Esai Jamal T. Suryanata: Kesemestaan Rasa Keagamaan: Religiusitas Puisi Ariffin Noor Hasby

13.07 Zian 0 Comments

salawat laut arifin nor hasbi

Dalam jagat sastra Indonesia di Kalimantan Selatan (Kalsel), popularitas dan kapasitas kepenyairan Ariffin Noor Hasby (penyair banua kelahiran Marabahan, 20 Februari 1964) kiranya sudah tak perlu diragukan lagi. Sebagai penyair senior yang sudah berkiprah dalam dunia penulisan kreatif sejak awal dekade 80-an, karya-karya puisinya memang telah menunjukkan kematangan, baik dalam bentuk maupun isinya. Bahkan, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, jika kita selami lebih jauh jelas bahwa karya-karya puisinya pun telah memperlihatkan warna tersendiri sebagai gaya pribadinya.

Pada masa-masa awal kepenyairannya, Ariffin Noor Hasby (selanjutnya saya sebut Ariffin saja) sebenarnya termasuk penyair yang produktif. Paling tidak selama lebih-kurang dua dasawarsa (1980-2000) karya-karya puisinya sering menghiasi rubrik sastra-budaya di berbagai media cetak, lokal maupun nasional, di samping yang dimuat dalam belasan buku antologi puisi bersama. Selain itu, karya-karyanya juga kerap memenangkan berbagai sayembaran penulisan berskala lokal maupun nasional, khasnya lomba cipta puisi. Dan, boleh dikata merupakan puncak pengakuan atas prestasi dan dedikasi kepenyairannya, pada bulan Oktober 2005 ia diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai salah seorang peserta perhelatan akbar sastra nasional bertajuk “Cakrawala Sastra Indonesia”. Terkait dengan kegiatan ini, bersama karya sebelas penyair Kalimantan lainnya, lima belas puisinya ikut dimuat dalam antologi Perkawinan Batu: Suara Kalimantan (Jakarta: DKJ, 2005).
Kendati Ariffin telah lama malang-melintang dalam dunia kepenyairan, juga telah menulis ratusan puisi selama hampir tiga dasawarsa, tetapi sampai akhir 2011 ia belum lagi berkesempatan menghimpun dan menerbitkan puisi-puisinya dalam bentuk buku puisi tunggal. Setahun kemudian, barulah ia berhasil menerbitkan buku puisi tunggalnya yang pertama dengan tajuk Kota yang Bersiul (Kertak Hanyar: Tuas Media, 2012). Tahun berikutnya, ia kembali menerbitkan buku puisi tunggalnya yang kedua, Salawat Laut (Banjarmasin: Pustaka Banua, 2013). Kedekatan angka tahun penerbitan kedua buku puisi tunggalnya ini tampaknya seiring dengan kondisi kian mudahnya proses penerbitan buku di berbagai daerah oleh penerbit-penerbit indie sejak awal abad ke-21 yang lalu, di samping karena arsip koleksi sajak-sajaknya yang secara kuantitas memang sudah mendukung.

***

Dari dua buku puisinya tersebut, jatuhnya pilihan saya pada Salawat Laut sebagai subjek ulasan singkat ini bukan karena sajak-sajaknya yang terhimpun dalam buku keduanya ini lebih berkualitas dibandingkan dengan karya-karya puisinya yang termuat dalam buku puisi pertamanya. Bahkan, andaikan tidak mempertimbangkan segi kebaruan penerbitannya, kepekaan estetis saya sebenarnya lebih cenderung memilih buku puisinya yang pertama ketimbang yang kedua. Alasannya tentu sangat personal: buku puisi ini menggunakan subjudul Antologi Puisi Religius—makna subjudul semacam ini setara dengan Kumpulan Cerpen Islami, Novel Pembangun Jiwa, atau Sebuah Drama Sejarah.
Terang terus saja, khasnya untuk karya-karya sastra kreatif, saya kurang menyukai pemakaian subjudul yang cenderung mengikat, mengintervensi, dan menggiring penafsiran pembaca ke arah pemaknaan tertentu (baca: monistik). Sebab, bahkan dalam kerangka semiotik yang paling sederhana sekalipun, dengan mencantumkan subjudul demikian seolah sang penulis ingin mengatakan kepada para pembacanya, “Anda harus membaca puisi-puisi saya begini ya!”—sebuah pesan diskursif yang sungguh tak lucu bagi seorang pembaca kreatif!
Atas dasar itulah, kendati dampaknya memang tidak jelas (karena hal ini tetap bergantung pada pengetahuan dan pengalaman setiap pembaca), saya pribadi lebih merasa nyaman—juga merasa tertantang—jika kata keterangan (penjelas) “religius” yang tertera di belakang subjudul buku puisi Ariffin ini ditiadakan saja. Saya yakin, setiap pembaca kreatif dan berjiwa eksploratif pasti akan lebih merasa tertantang jika mereka berhadapan dengan judul-judul buku puisi yang tidak mencantumkan subjudul demikian. Sekadar contoh, bandingkan dengan dampak psikologis yang kita rasakan ketika membaca judul-judul buku fiksi atau drama seperti yang sering digunakan Iwan Simatupang atau Putu Wijaya: Ziarah, Kering, Koong, Pabrik, Stasiun, Nyali, Bor, Dor, dan seterusnya.
Masalahnya tentu akan sangat berbeda dengan penggunaan judul dan subjudul dalam sebuah karya ilmiah (nonfiksi) yang memang menuntut syarat keserbajelasan sehingga relatif mampu mencerminkan isi keseluruhannya. Namun, lantaran saya ingin mengambil sisi kebaruannya, biarlah kelak kehadiran kata “religius” dalam subjudul buku puisi Ariffin ini akan kita uji kadar kebenarannya. Maka, untuk maksud itulah sengaja saya gunakan kata “religiusitas” dalam subjudul tulisan ini. Lalu, menjadi pertanyaan kita sekarang, benarkah semua sajak Ariffin yang terhimpun dalam buku Salawat Laut ini bermuatan religius? Atau, sejauh mana nilai-nilai religius itu terefleksikan dalam antologi puisi ini?
Proses pengujian tersebut setidaknya dapat dilakukan melalui dua level pembacaan. Pada level pertama, kita perlu melacak kehadiran diksi-diksi yang dipandang merepresentasikan nilai-nilai religius itu dalam judul-judul puisi, kemudian melakukan pelacakan yang sama pada larik-larik setiap puisi yang ada dalam buku ini. Selanjutnya, pada level kedua, kehadiran diksi-diksi tersebut beserta metafor-metafor yang digunakan penyair harus kita interpretasikan secara relasional dan kontekstual dalam kesatuan makna keseluruhan setiap puisi. Terkait dengan hal ini, ada dua kemungkinan yang bisa kita temukan—dengan hanya menyediakan dua alternatif jawaban: ya atau tidak.
Jika kehadiran diksi-diksi yang diasumsikan sebagai representasi religiusitas tersebut memang mendukung makna keseluruhannya sebagai puisi religius berarti jawabannya “ya” (baca: religius). Sebaliknya, jika kehadiran diksi-diksi tersebut ternyata lepas atau tidak memiliki korelasi positif dengan makna keseluruhannya berarti jawabannya “tidak” (baca: sekadar tempelan alias artifisial). Akan tetapi, saya pun sangat menyadari bahwa proses pelacakan semacam itu tentu membutuhkan waktu yang relatif panjang. Lagi pula, dalam tulisan sesingkat ini tentu saja kurang memungkinkan untuk menyaji-uraikannya secara lengkap.

***

Buku bertajuk Salawat Laut ini berisi 60 puisi yang ditulis Ariffin sepanjang rentang waktu 18 tahunan (1994-2012). Berdasarkan pembacaan ekstensif atas judul-judul yang digunakan penyair, dari 60 puisinya di buku ini setidaknya ada 13 puisi yang judul-judulnya mengandung atau mengisyaratkan diksi religius. Judul-judul tersebut mencakup “Lagu Masjid”, “Kasidah Satu Syawal”, “Aku Melihat Masjid Berangkat Tua”, “Air Wudhu Sebuah Kota”, “Buku Harian Adam dan Hawa”, “Di Depan Kiblat”, “Bahasa Sebuah Masjid”, “Puisi Kematian”, “Salawat Laut”, “Telah Kubangun Masjid”, “Balada Beduk”, “Membaca Ayat-ayat”, dan “Seorang Lelaki Mencari Tuhan” (catatan: diksi-diksi yang dipandang bernilai religius dalam judul-judul tersebut ditunjukkan oleh kata-kata yang sengaja saya tulis italik).
Berdasarkan hasil pelacakan awal terhadap judul-judul puisi di atas, secara kuantitatif jelas bahwa jumlah judul-judul yang diasumsikan mengandung diksi religius tersebut masih di bawah 50% dari seluruh judul puisi Ariffin yang tertera di buku ini. Dengan demikian, jika proses pelacakan itu hanya terhenti sampai pada tataran ini, jelas pula kiranya bahwa data tersebut tidak cukup representatif (valid) untuk membenarkan penggunaan frasa Antologi Puisi Religius sebagai subjudul yang dipandang mencerminkan keseluruhan isi sajak-sajaknya di buku ini. Oleh karena itu, proses pelacakan serupa harus kita lanjutkan pada larik-larik setiap (seluruh) puisi yang terhimpun di buku ini. Namun, sekali lagi perlu saya tegaskan, dalam tulisan sesingkat ini memang tidak memungkinkan bagi saya untuk memberikan uraian secara lengkap dengan menurunkan banyak kutipan larik-larik puisi terkait sebagai pendukung (baca: pembuktian) tekstualnya. Untuk itu, dengan mempertimbangkan segi teknis-praktisnya, dalam paparan selanjutnya hanya akan saya bicarakan beberapa puisi yang dianggap mewakili saja. Dan, dengan pertimbangan yang sama, kutipan-kutipan larik puisinya pun hanya akan saya turunkan sepanjang memenuhi aspek relevansi dan keterwakilannya saja.
Sudah sering saya katakan bahwa dalam proses kreatif kepenyairannya, diksi-diksi maupun metafor-metafor yang digunakan seorang penyair dalam sajak-sajaknya biasanya tidak akan beranjak jauh dari hidup keseharian dan atau lingkungan terdekatnya. Selain itu, berbagai khazanah pengetahuan, keyakinan, dan ideologi yang dianutnya seringkali juga muncul dalam sajak-sajaknya karena alam bawah sadarnya memiliki kecenderungan kuat ingin mengungkapkan pengalaman batin yang telah tersedia dalam dirinya. Oleh karena itu, lantaran sang penyair Salawat Laut ini adalah seorang muslim, dapat dipastikan bahwa konsep “religius” yang dimaksudkan dalam subjudul buku puisinya ini mengacu pada religiusitas Islam sehingga diksi-diksi yang digunakannya pun berlandas tumpu pada khazanah pengetahuan Islam—mencakup pengetahuan teologis maupun teleologis.
Membaca seluruh sajak Ariffin dalam buku ini, diksi-diksi yang dipandang bernilai religius itu pada kenyataannya memang berhamburan dan nyaris mendominasi dalam hampir semua puisinya. Kalau tidak kita temukan dalam setiap lariknya, diksi-diksi religius tersebut tentu akan kita jumpai setidaknya dalam salah satu baitnya. Dan, sebagaimana keyakinan saya di atas, konsep religiusitas tersebut memang bersandar pada teologi Islam sehingga proses interpretasinya pun mesti tidak lepas dari konteks keislaman pula. Maka, demi mendukung kehadiran frasa “antologi puisi religius” yang digunakannya sebagai subjudul buku ini, tampaknya Ariffin sendiri memang sengaja menyeleksi dan menghimpun sejumlah puisi yang disadarinya bermuatan religius. Sekadar contoh yang cukup representatif, berikut saya kutipkan tiga bait dari tiga puisinya.

Laut sebelum ombak, kita meniru gerak
Orang-orang pun penuh suara dalam waktu sesak
mencari air peradaban meditasi
yang diminum sehabis hati berdzikir
(Baik kedua sajak “Laut Sebelum Ombak”)
….

Pintu-pintu masjid mencatat nama-nama
amal kebajikan dalam hatimu
sebelum ombak bertemu badai
di batas waktu
(Bait pertama sajak “Mencatat Nama-nama”).
….

Aku ingin berbaring di antara do’a-do’a
Yang kau kirimkan dari masjid dalam hatimu
Ingin bermimpi tentang kehidupan yang diridhai-Nya
(Bait pertama sajak “Aku Ingin Barbaring”).

Kalau saja ketiga puisi di atas hanya kita baca judul-judulnya, jelas kiranya bahwa ketiga judul tersebut sama sekali tidak mengandung kata-kata khusus yang mengindikasikan bahwa sajak-sajak di atas bernilai religius (Islam). Namun demikian, dalam ketiga bait puisi yang dikutipkan di atas semuanya mengandung diksi religius (antara lain diwakili oleh kata-kata: berdzikir, masjid, amal, kebajikan, doa-doa, dan diridhai-Nya). Bahkan, dalam beberapa sajaknya yang lain, sang penyair juga sering menggunakan kata ganti (pronomina persona) “-Nya” atau “-Mu” yang huruf pertamanya sengaja ditulis kapital.
Secara semantis, khasnya berdasarkan konversi bahasa Indonesia, penulisan pronomina persona semacam itu pada umumnya dimaksudkan untuk mengacu pada makna “Tuhan” sebagai Zat Maha Pencipta. Padahal, jika kita bertitik tolak dari konvensi sastra, tanpa harus dituliskan dengan huruf kapital pun kata-kata ganti tersebut bisa saja ditafsirkan dengan makna yang sama (baca: merujuk pada Zat Ilahi). Selain itu, dalam banyak puisinya di buku ini sang penyair seringkali juga menyisipkan diksi-diksi yang khas berkonotasi religius (Islam)—antara lain: Allah, Nabi, wali, sembahyang, tasbih, takbir, akhlak, asma, alif, ayat, firman, rahmat, kasidah, dan seterusnya.
Akan tetapi, tentu saja tidak semua puisinya di buku ini selalu memperlihatkan muatan religius melalui penggunaan diksi-diksinya yang memang khas religius Islam. Bahkan, jika kita tetap berpegang pada diksi-diksinya, beberapa puisi di antaranya secara indeksikal justru tidak mencerminkan sebagai karya-karya yang bermuatan religius—khasnya dalam konteks keislaman. Sekadar satu contoh lagi, dari 60 puisinya di buku ini, ada satu puisinya yang paling pendek dan terkesan salah kamar. Puisi tersebut berjudul “Sajak Dunia” yang isinya hanya terdiri dari dua larik singkat pula: Dunia hidup mewah/ Hidup manusia pun pecah. Persoalannya, apakah puisi ini juga dapat dikategorikan sebagai puisi religius? Begitupun, misalnya, sajaknya yang akan dinukilkan berikut ini.

SUNGAI DALAM DIRI

aku melihat sungai-sungai dalam diriku
berkilauan mengikuti irama perahu
matahari berzikir dalam arusnya
memberi cahaya pada ruang di mana kita
pernah bersuara: berkabar tentang
sebuah waktu yang menulis
riwayat batu-batu

Kembali pada pertanyaan di atas, apakah dengan hanya didasarkan pada satu pilihan kata “berzikir” sebagai ciri indeksikalnya lantas puisi tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai puisi religius (Islam), padahal kata-kata lainnya justru menunjukkan makna generiknya? Dalam konteks semisal ini, kiranya terlalu dini bagi kita untuk dapat menyimpulkannya secara absolut sebagai puisi yang tidak bermuatan religius. Sebaliknya, kita pun tidak boleh terlalu buru-buru untuk menegasikan kemungkinannya sebagai karya religius. Sebab, pada kenyataannya, makna konseptual “religiusitas” juga tidaklah sesempit itu. Jadi, dengan kata lain, istilah “religius” sebenarnya tidak sama persis—bahkan tidak identik—dengan “agama” dalam pengertian umum.
Sebagaimana dijelaskan Y.B. Mangunwijaya dalam kitab bertajuk Sastra dan Religiositas (1992: 11-12), istilah “agama” lebih merujuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Gesellschaft). Sementara, konsep “religiusitas” lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit-banyak misteri bagi orang lain karena manapaskan intimitas jiwa seseorang. Religiusitas itu lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang cirinya lebih intim—dan karenanya ia mengatasi atau lebih dalam daripada agama yang tampak, formal, dan resmi. Atau, menurut keterangan dalam The World Book Dictionary (1980: 1766), istilah religiousity secara ringkas dapat diartikan sebagai religious feeling or sentiment (perasaan keagamaan).
Alhasil, jika kita bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka muatan nilai-nilai religius (religiousity) itu merupakan sebuah keniscayaan konseptual dalam semua karya sastra. Apalagi kalau kita percaya pada pernyataan hitam-putih Mangunwijaya (1992: 11) bahwa “pada awal mula segala sastra adalah religius”, tentu dengan serta-merta dapat dipastikan bahwa seluruh sajak Ariffin yang terhimpun dalam antologi Salawat Laut ini adalah karya-karya bernilai religius—baik yang secara eksplisit ditunjukkan oleh kehadiran diksi-diksinya yang khas religius Islam maupun yang hanya secara implisit kita temukan melalui interpretasi atas metafor-metafornya yang berserakan di halaman-halaman buku ini. Jadi, andaipun sang penyair tidak mengungkapkan perasaan keagamaannya dengan kata-kata semisal sembahyang, tasbih, takbir, asma, ayat, firman, atau rahmat, simpulan bahwa seluruh sajaknya dalam antologi ini merupakan karya-karya yang bernilai religius adalah sesuatu yang niscaya kebenarannya. Lebih-lebih lagi jika dalam bait-bait sajaknya dikuatkan oleh kehadiran diksi-diksi spesifik yang secara indeksikal memang bertautan dengan makna religius itu sendiri—sebagaimana jelas dapat kita tangkap melalui empat larik pembuka puisi “Salawat Laut” yang saya nukilkan berikut ini.

Kubaca salawat laut, ayat-ayat air dan kabut
Hatiku jadi perahu dalam seribu tahajjut
Jadi ruang yang mengimankan wajah-wajah waktu
Jadi waktu yang memuarakan batu-batu.

Maka, meskipun secara pribadi saya tak begitu menyukainya, benarlah bahwa buku Salawat Laut ini memang sebuah “antologi puisi religius” sebagaimana yang diinginkan sang penyair dalam subjudul yang digunakannya. Dengan demikian, digiring maupun tidak, ketika proses pembacaan sudah sampai pada level kedua tentunya kita pun akan segera bersepakat dengan kehendak Ariffin, lalu diam-diam mengatakan, “Anda memang benar, Tuan Penyair!”

***

Membaca jejak kepenyairan Ariffin, satu hal lagi yang ingin saya kemukakan sebagai catatan motivasional bagi diri saya sendiri maupun bagi para penyair lainnya, dan terutama akan sangat mengena bagi para penyair muda. Untuk itu, izinkan saya mengutipkan paragraf pembuka dari “Sekapur Sirih” sang penyair yang tertera di halaman awal buku ini.
Di tengah keterbatasan karena gangguan penglihatan yang kompleks menjalani profesi di dunia kesusastraan, sebagai penulis puisi bagi saya bukanlah hal mudah. Tetapi dengan komitmen kuat untuk mengabdikan hidup di dunia yang indah itu sebagai wujud kesyukuran atas kecerdasan linguistik/bakat yang telah diberikan Allah SWT menjadi semacam api spirit yang terus menyala dalam jiwa yang membuat tetap berkarya untuk ikut membangun peradaban bangsa melalui sastra.
Demikianlah Ariffin, sang penyair liris yang kuat ini. Dengan masa kepenyairannya yang kini sudah mencapai 30 tahunan, ia bukan saja telah berhasil menunjukkan ketabahan dan keuletannya dalam menjalani “profesi langka” ini di tengah keterbatasan kondisi fisiknya, melainkan juga telah membuktikan produktivitas dan kreativitas dalam berkarya. Dedikasi dan prestasinya sebagai penyair sudah sepatutnya menjadi teladan bagi para penyair pemula, juga akan menjadi kenangan terindah bagi kita semua.
Sebagai penyair yang setia pada dunianya, sajak-sajak yang lahir dari tangan Ariffin memang telah menunjukkan kematangan dalam olah cipta, bahkan telah memperlihatkan personalitas dalam gaya pengungkapannya. Dan, sebagai pembaca yang sudah relatif lama mengenal sosok kepenyairannya, seringkali saya bisa mengenali sajak-sajak Ariffin cukup dengan membaca judul dan satu larik pembukanya. Sebab, dalam tradisi perpuisian Ariffin, larik-larik pertama kebanyakan sajaknya hanya merupakan pengulangan penuh maupun bentuk pengembangan dari judul yang digunakannya. Atau, bisa jadi melalui jalan pintas (semacam teknik copy-paste) ia membuat judul-judul puisinya hanya dengan mengadopsi penuh maupun mengambil sebagian dari larik-larik pembuka sajak-sajaknya.
Dari 60 puisinya dalam Salawat Laut ini, misalnya, tak kurang dari 35 puisi yang menunjukkan gejala (tradisi) tersebut. Sekadar contoh, larik pertama sajak bertajuk “Dalam Wajah yang Mencari” berbunyi: Dalam wajah yang mencari; larik pertama sajak “Dalam Irama Suara Hati” berbunyi: dalam irama suara hati; larik pertama sajak “Aku Melihat Masjid Berangkat Tua” berbunyi: Aku melihat masjid berangkat tua; larik pertama sajak “Sungai-sungai Mengalir” berbunyi: Sungai-sungai mengalir ke udara; larik pertama sajak “Tengoklah ke Bawah” berbunyi: Tengoklah ke bawah kakimu; dan seterusnya. Demikianlah tradisi perpuisian Ariffin, sang penyair yang sudah punya karakter ini. Saya banyak belajar darinya, tetapi saya pun sadar tak akan pernah mungkin menyamainya. Dan, karena pada dasarnya kita diciptakan berbeda, saya pun kemudian menempuh jalan sendiri untuk mencaritemukan watak kepenyairan saya sendiri—kalau itu memang ada.

Pelaihari, 8 September 2016

Sumber:
SKH Media Kalimantan, 3-5 Oktober 2016
https://web.facebook.com/djamalts/posts/10205488590733415

0 komentar: