Cerpen Miranda Seftiana: Wanita Kedua

03.08 Zian 0 Comments

Semburat jingga mulai melukis langit saat rintik rinai hujan menjadi tirai semesta sejak adzan ashar tadi. Mataku terpaku pada jendela kaca yang cukup besar ini. Memandang halaman yang tak seberapa luas sembari menanti kedatangan seorang lelaki yang telah beberapa tahun ini hadir bak seorang suami dalam hidupku. Meski hubungan yang kami jalani sesungguhnya tanpa kesepakatan apapun selain rasa hati dan cinta.
Hari ini adalah akhir pekan, harusnya ia telah tiba di sini sejak tadi pagi. Sebagaimana kesepakatannya denganku, akhir pekan adalah waktu untuk kami bersama. Sedangkan pada hari kerja adalah waktu kebersamaannya dengan istri sahnya juga anak-anaknya. Aku tak pernah menentang kesepakatan itu juga status hubunganku dengan mas Adit, seorang lelaki beristri dan memiliki dua anak itu yang seakan tak pernah ada muaranya. Sebab aku sadar sebagai wanita kedua, aku takkan bisa menuntut banyak pada seorang lelaki yang sudah beristri seperti mas Adit, sekalipun hanya sebuah pengakuan "status" pasti atas hubungan kami.
Aku sendiri yang telah mengambil keputusan ini. Menjalani hubungan dengan lelaki beristri tanpa jaminan apapun, bahkan sekedar sebutan aku ini adalah istri dari seorang Aditya Brama Aji. Entah karna aku terlalu bodoh atau karna aku teramat cinta dengan pesona seorang lelaki berperawakan gagah dan bermata tajam bak elang itu hingga aku rela menyerahkan hampir seluruh hidupku padanya.
Awalnya kami merasa biasa saja dengan hubungan ini. Dua minggu sekali, tepatnya pada akhir pekan, mas Adit datang dan menginap di rumahku, lebih tepatnya rumah yang dia belikan untukku. Semua berjalan tanpa ada yang mengetahui, baik istri sah mas Adit ataupun kedua orang tua kami masing-masing. Hingga suatu ketika ketenangan kami sedikit terusik usai aku menerima telepon dari Ibuku.

***


"Jadi bagaimana, nduk, kapan kamu akan menikah?" tanya Ibu padaku melalui sambungan telepon.
Lidahku terasa kelu, kerongkonganku tercekat, dadaku serasa sesak dan perih bak dihantam seribu sembilu. Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Ibu. Karna bagaimanapun, aku sendiri tak mampu memastikan kapan mas Adit akan menikahiku dan bertanggung jawab atas benih yang telah ia semai di rahimku. Berkali-kali keluargaku menanyakan hal yang serupa, mengingat usiaku sebagai seorang perempuan cukup untuk mulai membina kehidupan rumah tangga.
Kesadaranku sebagai seorang wanita kedua seakan semakin dihempaskan oleh pertanyaan Ibu. Sebagai seorang wanita kedua, aku tak ubahnya seperti sebatang tebu, yang setelah sari gulanya diperas habis, maka sepahnya akan dibuang begitu saja. Kapan saja mas Adit bisa meninggalkanku tanpa pertanggung jawaban apapun, sebab tak ada ikatan pasti di antara kami, selain berjanji setia atas nama cinta terlarang.
Lamunanku semakin panjang dan tak jelas. Berbagai kemungkinan buruk tiba-tiba membayang di pelupuk mataku. Tentang nasibku nanti bila ditinggalkan mas Adit, bahkan tentang benih yang mas Adit tanam dan kini mulai bertumbuh di rahimku.
"Nduk, kamu ndak apa-apa, tho?" tanya Ibu lagi yang akhirnya mengembalikan kesadaranku pada dunia sesungguhnya.
"Eh, iya, a... a... Aannu.. Anu, bu," gelagapan kujawab pertanyaan Ibu.
Aku bingung harus mengatakan apa? Sebab menceritakan hal yang sesungguhnya tentu bisa memancing amarah luar biasa dari keluargaku. Itulah alasan mengapa akhirnya aku memilih tak pulang ke kampung halaman dan memendam semuanya sendiri.
"Do'akan saja ya, bu. Semoga Rahmi bisa segera mendapatkan jodoh yang terbaik." ucapku lega karna sedikit banyak jawaban tersebut akan menenangkan hati Ibu atas nasib anak perempuannya ini.
"Tentu, nduk. Ibu dan Bapak pasti akan mendo'akan yang terbaik untukmu, termasuk tentang jodoh. Ya sudah, jaga dirimu baik-baik di sana ya, nduk." ucap Ibu saat mengakhiri pembicaraan kami.
'Jaga dirimu baik-baik...' Ah... Maafkan anakmu ini, Bu, yang tak mampu menaati nasihatmu. Maafkan aku, Bu, maaf aku yang terlanjur mencoret arang di wajah keluarga kita. Sekali lagi maafkan aku, Bu.
Deru suara mesin mobil memasuki halaman menghentikan kesedihanku sejenak. Kuyakin itu pasti adalah suara mobil mas Adit, sebab hanya dialah yang biasa datang hampir tengah malam seperti ini. Bergegas kubukakan pintu rumah setelah sebelumnya menghapus airmata yang terlanjur membasahi pipi.
Setelah membalas salam, mentakdzim punggung tangan mas Adit, akupun berjalan menuju meja makan tanpa ada pembicaraan lebih lanjut. Pembicaraan dengan Ibu tadi terlanjur menjadi beban pikiran tersendiri bagiku. Karna mau tidak mau, aku harus segara mendapat kepastian dari mas Adit perihal kelanjutan hubungan cinta kami yang terlanjur membuahkan benih ini.
"Bunda kenapa? Sejak tadi Ayah lihat lebih banyak diam." ucap mas Adit usai menyeruput teh hangat yang kusuguhkan padanya.
Aku hanya menggeleng perlahan.
"Hmmm... Lalu apa?" tanya mas Adit lagi.
"Tadi bunda mendapat telepon dari Ibu." ucapku akhirnya.
"Bukankah seharusnya bunda senang? Tetapi kenapa justru sedih?" tanyanya penasaran.
"Ibu menanyakan kapan bunda akan menikah, sedangkan Ayah tahu sendiri tidak mungkin ada muara yang pasti di antara kita berdua." jelasku sembari menahan sebuah dentuman keras di dada.
Dihembuskan mas Adit selafadz nafas dengan nada berat. Kubaca sedikit raut kekhawatiran juga sesal di wajah kukuhnya. Setelah berdeham beberapa kali, barulah sebuah kalimah terlucut dari bibirnya.
"Maafkan Ayah yang telah membuat bunda turut larut dalam pusara hubungan tanpa sebuah muara yang pasti. Ayah harap bunda bisa mengerti keadaan ayah." ucap mas Adit lembut sembari membelai perlahan tangan kananku. Sikap mas Adit seperti inilah yang akhirnya membuatku sulit untuk berpaling darinya.
Sejak perbincangan penuh luka itu aku dan mas Adit memilih tak banyak bicara. Kami terpaku dengan pikiran masing-masing dalam pandangan mata yang menerawang tak tentu arah. Sejenak kami hanya menghabiskan sisa malam dalam kediaman tanpa penyelesaian. Serupa dengan nasib cintaku dan mas Adit. Hanya sesekali suara derik jangkrik yang menghiasi malam yang kami lewati. Sebelum akhirnya mas Adit beranjak pergi entah ke mana setelah mengambil jaket kulit yang tergantung manis di pundak kursi tempat duduknya.

***

Empat bulan purnama sudah berlalu sejak malam itu, mas Adit tak pernah lagi menemuiku. Bahkan sekedar mengirim kabar pun tidak. Ada cemburu, kecewa, marah, dan terluka dalam benakku setiap kali membayangkan kehangatan yang tengah mas Adit lalui dengan istri dan kedua anaknya, sementara aku di sini menahan perih seorang diri dengan status sebagai sosok wanita kedua dalam kehidupan mas Adit.
Aku kini benar-benar seperti tebu yang tinggal sepahnya saja dengan benih yang terlanjur mas Adit tanam di rahim ini dan kian bertumbuh hari demi hari. Ingin rasanya aku pulang ke kampung halaman, namun jelas tak mungkin kulakukan. Sebab aku terlampau malu karna telah menggoreskan arang di wajah Bapak dan Ibu. Ingin menemui keluarga mas Adit, tentu lebih tak mungkin lagi. Siapa aku ini? Hanya wanita kedua yang diikat dengan sekedar janji setia tak suci.
Malam kian beranjak pasti saat langit senja berganti wajah semburat biru tua, kala manis mentari sore berganti rupa molek putih pucat sang purnama. Adzan maghrib berkumandang tepat tatkala siluet perutku yang kian membuncit terpantul di pelataran tanah kerontang.
"Mas Adit, pulanglah sekedar untuk menengok jundi kecilmu yang terlanjur kau tanam dalam rahim seorang wanita kedua dalam kehidupanmu ini. Wanita kedua yang baik sebatang tebu bagimu kini." ucapku lirih menutup hari.
Terbayang wajah bersahaja Ibu yang menangis dan wajah kukuh Bapak yang merah padam bilamana semua ini harus kupersembahkan sebagai balasan atas pendidikan moral yang selama ini telah mereka tanam dengan begitu baiknya. Maafkan aku, Bu. Maafkan aku, pak.


Kalimantan Selatan, 21 Agustus 2012

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/wanita-kedua/10152046167945548

0 komentar: