Cerpen Fauzi Rohmah: Bunga Abadi
Kutatap lekat punggung yang sedang membereskan ranjangku, tempat untuk menghabiskan waktu berhari-hari. Tiga kali sehari ia mengganti sepreinya. Walau kadang kutolak karena aku lelah harus naik-turun ranjang dan berpindah ke kursi roda. Setia, itu yang ia siratkan. Senyumnya selalu tersungging indah berhiaskan lesung pipit. Aku tahu, ia sedang mencoba menyembunyikan lelahnya. Guratan itu nampak jelas di wajahnya yang kian lesu, mati-matian merawatku. Wanita itu begitu kokoh menjadi penopang hidupku.Ainun, wanita berdarah Jawa-Manado itu begitu sabar menjagaku di sela kesibukannya sebagai seorang pendidik di salah satu sekolah menengah kejuruan di kotaku. Selain mengajar di sekolahnya, ia juga aktif mengajar keterampilan di rumah singgah kanker yang kutempati. Ia selalu membacakan puisi untukku saat berkunjung di rumah singgah, karena puisi bagiku laksana candu. Di rumah singgah itulah aku dan Ainun dipertemukan Tuhan. Perkenalan selama tiga bulan memantapkan hatiku untuk melamarnya. Mungkin, akulah laki-laki satu-satunya yang tak tahu diri. Bermuka tembok, berani melamar wanita tangguh sedang aku berkubangkan kanker yang mendera tulang kakiku.
“Mas, beristirahatlah di rumah. Biarkan aku yang bekerja. Jika Mas bosan dengan berdiam diri di rumah, Mas bisa melakukan kegiatan yang Mas suka. Aku akan siapkan keperluannya.” Ucapan Ainun ketika mendengar vonis dokter bahwa kakiku harus diamputasi. Aku menuruti perkataannya dan mengajukan surat mengundurkan diri dari perusahaan.
***
Tiga bulan pernikahanku, aku benar-benar harus rela kehilangan satu kaki. Kanker itu telah merenggut kesempurnaanku. Pergolakan batin pun semakin sering terjadi. Kelaki-lakianku menciut, aku merasa minder dengan Ainun. Laki-laki tak sempurna dan hanya bergantung di lengannya. Aku semakin terpuruk saat ibu mertua mencercaku sebagai laki-laki benalu.
“Ai, ke sini!” Aku memanggil Ainun yang sedang menyapu halaman sore itu.
“Iya, Mas. Ada apa?”
“Duduklah!”
Hening. Aku tak mampu mengeluarkan unek-unek yang mengganjal pikiranku. Aku tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan kegelisahanku. Tubuhku kaku dan mulutku pun gagu.
“Apa yang Mas pikirkan?”
“Ai ...!?” Kugenggan erat jemarinya yang halus. “Gugat aku, Ai!” Suaraku bergetar. Tubuhku panas dingin saat itu.
“Kau menyakitiku, Mas,” ucapnya di antara isak tangis.
“Aku tak ingin menyakitimu, juga hati ibu.”
“Kau ingat saat ijab kabul itu?”
Aku mengagguk.
“Detik itu juga, kupasrahkan jiwa raga padamu. Aku mengenalmu dengan kanker. Aku sudah tahu konsekuensinya dan keputusanku menjadi istrimu, selamanya. Jadi, jangan sekali-kali memintaku untuk melayangkan gugatan cerai. Apa pun alasannya. Ibu, bukan alasanku untuk berpisah darimu. Kecuali Allah yang merenggutku darimu,” ucapnya tegas dan berapi-api. Di balik matanya yang tergenang kulihat ada kilatan api amarahnya.
“Maafkan aku, Ai. Aku menyesal. Aku merasa tidak berguna.”
“Aku mengerti keadaanmu, Mas. Satu hal yang perlu Mas ketahui, aku akan tetap di sisimu. Sampai kapan pun.” Ia genggam erat jemariku sambil duduk bersimpuh di depanku yang duduk di kursi roda. Perlahan ia rebahkan kepalanya di pangkuanku. Sore itu, rintik gerimis pun menggambarkan suasana hatiku.
***
“Pras, kapan kau akan menceraikan Ainun?” Gelas di tanganku pun jatuh ke lantai dan pecah. Suara ibu mertua mengejutkanku yang ketika itu sedang meraih gelas di atas meja.
“Aku tidak akan menceraikannya, Bu,” jawabku tegas.
“Mengapa? Kau menikmati bergantung di lengan Ainun. Lihatlah dirimu, Pras. Bercerminlah! Kau laki-laki tak berguna.” Cerca ibu memerahkan daun telingaku.
“Walau pun aku di rumah, aku juga bekerja. Ibu, aku tidak mungkin menelantarkan Ainun.” Aku berusaha meyakinkannya.
“Pras, Pras. Seribu tahun pun kamu bekerja kamu tidak akan bisa mengimbangi pendapatan Ainun, juga jerih payahnya menghidupimu.” Kata-katanya nyinyir dan menyakitkanku, tapi tekadku bulat akan membuktikan kemampuanku di mata ibu.
“Ibu tak mau banyak bicara, Pras. Sekarang tanda tangani ini, surat ceraimu. Biarkan aku yang mengurus ke pengadilan karena aku tahu kamu tidak mampu.”
“Ibu ...!” Kudengar suara Ainun yang baru saja pulang kerja. “Setega itu Ibu ingin memisahkan aku dengan Mas Pras?”
“Ainun, sadarlah. Lihat dia! Mau sampai kapan kau tenggelamkan dirimu di lembah kesusahan ini?”
“Ini yang Ibu mau, kan?” Ainun meraih surat cerai yang ada di pangkuanku dan merobeknya hingga tinggal puing-puing kertas yang ia hamburkan di hadapan ibu.
“Ibu selalu mengajarkan aku untuk menjadi wanita yang patuh kepada suami, kecuali jika suami itu menjerumuskan ke neraka. Bu, Mas Pras lah orang yang patut aku patuhi, dia suami Ainun, Ibu.” Suaranya bergetar dan tangisnya pun tumpah. Sejurus, tanpa sepatah kata penutup ibu berlalu pergi meninggalkan Ainun yang sujud di kakinya.
“Ainun, maafkan aku. Jika bukan bersuamikan aku, perseteruanmu dengan ibu tak pernah terjadi.” Ainun bangkit dan langsung menubruk memelukku.
“Mas, peganglah perutku.” Ia membimbing tanganku ke arah perutnya. “Buah cinta kita. Dia yang akan menguatkan tiang pernikahan kita. Dua minggu, Mas,” sambungnya.
“Alhamdulillah, ya Allah!” Kukecup keningnya, juga matanya yang masih berlinang.
“Berjanjilah untuk tetap berjuangan demi kita, Mas. Demi buah cinta kita. Aku yakin engkau bisa membuktikan ke ibu.”
“Bismillah, Ai. Jangan lelah menjadi tongkat yang memapahku dalam segala musim yang menderaku.”
***
Bunga abadi di hatiku. Ia tak berubah tetap mekar di segala musim. Di matanya kulihat cinta. Disentuhannya tangannya, kulihat surga. Ia telaten mendampingiku yang tak sempurna. Wanita yang pandai menyembunyikan lelahnya di balik senyuman manis yang dulu pernah memikatku. Perut Ainun yang kian membuncit berhasil sedikit memadamkan api kebencian ibu kepadaku walau ibu tidak mau lagi menginjakkan kaki di rumahku. Namun, sesekali bingkisan makanan itu mampir di piring kami.
“Ibu malu untuk ke sini, Mas,” ucap Ainun saat aku dengan lahap menikmati makanan ibu.
“Mengapa?”
“Entahlah. Ibu minta maaf kepadaku dan mengakui kesalahannya, tapi untuk menemuimu ia malu. Begitu ucap ibu.”
“Biar aku nanti yang menemui ibu, jika kau ada waktu luang untuk mengantarku.”
Ainun menjawab dengan anggukan dan melanjutkan kegiatannya dengan piring-piring yang kotor. Aku memandangi punggung wanita perkasa yang penuh kasih.
“Ainun ...!” Terdengar suara ibu di luar rumah.
“Biarkan aku yang membukakan, Ai.” Ia mengangguk setuju. Kuputar kursi roda dan menjalankan rodanya menuju pintu.
“Ibu!” Kusambut tangannya dan kucium. Ibu nampak kikuk.
“Maafkan Ibu, Pras. Ibu terbakar omongan tetangga yang memojokkanmu.”
“Pras mengerti, Bu. Ainun sedang di dapur.” Ibu pun mendorong kursi rodaku menuju dapur.
“Ainun, Pras, Ibu minta maaf atas kejadian yang lalu.”
“Sudahlah, Ibu. Kami sudah memaafkan. Kita saling memaafkan, ya,” suara Ainun menenangkan.
“Ibu punya permintaan.”
“Apa itu?” tanyaku yang bersamaan dengan Ainun.
“Tinggallah bersama Ibu. Apalagi Ainun sebentar lagi melahirkan. Ibu kesepian di rumah sendiri.”
Ainun menatapku, meminta persetujuan. Aku pun mengangguk setuju. “Baik, Bu. Kami mengurus semua perlengkapannya dulu dan akan menyusul ibu,” ucap Ainun bersemangat.
Di rumah ibu, kebahagiaan itu memayungi hari-hariku. Suasana kian hangat dan akrab. Ibu mendukung apa yang kukerjakan selama ini, menjadi motivator bagi penyandang kanker dan menulis beberapa buku sebagai penyemangat mereka yang bernasib sama denganku. Kabahagiaan itu pun menghujaniku kala bayi mungil laki-laki terlahir dari rahim Ainun.
“Ainun, terima kasih atas kesabaran dan keuletanmu menjadi tongkat bagiku.” Ia menimpalinya dengan senyum sembari tangannya mengayun Athaillah dalam ayunan.
“Ai, kekuatan dari mana yang kau miliki hingga menjadikanku laki-laki yang paling sempurna memilikimu, bunga abadi di hatiku.”
“Allah yang memberiku kekuatan, Mas. Tanpa Dia aku bukan siapa-siapa di hidupmu.”
“Terima kasih atas setiap embus nafas ini, ya Robb. Terima kasih atas bidadari surga yang Engkau kirimkan untukku menyempurnakan ketaatanku kepada-Mu.” Batinku sambil menatap lekat mata bulat Ainun. [ ]
Sumber:
http://www.readzonekami.com/2016/11/cerpen-fauzi-rohman-bunga-abadi.html
0 komentar: