku bergetar, Ogenk begitu berani.
Aku yang senantiasa tak mnegerti politik hanya terdiam dalam kebangganku padanya karena mungkin Ogenk saat ini dalam upaya menuju cita-cita mulia yang menjadi pilihannya. Semoga kau berhasil Genk, doaku dalam hati.
Sore yang beranjak sneja berwarna jingga, jingga yang lebih tajam dari biasanya. Melihat jingga itu, aku terinagt kata-kata ibuku ketika aku masih kecil. Kata beliau, jika senja berwarna jingga menyala, itu adalah sebuah pertanda bahwa aka ada kejadian berdarah yang akan menimpa seseorang. Oleh karena itu, ibuku selalu melarangku keluar rumah jika senja tiba. Tapi, bukankah memang tidak baik untuk kita berada diluar rumah ketika senja.
Aku bernajak dari bangku belakang rumah. Sebelum adzan berkumandang, aku memilih duduk bersandar di depan televisi. Terik sore ini terasa semakin redup. Seredup apa yang kulihat saat ini. Tanpa sadar air mataku menetes dari sudut mataku, aku tak kuasa menahan isak saat kulihat puluhan mahasiswa berjalan beriringan membawa karangan bunga.
Pahlawan kecilku, hari ini kulihat wajah itu dalam potret besar yang dibawa oleh iringan mahasiswa itu. Semua menjadi gelap bagiku. Wajah itu memang tidak lagi lugu seperti dulu. Wajah dengan guratan yang khas pada rahang mencerminkan wibawa dan semangat. Aku tertegun menatap lurus ke layar kacadi depanku.

RCTI 12 Juni 2008
“Seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri tewas diduga terkena tembakan peluru karet saat aparat kepolisian menghalau ratusan mahasiswa ketika berdemonstrasi di depan gedung DPR RI. Mereka menuntut dibatalkannya keputusan pemerintah meniakkan harga BBM. Demonstrasi berlangsung ricuh karena beberapa mahasiswa diduga melakukan tindakan anarkis, kasusnya masih dalam penyelidikan karena korban diduga tidak tertembak peluru karet, tetapi”
Kalimat pembaca berita itu seperti menggantung ditelingaku. Tak mampu kusimak lagi kalimat demi kalimat yang dibacakan pembaca berita itu. Aku tak kuat lagi menahan tangis. Kubiarkan suara tangis ini menghambur. Tak mampu kuhentikan dalam sekejap. Tapi, lagi-lagi aku hanya bisa meratap dan harus bisa menerima kenyataan bahwa aku harus kehilangan Ogenk untuk kedua kalinya dan selamanya. Aku tak bisa berhenti menangis.
Dalam hati aku hanya bisa mengutuk penembakan itu. Mengapa aksi demo yang berlangsung anarkis seperti menjadi budaya, mengapa harus Ogenk? Ingin rasanya meneriakkan ketidakpercayaanku pada apa yang baru saja kulihat di permukaan negeri ini. Tangisku dalam diam ketika wajah Ogenk melintas dibenakku. Pahlawan kecilku dulu, aku akan senantiasa rindu.

Sumber:
Banjarmasin Post, November 2011

0 komentar: