Cerpen Mahfuzh Amin: Siluman Palak
Malam masih gerah, padahal sudah sangat larut. Ancai – yang malam ini bertugas jaga malam – sedang menyeruput kopi hitamnya yang masih mengepul ketika hidungnya menangkap bau yang menusuk. Makin lama, bau itu semakin menyengat, hingga membuat hidungnya terasa sakit. Ia mulai batuk-batuk. Matanya pun terasa pedas dan mulai berair.
Ini adalah pertanda…
Ia bergegas mengambil pentungan dan memukul-mukulnya dengan keras sambil berlari mengelilingi dusunnya. “Palak!!! Palak!!!” teriaknya.
Semua warga sudah paham maksud peringatan Ancai. Lantas mereka menyalakan lampu dan bersiaga dengan gayung di tangan dan seember air di rumah masing-masing.
Seperti sudah menjadi agenda tahunan di puncak panasnya kemarau, Siluman Palak selalu datang menghantui dusun-dusun untuk mencari mangsa, tak terkecuali dusun Gambut. Makhluk astral yang tak diketahui wujudnya ini memang telah menjadi momok yang menakutkan. Ia hadir seperti udara, tak bisa disentuh, namun baunya menyegat dan dapat membuat mata perih hingga berair.
Siluman Palak bukanlah siluman penghisap darah, pemakan daging, apalagi pencuri celana dalam. Ia adalah siluman yang merasuki manusia, kemudian menyuruh manusia itu melakukan apa yang diinginkannya. Biasanya, hal yang ia inginkan selalu berhubungan dengan api.
Seperti yang terjadi di dusun Karet setahun silam. Hampir seluruh kebun Karet milik warga habis dilahap api akibat ulah seorang warga yang awalnya hanya membakar sebatang pohon karet atasan perintah Siluman Palak. Beberapa rumah warga juga ikut terbakar. Setelah kejadian itu, dusun Karet pun diselimuti asap tebal yang membuat para warga kesulitan bernapas hingga banyak yang mengalami infeksi pernapasan. Bahkan, ada balita yang meninggal akibat bencana ini. Hingga hujan turun menguyur dusun Karet, barulah Siluman Palak pergi meninggalkan dusun tersebut.
Tentu warga dusun Gambut tak ingin kejadian naas yang menimpa dusun Karet itu terjadi di dusun mereka. Sehingga mereka menyatakan siaga satu untuk menghindari Siluman Palak mengabuti dusun mereka. Dengan strategi menyalakan seluruh lampu hingga membuat rumah mereka terlihat benderang, mereka berharap Siluman Palak enggan mendekati rumah mereka.
Memang benar, Siluman Palak tampak enggan mendekati rumah-rumah dusun Gambut. Ia pikir, penghuni rumah pasti sudah siaga untuk mengusirnya dengan air. Namun, sebelum ia mengurungkan niat mencari mangsa di dusun Gambut, ia melihat sebuah rumah yang gelap gulita. Ia segera mendekati rumah itu.
Ternyata itu adalah rumah Ancai. Ia memang sengaja tidak menyalakan lampu agar menjadi perhatian Siluman Palak. Ia juga sengaja mengajukan diri menjadi penjaga malam. Ia ingin Siluman Palak datang ke rumahnya.
“Akhirnya, kau datang juga,” sambut Ancai ketika rumahnya mulai dikepuli asap.
Kepulan asap itu mulai menyelimuti tubuh Ancai. Ancai terbatuk-batuk.
“Tenang! Tenang!” pinta Ancai dengan suara yang mulai parau. “Aku tidak bermaksud menantangmu. Aku hanya ingin bernegosiasi denganmu.”
Kepulan asap menyebar meninggalkan tubuh Ancai. Dada Ancai turun naik, mengatur napas.
“Katanya, kau bisa membuat orang kaya, benar itu?” tanya Ancai. “Jujur, aku sudah capek jadi orang miskin. Aku ingin menjadi orang yang kaya. Jika kau bisa membuatku kaya, aku siap menjadi abdimu.”
Kepulan asap itu terbang meliuk-liuk mengelilingi ruangan. Kemudian, terdengarlah suara yang berat, “Aku bukan penyihir yang bisa membuatmu kaya sekejap. Tapi, aku bisa memberimu jalan untuk menjadi orang kaya.”
“Bakarlah hutan yang ada di belakang dusun ini!” seru Siluman Palak.
“Mengapa harus membakar. Tidak ada cara lain kah?” nego Ancai.
“Aku suka api. Jika kau ingin bantuanku, kau harus melakukan apa yang kusukai. Jika kau bisa membuat aku senang, aku pun akan membuatmu senang.”
Ancai diam. Menimbang-nimbang.
“Jika kau bakar hutan itu, maka akan terbuka lahan untuk kau tanami. Aku akan memberi tahu Tanah agar setiap tanaman yang kau tanam nanti tumbuh subur.”
Ancai perlahan sumringah. Ia telah tergiur. Bergegas ia mengambil minyak tanah dan membawanya ke hutan. Dusun Gambut beserta dusun-dusun di sekitarnya pun langsung geger melihat kobaran api besar yang melahap hutan kebanggaan mereka akibat keserakahan dan ketidakpedulian seseorang yang tidak mereka ketahui.
“Sepertinya kita harus mengungsi. Siluman Palak pasti akan merajalela,” ujar seorang warga ketakutan.
Ancai tersenyum bahagia melihat kobaran api yang besar itu, seakan melihat emas-emas yang siap diraupnya agar ia menjadi orang kaya. Dia tak menyadari bahwa di belakangnya, sang Siluman Palak siap kapan saja mendorongnya masuk ke kobaran api itu.
Tanjung berkabut, 21 September 2015 pukul 22.21 WITA
Sumber:
Banjarmasin Post, Minggu, 20 Maret 2016
0 komentar: