Cerpen Ni’matul Abadiah: Sore yang Bergumam

20.33 Zian 0 Comments

Sebuah kepanikan terjadi dan semua orang terperangkap di tempat mereka masing-masing berada sekarang. Kantor tempatku bekerja turut merasakan kalang kabut penghuninya. Tak hanya para karyawan saja, para manager dan Pak direktur pun tak bisa menyembunyikan rasa takut mereka. Lebih dari takutnya berhadapan dengan pimpinan ketika sedang dimarahi – itu perasaanku mewakili para karyawan yang lain – atau takutnya menghadapi perusahaan yang hendak gulung tikar, ku mencoba menebak kemungkinan perasaan yang saat ini melanda para atasan itu. Entah ketakutan akan sesuatu itu memang benar-benar sedang mengintai salah satu di antara kami ataupun semua yang ada di sini. Tapi tak tau kenapa seolah-olah apa saja yang barusan kulihat orang-orang baru sadar akan kekuasaan Tuhan. Mungkin termasuk aku juga salah satunya, dan sebagian karyawati telah memerankan perasaannya sebagai wanita yang tak lepas dari air mata membaksahi pipi.
Kulihat juga gelisah yang sangat dari rekan akrabku mbak Meilanie.
“Duuh El,mbak takut. Mbak juga khawatir dengan ibu dan anak mbak di rumah. Mas Prie pastinya juga belum pulang dari kantor.”
“Saya tau mbak, kita sama-sama bertawakal dan berdo’a moga tidak terjadi apa-apa dengan keluarga kita. Kita terjebak di sini tidak bisa kemana-mana.”

“Moga aja El. Mbak mencoba menghubungi mereka tapi kayaknya semua jaringan telepon terganggu. Apa seperti ini nantinya kiamat, El?”
“Lebih dahsyat lagi mbak.”
“Sedahsyat apa?” segurat risau mbak Meilanie dengan selidik.
“Ketika malaikat petugas sangkakala meniup terompetnya yang berkekuatan suara super dahsyat, semua tatanan yang ada di langit dan di bumi menjadi berantakan.”
“ngeri ya El?”
Iya mbak. Matahari nanti akan digulung, bintang-bintang jatuh berserakan, langit terbelah, gunung-gunung berterbangan, bumi diguncangkan sehebat-hebatnya, laut dipanaskan dan meluap ke permukaan bumi, dan dalam kondisi seperti itu manusia berhamburan ibarat kupu-kupu yang berterbangan. Wanita yang tengah menyusui bayinya tanpa pikir panjang melepaskan bayinya dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Wanita yang tengah hamil, kandungannya berguguran saking dahsyatnya suasana dan semua orang seperti mabuk melihat suasana yang begitu mencekam. Selanjutnya mereka akan digiring menuju padang mahsyar.”
“Aduh El, rasanya mbak belum siap menghadapinya jika semua itu terjadi.” Mbak Mei seperti menggigil mendengar penjelasanku.
“Mbak, yang terjadi saat ini belum ada apa-apanya di mata Allah. Mungkin esok-esok Dia bisa turunkan kiamat-kiamat kecil yang lebih dahsyat dari pada ini.”
“El, mbak takut. Mbak nggak mau mati sekarang. Mbak mau bertemu keluarga mbak.”
“Iya mbak. Mbak harus tenang dulu ya.” Kupeluk mbak Mei yang mulai terisak.
“El, gila El” Si muka indo Joshep datang menghampiri dengan setengah gawat darurat nada bicaranya.
“Apanya yang gila?” Tanyaku sambil melepas mbak Mei dari pelukan.
“Kamu bisa berenang di lantai satu.” Suara Josh terburu dengan napasnya yang tidak karuan.
“Maksud kamu apaan sih Josh” Aku bingung.
“Duh Ely, tumbenan kamu nggak bisa nangkap peribahasaku.”
“….???”
“Coba kamu tengok ke lantai satu. Lewat tangga aja turunnya.” Josh membuatku penasaran.
“Ada pa sih Josh? Apa yang terjadi?” Mbak Mei ikut penasaran.
“Yuk mbak kita liat !” ajakku ke mbak Mei.
Dari lantai tiga kami menuruni anak tangga, menuruti saran Josh. Mungkin liftnya mati, kami pikir. Masih terlihat wajah-wajah panik sesama rekanku ketika melewati lantai dua. Mereka berkumpul di sudut-sudut ruangan. Kulihat ada juga Sinta, mbak Yeni, mbak Tata, mas Rudi, pak Danu dan sekuriti kami bang Karmin yang biasa kerja di bagian operasional di lantai satu, sekarang terduduk lemas di lantai dua. Barang-barang kantor lainnya seperti baru saja diangkut dari lantai dasar itu. Berserakan dan bertumpang-tumpang.
“Apa yang terjadi Sin, kok barang-barang di lantai dasar diangkut  kemari?.” Tanyaku pada Sinta yang duduk tersandar pada dinding kantor.
“Banjir El”
“Banjir?” Selama ini tak pernah kantor kami kebanjiran. Sederas apapun hujan, paling banter cuma halaman kantor saja yang digenangi air.
Makin penasaran segera kuturuni sepasukan anak tangga yang tersisa. Baru setengahnya kuturuni, ternyata benar apa kata Sinta dan Jos lantai satu sudah menjadi kolam renang. Banjir telah melanda kota ini.
“Ya ampun,El. Ini benar banjir?” Mbak Mei menyusul mendatangiku dengan tidak percaya apa yang saat ini dilihatnya.
Tiba-tiba gedung kantor kami bergetar dan seakan bergoyang. Mbak Mei sempat terjatuh di susunan anak tangga. Setelah kurang lebih 20 detik berlalu gempa pun tak terasa lagi. Kurasa kekuatannya tidak akan menghancurkan bangunan-bangunan, mungkin sekitar tiga skala richter, pikirku asal tebak. Alhamdulillah tidak berefek yang luar biasa dalam hal kerusakan di kantor kami karena gedung ini dibangun dengan anti gempa. Paling cuma barang-barang kantor yang berjatuhan, tapi itupun membuat jerit histeris sudah membahana dengan teriakan ketakutan yang macam-macam dari masing-masing pemilik suara.
Aku dan mbak Mei kembali naik ke lantai tiga dengan membawa berbagai macam kekhawatiran.
“El, apa kita bisa bertahan hidup di sini? Mbak rasanya tidak sanggup lagi. Mbak takut tidak bisa bertemu dengan keluarga mbak.”
“Mbak Mei jangan berpikiran yang macam-macam. Moga Allah menyelamatkan kita semua.”
Sebenarnya aku juga khawatir dengan bapak dan ibuku di rumah. Bagaimana keadaan mereka sekarang? Pastinya rumahku juga kebanjiran, dan mungkin saat ini mereka sedang berada di loteng sempit kami itu. Terus, Nuno apa dia juga baik-baik saja di sana? Semoga kota tempatnya menuntut ilmu tidak mengalami hal yang sama dengan kota kelahiran kami ini sekarang. Aku harap kuliah adikku tidak terganggu.
Sepertinya hujan sudah mulai terdiam. Hanya berisik angin yang masih terdengar sampai ke ruangan. Dinginnya pun turut menjejal, menyulut orang-orang untuk mendekap tangannya ke dada.
“Mimpi apa ya aku semalam?” Joshep kembali nimbrung dengan murung.
“Aku nggak mau mati terperangkap di sini. Aku masih single ya Tuhan. Aku mau kawin dulu.” Lanjutnya. Si noni yang beragama protestan itu membuat aku harus mengulum tawa karena mendengar omongannya yang geli.
“Josh,Josh. Kamu itu lucu.” Mbak Mei sedikit terhibur juga dibuatnya.
“Kok aku dibilang lucu mbak, aku kan sedang meratapi nasib.” Kilahnya.
“Eh, itu Pak Hendarto datang.” Mbak Mei sedikit berbisik kepada kami melihat si Pak Direktur itu menuruni anak tangga dari lantai empat. Langkah kakinya yang cukup keras bersentuhan dengan ubin anak tangga membuat semua mata memandang ke arahnya dengan diikuti manajer keuangan, pak Sardi di belakangnya.
“Begini semuanya. Alhamdulillah cuaca sudah mulai membaik. Jaringan telepon sudah mulai berfungsi. Tadi saya menelpon meminta pertolongan kepada tim evakuasi banjir agar kita bisa di tolong semua yang ada di sini. Tapi, mungkin  memang sedikit agak lama mereka bisa sampai ke sini. Karena di tempat-tempat lain juga banyak yang harus dievakuasi.”
Kabar baik dari Pak Hendarto setidaknya sedikit membuat kami bisa bernapas lega. Beliau dan Pak Sardi kembali menuruni anak tangga ke lantai dua menyampaikan kabar secara langsung kepada para karyawan lainnya. Benar-benar direktur yang baik. Aku senang memiliki pimpinan seperti dia. Berwibawa dan sangat menghargai orang lain, meski statusnya lebih tinggi dari yang lain.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah.” Gumamku seraya kusungkurkan wajah ini ke lantai.
“Eh El. Apa yang kamu lakukan?” Josh bingung melihat gerakanku. Apa yang kulakukan diikuti oleh mbak Mei.
“Nah, kok ini mbak Mei juga ikut-ikutan.” Josh tampak heran.
“Kami tadi lagi sujud syukur.” Kubilang.
“Emang harus begitu ya di agama kalian?”
“Itu merupakan wujud syukur kami atas segala kebaikan dan anugerah yang telah diberikanNya.” Jelasku lagi.
Josh manggut-manggut dan… dia menirukan apa yang barusan kami lakukan. Aku dan mbak Mei saling pandang dan tersenyum.
“Kenapa kamu melakukan itu” Tanya mbak Mei ke Josh.
“Aku juga ingin menyampaikan rasa syukurku karena aku tidak tau dengan cara apa aku menunjukkannya. Jadinya aku menuruti kalian. Bolehkan?”
“Boleh. Emangnya kami marah kamu menurutinya.” Sahutku.
“Ya…aku takut aja kalian tersinggung. Aku menuruti apa yang agama kalian ajarkan kepada kalian. Sebenarnya sudah lama juga aku perhatikan cara-cara kalian beribadah. Baik shalat, puasa, dan cara kalian berhubungan baik dengan orang lain. Apalagi kamu El. Kamu orangnya sangat rajin beribadah. Meskipun di kantor dalam suasana bekerja. Kamu masih bisa mengerjakannya dengan sangat baik. Ya shalat, ya puasa, dan juga sempat-sempatnya baca kitab. Eh, maksudku baca al-qur’an. Kamu sering sembunyi-sembunyi dan menggunakan waktu luang untuk melakukan itu kan?”
Kok Josh segitunya memperhatikanku.
“Ehem…ehem…” mbak Mei menggodaku.
“Makanya dari itu El, mbak Mei, aku ingin mencoba belajar dari kalian yang muslim. Satu lagi yang membuat aku salut sama kamu El.”
“Apa?” Josh memancingku untuk bertanya.
“Kamu satu-satunya perempuan di kantor ini yang memakai kerudung rimbun di kepalamu.”
“Alhamdulillah, terimakasih.” Ucapku.
“Nyindir nih…” sungut mbak Mei.
“Bukan maksud aku nyindir mbak. Kan orang itu beda-beda keinginannya. El mau make kerudung lebar, itu kan keinginannya dan mbak mau make yang sebahu, itu juga keinginan mbak kan?” Josh meminta pembenaran dari mbak Mei.
Aku cuma tersenyum sekali lagi. Josh, sebenarnya bukan hanya masalah ingin atau tidak. Tapi, ini terkait perintah Allah yang memerintahkan wanita muslimah melakukan itu dan tergantung akan ketaatan seseorang akan perintahNya tersebut.
“Iya, iya. Mbak juga bercanda. Mbak akui, El memang beda di kantor kita ini.”
“Apa yang beda sih mbak? Biasa aja. Sudah ah, kita shalat maghrib dulu yuk mbak. Sudah waktunya nih. Semoga setelah shalat, tim evakuasi akan datang.” Ku mencoba mengakhiri pembicaraan.
“E,iya. Josh, tinggal dulu ya. Mbak sama El mau shalat.”
“Jangan lupa doakan aku juga ya El.” Ucap Josh kepadaku. Mbak Mei melirikku.
Ok Josh, semoga kamu dikasih hidayah sama Allah supaya kamu bisa merasakan indahnya Islam. Doaku dalam hati.

***

Dua jam yang lalu,
Dibalik kaca jendela kantor yang basah, langit kupandang tajam. Kecamuk jingga di sudut yang entah, meraju sinis dengan runyam. Hempas halilintar menyerang, menaruh emosi pada yang merusak alam. Gemuruh hujan menambat sore, diteriaki petir dengan lantang. Angin turut menari lincah, membawakan salsa dengan sumringah. Burung layang takut keluar sarang, melihat petaka enggan ia terbang. Pohon pun lelah berdiri hingga ia tumbang ke bumi. Semua jalan tak lagi disebut jalan, menyatu ria dengan para perwira sungai.
Dibalik kaca jendela kantor yang basah, aku pun terhimpun dengan istighfar, mendengar sore yang bergumam, “ Ini adalah murka kecil dari tuhan.”

Bjm,020309 : 10 p.m.

Sumber:
https://flpbanjarmasin.wordpress.com/2012/03/30/cerpen-sore-yang-bergumam/

0 komentar: