Cerpen Raida Fitriani: Kopiah Haji
Seberapa pentingkah sebuah kopiah haji bagi pemakainya? Apakah sebagai identitas seorang lelaki muslim? Apa bedanya dengan kopiah hitam? Mungkin Pak Haji Komar akan bisa menjawabnya.“Bu, saya berangkat ke mushola dulu ya?” pamit pak Haji Komar pada istrinya, Bu Aisyah, saat adzan maghrib tengah berkumandang.
“Iya Pak” singkat sang istri menjawab sekedar tanda bahwa ia mendengar suaminya itu berpamitan.
Jarak antara mushola An Nuur dengan rumah Pak Haji Komar hanya berjarak beberapa meter, ditengah jalan ia bertemu dengan beberapa orang lelaki paruh baya yang juga ingin pergi ke mushola untuk sholat berjamaah. Mereka pun saling menyapa dengan salam dan berjabat tangan sembari sesekali mengobrol sebelum akhirnya sampai di mushola saat muadzin sedang akan bersiap mengumandangkan iqamat.
Sholat mahgrib berjamaah pun berlangsung khusyuk, cukup banyak jamaahnya hari ini. Mushola ini pun bisa penuh hanya pada saat sholat mahgrib dan isya, sedangkan subuh bahkan bisa di hitung dengan jari. Setelah selesai sholat biasanya akan dilanjutkan dengan kultum dari imam. Kali ini yang bertugas sebagai imam adalah sepuh kampung, Haji Marwan. Selesai kultum, jamaah berhamburan, yang muda lebih memilih nongkrong di sekitar mushola sekalian menunggu sholat isya, sebagian ada yang mengaji, sedang yang tua memilih pulang kerumah untuk makan baru nanti kembali lagi ketika adzan isya.
Pak Komar yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu pun ikut pulang kerumah, sesekali ia membenarkan letak sorban syal dan kopiah hajinya. Sejak mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji musim haji kemarin, kopiah hajinya seakan tak pernah lepas melekat dari kepalanya. Bahkan ketika ia sedang tidur pun kopiah itu senantiasa menemani. Pernah istrinya menegur, apalagi jika pas mandi, kopiah itu masih saja di bawa-bawa seperti takut di curi orang saja. Tapi pak Haji Komar punya alasan sendiri untuk itu.
“Bu, kopiah ini belinya di Arab, harganya mahal lagi. Disini mana ada yang jual dengan motif dan jenis begini. Ibu juga tahu sendiri kan kalo Bapak ini sering lupa naruh barang, kalo sampai nih kopiah hilang, Ibu mau balik lagi ke Arab terus belikan kopiah yang beneran mirip sama ini?” katanya di suatu hari saat Bu Aisyah meminta agar kopiah itu di lepas saat tidur. Pun pada saat akan di cuci, Pak Haji Komar lebih suka mencuci kopiahnya sendiri dan menjemurnya terpisah dari yang lain.
“Aduh Pak, di sayang sih ga’ papa, tapi ga’ harus berlebihan begitu kan? Taruh aja kopiahnya di meja samping ranjang, kan ga’ bakal lupa nanti” sahut istrinya masih bersikukuh.
“ Pokoknya tidak! Ibu tahu ga’, kalo sampai kopiah ini hilang, bisa mati saya Bu. Kopiah ini kan sebagai penanda bahwa saya itu sudah jadi seorang haji”
“Ya Allah Pak, masa cuma gara-gara itu sih? Memangnya panggilan Bapak yang sekarang ada embel-embel haji itu belum cukup apa?”
“ Sebutan harus senada dengan aksesoris Bu. Sudahlah, Ibu ga’ usah ikut campur masalah kopiah ini. Bapak bisa urus”
Dan akhirnya Bu Aisyah memilih mengalah sambil mengelus dada. Suaminya masih gila hormat rupanya, padahal sudah diberi kesempatan sama Allah untuk bisa bertamu ke rumah Allah yaitu baitullah. Dia jadi ingat waktu pergi bersama Pak Haji Komar untuk memenuhi sebuah undangan hajatan perkawinan, saat itu ada kenalan mereka yang menyapa
“Assalamualaykum Pak Komar, Bu Aisyah” sapa orang itu
“Waalaykumsalam, eh Ridwan ya” jawab Bu Aisyah. Tapi ia heran kenapa suaminya tidak ikut menyahut? Apa tidak dengar suara Ridwan mengucapkan salam? Perasaan sih fungsi pendengaran suaminya itu masih sangat kuat. Maka ia pun menyikut ringan ke suaminya, memberitahu bahwa Ridwan sedang menuju ke arah mereka.
“ Wah apa kabar nih, udah lama ga’ ketemu ya?” tanya Ridwan. Pak Haji Komar masih diam tak bergeming. Saat Ridwan mengulurkan tangan untuk bersalaman, Pak Haji Komar malah memegang kopiahnya sebentar. Seperti mengerti isyarat dari suaminya, Bu Aisyah pun memberi kode pada Ridwan dengan setengah berbisik. Ridwan pun akhirnya tersadar dan mengangguk tanda mengerti.
“Assalamualaykum Pak Haji Komar. Subhanallah, pulang dari tanah suci makin keren saja ya” puji Ridwan sambil tersenyum.
“Waalaykumsalam, alhamdulillah Wan, sudah lama ya kamu ga’ main kerumah. Tapi sayang, oleh-oleh hajinya udah habis di bagikan ke tetangga” sahut Pak Haji Komar akhirnya. Tapi kata-kata terakhirnya di balas tepukan cukup keras dari istrinya sampai Pak Haji Komar mengaduh kesakitan.
“Ga’ papa Pak Haji, yang penting kan silaturahim. Mau ke kondangan juga kan? Bareng yuk” ajak Ridwan. Dan mereka pun berjalan bertiga menuju rumah tempat perhelatan perkawinan itu.
“Bapak tuh keterlaluan. Kenapa sih sampai harus ngomong tentang oleh-oleh yang sudah habis segala sama Ridwan?” tegur Bu Aisyah ketika mereka sudah pulang ke rumah.
“ Halah, paling-paling nanti dia kerumah mau minta sajadah yang kita beli di Madinah itu. Dan lagi, sudah tahu saya pakai sorban syal sama kopiah haji masih aja di panggil nama” jawab Pak Haji Komar.
“Darimana Bapak tahu kalo Ridwan seperti itu? Dia kan masih kerabat kita juga Pak. Dan lagian, apa sih yang salah dari panggilan Pak Komar?”
“Jelas salah Bu. Orang yang sudah naik haji itu harus berubah sapaannya. Yang tadinya cuma nama, harus ada embel haji dulu di depannya. Kalo tidak begitu, orang ga’ akan hormat dan segan sama kita”
“ Ya Allah Pak, mau jadi haji atau tidak, sesama manusia ya harus saling menghormati. Harusnya setelah kita berhaji, akhlak kita itu semakin baik sama Allah dan manusia Pak, bukan sebaliknya”
“Ah sudahlah, saya lebih tahu apa yang mestinya saya lakukan”
Lagi-lagi Bu Aisyah kalah dari Pak Haji Komar. Ia tahu betapa kesalnya sang suami jika ada orang yang masih memanggilnya tanpa ada haji di depannya. Dalam hati ia berdoa dan berharap semoga Allah akan memberi suaminya petunjuk atas apa yang ia lakukan selama ini.
***
“Bu, Ibu!!” teriak Pak Haji Komar di tengah adzan subub berkumandang. Bu Aisyah yang terbangun dan tidurnya setelah sholat malam tadi ikut kaget. Ia pun bergegas menemui suaminya, takut terjadi apa-apa.
“Ada apa sih Pak, pagi-pagi gini kok teriak begitu sih?” tanyanya.
“Kopiah saya Bu, kopiah saya mana kok ga’ ada ?”
“Lho, biasanya kan kopiah itu nempel terus di kepala Bapak”
“Aduh Bu, kalo ada di kepala saya sekarang ga’ bakal nyari-nyari?”
“Memang sebelum tidur ditaruh dimana?”
“Ga’ ditaruh dimana-mana. Seperti biasa saya bawa tidur, Ibu kan juga tahu?”
Sibuk mencari dimana keberadaan sang kopiah, Pak Haji Komar jadi panik. Tanpa terasa adzan iqamat sudah terdengar.
“Pak, sudah iqamat tuh. Pake kopiah lain aja ya, yang hitam? Daripada nanti terlambat sholat subuh berjamaah-nya” saran Bu Aisyah
“ Apa? Ibu nyuruh saya pergi ke mushola dengan kopiah hitam buluk itu? Apa nanti kata orang Bu? Ayo cari lagi!”
“ Pak, apakah kopiah haji Bapak lebih penting daripada keutamaan sholat subuh berjamaah?”
Akhirnya kali ini Pak Haji Komar yang mengalah, dengan terpaksa ia pun mengambil sorban syal dan mengenakan kopiah hitamnya yang sudah lama tidak di pakainya itu. Tapi mulutnya tak berhenti bergumam dan mengomel, sambil terus mengingat-ingat dimana gerangan sang kopiah kebanggaan itu. Apakah ada yang berusaha mencurinya? Tapi siapa? Dan bahkan ketika sholat pun, pikiran-pikiran itu masih bergelayut di otak Pak Haji Komar, alhasil sholatnya pun tidak khusyuk, tapi sibuk memikirkan kopiahnya.
Selesai sholat, biasanya ada kultum pagi. Kembali kali ini Pak Haji Marwan yang kebagian amanah memberi kultum. Pak Haji Komar sudah ingin beranjak pulang dari mushola,dia tidak mau jamaah lain tersadar bahwa ia sekarang mengenakan kopiah hitam, bukan kopiah haji seperti biasanya. Namun panggilan Pak Haji Marwan menahannya.
“Pak Haji Komar buru-buru mau kemana? Santailah, kita dengerin kultum dulu aja ya?”
Mau tidak mau akhirnya Pak Haji Komar urung untuk segera pulang, dia pun memilih duduk di shaf paling belakang agar tidak ketahuan tentang penampilannya kali ini.
“ Jamaah sekalian. Sungguh, nilai keimanan dan ketakwaan kita bersumber dari hati dan ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Dan setiap kita adalah sama di mata Allah, mau orang kaya kek, mau pejabat kek, mau orang melarat kek, mau sudah haji atau bukan kek, semua tidak ada beda, Allah tetap maha Adil. Manusia yang paling mulia di mata Allah adalah yang paling besar ketakwaannya, bukan gelar atau pakaian yang disandangnya”. Awal kultum ini membuat Pak Haji Komar merasa tersindir.
“Jadi, sesunguhnya Allah tidak melihat penampilan luar kita, karena hal itu kadang bisa lebih menipu. Ada orang yang punya jenggot lebat sekali, lengkap pakai sorban syal dan sorban kepala, terus tidak lupa pakai baju gamis, tapi ternyata dia ternyata syaitan yang menyamar jadi manusia untuk menyesatkan. Lalu bagaimana sebaiknya kita berpenampilan? Untuk para wanita sudah jelas harus menutup aurat, tanpa harus memakai kain jenis ini dan itu, yang penting tertutup. Sedangkan laki-laki, yang penting santun dan rapi. Dan sebaik-baik pakaian adalah pakaian takwa” lanjut Pak Haji Marwan. Singkat, padat dan jelas, dan tentu saja cukup membuat Pak Haji Komar tertohok. Ia tertunduk malu, mungkin ini teguran Allah untuknya, kopiah haji yang selalu ia banggakan lalu sekarang hilang.
***
“Pak Haji Marwan, terimakasih ya atas bantuannya. Alhamdulillah sepertinya suami saya sudah sadar. Pulang dari sholat subuh tadi dia tidak panik dan sibuk lagi mencari kopiah haji-nya yang hilang” kata Bu Aisyah ketika tak sengaja berpapasan dengan Pak Haji Marwan sepulangnya dari pasar
“Alhamdulillah, sama-sama Bu. Kita saling mengingatkan ya. Tapi jangan lupa, kopiahnya tetap di kembalikan ya” jawab Pak Haji Marwan sambil tersenyum.
Bu Aisyah mengangguk dan sepanjang perjalanan ia terus menahan senyum geli, teringat ketika tadi malam ia sengaja mengambil kopiah haji suaminya ketika sedang tertidur lelap. Sebelumnya ia sudah minta bantuan Pak Haji Marwan agar memberikan tema kultum tentang penampilan seorang muslim. Dalam hati ia bersyukur, rencananya berhasil dan berharap semoga suaminya bisa lebih baik lagi.
Sumber:
http://tersenyumpadakehidupan.blogspot.co.id/2011/05/kopiah-haji.html
0 komentar: