Cerpen M. Irwan Aprialdy: Mimpi Sadar

20.23 Zian 0 Comments

Lampu kap itu telah dimatikan. Faris berbaring di atas ranjangnya seorang diri. Ya, selalu seorang diri. Istrinya, Dian, hilang bertahun lalu. Banyak pihak mengatakan sangat kecil kemungkinannya Dian masih hidup. Opini tajam yang ditulisnya untuk menyerang Orde Baru pada sebuah koran nasional cukup baginya untuk dituduh subversif. Setelah opini itu naik cetak, tiga pria kekar menggiringnya ke sebuah mobil jip. Faris yang terkulai dihujani tinju hanya mengingat tiga hal, empat pasang kaki berjalan tergesa, jam ruang tamu berdentang tiga kali dan derum mobil di tengah malam buta.
“Aku akan kembali.” Isak istrinya, sebelum semuanya gelap total.
Sunyi telah kekal. Kenyataannya, Dian tak pernah kembali. Andai sudah mati pun jasadnya sukar ditemukan. Faris ingat, ia pernah berdoa pada Tuhan untuk dapat dipertemukan pada istrinya, bahkan bila Dian berupa jasad yang lebur.
Tapi Tuhan berteguh pada misteri-Nya. Dan Faris dirundung rindu menggelegak. Tak tahu apa yang mesti dilakukannya untuk dapat menemukan istrinya. Meski pemimpin berganti berkali-kali, tak ada yang dapat memastikan Dian akan kembali.

Untuk itulah, di setiap malam seperti malam ini, untuk dapat mengenang istrinya, Faris akan mengkhianati malam.
Ia akan terbaring kaku , bernafas teratur, dan membiarkan pikirannya terjaga. Seluruh perintah gerak akan diabaikannya. Sampai tiba tindihan itu. Tindihan, mitosnya merupakan perbuatan lelembut usil. Namun, Faris sudah tidak peduli. Ia bermimpi sadar. Akan ada denging yang ganjil dan ia akan berpusing pada gelap tak tertangguhkan. Lalu ia akan terdampar pada ubin dingin. Dengan banyak latihan, ia mampu mengubah bawah sadarnya menjadi hutan belantara tempat ia dan Dian bertemu pertama kali sebagai anak MAPALA atau restoran tempat ia menyunting Dian.
Tapi, malam ini teramat melelahkan. Ia tak mampu memerintah mimpi menjadi apa pun yang membangun kenangan. Dan ubin telah berubah menjadi trotoar. Beratus-ratus mobil terjebak macet. Suara klakson dan serapah pengemudi mengudara seperti polusi.
Faris menyapu pandang ke jalan yang sesak dan trotoar yang bingar dengan para pejalan berwajah batu.
“Di mana kau, kekasih...” bisiknya pada diri sendiri.
Berpusing pada trotoar dan jalan yang sama, akhirnya Faris berusaha mengambil kendali. Ia sadar, iaTuhan dalam bawah sadarnya. Maka, mobil-mobil itu terangkat ke udara dan menghantam toko atau gedung-gedung di pinggir trotoar. Tiap bodi mobil atau pecahan kaca yang ingin melukainya terpental jauh. Seolah Faris dan celaka dua kutub magnet yang sama.
Jalan kini lengang. Para pengemudi menyelematkan diri dari mobil dan lari tunggang langgang. Dan Faris masih mencari Dian. Kakinya cepat tak berarah. Lalu dilihatnya baliho iklan rokok di dekat lampu merah. Slogan sugestifnya telah berubah menjadi ‘Dian Di Mana Kamu?’ dan model maskulinnya telah berubah menjadi foto Faris berseragam Paman Sam dengan jari menunjuk ke depan.
Dari arah belakang, terdengar derum mobil yang melaju cepat. Faris bersiap mementalkannya dengan tangan kosong. Namun, mobil itu berhenti tepat tiga senti dari lututnya. Kaca penumpangnya turun. Dian, dengan kaca mata hitam dan rambut bob yang sama, persis seperti yang pernah diingatnya.
“Suamiku, tak perlu kau pasang pengumuman norak semacam itu di tempat umum!” protesnya seraya membuka pintu mobil dari dalam. “Membahayakan penduduk kota juga sangat norak, ya!”
Faris hanya tersenyum. “Rindu tertahan kadang bisa sangat mematikan.”
Mereka berdua lalu duduk berdampingan. Sopir membawa mereka menjauh dari kota, menuju pantai dengan senja yang karam. Hari nyaris malam. Faris dan Dian duduk di bibir pantai, membiarkan kaki mereka digelitik ombak.
“Aku merindukanmu di atas sana. Sudah bosan aku ditindih dan dibawa berpusing sebelum dapat menemuimu.” Faris menggenggam tangan istrinya.
“Dan aku hanya bayangan dari kenangan. Tak punya kehendak apa pun atas apa yang terjadi di duniamu.” wajah wanita itu disepuh cahaya jingga.
“Mimpi kadang menyakitkan, ya?” Faris tergelitik sunyi sendiri.
Dian beranjak dan berjalan ke tengah laut. Air menelan setengah tubuhnya. “Aku bukan Dian yang kaucari, Faris...” bibir delima itu bergetar dikepit rahang yang kelu. “Bangun sajalah! Kau tak mendapatkan apa yang kaucari di sini.”
Tertunduk menatap jari kakinya, Faris mengejar Dian. Air dingin memperlambat langkahnya.
“No! Tak perlu rayuan! Bangun sajalah! Aku bukan Dian!”
“Kau reruntuhan dirinya...”
“Yang ada dalam pikiranmu sendiri!” potong Dian.
Mendengar itu Faris mempercepat langkahnya. Dian hanya tersenyum. Sekali lagi diucapkannya, “Bangun sajalah!”
Kaki Faris menginjak karang yang tiba-tiba runtuh dan menghisapnya dalam lubang dan keterkejutan.
Gelap total. Jantung Faris berpacu cepat. Keringat dingin membanjir di sprei dan piyama. Segera diraihnya air minum di samping ranjang lalu menenggaknya habis. Jam digital menunjukkan pukul tiga dini hari.
Faris masih memikirkan ucapan Dian dari mimpinya. Tapi, bagaimana ia berhenti bermimpi ketika mimpi satu-satunya jalannya mendekap cinta?
Lamunan lelaki itu diputus derum mobil dari jalan di depan rumahnya. Kabut asap pembakaran hutan pekat terlihat dari jendela. Hanya lampu jalan yang menerangi blok itu.
Faris terperangah melihat mobil yang sama, yang menjemput Dian paksa bertahun lalu. Seorang wanita tampak keluar tergesa dengan kemeja compang camping. Dian. Tidak salah lagi.
Faris segera keluar kamar, turun tangga, dan menghambur keluar rumah. Wanita itu telah menghilang ditelan kabut. Namun, jeritannya masih terdengar tak jauh dari situ. Mobil jip itu lantas melaju ketika Faris membuka pagar dan berlari seperti orang gila.
“Berhenti!” teriaknya.
Tapi, mobil itu terus melaju, meski suara derumnya semakin samar hingga hilang sama sekali. Jeritan wanita itu pun punah. Tapi, Faris terus berlari dan berteriak-teriak memanggil Dian.
Para tetangga terbangun, namun, enggan membantu. Kejadian itu bukan yang pertama kalinya.

***

Sejak malam  itu Faris tak pernah bermimpi sadar lagi. Ia sadar, Dian dan seluruh kendalinya di dalam mimpi sesemu kabut. Dan ia tak pernah benar-benar hidup di bawah sana. Kenyataan, adalah tempat ia harus terjaga dan Dian pernah hidup di dalamnya, senyata roti selai kacang yang saat ini Faris santap.
Hari terlampau pagi untuk pergi ke kantor. Televisi menyiarkan berita tentang calon presiden yang berjanji akan mengembalikan apa yang pernah sejarah rampas dari rakyat Indonesia. (“Dapatkah sejarah mengembalikan Dian?”)
Faris menyeruput susu dari gelasnya saat terdengar ketukan pintu.
“Sepagi ini bertamu?!” keluhnya. Tapi ia tetap beranjak membukakan pintu.
Dan Dian berdiri di hadapannya, sejernih embun pagi, memakai seragam Paman Sam, dan telunjuk menekan dada Faris.
“Sudah bangun, sayang?” tanyanya angkuh.
Faris tak mampu menjawab. Hari mendadak gelap. Jam ruang tamu berdentang tiga kali.


Sumber:
http://seemynewsmallworld.blogspot.co.id/2015/11/short-story-mimpi-sadar.html

0 komentar: