Cerpen Miranda Seftiana: Allah, Ijinkan Aku Menangis

03.07 Zian 0 Comments

Usia malam masih panjang untuk mengepung belantara langit tatkala kutemui seorang leleki paruh baya masih menjajakan dagangannya ketika sepertiga malam kedua hampir berakhir.
Batinku bergemuruh kala melihat lelaki paruh baya itu duduk termenung di terotoar depan sekolahku dahulu sembari memandangi dagangan yang tergantung di sepeda yang kuperkirakan hampir seusia dengannya. Tubuh ringkih itu sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya yang menjadi saksi kerasnya perjuangan hidup yang telah ia lalui, sekedar untuk mengurangi hawa dinginnya malam yang menerpa.
Kesadaranku sebagai seorang manusia yang memiliki naluri empati terhadap sesama seolah dihempaskan pada sebuah kenyataan nestapa ini. Segera kutepikan motor putih kesayanganku dan kumasukan segela file yang baru saja ku print out ke dalam box motorku setelah kemudian kuhampiri lelaki renta berusia paruh baya itu.
Mata tuanya tampak berbinar saat melihat kehadiranku, mungkin dalam pikirnya aku akan sedikit menambah rejekinya hari ini sekedar untuk menyambung nafas hidup esok nanti. Tubuh renta dengan tulang punggung tak lagi rata itu tampak terseok saat berusaha menghampiriku yang telah berdiri di dekat sepeda tua yang memuat berbagai mainan tradisional dagangannya itu.

Pendengarannya tak lagi sempurna saat kupertanyakan perihal harga mainan dagangannya, ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku sebelum akhirnya aku memperjelas suaraku dan berbicara lebih dekat dengan lelaki renta berusia paruh baya itu. Dari nada bicaranya, kuyakin ia bukanlah orang asli Kalimantan, kurasa ia berasal dari pulau Jawa, sebab sejak tadi ia hanya mengerti sedikit apa yang aku katakan. Menyadari hal itu, segera aku memilih berbicara dengan bahasa Indonesia agar ia lebih memahami apa yang kukatakan.
Karna niat awalku adalah untuk memprint out file yang telah kubuat, maka uang yang kubawa pun seadanya saja. Ingin rasanya aku membeli habis semua mainan tradisional yang beliau jual, namun apa daya, uang yang kubawa tak mencukupi untuk itu. Terpaksa aku hanya bisa membeli "seperangkat" wayang mini yang berisi tokoh Semar, Gareng, dan Petruk itu. Dan, kulihat kembali binar bening di mata tua milik leleki berusia renta dengan semangat luar biasa tersebut ketika kuserahkan beberapa lembar uang sebagai ganti atas "seperangkat" wayang mini miliknya.
"Memang banyak yang suka wayang itu." ucapnya saat mengambilkan wayang mini pilihanku dengan senyum penuh kebahagiaan.
"Oh ya?" tanyaku berusaha meyakinkan ucapannya dengan suara yang lebih kencang tentunya agar ia bisa mendengar.
Ia hanya mengangguk sembari tersenyum hangat dengan mata penuh binar kebahagiaan.
"Lalu biasanya kakek menjual ke mana saja?" tanyaku lagi.
"Di pertigaan sana, di dekat mesjid sana, dan di sini." jawabnya sembari mengitarkan jemarinya untuk menunjukkan arah yang ia maksud.
Kuhela nafas panjang sejenak. Seberat inikah ujian yang harus Tuhan titipkan di pundak lelaki paruh baya dengan peci lusuh menghiasi kepalanya itu? Kemeja batik kusamnya seakan turut menjadi saksi terjalnya takdir hidup yang telah ia lalui. Namun sekali lagi, kali ini kesadaranku sebagai seorang hamba yang tak jarang lupa mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan seolah dihempaskan oleh ikhlasnya lelaki tangguh itu dalam menjalani sisa hidupnya. Hidup baginya seakan adalah penerimaan, syukur, dan usaha tiada henti selama hayat masih di kandung badan.
Perlahan kurasakan mataku kian menghangat, kuyakin seberkas embun haru akan segera turun dari pelupuk mata ini. Bergegas kuhapus embun yang terlanjur turun. Aku tak ingin membuat lelaki tangguh di usianya yang tak lagi muda itu menjadi berduka atas nasib yang selama ini telah diterimanya hanya karena airmata di pipiku. Kutahu, ia adalah lelaki yang memiliki prinsip tinggi. Ia bukanlah lelaki yang memilih berpangku tangan pada siapapun, bahkan di usianya yang telah renta. Hal ini terbukti dari usahanya untuk mengembalikan 500 rupiah uang kembalian atas wayang mininya yang kubeli. Namun akhirnya ia mau juga menerima kelebihan uang itu karna memang tak ada kembaliannya, sebab mungkin belum ada orang yang membeli dagangannya sejak tadi pagi.
"Kakek tinggal dengan siapa dan di mana?" tanyaku sesaat sebelum kembali ke rumah.
"Kakek tinggal sendiri di daerah yang cukup jauh dari sini. Tak ada lampu di sana, hanya menggunakan lampu minyak sebagai gantinya." ucapnya dengan seberkas embun kesedihan yang terlanjur menghiasi wajah bersahaja miliknya.
Dadaku kembali bergemuruh. Kini, siapakah yang mampu kumintakan pertanggung jawaban atas lelaki renta yang tak sewajarnya masih harus bekerja seberat itu? Ada pasal dalam kitab landasan negera bernama undang-undang yang menyebutkan bahwasanya fakir miskin dan orang terlantar dipelihara oleh negera. Lalu kini, justru pemandangan nestapa yang tengah menghiasi lensa mataku. Ah... Kupikir para abdi negera tengah sibuk dengan isu politik dunia ataupun sibuk memikirkan uang rakyat dari prespektif mana lagi yang akan dikeruk? Atau bahkan justru tengah memikirkan siapa lagi yang harus "disuapi" dengan uang haram agar jalan melenggang kekuasaan kian mulus? Itu sebabnya mungkin membuat mereka hingga tak sempat mememandang luka di negerinya sendiri.
Tiba-tiba aku teringat dengan perkataan seseorang beberapa waktu yang lalu usai adzan dzuhur berkumandang.
"Semut di balik bukit sangat diperhatikan, hingga gajah di pelupuk mata tak tampak." ucapnya kala itu.
Kurasa ucapannya itu nyata adanya. Lihatlah di negeri kita, isu menguntungkan dari belahan dunia lain begitu mudah mencuri perhatian para abdi negara sekalipun belum pasti kebenarannya. Study banding yang menghabiskan banyak anggaran begitu mudah disusun dengan alasan pembangunan yang hanya sampai di mulut itu. Sedang permasalahan besar di negeri sendiri -kemiskinan, keterbelakangan, dan duka lainnya- luput dari perhatian.
Ya Allah ya Rahman... Ya Rahim... Engkaulah yang Maha Kaya di muka bumi ini. Engkaulah penulis jalan takdir yang tak tertandingi. Ijinkan aku menangis malam ini, sekiranya bersama airmataku ini Kau kabulkan sekedar pinta hati sederhana.
Ya Allah ya Rahman... Luruhkanlah secercah rejeki-Mu baik yang di langit ataupun di bumi pada lelaki tangguh itu sekedar agar tubuh rentanya tak perlu lagi diterpa dinginnya malam untuk mencari penerus nafas esok hari. Agar sekiranya tubuh itu lebih banyak mengabdi kepada-Mu dengan menghabiskan hampir seluruh waktu-Nya untuk bertafakur pada-Mu.
Ya Malik ya Qudus... Kupasrahkan segala do'a yang terlafadz pada-Mu. Biarlah Engkau saja yang menentukan itu. Kuyakin, Engkau adalah Dzat yang Maha Bijaksana tak serupa dengan hamba yang merasa berkuasa di dunia dengan mengganggap kebijakan tanpa realisasi adalah benar adanya.
Duhai hamba Allah yang teristimewa, kuyakin engkau diuji dengan nestapa hidup yang seolah tiada henti hadirnya lantaran Allah tengah membangunkan istana di firdaus-Nya untukmu. Semoga Allah senantiasa merahmatimu hingga kelak Izrail meluruhkan nestapamu. Amin.[]

Kalimantan Selatan, Rabu, 12 September 2012 pukul 23.41

Dalam pelataran duka yang menganga teriring do'aku untuk seorang lelaki paruh baya dengan semangat luar biasa.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/allah-ijinkan-aku-menangis/10152106326445548

0 komentar: