Cerpen Ramadhan: Mati Rasa

19.43 Zian 0 Comments

Aqif heran dengan salah seorang pelanggannya. Sulit untuk tidak memerhatikan Pak tua yang terseok-seok dan selalu duduk di pojokan warung untuk makan siang. Sebulan sudah Pak tua itu menjadi pusat perhatian para pengunjung lainnya. Yang menarik perhatian Aqif adalah ketika Pak tua itu menyuapkan makanan ke mulutnya. Aqif bingung mengapa Pak itu meneteskan air mata. Selalu menangis tatkala menyantap masakannya. Tak peduli cuaca cerah atau hujan deras seperti saat ini, Pak tua selalu datang untuk menikmati, bukan, bagi Aqif lebih tepatnya meratapi makan siangnya.
“Nasi sup jamurnya tidak enak ya Pak, jadi Bapak menangis?” tanya Aqif ketika warung makannya lengang.
Si Pak tua itu terkejut disapa oleh Aqif yang berada di balik punggungnya. Dia langsung menyeka air matanya yang meleleh dan menyapu ingusnya dengan punggung telapak tangan. Ekspresinya sarat dengan kekalutan juga penyesalan.
“I-itu, bukan. I-itu.” Pak tua tak sanggup menyelesaikan ucapannya. Dia mendadak menelungkupkan wajahnya ke tangannya. Menangis. Tersedan. Seperti gadis yang baru diputus kekasih.

Aqif terkejut melihat respon dari Pak tua. Bingung apa yang harus dilakukan mendengar tangisan yang tertahan seperti itu, Aqif hanya segera menepuk-nepuk pundak si Pak tua, berharap bisa menenangkan.
“M-maaf Dik. Saya tidak tahan lagi menahan tangis,” ujar Pak tua lirih dan terbata. “Bukan masakanmu yang tidak enak. Hanya saja…” lanjutnya dengan lirih sambil menyeka air mata yang membanjir, “Saya tak bisa merasakan apa-apa lagi Dik. Lidah saya mati… mati.”
Pak tua lalu memeluk Aqif. Aqif tercengang mendengar jawaban dari pelanggannya. Aqif memerhatikan Pak tua yang menangis lebih hebat dari sebelumnya. Lalu dia segera memutuskan untuk menutup warung, tidak tega untuk mengabaikan Pak tua yang terisak-isak memeluknya.

***

“INI semua terjadi karena aku selalu mencela masakan Istriku,” bisik si Pak tua tiba-tiba, sambil bergetar, mengawali cerita. Dia menarik nafas panjang kemudian melanjutkan, “Aku selalu menemukan hal yang tidak enak dalam masakannya. Rasanya tidak pernah pas. Walaupun dia ikut kursus berbulan-bulan. Hasilnya sama saja.” Wajah Pak tua agak mengeras.
Aqif memutuskan untuk diam dan mendengarkan saja cerita Pak tua. Sulit baginya percaya bahwa lidah bisa mati. Seperti memercayai awan bisa dijejaki.
Pak tua jera makan di rumah sejak pertama mencicipi masakan istrinya, selalu makan di luar. Kadang sendirian. Lebih sering berdua dengan istrinya. Tapi lama-lama istrinya tak tahan selalu makan di luar dan ingin sekali makan bersama di ruang makan di rumah. Istrinya juga sudah mengikuti kursus masak. Pak tua menuruti kehendaknya. Dan ternyata masakannya tetap tidak sedap, sama seperti yang sudah-sudah. “Aku hanya makan satu-dua kali suapan. Begitu seterusnya. Selebihnya aku makan di luar. Kembali pada rutinitasku,” paparnya.
Pak tua tak pernah lagi makan di rumah. Sangat tidak enak. Tidak memuaskan. Bahkan dia berhenti meminta istrinya memasak. Pak tua selalu pulang ke rumah membawa makanan. Yang dibelinya dari warung atau yang dibuatkan oleh ‘kekasihnya’.
“Jangan menghakimiku, dik!” sambarnya tiba-tiba. “Kau tak tahu betapa tersiksanya aku dengan masakan istriku.”
“Apakah lebih enak masakan kekasih Anda dibanding masakan istri Anda?” tanya Aqif memotong.
“Bumbu paling sedap agar masakan itu lezat adalah cinta, dik. Itu yang tak dijual di warung-warung. Istriku… ah, aku malah mendapatkannya dari kekasihku.”
Kemudian suatu sore, istri Pak tua murka. Entah angin mana yang mengabarinya hingga ia mengamuk mengetahui bungkusan yang dibawa suaminya itu tak hanya berasal dari warung makan, tapi juga buatan perempuan lain. Dalam sekejap rumah mereka bergetar hebat.
“Lalu kami berpisah. Hidup tak pernah sama lagi, dik. Aku lalu hidup bersama kekasihku, sampai dia meninggalkanku, mencari tempat bernaung yang lebih teduh, katanya. Cintanya telah kering,” ketus Pak tua. “Mantan Istriku? Setelah perpisahan kami, mantan adik iparku memberitahu bahwa ia lebih banyak tertawa dan menangis sendiri di kamarnya. Ketika keluar kamar, ia menuju dapur berlatih memasak. Akhirnya ia meninggal. Sebab tidak tidur selama dua minggu. Hanya dan hanya ingin memasak.”
Setelah menerima berita kematian mantan istrinya, Pak tua bergegas menuju kediaman mantan mertuanya dan membantu mengurus pemakaman. Namun, sialnya dalam perjalanan Pak tua mengalami kecelakaan hebat. Cukup parah dan membuatnya dirinya koma. Kaki kanannya tak berfungsi normal.

***

DI mana aku? Pak tua bingung mengapa dia berada di alam terbuka. Langit penuh gemintang dan rembulan yang menyala terang cemerlang bak lampu neon.  Rerumputan yang nyaman di telapak kaki yang terasa hangat menyegarkan.  Di tengah padang berumput ini ada meja makan—persis meja makan di dapurnya dulu—dengan hidangan yang aromanya teramat menggoda hidung dan menggoyangkan lidah.
“Maukah kau makan malam bersama denganku, Sayang? Maaf, selama menjadi istri aku selalu mengecewakanmu. Ini permohonan maafku,” Pak tua terkejut setengah mati mendengar sekaligus melihat istrinya sekonyong-konyong hadir di hadapannya, duduk di meja makan, berbalut gaun yang menawan. “Semoga masakanku kali ini tidak akan mengecewakanmu, Sayang,”
Serta merta lutut Pak tua goyah dan roboh. Dia terisak dan tergugu-gugu. Meminta maaf atas perilakunya dulu. Dia memohon agar istrinya memaafkannya. “Jangan menangis, Sayang,” ujar sang Istri lembut. ”Semuanya baik-baik saja. Sekarang mari kita makan malam.” Istrinya mendekat dan mendekap Pak tua, menenangkannya.
Pak tua memeluk erat istrinya. Lalu dia merasa agak lega dan bangkit untuk segera mencicipi hidangan yang tersaji. Luar biasa, pikirnya. Makanan ini membuat efek tubuhnya terasa melayang dan mengambang di tengah nyala bintang. “Ini sungguh lezat dan nikmat,” ujar Pak tua.
“Terima kasih,” sahut istrinya tergelak. “Aku sangat bahagia kau akhirnya menikmati masakanku, Sayang. Habiskan, ya?” Istrinya beranjak dari kursi.
“Mau kemana, Sayang? Kau tak makan?”
“Hidangan ini khusus untukmu. Aku harus pergi. Dan kau harus terus menikmati apapun yang tersisa,” katanya sambil mengedip dan memberikan ciuman dari jauh.
Kemudian semua gemintang menyala lebih terang, putih membutakan.

***

“LALU aku bangun dari komaku. Aku merasa sehat dan bugar. Tidak lagi merasakan sakit disekujur badan. Ajaib bukan? Tapi sebenarnya itu adalah kutukan,” kata Pak tua, tangannya mengepal kuat. “Setelah bangun aku tidak bisa mengecap rasa apa-apa lagi. Dokter tidak menemukan kejanggalan apa pun dengan indra perasaku. Tidak ada yang salah, katanya. Aku sudah bersikeras menunjukkan aku tak merasakan manis, pahit, dingin, atau panas. ‘Tapi lidah Anda normal, tidak ada yang salah,” kata dokter.
Sejak hari itu, Pak tua harus menerima kenyataan bahwa dia tak bisa merasakan nikmatnya makan makanan lagi. “Karena itu aku selalu menangis saat menyuap makanan. Aku tahu istriku tertawa riang melihatku seperti ini, jauh di sana. Dia membalasku!” kata Pak tua dengan mata berair.
“Dan kau tau, dik? Masakan terakhir yang kulahap yang disajikan istriku di lapangan berumput itu ialah sup jamur. Karena itulah aku selalu datang kemari. Aku berharap bisa menikmati kelezatan itu lagi. Satu kali saja,” katanya menahan isak. “Satu kali saja!” raungnya seperti anak kecil yang merajuk.
Aqif bersandar di kursinya, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong bajunya, menarik sebilah, menyalakan geretan, dan menghembuskan asap. Sulit menerima cerita dari pelanggannya itu. Aqif menatap lekat-lekat Pak tua. Dari raut wajahnya tampak jelas kesangsian atas cerita yang disampaikan.
“Kau masih tidak percaya, dik? Lihat ini!” katanya sambil menyendok sambal ke dalam mulut, mengunyahnya, dan menelannya. “Kau lihat? Aku tak merasa kepedasan!”
Aqif ternganga melihat hal itu.

Sumber:
https://banjarmazine.com/2015/05/16/cerpen-mati-rasa/

0 komentar: