Cerpen Miranda Seftiana: Rumah Banjar
"Suatu hari kamu akan mengerti arti rindu, Nak. Juga arti kembali meski terluka ..."Zi kembali terngiang ucapan mama sebelas tahun yang lalu. Saat ia bertanya mengapa wanita itu tak jua pergi meninggalkan abah meski telah diduakan. Bagi Zi tak ada alasan terbaik yang mampu membuatnya untuk terus bertahan di tanah bergelar kota seribu sungai itu. Tetapi mengapa mama amat enggan pergi dari sini?
Matanya memandang nanar ke arah samudra awan di ketinggian ribuan kaki ini. Tetapi sungguh, pikirannya tidak di sana. Ia sedang rindu pada mama. Wanita bersahaja yang telah pergi untuk selama-lamanya dengan membawa luka tak berpenawar di dada. Luka yang membuat Zidan tak pernah ingin lagi menatap mata elang lelaki bergelar abah.
"Mau tambahan minum, Pak?" tanya seorang pramugari. Zi menggeleng.
"Tidak. Terima kasih." jawab Zi singkat.
Ia terlampau lelah hari ini. Tak hanya raga, tetapi juga jiwa, lebih-lebih hatinya. Zi hanya ingin memejamkan mata sebentar saja selama penerbangan dari Jakarta menuju Banjarmasin ini.
***
"Dang ... Sadang naik, ari sanja ..." teriak Mama dari tepi sungai saat Zi masih asyik merendam tubuhnya usai mengaji di langgar tadi.
"Inggih ..." Zi bersungut kecil. Meski kesal, ia tak pernah membantah perintah mama. Bukan takut, Zi hanya terlalu sayang pada wanita yang telah bertaruh nyawa demi menghadirkannya ke dunia itu.
Bagi Zi setiap hari adalah sama. Pulang ke rumah dengan tubuh kuyup dan sebuah omelan dari abah. Lelaki yang datang dan pergi sekehendaknya saja. Bahkan menurut Zi, hujan jauh lebih sopan daripada abahnya sendiri. Karna datang didahului dengan mendung dan pergi dengan rintik air yang perlahan berhenti.
"Punya anak satu susahnya minta ampun. Lihat Khairul tuh, sepulang ngaji langsung makan ke rumah!" ujar Abah lantang.
Zi membuang pandangan ke sisi lain. Ia sudah kebal dengan kebiasaan abahnya memandingkan dirinya dengan Khairul, anak abah dari istri kedua. Di mata abah hanya Khairul sajalah yang terbaik, tak ada nama Zidan terselip di hati lelaki bertubuh tambun itu. Andai saja abah tahu, Khairul memang ke langgar setiap waktu Ashar. Tetapi bukan untuk mengaji, melainkan bermain meriam bambu di dekat sungai.
Pernah suatu ketika Zi ingin mengadukan perbuatan anak kesayangan abah itu. Meski akhirnya ia urungkan niatnya, lantaran takut mama yang akan menjadi sasaran kemarahan abah.
"Zidan! Kalau orangtua bicara itu jangan diabaikan. Kalau begini lebih baik Abah bicara dengan Khairul saja!" ucap Abah seraya berlalu pergi meninggalkan Zi dan Mama dengan hati yang terluka. Selalu begitu.
"Zi, belajarlah untuk mendengarkan nasihat Abahmu, Nak. Hargai ia ketika bicara ..." Mama berujar lembut sekali.
"Lelaki itu yang tak pernah menghargai hati kita, Ma ..." Zi terisak dalam pelukan Mama. Dadanya terasa sesak bila mengingat perlakuan kasar abahnya selama ini. Terlebih pada mama, wanita yang sangat Zidan cintai.
"Mengapa Mama tak pergi saja dari sini? Tidakkah Mama rindu pada ketenangan hidup tanpa Abah?" tanya Zi di sela isak tangisnya.
Mama membelai rambut hitam legam anak lelakinya itu. "Suatu hari kamu akan mengerti arti rindu, Nak. Juga arti kembali meski terluka ..."
Airmata Zidan kian mengalir usai mendengar kata-kata mamanya itu. Meski tak mengerti sepenuhnya, tapi ia tahu bahwa kalimat itu berarti mereka takkan pernah beranjak dari "neraka" ini.
"Kenapa dulu Mama izinkan Abah untuk menikah lagi?"
"Karna itu harga untuk sebuah pintu surga terbaik, Anakku ..." Mama berujar dengan seulas senyum tipis di wajah tirusnya.
"Andai Zidan perempuan, Zi lebih memilih untuk mendapat surga dari jalan lain saja. Meski bukan yang terbaik. Tetapi rasanya itu lebih baik ketimbang harus merasakan neraka terlebih dahulu di dunia seperti kita sekarang!" sungut Zi.
Mama tak bicara. Ia hanya tersenyum sembari membelai rambut hitam Zidan. Lalu mendundam sebagai pengantar tidur anak lelaki kesayangannya itu.
Guring ... guring, anakku guring
Guring diakan dalam pangkuan
Anakku nang bungas lagi bauntung
Hidup baiman, mati baiman
***
Zidan terisak usai bangun tidur. Airmata berlinang di pipi. Jenazah di ruang tengah rumah Banjar ini yang menjadi alasannya. Mama, perempuan yang amat Zi cintai itu telah pergi untuk selama-lamanya. Tanpa pesan juga tanda. Kecuali sebuah usapan tadi pagi sebelum beliau pamit mengantar pais pisang ke pasar.
Abah tampak mengobrol ringan dengan beberapa lelaki lain di beranda rumah mereka. Zi menatap pilu pemandangan itu. Tak ada kah perasaan duka kehilangan yang menyelinap di hati lelaki bergelar haji tersebut? Zi merutuki sang abah dalam hatinya. Berdoa takkan pernah dipertemukan lagi dengan makhluk yang ia gelari pengkhiat itu setelah ini.
"Pak Haji, jenazah mau dimakamkan sekarang. Mungkin ingin menyampaikan salam perpisahan?" Seorang wanita paruh baya yang tadi memandikan jenazah Mama mempersilakan. Abah menggeleng bersama picingan mata mamanya Khairul, istri kedua abah.
Sejak itu Zidan bersumpah untuk meninggalkan tanah Banjar dan pergi madam ke banua orang di seberang sana. Tak peduli akan jadi apa ia selepas aliyah nanti. Zi hanya peduli pada luka hatinya juga luka hati almarhum mama.
Hingga senja meluruh dengan sempurna, membias langit dengan warna tembaga berkilau, Zi masih melamun memandangi makam mama dari tangga teratas rumah Banjar yang sebentar lagi juga ditempati Khairul dan mamanya.
Sudahkah Mama merasakan surga? Batin Zi berujar lirih. Ia teringat cerita mama tentang surga yang diraih dengan luka pengkhianatan. Andai tidak, ia ingin mengatakan pada seluruh penganut paham sunnah berbagi hati bahwa ganjaran surga bagi istri terduakan hanyalah alibi para lelaki bernafsu lebih. Tak ada madu yang manis dalam kehidupan mendua, terlebih bagi Zidan.
***
"Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin. Sekarang waktu menunjukkan pukul 18.45 WITA ..." suara pramugari terdengar mengisi seluruh lorong pesawat.
Zi terbangun dari tidurnya selama perjalanan tadi. Bias-bias kunyit di langit masih tersisa sebelum berganti malam yang kelam. Tepat ketika roda pesawat menyentuh aspal bandara, kumandang adzan Maghrib memecah keheningan langit. Ada genangan di sudut mata Zi. Senja, adzan maghrib, tanah Banjar telah mengembalikan kenangan tentang mama dengan sempurna di benaknya. Termasuk kepedihan saat mama harus pergi untuk selama-lamanya di senja sebelas tahun lalu itu.
Sekiranya bukan karna rindu pada mama dan ingin menciumi pucuk pusara perempuan yang paling dicintainya itu, Zidan tentu takkan pernah melanggar sumpahnya untuk tidak kembali ke tempat ini. Tempat di mana luka pengkhianatan dan kehilangan figur seorang Abah pernah Zi rasakan.
"Ulun sekarang mengerti arti rindu yang membuat kita kembali meski terluka, Ma. Ulun mengerti ... ulun kembali untuk pian sekalipun luka pada Abah masih belum sembuh ..." Zi terisak dalam diamnya.
Dihapusnya genangan di sudut mata itu dengan kemeja lengan panjang hitam yang belum sempat ia ganti setelah rapat tadi. Tak ada tas, Zidan hanya turun dari pesawat dengan membawa rindu yang terasa begitu menyesakkan dada.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/cerpen-rumah-banjar/10154559256115548
0 komentar: