Esai Jamal T. Suryanata: Menulis Sastra Banjar: Sekadar Upaya Berbagi Pengalaman

09.15 Zian 0 Comments

/ 1 /
PADA tahun 1970-an, Goenawan Mohamad menerbitkan kumpulan esai pertamanya di bawah tajuk Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1971).[1] Pada bagian awal esai panjang yang sekaligus dijadikan judul bukunya tersebut lebih kurang berisi atau bercerita tentang petualangan pribadinya sebagai seorang penyair muda Indonesia yang tak punya akar tradisi, kecuali sekadar mewarisi ”kesusastraan Chairil Anwar” atau sastra Indonesia modern pada umumnya. Menurut penyair yang juga esais andal ini, seorang penyair Indonesia pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya ketika ia sampai pada posisi yang sadar bahwa ia adalah seorang penyair. Hal itulah tampaknya yang terbetik dalam pengakuannya, ”Di belakang puisi yang dituliskannya, tidak ada suatu perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk menopangnya.”
Cerita dan pengakuan Goenawan Mohamad di atas, saya kira, telah menjadi cerita dan pengakuan kolektif hampir semua penyair atau sastrawan Indonesia modern ketika mula pertama bersentuhan dengan dunia penulisan kreatif. Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-20 yang lalu, para pengarang Indonesia adalah generasi yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi sastra Chairil Anwar oleh karena tradisi sastra itulah yang mereka kenal dengan baik sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, hingga sekarang —ketika sejarah peradaban manusia Indonesia telah memasuki abad ke-21 atau dikenal pula dengan sebutan milenium ketiga— anak-anak sekolah dasar maupun sekolah lanjutan agaknya masih lebih akrab dengan sajak ”Aku”-nya Chairil Anwar yang sangat populer itu ketimbang syair-syair dan hikayat-hikayat klasik yang sesungguhnya begitu kaya di daerahnya masing-masing. Maka, berangkat dari tradisi semacam itulah para pengarang Indonesia menulis puisi, cerpen, novelet, novel, atau drama hingga kemudian melahirkan apa yang kini —dalam perspektif tertentu— disebut ”sastra urban”.

Pada masa-masa awal kiprah kepengarangannya, sungguh tidak ada pilihan bagi kebanyakan pengarang muda Indonesia yang lahir selepas masa Chairil Anwar kecuali harus menelan tradisi yang telah mapan itu. Kalaupun tradisi sastra Indonesia modern itu diperlebar, maka yang muncul kemudian adalah bayang-bayang estetika kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Abdul hadi WM, hingga Afrizal Malna. Nyaris tak ada tempat bagi tradisi lokal, khazanah seni-budaya klasik yang demikian melimpah itu. Jadi, dilihat dari segi tertentu, sastra Indonesia modern adalah sastra yang telah tercerabut dari akar tradisinya sendiri. Namun, dalam kondisi semacam ini, saya pun tidak pernah tahu apakah gejala tersebut merupakan sesuatu yang perlu disesali ataukah justru harus disyukuri.

/ 2 /
Andaikan sekarang ini saya sudah berhak untuk disebut ”penyair”, maka saya sendiri adalah salah seorang dari sekian ratus penyair Indonesia yang oleh Goenawan Mohamad pernah disebut sebagai ”Si Malin Kundang” itu. Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, sejak mulai pandai membaca serta-merta saya telah diasuh dan ditimang oleh tradisi sastra Indonesia modern. Ketika saya memasuki sekolah lanjutan pertama, saya telah hafal dengan baik larik demi larik sajak ”Aku” karya Chairil Anwar yang memang demikian masyhur itu. Sebab, di samping karena sajak tersebut hampir selalu dikutip di buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia, juga kerapkali dijadikan teks puisi wajib dalam berbagai even lomba baca puisi ataupun deklamasi. Dan, sebagaimana telah kita maklumi, sudah bukan rahasia lagi bahwa salah satu ketimpangan pembelajaran sastra di tanah air adalah tidak memberi tempat yang selayaknya bagi pembinaan dan pengembangan sastra daerah. Bukankah jarang sekali kita temukan ada sekolah yang mau mentradisikan lomba membaca syair atau berbalas pantun, misalnya?
Maka, bertolak dari pengalaman sebagai si Malin Kundang itulah kemudian saya mulai memasuki dunia penulisan kreatif sastra sejak kira-kira akhir dekade 80-an dan merasa kian mantap sebagai penulis sastra Indonesia sejak awal 90-an. Sampai akhir dekade 90-an dan mulai memasuki tahun 2000-an dalam karier kepengarangan saya tak pernah terbetik sedikit pun dalam pikiran saya tentang akar tradisi sendiri. Saya tak pernah merasa gelisah mengapa selama puluhan tahun itu tidak pernah punya keinginan cukup kuat untuk mengangkat lokalitas Banjar atau Dayak Meratus sebagai sumber inspirasi (entah mewujud dalam tema, latar, penokohan, diksi, atau apa pun) dalam penulisan puisi maupun fiksi. Bahkan, saya justru semakin jauh meninggalkan tradisi lokal tersebut yang sesungguhnya pernah mengasuh dan membesarkan saya ketika masih kanak-kanak dulu. Baru menjelang akhir 2003, setelah selama dua bulan lebih saya suntuk bergulat secara sangat intens dengan lima puluhan karya cerpen Banjar periode 1980—2000 (yang berhasil saya temukan) untuk kepentingan penelitian akademis dalam rangka merampungkan studi di Program Pascasarjana (S-2) Unlam Banjarmasin, kendati sungguh terlambat, agaknya sebuah kesadaran baru mulai tumbuh —sebuah kesadaran kultural yang memang sangat sulit untuk ditumbuhkembangkan.
Memang, kesuntukan membaca hampir semua cerpen Banjar (berikut puluhan literatur pendukungnya) yang ada selama kurun waktu tersebut (sebagai konsekuensi dan ”kewajiban” tak langsung dari tujuan akademis) pada mulanya saya nisbahkan sekadar untuk menghasilkan sebuah laporan hasil penelitian berupa tesis dengan judul ”Cerpen Banjar 1980—2000: Tinjauan Struktur, Isi, dan Konteks Sosialnya” (tesis ini telah saya pertahankan di hadapan Dewan Penguji pada 25 Oktober 2003). Akan tetapi, proses pembacaan saya ternyata tidak terhenti sampai di situ karena hasil pembacaan itu justru terus berproses setelah saya rasakan begitu banyak buah ranum pengetahuan yang dapat saya petik perihal cerpen Banjar dan tradisi sastra Banjar pada umumnya.
Bahkan, buah ranum itu kemudian semakin mematang dalam diri saya dan menjelmakan tunas-tunas baru dalam wujud potensi penulisan kreatif sastra Banjar, penulisan genre cerpen pada khususnya. Hasil pergulatan saya dengan lima puluhan cerpen Banjar selama sekitar dua bulanan itulah yang kemudian melahirkan cerpen bertajuk ”Julak Ahim” sebagai karya pertama saya dalam bahasa Banjar —istilah ”cerpen” saya ganti dengan kisdap (bahasa Banjar) sebagai akronim dari kisah handap yang merupakan padanan kata ”cerita pendek” (short story).[2] Selanjutnya, buah perdana yang telah berhasil saya petik itu seakan menjadi pemantik proses kreatif saya selanjutnya sehingga dalam kurun waktu hanya sekitar satu tahun (antara September 2003 sampai dengan Agustus 2004) berlahiranlah karya-karya susulan yang (sepuluh kisdap di antaranya) kemudian diantologikan dan diterbitkan dalam sebuah buku bertajuk Galuh: Sakindit Kisdap Banjar (Banjarmasin: Radar Banjarmasin Press, 2005). Bahkan, hingga risalah ini selesai saya tulis (April 2015), di luar buku Galuh tersebut saya telah berhasil menulis tujuh cerpen lagi yang semuanya sudah dipublikasikan di dua koran lokal (Radar Banjarmasin dan Media Kalimantan) —setahu saya, ini merupakan prestasi (produktivitas) kepenulisan yang belum pernah dicapai oleh para cerpenis Banjar lainnya.
Pergeseran (lebih tepatnya: penemuan) sikap dan kesadaran kembali ke akar tradisi tersebut, sebagaimana saya rasakan, tampaknya dipicu oleh proses pembacaan yang intensif dan bersifat analitis. Saya merasakan tersedianya berbagai fasilitas nonmaterial hingga terasa demikian mudah dalam menulis puluhan cerpen Banjar —yang sebelumnya tidak pernah bisa saya lakukan— justru setelah saya memiliki pemahaman yang relatif memadai mengenai struktur, isi, dan tradisi penulisan cerpen Banjar.
Dari pengalaman tersebut, satu hal yang dapat saya katakan bahwa pemahaman teoretis terhadap tradisi sastra tertentu niscaya akan membuka kemungkinan lebih luas (dan lebih mudah) untuk memasuki dunia penulisan kreatif dalam tradisi sastra bersangkutan. Dengan kata lain, teori itu penting bagi seorang (calon) penulis jika ia ingin menghasilkan karya-karya yang bernilai literer. Oleh karena itu, bertitik tolak dari pengalaman tersebut, sebagai seorang penulis (karya sastra kreatif) saya bukanlah orang yang alergi terhadap teori (sastra). Hal itu pula yang membuat kehadiran buku-buku semacam Fiction Writer’s Workshop (Josip Novakovich), Creative Writing (Naning Pranoto), Mengarang Itu Gampang (Arswendo Atmowiloto), Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen (Jakob Sumardjo), dan beberapa lagi buku lain yang serupa menjadi begitu berarti bagi saya.

/ 3 /
Sastra Banjar adalah salah satu ragam sastra daerah yang ada di Indonesia, baik yang sejarahnya telah terhenti hanya sampai pada periode sastra klasiknya saja maupun yang dapat berkembang terus hingga memasuki tradisi sastra modernnya. Dari sekian banyak sastra daerah itu, sastra Banjar beruntung karena hingga kini masih tetap eksis dan bahkan mampu berkembang memasuki tradisi sastra modern (sebagaimana juga terjadi pada tradisi sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali). Kendati, dibandingkan dengan perkembangan sastra Indonesia, rata-rata kondisi sastra daerah itu persis sebagaimana terungkap dalam sebuah pribahasa: seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun enggan.
Sebagai sastra daerah, dalam konsepnya yang luas, hingga sejauh ini saya tetap meyakini dengan sepenuh hati bahwa jikalau orang menyebut ”sastra Banjar” maka secara normatif karya sastra tersebut harus diungkapkan dalam bahasa Banjar, baik dengan media lisan maupun tulisan. Dalam hal ini, tidak peduli apakah sang pengarang menggunakan dialek Banjar Hulu atau Banjar Kuala atau bahasa Banjar transformatif (baca: bahasa Banjar campuran antara kedua dialek besar tersebut), apakah sang pengarang berasal dari etnis dan berdomisili di tanah Banjar sendiri atau bukan, apakah isi karya sastra tersebut secara khas mencerminkan lokalitas kehidupan masyarakat Banjar atau justru bersifat universal, dan apakah secara estetis proses kreatif penulisan karya tersebut berorientasi pada estetika sastra Banjar klasik ataukah ”menyusu” pada tradisi sastra Indonesia modern (yang notabene merupakan hasil adaptasi dari tradisi penulisan sastra Barat modern). Jadi, dalam konteks sastra daerah, faktor penentu identitasnya adalah bahasa yang digunakan —konsep ini harus dibedakan dengan fenomena sastra terjemahan (misalnya terjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Banjar, kendati fenomena ini belum muncul hingga sekarang —minimal pada saat esai ini saya tulis).
Jika dalam proses kreatif saya (sebagai penulis sastra Banjar modern) ternyata lebih banyak menghasilkan genre cerpen ketimbang puisi, hal itu lebih disebabkan oleh faktor ketidakmampuan saya dalam upaya menggali, mengeksplorasi, dan mengaktualisasikan bahasa Banjar ke dalam wujud larik-larik puisi. Namun, jika dikaitkan dengan genre drama, hal ini karena sedari awal kiprah kepengarangan saya memang tidak pernah mencoba menulis naskah drama (bukan dilantarankan oleh faktor kompetensi berbahasa). Akan tetapi, menyangkut faktor lemahnya kompetensi berbahasa saya dalam konteks penulisan puisi agaknya masih perlu dipersoalkan lebih jauh. Sebab, sebagai rujukan bandingan, para penulis fiksi (berbahasa) Indonesia pada umumnya juga mampu menulis puisi (berbahasa) Indonesia dengan baik.
Persoalannya, secara pribadi saya termasuk pengarang (sastra Banjar) yang cukup ketat menjaga orisinalitas bahasa Banjar yang saya gunakan dalam karya-karya saya. Sungguh, saya tidak merasa nyaman ketika membaca sejumlah karya puisi Banjar modern yang unsur-unsur bahasa Banjarnya lebih banyak merupakan hasil adopsi dan atau adaptasi dari bahasa Indonesia (maksud saya, bukan dalam konteks penggunaan kata-kata ”asing” yang lazim ditulis miring atau cetak italik). Oleh karena itu, kalau pada saat membaca karya orang lain saja saya sudah merasakan suasana ketidaknyamanan linguistis, maka dengan penuh kesadaran saya akan berusaha menghindari penggunaan diksi-diksi yang sangat berbau Indonesia melalui proses pembanjaran semacam itu sejauh yang dapat saya lakukan (kecuali jika suatu kata benar-benar dipandang perlu kehadirannya dan tidak tersedia padanannya dalam khazanah bahasa Banjar sendiri).
Kiranya, perkara itulah yang selama ini senantiasa menjadi terungku kebebasan kreatif saya dalam menulis puisi Banjar modern. Dan, sebagai konsekuensi logisnya, pada akhirnya saya pun benar-benar tidak produktif dalam penulisan puisi berbahasa Banjar (kondisi seperti ini sungguh berbeda ”rasanya” ketika saya menulis puisi dalam bahasa Indonesia). Namun, di antara karya saya yang sangat sedikit itu, setidaknya saya telah berhasil menulis puisi berikut ini.
MARISTA
nurjanah ngaranku, balu
balu kambang jar urang manyambat diaku
lawasai hudah, bangsa patang puluh hudah umurku
matan lakiku hilang di hutan
antah ditimbak walanda atawa garumbulan
atawa dikarakah bubuhan satua biruang
tagal, cakada nangitu pang nang maristaakan diaku
muha paninian nang musti taganang
sambil sapah-kucur mahibak di panginangan
papak papadah sidin gasan anak pacucuan
galuh, jar sidin bahari mamadahi diaku:
lamun handak disayangi urang
babisa-bisa mambawa diri
adat nang baik jangan dibuang
kada tatinggal sumbahyang mangaji
lamun ikam kada manuruti
kaya iwak nang kakaringan
baurut dada lacit ka mati
lantaran awak bapanyasalan
han, umai kabubungasan papadah nini
asa bakiwit talinga mandangarakan
asa manggatar dada maaritakan
tagal pulang, kada sabataan urang pang
nang kawa batalimpuh manuruti
tamasuk jua diaku, nurjanah
si balu kambang nang tarus diwada urang
umai, marista bangat pangrasa hati
nang kaya ari lagi muru batumat hujan
umai, kadap mata alahai kadapnya ari
tatingau nasip nang lajang di hadapan

/ 4 /
Ketika saya mengikuti beberapa diskusi dalam rangkaian kegiatan bertajuk Dialog Borneo-Kalimantan XI di Samarinda (Kalimantan Timur) pada 13—15 Juli 2011 yang lalu, ada dua hal penting yang patut saya catat terkait dengan persoalan sastra (berbahasa) Banjar. Pertama, ada seorang penanggap diskusi yang dengan entengnya mengatakan, ”Kalau selama ini menulis karya sastra langsung dalam bahasa Banjar dianggap sulit dilakukan oleh para pengarang, ya tulis saja dulu dalam bahasa Indonesia, baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Banjar.” Kedua, seorang penanggap lain juga dengan mudahnya menyatakan (lebih tepatnya: menuding), ”Faktor penghambat tidak berkembangnya sastra Banjar selama ini karena bahasa Banjar sendiri cenderung tertutup, statis, dan jalan di tempat. Padahal, kalau saja bahasa Banjar mau terbuka terhadap perkembangan, misalnya dengan menyerap kosakata Indonesia, maka sastra Banjar pun tentu akan dapat berkembang lebih maju.”
Jika kita cermati, kedua pernyataan di atas pada esensinya sedang berbicara tentang persoalan yang sama, yakni faktor bahasa. Untuk pernyataan pertama, saya kira, sang penanggap (yang kebetulan memang bukan orang Banjar) tersebut agaknya terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, kita tahu, setiap bahasa (lebih-lebih bahasa daerah) tentu mengandung nilai-nilai dan kode budaya tertentu yang mencerminkan kekhasan realitas sosiokultural masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Banjar, misalnya, cukup banyak kosakata yang tidak bisa diterjemahkan secara tepat ke dalam bahasa Indonesia. Apalagi jika persoalannya sudah menyangkut frase idiomatik, hasil terjemahan kata per kata tentu akan dapat menghilangkan nilai rasa dan kode budaya yang terkandung di dalamnya. Lagi pula, pola pikir bahasa Banjar jelas tidak sama dengan pola pikir bahasa Indonesia. Oleh karena itu, proses kreatif penulisan sastra Banjar yang dilakukan melalui tahapan naskah berbahasa Indonesia dahulu sebelum ditulis kembali (ditransliterasikan) ke dalam bahasa Banjar pada dasarnya hanya merupakan karya terjemahan. Dan, kita tahu, setiap karya terjemahan tentu tidak sama dengan karya aslinya. Maka, untuk lebih jelasnya, berikut ini akan saya kutipkan beberapa larik dari dua puisi —yang konon berbahasa Banjar— dalam buku bertajuk Garunum: Antulugi Puisi Basa Banjar (2005):
(1)
adalah langit darah badarah
kada habishabis jadi laut babaharikala
sudah daham bapaus di atasnya rajah
parahu Nuhmu kada sing singgahsinggah
ka darmaga darahku
Hu Allah darahku larut dalam darahmu
kutubku tinggalam dalam kutubmu
(2)
Ding,
ayu pang batingadah ka langit luas
lihat bintang di subalah Timur
cahayanya mamancar
siramiam galap gulita nangini
bawa aku ka midan cinta
Kutipan (1) adalah tujuh larik pembuka sajak ”Darah” karya Arsyad Indradi, sedangkan kutipan (2) adalah salah satu bait dari sebuah sajak panjang bertajuk ”Surat Hagan Kakasih” karya Ersis Warmansyah Abbas. Jika kita cermati, beberapa kosakata dalam kedua penggalan sajak di atas bukan saja menunjukkan betapa kuatnya rasa keindonesiaan di dalamnya, melainkan juga karena banyak kosakata yang digunakan sang penyair dalam kedua sajak tersebut memang berasal dari khazanah bahasa Indonesia (baik yang diadopsi secara penuh maupun dengan cara adaptasi atau melalui proses morfologis ”pembanjaran”). Perhatikan kata-kata seperti adalah, parahu (‘perahu’), darmaga (‘dermaga’), darahmu (‘darahmu’), kutubmu (‘kutubmu’), galap gulita (‘gelap gulita’), dan midan (‘medan’), semuanya menunjukkan gejala pembanjaran bahasa Indonesia yang terlampau longgar. Saya katakan terlampau longgar karena sesungguhnya pemakaian sederet diksi dalam larik-larik sajak di atas masih dapat diperbaiki jika penulisnya memang punya itikat untuk menjaga ”kemurnian” bahasa Banjar.
Kalau kita sedia membuka Kamus Banjar-Indonesia (1997) yang disusun oleh Abdul Djebar Hapip, maka kita tidak akan menemukan kata-kata tersebut (kecuali kata darah) —kendati harus kita akui bahwa kamus ini memang bukanlah sebuah kamus yang sempurna (lengkap).[3] Dalam struktur bahasa Banjar, kita juga tidak akan pernah menemukan sebuah kalimat yang didahului dengan kata adalah (dengan fungsi dan makna seperti dalam larik sajak di atas) karena kata tersebut sesungguhnya tidak berasal dari leksikon bahasa Banjar. Kalaupun kita temukan kalimat seperti ”Adalah ikam baisi tukul?” (‘Adakah kamu mempunyai palu?’), maka kata adalah dalam kalimat ini sebenarnya merupakan kata bentukan dari konstituen ada (verba) dan –lah (partikel) yang maknanya setara dengan kata tanya ‘adakah’ atau ‘apakah’ dalam bahasa Indonesia.
Demikian pula, kata darah memang terdapat dalam kamus bahasa Banjar, tetapi kata ini tidak akan pernah bergandengan dengan konstituen –mu sebagai bentuk klitika dari ”kamu” (pronomina persona kedua yang menyatakan milik dalam leksikon bahasa Indonesia). Ringkas kata, sejauh yang dapat saya tangkap, hampir semua puisi yang terdapat dalam buku bertajuk Garunum ini tampaknya memang menunjukkan gejala ”sastra terjemahan” —dalam arti, karya-karya tersebut pada mulanya ditulis dalam bahasa Indonesia, baik menulis dalam arti sesungguhnya (real writing) maupun sekadar ”menulis dalam kepala” (mind mapping) yang notabene dengan pola pikir bahasa Indonesia, kemudian ditulis kembali (melalui proses penerjemahan) ke dalam bahasa Banjar. Hasilnya, sebagaimana dapat kita kenali dan rasakan, isi sajak-sajak tersebut rata-rata memang tidak merepresentasikan nilai-nilai sosiokultural Banjar.
Masalah di atas segera mengingatkan saya pada dua buah ”cerpen Banjar” karya Hijaz Yamani, masing-masing berjudul “Mangkusari” dan “Luka nang Kada sing Baikan”. Sebagaimana kasus kedua kutipan sajak di atas, kedua cerpen ini pun sama sekali tidak mencerminkan warna lokal Banjar sebagai sandaran ideal proses kreatif penulisan karya-karya sastra Banjar. Menurut pengakuan M.S. Sailillah, lantaran desakan waktu untuk memenuhi permintaan pihak Panitia Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar III yang diselenggarakan oleh Radio Nirwana Banjarmasin (1992), konon kedua cerpen Hijaz Yamani tersebut sesungguhnya merupakan hasil terjemahan harfiah (yang dikerjakan oleh M.S. Sailillah sendiri) dari cerpen berbahasa Indonesia yang masing-masing bertajuk ”Mangkusari” (Roman, No. 10 Th. IV, Oktober 1957) dan ”Luka yang Tak Sembuh” (Minggu Pagi, No. 32 Th. XI, 1958).[4] Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan jika dalam cerpen ini yang lebih menonjol justru sifat dan corak keindonesiaannya. Sementara, kekuatan lokalitas dan nilai-nilai sosiokultural Banjarnya sama sekali tidak kelihatan sebagaimana layaknya (baca: idealnya) sebuah karya sastra daerah (Banjar).
Kasus serupa juga terjadi pada ”cerpen (berbahasa) Banjar” bertajuk ”Kebebasan” karya Noor Aini Cahya Khairani. Sama dengan kedua cerpen Hijaz Yamani di atas, dalam cerpen yang dapat dipastikan juga merupakan karya terjemahan (pembanjaran) dari cerpen berbahasa Indonesia ini sedikit pun tidak merepresentasikan kekhasannya sebagai karya sastra Banjar. Bahkan, pesan moral yang terkandung di dalamnya jauh lebih ”liar” dibandingkan dengan cerpen Hijaz Yamani yang masih terasa akar keindonesiaannya itu. Dalam cerpen ini, sang pengarang justru mendedahkan pemikiran filsafat Barat; khususnya gagasan tentang filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre: Hell is other people ‘Neraka adalah orang lain’. Untuk lebih jelasnya, mari kita cermati kalimat-kalimat yang digunakan pengarang dalam kutipan berikut.
Badasarakan “kebebasan” lawan “urang lain nangitu naraka” pulang, limbah kaluar panjara inya lawan amangnya —sasudah nangitu— mamparkosa, marampuk, lawan mambunuh sabuah kaluarga urang sugih. Lalu, badasarakan nangitu lagi, inya “mahabisakan” amangnya sabalum kulihan marampuk nangitu dibagi. Tagal, balum sampat marasai sabarataan kulihan rampukan, inya tatangkap. Limbah nangitu dijulung ka Pulau Karang nangini. Pulau nang dikurinahakan gasan urang hukuman kalas barat.
(Berdasarkan ”kebebasan” dan ”orang lain itu neraka” pula, setelah keluar penjara ia dan pamannya —sesudah itu— memperkosa, merampok, dan membunuh sebuah keluarga orang kaya. Lalu, berdasarkan itu lagi, ia ”menghabisi” pamannya sebelum hasil merampok itu dibagi. Tapi, belum sempat merasakan semua hasil rampokan, ia tertangkap. Setelah itu diserahkan ke Pulau Karang ini. Pulau yang dikhususkan untuk orang hukuman kelas berat.)
Jika seorang penutur asli (native speaker) bahasa Banjar membaca kutipan cerpen Noor Aini Cahya Khairani di atas, tentu ia dengan mudah dapat mengenali bahwa sejumlah kosakata yang digunakan pengarangnya tidak lebih dari kosakata Indonesia yang telah dibanjarkan dengan cara sekadar melakukan penyesuaian fonologis maupun morfologis. Hal ini jelas terlihat pada kata-kata seperti badasarakan (yang dibanjarkan dari kata bahasa Indonesia ‘berdasarkan’), sasudah (dibanjarkan dari ‘sesudah’), mamparkusa (dibanjarkan dari ‘memperkosa’), sabuah (dibanjarkan dari ‘sebuah’), kaluarga (dibanjarkan dari ‘keluarga’), mahabisakan (dibanjarkan secara salah kaprah dari ‘menghabisi’), atau sabalum (dibanjarkan dari ‘sebelum’). Padahal, jika sang pengarang ingin bersikap lebih cermat dalam berbahasa Banjar, kata-kata tersebut sesungguhnya masih dapat diperbaiki dengan kosakata yang lebih ”Banjar” atau dengan cara menempatkan kata lain yang bersinonim sebagai penggantinya.
Kemudian, menyangkut pernyataan kedua, pada dasarnya secara pribadi saya sangat bersetuju. Bahkan, gagasan ihwal upaya pengembangan atau modernisasi bahasa Banjar melalui proses penyerapan kosakata ”asing” (baca: bahasa apa pun selain bahasa Banjar) pernah saya tawarkan dalam suatu seminar bertema ”Bahasa Banjar sebagai Mulatan Lokal” di FKIP Unlam Banjarmasin pada penghujung dekade 90-an. Dengan kata lain, dalam rangka pelestarian dan pengembangannya ke depan, bahasa Banjar memang harus terbuka terhadap unsur-unsur ”asing” (baik berasal dari khazanah bahasa Indonesia, bahasa daerah lainnya, maupun bahasa asing dalam arti sesungguhnya —bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Arab, dan lain-lain ). Akan tetapi, proses penyerapan bahasa lain ke dalam bahasa Banjar tentunya harus dilakukan secara kritis, selektif, dan penuh kehati-hatian agar tujuan mulia tersebut tidak justru merugikan perkembangan bahasa Banjar sendiri. Dalam hal ini, prinsip-prinsip penyerapan sebagaimana yang berlaku dalam politik bahasa nasional benar-benar harus diperhatikan. Untuk itu, setidaknya ada tiga prinsip dasar yang harus diindahkan.
Pertama, kata-kata serapan tersebut memang belum ada padanannya dalam bahasa Banjar dan kehadirannya juga benar-benar dibutuhkan dalam rangka pemerkayaan dan pengembangan bahasa (juga sastra dan budaya) Banjar ke depan. Misalnya, kata-kata seperti ‘pintu’, ‘mobil’, ‘orang’, ‘sering’, dan ‘pondok’ (dalam bahasa Indonesia) tidak perlu diserap karena dalam leksikon bahasa Banjar sudah ada padanannya yang dari segi kualitas maupun kuantitasnya tetap setara, yaitu: lawang, mutur, urang, rancak, dan lampau. Demikian juga istilah ”cerita pendek” atau ”cerpen” (dari leksikon bahasa Indonesia) tidak perlu diadopsi secara penuh karena dalam khazanah bahasa Banjar sendiri telah tersedia padanan kata majemuk yang setara, yaitu kisah handap atau disingkat kisdap sebagai bentuk akronimnya. Sebab, jika kata-kata semacam itu tetap diserap juga justru akan berdampak buruk menuju proses penghilangan kosakata asli bahasa Banjar sendiri. Sebaliknya, kata-kata seperti ‘sastra’, ‘puisi’, ‘lukis(-an)’, ‘rakyat’, atau ‘budaya’ sudah seharusnya diserap secara penuh karena kata-kata tersebut memang belum terdapat padanannya yang pas dalam bahasa Banjar.
Kedua, andaipun kata serapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Banjar, tetapi proses penyerapan (dengan cara adopsi maupun adaptasi) tetap dapat dilakukan jika dalam konteks penggunaannya kata serapan tersebut dipandang lebih singkat, lebih praktis, tidak bertele-tele, atau karena alasan lebih merepresentasikan bidang ilmu tertentu. Dalam hal ini, kata-kata seperti ”instan”, ”kritis”, ”kronis”, ”biografi”, ”biologi”, ”fisika”, ”matematika”, dan yang sejenisnya sangat perlu dipertimbangkan penyerapannya guna memperkaya kosakata bahasa Banjar. Sebab, di samping memang belum terdapat padanan kata yang sama ringkasnya dalam bahasa Banjar, jika kata-kata yang sesungguhnya mengandung konsep tertentu itu diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Banjar tentu akan terasa bertele-tele dan sangat tidak praktis digunakan. Sebaliknya, kata-kata seperti intil (‘hampir jatuh’), ganting (”hampir putus”), tiis (”habis sama sekali”), atau manyurapati (‘membersihkan perut ikan atau biji cabe dengan ujung pisau atau sembilu’) harus tetap dipertahankan karena kata-kata tersebut juga merupakan kekayaan budaya yang khas mencerminkan konsep sosiokultural masyarakat Banjar.  
Ketiga, proses penyerapan yang dilakukan hendaknya dapat menyesuaikan atau mengikuti kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku dalam bahasa Banjar sendiri. Misalnya, kata ‘seni’ dan ‘gerilya’ jika diserap ke dalam bahasa Banjar seharusnya menjadi sani dan garilia sehingga bentuk derivatif ‘berkesenian’ dan ‘bergerilya’ akan menjadi bakasanian dan bagarilia. Akan tetapi, untuk kata-kata Indonesia serapan yang tidak berasal dari rumpun bahasa Melayu (misalnya dari bahasa Inggris atau Belanda) seperti ”biologi”, ” ”fisika”, ”matematika”, ”politik”, ”tradisi”, ”traktor”, dan ”swadaya” agaknya masih perlu dirumuskan lagi mengenai pola penyerapannya yang paling tepat. Pola penyerapan yang tersedia adalah dengan cara mengadopsi penuh (sebagaimana adanya) atau dengan proses adaptasi berdasarkan kaidah fonologi dan morfologi bahasa Banjar. Namun demikian, proses pembentukan kata-kata seperti meitihi, menilanjangi, beigut, bekayukut, kebungasan, keuyuhan, atau tekajut dan tejajak (sebagaimana sering kita dengar dalam percakapan anak-anak muda Banjar sekarang) jelas merupakan kata-kata bentukan yang salah kaprah. Sebab, harus kita ingat benar bahwa dalam sistem morfologi bahasa Banjar tidak pernah dikenal adanya bentuk prefiks (awalan) me-, be-, ke-, dan te- (yang benar: ma-, ba-, ka-, dan ta-). Jadi, kata-kata bentukan yang benar (menurut kaidah morfologi bahasa Banjar) untuk sederet kata tersebut adalah maitihi, manilanjangi, baigut, bakayukut, kabungasan, kauyuhan, atau takajut dan tajajak.
Demikianlah ketiga prinsip yang perlu dicermati dan seyogianya diindahkan oleh setiap penulis sastra (berbahasa daerah) Banjar jika ingin bahasa dan sastra Banjar tetap hidup lestari dan memiliki prospek perkembangan yang lebih kondusif di masa-masa mendatang.[5] Selain itu, sebuah karya sastra daerah sudah selayaknya mengusung warna lokalnya masing-masing sehingga ia dapat tampil berbeda dengan karya-karya sastra daerah lainnya atau bahkan dari sastra bangsa lainnya. Kendati sastra Banjar sah-sah saja mengangkat tema-tema umum dan mengusung gagasan-gagasan universal, tetapi di mana letak dan nilai pembedanya dengan karya-karya dari tradisi sastra lainnya (sastra Indonesia pada khususnya) kalau sekadar dicirikan oleh unsur bahasa Banjarnya? Jika karya-karya sastra Banjar sudah tidak memiliki kekhasan warna tempatannya, berarti sastra Banjar sudah tercerabut dari akar tradisinya sendiri. Barangkali, kondisi semacam inilah yang dimaksudkan Goenawan Mohamad dalam kata-kata, ”...tidak ada suatu perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk menopangnya.”

/ 5 /
Sekarang, jika banyak orang (terutama dari kalangan generasi muda) yang mengeluhkan tentang sulitnya membaca karya-karya sastra (berbahasa daerah) Banjar karena sebagian kosakatanya sudah tidak lagi dipahami maknanya, siapa yang salah? Apakah kesalahan itu harus dibebankan kepada para pengarang yang seakan bersikap eksklusif ataukah justru pada diri para pembaca yang tidak mau tahu dengan akar tradisinya sendiri? Haruskah para pengarang sastra Banjar ”melacurkan” idealisme berkeseniannya dengan mengikuti saja selera pasar atau kemauan pembaca?
Saya khawatir, jika para pengarang sastra Banjar sudah melebur sepenuhnya dalam ruang keinginan atau ”horizon harapan” pembaca (meminjam istilah Hans Robert Jauss) yang notabene sudah tercerabut dari akar tradisinya, masa depan sastra Banjar justru akan semakin suram daripada kondisinya sekarang yang sudah terjepit pula. Salah-salah, sastra Banjar yang mengikuti keinginan pembacanya (baca: selera pasar) malah akan kehilangan identitas kebanjarannya. Oleh karena itu, menurut hemat saya, yang perlu dibenahi justru pada unsur pembacanya. Dalam konteks ini, para penulis (sastrawan) tetap memiliki beban kewajiban untuk memberikan pemahaman yang benar kepara para pembaca ”awam” mengenai bahasa Banjar dan membantu mereka agar dapat memahami karya-karya sastra Banjar yang dipandang sulit dipahami karena unsur bahasanya (antara lain melalui forum dialog, diskusi, dan apresiasi sastra). Namun, hal yang lebih penting justru upaya-upaya kondusif untuk membangun budaya baca yang kritis sehingga para pembaca memiliki motivasi sendiri untuk memahami sastra Banjar melalui berbagai cara yang mungkin dapat ditempuhnya (misalnya dengan memanfaatkan kamus dan bantuan narasumber yang benar-benar berkompeten dalam bidang bahasa dan sastra Banjar).
Kemudian, dalam rangka pengembangan sastra Banjar ke depan, kiranya juga perlu dipikirkan strategi penulisan yang lebih kreatif dan inovatif. Kreativitas dan inovasi yang perlu dilakukan para penulis sastra Banjar bukan saja menyangkut aspek pengembangan bahasa (dengan cara-cara yang benar), melainkan juga pada upaya penggalian tema-tema yang lebih orisinal maupun eksplorasi teknik dan gaya penulisannya. Dalam kaitan ini, kita tentu saja dapat belajar dari banyak karya sastra Indonesia maupun sastra dunia kontemporer. Dalam hal upaya pelebaran faset tematis serta teknik dan gaya penulisan, misalnya, secara praktis dapat dipinjam dari pengalaman para pengarang Indonesia maupun mancanegara. Mengapa tidak kita coba menerapkan teknik dan gaya penulisan cerpen yang pernah dilakukan Leo Tolstoy, Anton Chekov, Guy de Maupassant, Maxim Gorky, Lu Xun, Franz Kafka, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kutowijoyo, Korrie Layun Rampan, Seno Gumira Ajidarma, Agus Noor, atau Joni Ariadinata, misalnya? Bukankah gejala intertektualitas sudah merupakan hal yang sangat lumrah dalam dunia penulisan kreatif sastra? Strategi inilah yang saya lakukan sebagai upaya untuk memberikan sentuhan inovatif dalam sejumlah kisdap yang pernah saya tulis.
Namun begitu, satu hal yang harus benar-benar dijaga agar kita jangan sampai terperosok ke dalam lubang hitam bernama plagiatisme, menjadi seorang penjiplak! Sebab, jika seorang penulis sampai melakukan plagiasi (kendati cuma sekali saja), maka tamatlah sudah riwayat kepengarangan yang telah dibangunnya dengan susah-payah selama masa puluhan tahun. Begitulah kiranya. []

Pelaihari, 4 April 2015

CATATAN :
[1] Esai ini juga dimuat dan diterbitkan kembali dalam buku kumpulan esainya yang ketiga, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 55—66.
[2] Cerpen (kisdap) bertajuk “Julak Ahim” (Radar Banjarmasin, 14 September 2003) justru berhasil saya tulis sebelum merampungkan naskah laporan penelitian (tesis) yang saat itu sedang saya garap. Kelahiran cerpen itu sendiri dipicu oleh deadline dari pihak tertentu yang meminta saya agar segera merampungkannya karena akan dijadikan materi lomba bercerita di kalangan siswa SLTP pada pertengahan 2003.
[3] Pada awal tahun 2000-an yang lalu, ketika saya coba menelaah kamus ini seraya membandingkannya dengan kosakata yang saya miliki, saya menemukan hampir 100 kosakata bahasa Banjar yang belum dimasukkan sang penyusun ke dalam kamus tersebut. Beberapa tahun kemudian, setelah saya mendapatkan kertas kerja H. Syamsiar Seman dalam sebuah seminar, ternyata tidak kurang dari 50 kosakata bahasa Banjar lainnya yang juga belum terkodifikasi dalam satu-satunya kamus bahasa Banjar tersebut.
[4] Hal itu diakui pula oleh Hijaz Yamani sendiri di hadapan Y.S. Agus Suseno dan Maman S. Tawie pada tahun 2000 saat mereka berbincang santai selepas mengikuti kegiatan diskusi sastra di Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan (Banjarmasin), kemudian diungkapkan kembali oleh Y.S. Agus Suseno melalui surat pribadinya kepada saya (bertanggal 5 Oktober 2002).
[5] Terkait dengan kaidah penyerapan bahasa “asing” ini, tampaknya “kecelakaan sejarah” telah terjadi dalam perkembangan bahasa Banjar dengan diterbitkannya buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Banjar (Edisi Pertama) oleh Balai Bahasa Banjarmasin (2009) yang hampir sepenuhnya mengacu pada kaidah bahasa Indonesia. Penyusunan buku ini jelas tidak melalui suatu pengkajian yang serius (hal ini dapat dilihat dari minimnya bibliografi yang digunakan sebagai rujukan —dari enam judul buku yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka, hanya tiga buku yang berkaitan langsung dengan bahasa Banjar), apalagi melakukan penelitian lapangan dengan melibatkan para pakar bahasa Banjar. Saya pribadi sangat menyesalkan keberadaan sebuah buku pedoman resmi kebahasaan yang diterbitkan secara prematur ini. Semoga saja masyarakat Banjar tidak banyak yang mengetahuinya dan yang sudah memilikinya tidak pula mau menggunakannya sebagai rujukan berbahasa Banjar.


Sumber:
http://sastra-banjar.blogspot.co.id/2015/04/esai-sastra-banjar-9.html

0 komentar: