Cerpen Kayla Untara: Malam Jahanam
Kuseret langkah kaki menyusuri lorong-lorong diremang temaram lampu neon yang terpasang berjejer di atas kepalaku. Meski kakiku berselimut sepatu kulit mengkilap keluaran terbaru, aku bisa merasakan dinginnya ubin malam ini. Entah ini sudah hari atau tepatnya malam ke berapa aku berkunjung ke tempat yang aku sendiri tak tahu namanya. Lorong yang sama, temaram yang sama, dingin yang sama mulai menggirap di balik baju jas mahalku merk luar negeri yang baru kubeli tadi sore.Sembari aku melangkah, di samping kiri dan kananku banyak suara dengan irama bermacam-macam. Ada yang berteriak, ada yang tersenyum, ada yang melambai, ada yang tertawa. Tertawa gelak malah.
"Bangsat! Kau pikirbisa mentertawakanku. Sekarang aku sudah sukses. Aku sudah jadi pejabat!"
Gumamku sembaritetap melangkah. Di sela langkahku, mataku tetap setia mengawasi setiap gerak-gerik orang-orang yang ada di kanan-kiriku. Berusaha memahami mereka, berusaha mengerti apa maksud mereka. Ketika ada yang bertepuk tangan, aku berusaha melambai seadanya. Jika ada yang balas melambai padaku, kubalas dengan senyum terpaksa, toh tak ada gunanya lagi mereka. Aku sekarang sudah menjadi pejabat. Aku sudah menjadi seorang Gubernur!
"Hahahahahaha...."Pecah tawaku dalam bahasa diam yang hanya bisa dimengerti olehku sendiri.
Dengan agak pelan kulangkahkan kakiku berusaha keluar dari lorong dingin ini. Terlalu ramai, terlalu ribut. Telingaku tak tahan. Apalagi jika kudengar mereka mengeluh soal hal-hal yang aku sendiri tak peduli. Soal bahan pokok naik, BBM, konversi gas elpiji, dan hal-hal tak berguna yang membuat aku pusing sendiri. Toh kini aku sudah tak perlu lagi mereka.
Kembali, jika kupikirkan lagi, mereka lebih bodoh dari yang kukira. Sekejab, pikiranku menerawang ketika aku masih kampanye beberapa waktu lalu.
***
Dengan gagah dan bersahaja aku duduk di atas panggung menunggu untuk memberikan beberapa kalimat untuk menggugah mereka yang berkerumun bak semut di tengah lapangan pada tengah hari dengan sinar matahari terik menampar wajah-wajah berdaki mengkilat oleh peluh. Ratusan bahkan hampir ribuan orang rela berkumpul walau hanya dilayani dengan sebungkus nasi dan uang saku lembaran sepuluh ribu. Jika tidak begitu, aku takut di hari terakhir kampanye ini sainganku akan menertawakanku dan aku akan terlihat seperti orang bodoh.
"Baik, kita persilahkan kepada beliau untuk menyampaikan visi dan misi ke depan jika beliau terpilih..." Pembawa acara yang kusewa dengan harga mahal memberikan kesempatan dan waktu untukku.
Dengan gagah dan berwibawa, aku maju ke depan dan mengambil mic yang tersedia. Mulailah mulutku kembali mengatakan hal-hal yang memang sudah kuhapal sejak tadi malam. Disusun dengan kata dan kalimat semanis madu asli. Bicara janji-janji liur basi, dengan semangat berapi-api menyampaikan visi dan misi bau tai, ternyata cukup membuat gaduh lapangan. Mereka meneriakan yel-yel dukungan padaku, aku tersenyum lebar mendengarnya. Dan hal itu terjadi berulang-ulang sebagaimana tarikan bibir senyum yang sengaja tercipta hingga aku selesai bicara.
Hari terakhir kampanye itu kumanfaatkan dengan maksimal. Dana yang kugelontorkan demi meraup suara tak tanggung-tanggung sejak awal kampanye hingga hari ini. Menembus angka milyaran! Bahkan aku tak perduli sampai berhutang di sana-sini, tapi aku puas. Tim suksesku berhasil meyakinkan bahwa aku bakal meraih suara yang sangat signifikan nantinya dibandingkan dengan pesaingku. Apalagi wajahku terpampang di semua media lokal satu halaman penuh dengan berbagai gaya. Ditambah sebelum pencalonan aku sudah pula mencitrakan diri di depan masyarakat banyak dengan sering hadir di majelis-majelis taklim, membangun rumah yatim piatu, menyumbang mesjid dan mushala, dan merangkul beberapa ulama, karena aku tahu mereka perlu dana, sedang aku perlu massa.
Besok adalah hari H Pemilukada. Beberapa penasehat kampanyeku menyarankan aku mesti ambil langkah aman sebelum itu. Katakanlah semacam serangan fajar. Aku menyetujui, karena kuyakin sainganku pun akan melakukan hal yang sama. Yang membedakan adalah nominal angka dan caranya saja.
Malam yang sama, dingin dan mendebarkan. Dimulai dari berkumpulnya beberapa anak buahku yang terbagi dalam beberapa tim akan menyebar tengah malam nanti. Berusaha untuk mengumpulkan dukungan sebanyak-banyaknya di daerah yang paling berpotensi meraup suara. Puluhan bahkan ratusan juta kugelontorkan malam itu. Itubukan uang sogokan atau para pengamat biasa katakan money politic! Bukan sama sekali!
"Ingat, ini adalah dana hibah sebagai rasa terimakasih saya kepada masyarakat yang sudah mendukung dan rela memberikan kesempatan kepada saya besok untuk memenangkan pemilukada..."kataku sebelum mereka menyebar bak rayap.
Mulailah merekabergerak. Mengetuk pintu demi pintu. Melakukan lobi kecil-kecilan. Ternyata tak ada penolakan. Cuma dalam hitungan jam, akhirnya uang terimakasih itu berpindahtangan kepada orang-orang yang telah beruntung bahwa besok bisa mengepulkan dapur tanpa mesti bekerja. Dan tentu hal itu, uang terimakasih itu, nantinya harus dibalas dengan janji akan memberikan yang "terbaik" buat saya.
Ketika laporan kuterima bahwa tim suksesku telah selesai melakukan pekerjaannya, aku tersenyum puas. Membayangkan meski bagaimana nanti memberikan statemen ke pers tentang kemenanganku. Apakah dengan air mata buaya dan rasa sedih yang dibuat-buat karena telah menanggung amanah dari rakyat, atau sedikit ekspresi gembira? Ah, kita lihat nanti saja.
"Ha...ha...ha...ha...ha...ha...." Di hadapan timku aku tertawa, menertawakan kedunguan orang-orang yang telah kumanfaatkan demi kepentingan pribadiku. Dan mereka yang ada dihadapanku, tim suksesku, juga tertawa dalam bahasa diam. Tapi aku tahu, sebab mata mereka mengatakan bahwa mereka juga ikut tertawa. Mereka telah berhasil menjilatku. Aku tahu, tapi aku suka!
***
Terkenang aku akan peristiwa malam terakhir itu, aku kembali tertawa hingga suaraku memenuhi lorong dan menyelinap di antara bisingnya suara-suara orang-orang bodoh disamping kiri dan kananku. Aku tahu telah habis-habisan demi meraih dukungan. Apalah artinya satu dua milyar, jika setelah aku sudah jadi pejabat nanti akan mendapatkannya kembali berkali-kali lipat. Apalah arti omelan isteri, jika nanti aku bisa dengan mudahnya mendapatkan hangatnya selangkang perempuan-perempuan muda.
Kembali aku tertawa.
Lorong yang kulalui terasa sangat jauh. Dinginnya ubin lantai kembali kurasakan menembus sepatu kulit mahalku. Semakin aku berjalan, semakin banyak kutemui kebisingan. Tapi satu hal yang kutahu, mereka memang bodoh, goblok! Hanya dengan selembar dua lembar uang puluhan ribu juga akan diam nantinya. Aku tetap melangkah dengan wajah angkuh dan sok berwibawa. Wajah-wajah bodoh itu kembali menatapku dengan tatapan sinis, namun yang kurasakan adalah tatapan iri terhadapku, terhadap jabatan yang telah kuraih saat ini.
Di balik temaram lampu, kuperhatikan ada bayangan dua orang mendekat ke arahku.
"Maaf, pak, Bapak mesti istirahat dulu..." kata salah seorang begitu berada di hadapanku.
Sebelum kujawab, kulihat wajahnya. Sosok yang tak kukenal. Tapi wajarlah, sebagai seorang pejabat mana perlu aku kenal dengan semua bawahanku. Tak penting.
"Nantilah, aku inginmenyapa masyarakat pemilihku dulu..., mungkin ada hal-hal yang mereka ingin sampaikan...". Aku bicara sok perduli.
"Tapi ini sudah larut malam, pak..." dia kembali berusaha membujukku.
Aku tetap menolak."Tak ada kata terlalu larut untuk kepentingan masyarakat banyak. Bukankah sebagai seorang pemimpin aku mesti menunjukan rasa kepedulianku kepada mereka?" kataku dengan lagak sedikit angkuh.
"Masih ada waktu besok kan, pak?"
"Tidak ada kata besok!" aku kembali membantah. "Malam ini ya malam ini, besok ya besok! Jangan dicampur adukkan dong. Malu sama masyarakat!" Nada bicaraku mulai berubah marah.
"Bapak ingat kejadian tadi malam?" yang seorang lagi bertanya.
Aku tak mengertimaksud dari pertanyaannya. Memangnya kenapa tadi malam. Aku merasa tak ada yang aneh dan biasa saja. Waktu siang kuhabiskan lobi dengan beberapa pengusaha, paling tidak di waktu malam lah aku bisa bercengkrama dengan masyarakat, pikirku.
"Nanti susah, pak..., bapak tak ingin kejadian tadi malam terulang kan?" dia bertanya kembali.
Bangsat! Memangnya kenapa tadi malam? Aku benar-benar tak merasa terjadi apa-apa tadi malam. Yang kutahu aku menjalankan runtinitas seperti biasa. Memanfaatkan faslitas wah dan lux. Berjalan angkuh dengan dagu terangkat. Seperti layaknya seorang pejabat.Tak ada yang aneh.
Sambil tetap melangkahkan kaki, aku berjalan diiringi oleh dua orang bawahanku tadi. Kebisingan semakin menjadi-jadi. Beberapa teriakan kudengar semakin dekat dengan gendang telingaku. Suara gelak tawa pun semakin membuncah seakan mengejekku.
"Kurang ajar kalian!" bentakku.
Bukannya berkurang, suara gaduh makin bertambah. Tawa pecah seakan tepat di depan telingaku.
"Ada apa dengan kalian, ha! Apa kalian tidak lihat seorang Gubernur sedang lewat di hadapan kalian? Apa tidak ingat berapa duit yang sudah kalian terima dari kantongku, ha?! Dasar anjing kampung!?"
Tak ada sahutan. Tak ada yang perduli. Kukira akulah yang tak perduli, tapi mereka juga tak perduli denganku. Ah, kenapa aku mesti marah dengan mereka? Toh aku tak punya kepentingan lagi dengan orrang-orang bodoh itu. Bukannya aku kini sudah menjadi orang nomor satu di kota ini? Akan kulakukan apa yang kumau, mereka hanya sampah bagiku.
"Ha...ha...ha...ha...ha...!!!" tawaku pecah. "Kalian memang bodoh! Aku Gubernur! Kalian bisa apa?Ha...ha...ha...!!!"
Seketika lorong itu kurasakan sunyi dan hanya terdengar tawaku yang membahana. Aku kembali tertawa, tertawa, dan tertawa...
***
Pandanganku sedikit kabur ketika aku mulai membuka mata. Kulihat ada beberapa orang di sekelilingku. Entah siapa dan mau apa mereka. Mereka memakai seragam putih semua. Kudengar mereka saling berbicara seperti orang goblok dan dungu. Sepertinya membicarakanku. Setan alas! Berani-beraninya mengganggu tidurku!
"Mau apa kalian, ha? Aku seorang Gubernur!"
Mereka terkejut mendengar hardikanku. Kembali aku tertawa, tertawa, dan tertawa...
"Berikan suntikan kembali biar tenang..." seorang lelaki berkata sebelum aku kembali lenyap dalam tidur dan mendapati malam jahanamku kembali.***
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 22 Agustus 2010
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-malam-jahanam/422114827740
0 komentar: