Cerpen Miranda Seftiana: Kurma untuk Zahra
Sang raja siang tengah terik-teriknya menyapa bumi di ramadhan hari kedua. Seorang anak perempuan dengan tangan mungilnya memegang sebuah alat untuk memburu lalat yang tengah menghinggapi ta'jil dagangannya."Zahra, hari sudah siang, nak. Udara di pasar juga sudah mulai panas, apa tak sebaiknya kamu pulang ke rumah untuk beristirahat?" tanya sang Ibu pada putri kecilnya itu.
"Tidak, bu. Zahra masih ingin menemani Ibu berjualan di pasar hingga selesai. Karna kata wak Usman, kalau kurma titipannya laku, Zahra akan diberi 5 biji." jawab Zahra sembari memamerkan gigi-gigi putih kecilnya yang berjajar rapi.
Sang Ibu tak dapat berkata apa-apa lagi tatkala melihat kegigihan putri kecilnya itu. Betapa tidak, hatinya luruh, bathinnya bak diiris sembilu. Sedih rasanya karena ia tak mampu membelikan kurma untuk Zahra berbuka puasa, hingga sang anak harus ikut menemaninya menjual ta'jil titipan tetangganya dan juga kurma titipan wak Usman. Jangankan untuk membeli kurma, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja mereka kesulitan. Bahkan, bagi Zahra kecil, berpuasa adalah hal yang sudah biasa. Sebab, di luar bulan ramadhan pun ia telah terbiasa untuk berpuasa selang sehari. Hal tersebut tak lain lantaran ketidak mampuan orang tuanya untuk membeli beras setiap harinya.
"Kurma... Kurma.... Kurma manis, harga murah, kualitas bagus." ucap Zahra menawarkan kurmanya sembari menirukan kata-kata wak Usman saat ia mengambil kurma untuk dijual di rumah wak Usman.
Tangan mungil Zahra tak henti-hentinya menggoyang-goyangkan alat pengusir lalat yang terbuat dari ranting kecil dan kantong kresek yang dipotong menjuntai. Sesekali diusapnya keringat yang mengalir di sela wajah mungil berselimut jilbab merah muda kusam itu. Mulutnya masih bersemangat menawarkan dagangan ta'jil dan kurma titipan tetangga kampungnya. Jika laku semua, itu berarti akan banyak lembaran rupiah yang akan dibawa pulang olehnya dan sang Ibu. Terlebih, jika kurma wak Usman yang laku, maka sudah pasti, 5 biji buah kurma akan menjadi teman keluarganya berbuka. Zahra tersenyum membayangkan itu semua. Dalam benak kecilnya, panas hari ini tidaklah ada artinya dibanding dengan 5 biji kurma janji wak Usman untuknya.
Seorang perempuan muda berjilbab warna coklat tua menghampiri mereka. Zahra segera memasang wajah riang dengan senyum mengembang. Baginya, pembeli adalah raja yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Ah... Bahkan anak sekecil Zahra pun telah mengerti tentang adab bermuamalat meski masih secara sederhana.
"Kurma, bu?" tawar Zahra pada perempuan muda itu.
Perempuan itu tak sedikitpun bicara atau mengeluarkan barang sepatah dua patah kata. Ia hanya tersenyum sembari menggeleng halus untuk menolak tawaran Zahra. Sedang Zahra hanya mampu tertunduk lemas, lantaran belum sebungkus pun jua kurma yang dititipkan wak Usman padanya laku terjual.
"Bu, kolak pisangnya tiga bungkus ya." ucap perempuan muda itu pada Ibunya Zahra.
"Ini, bu." ucap Ibunya Zahra sembari menyerahkan tiga bungkus kolak pisang yang telah dimasukkan dalam kantong kresek legam.
Sebelum berlalu, diserahkan perempuan muda itu beberapa lembar rupiah untuk membayar kolak pisang tersebut pada Ibunya Zahra.
"Yang sabar ya, nak. Insya Allah, bila semua ta'jil ini laku, biarlah sebagian dari keuntungan yang akan diberikan Bu Hajjah Murti untuk Ibu dibelikan kurma saja untukmu." ucap Ibunya Zahra mencoba membesarkan kembali hati sang putri tercinta.
Zahra tak sedikitpun bersuara. Ia hanya mengangguk lesu sembari memeluk erat tubuh sang Ibu. Ah... Mungkin sebuha pelukkan dapat menerjemahkan segala rasa yang bisa jadi belum diketahui Zahra apa maknanya?
***
Hari sudah menjelang waktu ashar, ketika belum sebungkus pun jua kurma yang dijual Zahra laris terjual. Sepasang mata bening tak berdosa itu mulai tampak redup sinarnya. Zahra pasrah, bila hari ini tak satupun jua kurma titipan wak Usman laku. Barang kali hari ini memang buka rejekinya untuk bisa mencicipi manisnya kurma ketika berbuka puasa. Kurma, sang buah kegemaran nabi itu.
"Allahuakbar... Allahuakbar..." adzan ashar berkumandang memecah hiruk-pikuk kesibukan pasar ramadhan di hari kedua itu.
"Zahra, ibu titip dagangan sebentar ya, nak? Ibu hendak shalat ashar dulu, setelah itu baru Zahra."
"Iya, bu." ucap gadis kecil itu seraya mentakzim punggung tangan sang Ibu, sebelum akhirnya kembali bergulat dengan dagangan ta'jil dan kurmanya.
Menunggu pembeli yang datang terkadang menghadirkan kebosanan tersendiri dalam diri Zahra. Zahra kecil kemudian mulai menyenandungkan shalawat badar disela mengusir lalat yang menghinggapi dagangannya. Bibir mungil itu tampak fasih sekali menyenandungkan lagu kasih untuk sang kekasih Allah tersebut. Zahra, andai kau tahu, di Arsy sana, Allah dan nabinya tengah tersenyum menyambut shalawat tulusmu, nak. Tak sedikitpun gurat lelah menghiasi wajah kecilnya. Meskipun ia tengah berpuasa dan berdagang seharian hari ini.
"Nak, berapa sebungkus kurma ini?" tanya seorang lelaki paruh baya dengan peci hitam di kepalanya pada Zahra.
"Tiga ribu rupiah, pak." jawab Zahra tersenyum.
"Tidak bisakah menjadi dua ribu saja, nak? Sebab bapak akan membeli banyak untuk berbuka puasa bersama."
"Maaf, pak, segala yang saya jual di sini merupakan titipan dari para tetangga. Dan harga tersebut merupakan amanah. Saya dan Ibu saya hanya mendapat upah sesuai pemberian dari yang menitipkan." terang Zahra sembari tersenyum lagi.
"Subhanallah... Engkau memang pemegang amanah yang baik, nak. Insya Allah daganganmu ini berkah. Baiklah kalau begitu, kubeli sepuluh bungkus kurma daganganmu ini." ucap sang bapak sembari menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribuan dan selembar uang lima ribu sebagai hadiah bagi sikap amanah Zahra.
"Pak, ini uangnya lebih lima ribu." ucap Zahra sembari mengembalikan uang tersebut.
"Itu bukan lebih, nak. Melainkan hadiah dari bapak atas pelajaran sikap amanahmu." jelas lelaki paruh baya itu sambil tersenyum.
"Alhamdulillah. Terima kasih, pak."
Zahra amat riang sore itu. Bergegas diraihnya mukena dari dalam tas bakul purun sang Ibu, setelah melihat Ibunya berjalan ke arah tempat mereka berjualan.
"Zahra, kenapa terlihat terburu-buru, nak?" tanya sang Ibu sembari menghampiri Zahra, putri kecil kesayangannya itu.
"Zahra ingin segera bersyukur pada Allah, bu." jawab Zahra amat riang.
"Bersyukur?"
"Iya, bu. Zahra ingin bersyukur, karena hari ini kita sekeluarga akan menikmati manisnya buah kurma ketika berbuka. Zahra akan mendapatkan 5 biji kurma itu, bu. Karna kurma titipan wak Usman laris manis." senyum indah masih menghiasi wajah mungil Zahra.
"Alhamdulillah..." ucap sang Ibu sembari mengelus kerudung merah muda kusam putri kesyangannya tersebut.
***
"Bu, bu Rusli.... Zahra, bu... Zahra..." ucap mang Rahmat dengan nafas tersengal-sengal usai berlari.
"Ada apa, mang? Ada apa dengan Zahra?" tanya Ibunya Zahra kebingungan atas sikap mang Rahmat.
"Zahra... Za... Zahra... Zahra, meninggal, bu. Zahra ditabrak saat menyeberang ke arah mesjid oleh orang yang sedang balapan liar sambil menunggu waktu berbuka." terang mang Rahmat terbata.
"Innalillahi wa innailaihi ro'jiun." ucap ibunya Zahra sembari tersungkur lemas di lantai tempatnya berdagang.
Ya Allah, Zahra, sang putri mungil bermata teduh itu telah kembali pada-Mu rupanya sebelum manisnya kurma dunia sempat ia kecap. Tubuh kecil itu kini tergolek tak berdaya dalam pangkuan seorang Ustadz, sang Imam shalat ashar sore itu. Wajahnya pucat pasi, darah segar terus mengalir dari sela kerudung kusamnya. Kerudung itu kembali merah. Ya. Kembali merah, namun oleh darah. Mata beningnya tertutup rapat, seakan tak ingin memandang lagi segala kepenatan dunia yang ada.
Ya Allah, Zahra kecil itu telah pergi untuk menghadap-Mu. Izrail lebih dahulu menjemputnya, sebelum sujud syukur atas nikmat-Mu ia laksanakan. Mungkin aroma dan manisnya kurma dari firdaus-Mu telah tak sabar untuk dicicipi oleh pelita surga itu, ketimbang oleh 5 biji kurma janji wak Usman padanya.
Ia pergi, ya Allah. Ia pergi saat pintu neraka ditutup rapat-rapat dan pintu surga dibukakan seluas-luasnya. Ia pergi, tatkala bulan penuh rahmat-Mu menyapa dunia. Bulan dimana segala dosa diampuni bagi orang-orang yang takwa. Zahra pergi, menghadap-Mu untuk mencicipi manisnya kurma dari firdaus-Mu.
Kecup sang Ibu wajah mungil bersimbah darah itu. Tangan kecilnya memegang selembar uang lima ribuan yang awalnya diniatkan Zahra untuk disumbangkan ke kotak amal mesjid. Uang itu masih bersih dengan lipatan rapi dalam genggaman tangan mungil Zahra. Selembar uang lima ribu hasil dari tetes keringatnya sendiri. Zahra pergi dengan indah dalam keadaan berpuasa dan niat bersedekah untuk mensyukuri nikmat dari Allah.
Dua ramadhan dalam kukungan senja dan luka. Dua ramadhan tatkala Zahra sang pelita surga itu pergi untuk selama-lamanya. Dan dua ramadhan, di mana wangi semerbak aroma bunga firdaus mengiringi jasadnya.
Selmat jalan Zahra. Semoga Allah menempatkanmu bersama dengan orang-orang yang shalih dan shalilah. Kurma di taman firdaus telah menunggu untuk kau cicipi, nak.
"Barang siapa yang mengatakan 'Laa Ilaha Illalah dengan hanya mengharapkan ridho Allah lalu meninggal dalam keadaan seperti itu, maka dia masuk surga. Barang siapa yang berpuasa pada suatu hai dengan hanya mengharapkan ridho Allah lalu meninggal dalam keadaan seperti itu, maka dia masuk surga. Barang siapa yang bersedekah dengan suatu sedekah dengan hanya mengharapkan ridho Allah lalu meninggal dalam keadaan seperti itu, maka dia masuk surga." (Sabda Nabi saw yang terdapat dalam riwayat Ahmad, dan dinyatakan shahih sanadnya oleh Syeikh Al- Bani)
Kalimantan Selatan, 2 Ramadhan 1433H
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/kurma-untuk-zahra/10151953002200548
0 komentar: