Cerpen Miranda Seftiana: Sarjana Hati

23.20 Zian 0 Comments

Tahun ketiga tak menyibak daun pintu rumah Papa. Sejak saya memilih jalan sendiri. Tak mengikuti dikte dari lelaki yang juga memilih jalannya sendiri. Mengikuti kata hati dan sunnah Nabi begitu jawab Papa setiap kali orang bertanya mengapa?
Saya tersenyum kecut. Menggeret langkah kaki yang seakan begitu berat. Meski nyatanya tubuh saya proporsional. Namun begitu, sesak di dada terlampau sulit untuk didustai. Mengingkari bahwa tak ada luka yang tertinggal di sini bersama tubuh Papa yang mulai merenta. Sebuah alasan yang terlihat klise tetapi berhasil memaksa saya untuk pulang menemuinya.
"Masih tak laku juga ijazahmu itu, Fa?" tanya Papa di pembaringannya dengan mata tertatap lurus menuju cahaya matahari di jendela kamar.
Saya menghela napas berat. Pertanyaan yang hampir serupa setiap kali orang melihat saya menawarkan diri sebagai sarjana hati dari satu pintu instansi ke pintu lainnya. Pun begitu rupanya dengan Papa. Mendadak kenangan bertahun lalu menyeruak tanpa mampu dibendung.

***


"Aku menikahimu itu hanyalah karna kamu seorang pekerja negara!"
Kalimat Papa sempurna membunuh hati Mama seketika itu juga. Membuat amarah saya dipanaskan hingga ubun-ubun. Hampir saja sebuah hantaman melayang kepadanya andai Mama tak lebih dulu mencengkram lengan saya yang telah terangkat. Tak pantas rasanya kalimat begitu meluncur dari seorang lelaki terhadap perempuan yang telah lebih dua puluh tahun mendampinginya.
Perempuan yang dikarenakan cinta luar biasa mengabdikan sepenuh dirinya untuk keluarga. Mengurangi waktu istirahat agar lebih banyak bekerja. Sehingga mampu memenuhi segala tuntutan Papa. Mobil, bengkel, rumah, bahkan jujuran untuk perempuan lain!
Oh Tuhan dosa kah rupanya sebuah bakti menerima pinangan lelaki yang dipilih oleh orangtua? Saya hampir tersungkur di samping Mama. Duduk lemas menyaksikan matanya terluka walau tanpa airmata.
"Ma ..." Saya berujar lirih.
Beliau tersenyum tipis dan samar. Lalu bicara dengan nada suara yang ditegar-tegarkan. "Jangan salahkan Papamu, Fa. Wajar jika Mama diperlakukan begini, sebab sejak awal Papamu tak pernah mencintai Mama. Mama bukan wanita dengan rupa menawan seperti yang dia harapkan ..."
"Tetap saja itu tak pantas dia ucapkan, Ma!" sergah saya dengan bara di dada masih meletup sempurna. Seperti magma hendak minta diletuskan.
Setelahnya mengalirlah cerita takdir Mama dan Papa. Saya menyimak dengan hujan deras yang luruh di antara kelopak mata. Betapa Mama senantiasa membanggakan lelaki itu meski sebenarnya ia telah dilukai begitu nyata. Kejadian kemarin malam buktinya. Papa mencumbu mesra perempuan lain di tempat ia dan Mama pernah berusaha menghadirkan saya ke bumi belasan tahun silam.

***

"Sudah kukatakan padamu berkali-kali. Pilih pendidikan sebagai tenaga medis seperti ibumu. Masa depanmu lebih terjamin andai dulu kau tak menolak menjadi sepertinya. Sedangkan sekarang? Kau hanya seorang pengangguran dengan ijazah itu. Sisi mana aku bisa membanggakanmu sebagai putriku?"
Kalimat sembilu itu kembali melucut dari mulut tua Papa. Anehnya, saya tak terluka. Ada makna lain yang dapat saya temukan dari rangkaian kata-katanya. Sebersit kebanggaan akan sosok Mama. Sesuatu yang berpuluh tahun ia tampik dengan egonya. Bangga memiliki Mama bukan sekadar menikahinya hanya lantaran beliau seorang pekerja negara.
Seketika tak lagi ada sesal memilih pendidikan sebagai sarjana hati. Toh dengan begitu saya menjadi lebih peka untuk menyelami setiap cerita. Menemukan makna lain di balik luka. Tuhan memang begitu pandai mengarang drama kehidupan. Rasanya tak ada lagi kecewa ditolak untuk kesekian kalinya. Sebab saya menerima karunia lain dalam percakapan dengan Papa. Kebanggaan akan Mama yang ia tahan akhirnya terucapkan. Hanya saja itu terjadi saat mereka telah memilih jalannya sendiri. Bukan lagi sebagai sepasang insan yang saling mencintai.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/sarjana-hati/10155032118540548

0 komentar: