Cerpen Kelopak Bunga: Ima'gila'si
PAGI cerah. Suasana yang sangai disukai Jono. Laki-laki berkacamata dengan gaya berpakaian retro ini siap untuk melangkahkan kakinya untuk membuat sejarah hari ini. Tas selempang panjang dan besar, yang tentunya berisi sejumlah buku dan komputer jinjing kesayangannya, sudah tergantung di bahu sebelah kanan dan dipegangnya erat-erat. Dengan menengadah ke atas, melihat langit biru cerah, pagi ini Jono dengan pasti melangkahkan kaki keluar dari rumah kecilnya.Namun ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Sesuatu yang baru. Terlihat di depan rumahnya, berjejer dua hingga tiga mobil pengangkut barang. Ada banyak kotak kardus ukuran besar-besar yang diturunkan dari mobil-mobil pengangkut barang tersebut. Beberapa orang sibuk mengangkut barang-barang tersebut ke dalam rumah. Ya, rumah di depan rumah Jono itu sudah lama tak berpenghuni. Barangkali sekarang sudah laku terjual dan ada warga baru yang akan tinggal di situ.
Ada yang menarik perhatian Jono hingga ia menghentikan langkah kakinya. Sesekali dilihatnya jam tangan hitam kesayangannya, waktu masih menunjukkan pukul enam kurang sedikit. Pikirnya masih ada waktu sekitar setengah jam waktu luang untuk sampai ke sekolah. Perlahan ia mendekati rumah tersebut.
Dekat dan semakin dekat. Ia tak melihat siapa penghuni baru rumah di depan rumahnya ini. Hanya ada beberapa pekerja pengangkut barang saja yang sibuk mengangkut barang-barang ke dalam rumah. Jono mencoba berjingkit sedikit. Matanya jelalatan melihat sekeliling rumah itu. Tak ada tanda-tanda penghuni baru menampakkan wujudnya.
“Cari siapa mas?” tanya seseorang dari arah barat tempat Jono berdiri. Ia sedikit terkejut dan menegakkan kembali posisinya kemudian menengok ke arah suara yang menyapanya.
Jono terpukau. Beberapa saat ia tak menjawab pertanyaan dari seseorang yang sudah menyapanya pagi ini. Mulutnya sedikit terbuka. Sesekali ia membetulkan kacamatanya yang sedikit turun karena mencoba mencari tahu siapa penghuni baru rumah di depan rumahnya tadi.
“Eh… eh… enggak. Saya… saya… eh… saya…” kata Jono agak sedikit gagap menjawab pertanyaan seorang cewek yang membuatnya terpukau beberapa saat yang lalu. Jono gemetaran, perasaannya berkecamuk antara senang bertemu dengan sosok bidadari cantik di hadapannya ini dan rasa bersalah karena mencoba mencari tahu seolah-olah terlihat seperti seseorang yang ada niatan jahat. Pipinya memerah karena malu. Dengan tersenyum si cewek tadi berkata, “kenalin, saya Laras. Saya baru pindah ke sini. Kamu siapa?,” tanyanya sambil mengulurkan tangan.
“Saya Jono. Saya tinggal di seberang sana,” jawab Jono sambil menunjuk ke arah rumahnya. “Maaf kalau tadi saya bersikap tidak sopan,” tambahnya.
“Iya, gak papa, kok. Nanti mampir yah. Senang berkenalan dengan kamu.”
“Iya terima kasih. Kalau begitu saya permisi dulu,” kata Jono pamit dan berpaling dari Laras kemudian berjalan lurus ke arah luar komplek dengan senyum merekah di wajahnya.
***
SESAMPAINYA di sekolah, Jono langsung duduk di kursinya dan mengeluarkan beberapa buku yang dipersiapkan untuk menyambut pelajaran pertama. Melihat Jono yang pagi-pagi senyum-senyum sendiri, Bagus menghampiri meja belajar Jono.
“Weeeeeh… bahagia sekali kamu, Jon. Ada apa nih?” tanya Bagus sambil merangkul bahu Jono.
“Enggak ada apa-apa kok, Gus,” jawab Jono.
“Masa’? Sama teman sendiri aja gak mau berbagi kebahagiaan. Ada apa ini?”
“Errrr…. Tahu nggak kenapa pagi ini aku bahagia banget?”
Bagus hanya geleng-geleng kepala.
“Ada bidadari cantik yang baru pindah rumah, di seberang rumahku, Gus. Selain cantik dia juga baik sekali. Namanya Laras.”
“Hahaha… masa sih? Coba tunjukkin fotonya. Ada nggak? Paling-paling kamu lagi berimajinasi. Makanya, jangan terlalu pintar, Jon.”
Jono mengernyit. Sambil membenarkan letak kacamatanya ia menjawab, “ Awas kamu! Nanti aku perlihatkan fotonya kalau aku bertemu lagi dengannya.”
“Hahaha… Jon, Jon. Sudahlah,” sahut Bagus dan beranjak dari kursi sebelah tempat Jono duduk.
***
MINGGU pagi. Cukup cerah setelah malam tadi diguyur hujan lebat dan angin kencang. Jono memandang keluar dari balik tirai kamarnya di lantai atas yang berhadapan langsung dengan jalan. Jalanan basah mengkilap terkena pantulan sinar matahari pagi. Dedaunan berserakan di sepanjang jalan sejauh matanya memandang akibat embusan angin kencang tadi malam. Perlahan keramaian muncul. Lalu-lalang orang yang ingin menikmati pagi, riuh terdengar di depan rumahnya.
Tentu saja tak lupa matanya memandang ke arah seberang rumahnya. Terlihat Laras yang sedang menyiram tanaman di halaman rumah. Jono sedikit heran dengan kegiatan pagi Laras yang satu ini, padahal tadi malam hujan lebat. Teringat dengan undangan berkunjung ke rumahnya ketika pertama kali bertemu dengan Laras, Jono berniat hendak berkunjung ke rumah Laras. Memang, sejak pertama bertemu, Jono belum berkunjung ke rumah Laras. Sejauh ini setiap bertemu dengan Laras, Jono hanya mengangguk dan tersenyum saja pada Laras.
“Selamat pagi, Laras,” sapa Jono dari luar pagar rumah Laras. Laras berpaling dan melihat ke arah luar rumah. Ia tersenyum dan berlari ke depan pagar untuk membukakan pintu.
“Eh, Jono. Selamat pagi juga. Masuk, yuk!” jawab Laras.
“Makasih.”
Jono masuk ke halaman rumah Laras. Kemudian mereka duduk di bangku taman dekat kolam kecil yang ada di rumah Laras. Sesaat mata Jono menyapu pemandangan di sekitar rumah Laras. Begitu asri dan bersih, membuat perasaan siapa pun yang berkunjung ke sini akan merasa nyaman dan tenang. Laras masuk ke dalam rumah menyeduh teh untuk dinikmati bersama di minggu pagi ini dengan Jono. Tak berapa lama Laras datang membawa nampan yang berisi teko porselen beserta cawannya. Mirip upacara minum teh di Jepang.
“Diminum, Jon,” kata Laras mempersilakan Jono.
“Iya, makasih,” jawab Jono sambil menyambut cawan yang disuguhkan Laras dengan aroma teh melati yang menusuk hidung dan membuat tenang pikirannya. Kemudian ia menyeruput perlahan teh yang agak panas itu.
“Kamu tinggal sendiri?” tanya Jono memulai pembicaraan.
“Iya, tapi tiap akhir pekan orangtuaku datang kok,” jawab Laras.
“Wah, berarti sebentar lagi orangtuamu datang, dong? Saya jadi nggak enak, nih.”
“Ah, santai aja, Jon.”
Mereka akhirnya larut dalam perbincangan santai di minggu pagi. Terlihat keakraban di antara mereka yang saling bercengkrama. Sesekali Jono mengambil beberapa foto di sekitar rumah Laras. Menurutnya, ada beberapa spot di sekitar rumah Laras yang wajib ia abadikan, termasuk Laras.
***
KEESOKAN harinya, Bagus menunggu Jono di depan pintu kelas. Ia ingin menagih janji Jono yang akan memperlihatkan foto gadis pujaannya. Sesekali kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, menanti batang hidung Jono muncul di hadapannya. Tak berapa lama yang dinanti muncul.
“Jon, mana nih foto cewek yang mau kamu perlihatkan?” tanya Bagus.
“Sebentar!” jawab Jono. Kemudian ia mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam buku sakunya dan menunjukkannya pada Bagus. Bagus terpukau sejenak, tapi kemudian keningnya mengerut heran.
“Ada apa, Gus?” tanya Jono yang melihat Bagus tiba-tiba terdiam dan mengernyitkan kedua alisnya.
“Benar ini orangnya? Jangan-jangan kamu nyolong dari internet, ya?”
“Ah, kamu ini, masih aja nggak percaya. Tapi ya udahlah. Terserah kamu mau percaya apa nggak, yang penting aku sudah tunjukin gimana orangnya,” kata Jono. Kemudian ia masuk ke dalam kelas.
***
PENASARAN dengan cewek yang fotonya diperlihatkan oleh Jono, Bagus pun mencoba mencari tahu. Sepulang sekolah ia membuntuti Jono pulang ke rumahnya. Ia memata-matai setiap kegiatan Jono di luar rumah dari siang hingga senja menjelang.
Mula-mula, ketika Jono berjalan pulang ke rumah, dipastikannya Jono tidak menyadari keberadaannya. Bagus menengok ke arah seberang rumah Jono. Rumah yang kata Jono adalah rumah Laras, perempuan cantik pujaannya. Tapi yang didapatinya hanya rumah kosong dengan pagar terkunci dan di depan pagar bergantung sebuah tulisan ‘DIJUAL TANPA PERANTARA. HUB 081 251 05X XXX’. Baginya jelas tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Sesekali ia mengintip ke dalam lewat celah-celah yang ada di pagar rumah itu, memang tidak ada penghuni baru di dalamnya.
Kemudian ia menengok ke arah rumah Jono. Pikirannya mengawang-awang lagi, kemarin Jono bercerita dan sekarang ia membuktikan cerita Jono tersebut. Tidak mungkin sekarang yang ada di hadapannya adalah apa yang diyakini Jono.
Bagus menunggu Jono keluar rumah dan mungkin akan bertamu ke rumah kosong itu. Ia menunggu di sebuah warung tidak jauh dari rumah Jono. Ternyata benar. Jono keluar dari rumah kemudian menyeberang ke rumah—yang kata Jono ada penghuninya itu. Anehnya, oleh Jono pagar rumah itu tidak terkunci dan dia bisa masuk ke sana. Penarasan yang makin menjadi-jadi akhirnya membuat Bagus beranjak dari persembunyiannya dan berjalan ke arah rumah tersebut.
Sedikit mengendap-endap, Bagus mengintip lagi di luar pagar. Ia melihat Jono tengah duduk di bangku taman di halaman dan seolah-olah berbicara dengan seseorang.
Dahi Bagus makin mengkerut. Ia tak habis pikir temannya ini sedang berimajinasi hingga setengah gila seperti ini. Ia mencoba berdamai dengan dirinya bahwa Jono mungkin tengah berlatih sebuah drama teater atau memang benar-benar mengkhayal. Diintipnya lagi lubang yang ada di pagar yang tertutup itu, Jono masih melakukan hal yang sama. Sedikit bergidik melihat tingkah Jono, Bagus menyudahi kegiatan memata-matainya kali ini. Dilihatnya langit makin menjingga, dan ia pun pulang.
***
SIANG yang lumayan panas ini, Bagus menunggu Jono di kantin. Sebelumnya ketika di kelas, Bagus mengirimkan pesan singkat pada Jono untuk menemuinya di kantin sekolah ketika istirahat tiba. Sambil menyeruput es jeruknya yang mulai habis, pandangannya menerawang ke sekeliling kantin, menanti sosok Jono muncul. Bagus mulai gelisah karena sebentar lagi waktu istirahat akan segera berakhir. Sesekali dilihatnya jam tangan kemudian melihat sekeliling dan ternyata Jono muncul.
“Nah, ini dia yang ditunggu,” kata Bagus.
“Ada apa sih, Gus?” tanya Jono sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Jon, aku nggak habis pikir.”
“Nggak habis pikir gimana maksudmu? Aku nggak ngerti.”
“Itu! Soal cewek yang kamu panggil Laras. Dia itu sebenarnya nggak ada, kan? Itu cuma khayalan kamu aja, kan? Jon… Jon… mengkhayal kok realistis gitu?”
“Jadi maksud kamu aku ini berkhayal?”
“Iya.”
“Jadi kamu pikir aku gila?”
“Betul itu.”
“Gus, yang gila itu kamu!”
“Loh, kok aku?” tanya Bagus heran dan memandang Jono.
“Memang kamu pikir aku ini nyata? Laras juga nyata? Sadar, Gus. Aku ini cuma imajinasi kamu aja. Aku ini teman khayalan kamu aja.”
Bagus terperangah. Kemudian dia mencoba memanggil memori masa lalunya. Tentang Jono dan rumahnya. Memang kosong. Sama seperti rumah Laras yang diceritakan Jono, tak ada siapa-siapa. Jono tidak nyata, Laras pun juga tidak. Laras adalah imajinasinya Jono, dan Jono adalah imajinasinya Bagus. Seketika itu juga Bagus seolah-olah tersadar. Kemudian datang Bulek mie ayam kantin yang melewati tempat Bagus duduk.
“Kamu nggak sakit kan, Gus?” tanya Bulek.
“Nggak, Bulek. Memang kenapa?”
“Kalau kamu sehat, kenapa daritadi saya perhatikan kamu ngomong sendiri?” tanya Bulek lagi sambil mengangkat mangkuk-mangkuk mie ayam yang telah habis dimakan. Bagus melihat sekelilingnya, semua orang memerhatikannya. Ada yang memandang aneh dan ada pula yang menertawakannya. Bagus sedang dalam kondisi kebingungan. Lalu Jono tertawa dan berkata, “Makanya Gus, jadi orang jangan terlalu pintar!”
Sumber:
https://banjarmazine.com/2015/06/07/cerpen-imagilasi/
0 komentar: