Cerpen Ahmad Kamaluddin: Kelabu di Matanya
Di tengah malam sunyi, seorang pemuda tengah sibuk mengutak-atik sebuah senjata api di kamarnya. Tampaknya itu bukan senjata legal yang resmi diizinkan. Sang ayah mendengarkan di balik pintu kamarnya, ia merasakan hal yang berbeda akhir-akhir ini pada sikap anaknya itu. Apa gerangan penyebab perubahannya, kini ia sangat brutal dan pendiam. Lama ia mematung mendengarkan kejadian di dalam kamar anaknya, tapi yang ia dengar cuma bunyi besi yang dipasang dan saling bergesekan. Ia kembali ke kamarnya dengan wajah murung, ke kamar sekaligus laboratorium untuk seorang profesor sepertinya.“Bagaimana Raf, apa yang ia lakukan?” tanya istrinya, seorang ilmuwan perempuan peneliti angkasa luar.
“Sepertinya sedang merakit sesuatu,” jawabnya dengan lemas.
“Itulah salahmu! Itu karena kamu terlalu berlebihan mengajarkannya temuan-temuan gilamu. Lebih-lebih, kau tak menuruti kata Ibu. Coba kalau kita turuti, kita masukkan ia ke pesantren seperti kakaknya, tentu ia tak akan melakukan hal-hal yang brutal seperti sekarang. Ia takkan bisa merakit sebuah bom yang ia ancamkan untuk menghanguskan rumah kita.”
“Sudah! Cukup! Kamu juga menginginkannya jadi ilmuwan seperti kita juga kan? Tak perlu ada yang disalahkan, aku mau tidur!”
***
Profesor Asraf dan istrinya, DR. Musyarrafah menuju kantor Intelejen Negara. Di dalam mobil istrinya menyalakan TV, di sana tampak presiden Hakim Abdah menyampaikan rencananya membangun tempat wisata berkelas internasional di Pantai Malkan, sembilan puluh kilometer dari Kusyaifah, tempat tinggal Asraf. Sehingga warga asing banyak berkunjung ke negaranya dan menambah pendapatan negara. Rencana itu didukung penuh oleh pihak asing, tapi rakyat menjadi geram dengan ulahnya. Banyak demo terjadi akhir-akhir ini setelah rencana itu diumumkan.
Pemerintah tak tinggal diam menanggapi ini. Hukum baru dikeluarkan mahkamah pusat, bahwa barang siapa melakukan demo melawan pemerintah dengan tulisan, himbauan, atau senjata baik dengan batu, bom, atau senjata api lainnya maka akan dihukum mati.
Sudah banyak para pemuda dan aktivis yang tertangkap, mereka tinggal menunggu waktu diakhiri hidup mereka di hadapan sang penjagal.
Keputusan presiden tentang dilarangnya bahasa Arab di kalangan umum dan diganti bahasa Inggris, serta mahasiswa yang ingin kuliah ke luar negri hanya boleh ke Eropa dan bidang studinya ekonomi dan sains saja, tak kalah hebat mendapatkan perlawanan dari masyarakat.
Tak lama berselang, mereka sudah sampai di kantor intelejen. Mereka menuju ke ruangan Jendral Qosim setelah sebelumnya mengadakan janji pertemuan. Jendral Qosim tampak sedang memperhatikan beberapa foto buronan.
“Selamat pagi Jendral,” Asraf memulai pembicaraan.
“Selamat pagi juga.”
“Kami berdua setuju dengan tawaran Anda untuk mengirimkan seseorang dari anak buah anda untuk mengawasi Karim anak kami,” Asraf menambahkan.
“Sudah terlambat, Raf, lihatlah layar TV itu!”
Jendral Qosim mengambil remot yang ada di hadapannya, dan langsung memencet salah satu tombolnya. Layar menayangkan rekaman sebuah demo di halaman istana Presiden. Kamera memperlihatkan gambar beberapa demonstran anarkis yang dipukuli anggota polisi, sedangkan yang lain mencoba maju menerobos masuk ke dalam istana kepresidenan.
Bak…
Seorang polisi memukul seorang demonstran yang membantu temannya yang sedang dipukuli polisi lain. Sungguh pemandangan yang mengerikan.
Dar… Akh…!
Polisi itu ambruk tersungkur bersimbah darah di hadapan demonstran yang ia pukuli. Kamera sekarang tertuju pada seorang pemuda yang mukanya berlilit sorban sambil memegang senjata api. Kamera memperdekat gambarnya.
“Karim!” Profesor Asraf tersentak kaget setelah kamera memperdekat gambarnya, ia mengenalinya.
“Ya, itu memang Karim anakmu. Sekarang ia telah menjadi buronan kelas atas intelejen Negara. Mungkin dari pagi tadi kau tak melihatnya ada di rumahmu lagi bukan?”
“Ya, kau memang benar Jendral. Andai saja sudah sejak dulu tawaranmu kusetujui, mungkin ini takkan terjadi,” sahut Profesor Asraf sedih.
Nyonya Musyarrafah menangis melihat apa yang telah terjadi. Karim, anak kesayangannya yang ia harapkan menggantikannya di Lembaga Antariksa Negara nantinya, telah tiada. Entah pergi ke mana. Kalau mengharapkan Kiram, kakaknya Karim, rasanya tak mungkin untuk bisa menggantikan seorang antariksawan seperti dirinya. Kiram memang ia harapkan menjadi seorang ulama dan Karim seorang ilmuwan, sehingga Kiram ia masukkan ke pesantren dan Karim ke sekolah umum, atas saran suaminya.
***
Profesor Asraf dan istrinya sudah kembali ke rumah. Tuan Asraf cuma rebahan saja dari tadi di kamar, mengamati foto kedua putranya. Sedangkan nyonya Musarrafah duduk di kursi goyang mengingat masa lalu. Tentang karim kecil yang imut, saat mereka piknik ke pantai, dan lain-lain. Rumah ini sekarang sunyi senyap, tak ada keceriaan lagi di dalamnya.
***
Di beranda asramanya, Kiram duduk santai sambil membaca sebuah koran edisi kemarin. Memang sudah menjadi kebiasaannya apabila setelah shalat zuhur duduk di beranda asrama jika musim panas tiba. Daripada di dalam asrama, tentunya lebih baik di luar asrama karena angin musim panas mengalir deras mendinginkan badan.
Tujuh tahun yang lalu ia memasuki pesantren ini dengan dihiasi tangisannya, tangisan yang terjadi akibat perpisahan dengan keluarganya. Ia ingat wajah Karim, di saat ikut mengantarnya, wajah yang bingung melihat kakaknya yang lebih tua darinya menangis. Ia pun tertawa beberapa saat kemudian. Karim adiknya yang sangat ia sayangi itu, kini telah menjadi pemuda yang gagah dan tampan.
Di koran edisi kemarin itu banyak sekali para demonstran yang menginginkan Presiden Hakim Abdah turun jabatan. Mereka sangat kontra dengan keputusan-keputusannya yang dinilai melanggar hak asasi. Namun juru bicara kepresidenan, Muslih Addarki mengklaim kebijakan-kebijakan Hakim itu tidak melanggar hak asasi, bahkan membawa sebuah kemajuan negara. Pernyataan itu mendapat reaksi besar dari Pemuda Mujahidin (PM), sebuah organisasi pemberontakan yang beranggotakan para pemuda yang tidak tega melihat sahabatnya, keluarganya, dan rakyat jelata lainya yang hak-hak mereka dilecehkan. PM terus menerus melancarkan serangan, sehingga apabila mereka tertangkap langsung dihukum mati.
Naiknya Hakim Abdah menjadi presiden menyebabkan banyak terjadinya perubahan pada keamanan negara. Pada masa presiden sebelumnya, Laqitullah Asrar, tak ada yang namanya demo, pemberontakan, dan lain sebgainya. Dia mengatur negara, membuat peraturan, dan membuat kebijakan benar-benar menurut peraturan Negara Islam. Sehingga masyarakat yang semuanya beragama Islam, sangat menghormatinya. Berbeda dengan Hakim, ia ingin mengubah negara menjadi negara moderen berkelas internasional. Sedikit demi sedikit ia mulai mencabut nilai-nilai keislaman, padahal negara ini didirikan menurut ketatanegaraan Islam.
“Kiram, lihat ini!” kata Yunus, teman sekampung Kiram padanya dengan nada cemas sambil menyerahkan koran edisi hari ini.
Kiram memalingkan wajah dan mengepalkan tangannya setelah melihat koran halaman depan. Foto Karim terpampang jelas di sana, dan diberitakan telah menjadi buronan utama pemerintah di antara anggota PM.
“Yunus, aku mau pulang. Mungkin Ibu dan Bapak sangat terpukul dengan kejadian ini. Aku ingin menenangkan mereka terlebih dahulu.”
***
Sebuah taksi membawa Kiram menuju rumahnya di Kusyaifah. Ia memandangi langit biru yang menyaksikan kisah hidup keluarganya sekarang, yang dahulunya ceria penuh kebahagiaan namun kini seolah lenyap terselubung kabut hitam.
Dari kejauhan sebuah hotel berbintang lima kelas internasional berdiri megah di tengah-tengah kota, sebuah hotel yang sering dikunjungi turis-turis asing. Laksana sebuah kerajaan yang sangat megah, mobil-mobil mewah berjajar rapi di tempat parkirnya. Taman-taman tertata dengan indah, dan bule-bule keluar masuk dengan pakaian yang membukakan auratnya,. Di lantai 12, terpampang sebuah nama “KABSYIR be HOTEL”, hotel termegah di kota Kabsyir. Taksi perlahan mendekatinya, karena jalan menuju Kusyaifah melewati bagian depannya.
Lampu merah menyala, menghentikan taksi yang ditumpangi Kiram.
DAAAR…
Sebuah ledakan hebat terjadi di lantai dasar hotel, sehingga para pengunjung hotel yang di bawah dan di atas kalang kabut. Semua mobil terhenti, terpana melihat apa yang terjadi. Beberapa pemuda yang wajahnya berlilit sorban berlari keluar dari pintu hotel dengan membawa senjata. Dua bola mata yang Kiram kenal ada di antara mereka. Kiram langsung lari mengejar mereka.
“Karim….!” Kiram berteriak keras.
Pemuda tadi pun terkejut melihat Kiram . Ia langsung lari berpisah dari teman-temannya, dan Kiram berlari mengejarnya. Mereka berdua berlari saling kejar-mengejar. Mereka berlari menyeberang jalan, berlari di gang-gang sempit, hingga sampai ke hutan belakang perumahan warga. Kiram kehilangan jejaknya, ia menangis tersedu.
“Karim…!” teriaknya kembali.
Karim yang ada di balik lilitan sorban itu, menangis meneteskan air matanya mendenganr teriakan Kiram di pohon besar yang ada di dekat kiram.
“Maafkan aku Kak,” ucapnya lirih.
***
Kedatangan Karim disambut dengan suka cita oleh para anggota Pemuda Mujahid (PM). Mereka menyangkanya telah tertangkap oleh pemerintah. Karim menyunggingkan senyumnya yang berhiaskan rona terpaksa. Senyum itu mendapat tempat khusus di perasaan Jahir Khalid, sang panglima PM. Ia membaca senyum itu, senyum yang menampakkan suatu kegalauan hati di relung-relung jiwa Karim. Ia tahu, ancaman pemerintah takkan menggalaukan hatinya. Hanya rindulah yang membuat air matanya menetes.
“Ada apa Karim? Ceritakan saja padaku!”
“Sudah, tak ada apa-apa.”
***
Kiram datang ke rumahnya. Tak ada sambutan, sunyi senyap tak ada bunyi gerakan. Ia mulai membuka pintu, terlihat di hadapannya ibunya yang sedang duduk seperti tak merasakan kehadirannya. Beliau cuma mengarahkan sorot matanya ke foto yang dipegangnya.
“Bu, ini Kiram,” kata Kiram memulai percakapan.
Ibunya terkejut ketika baru menyadari bahwa Kiram ada di hadapannya. Ia rangkul anak lelakinya itu dengan erat sambil menangis berirama hati yang menduka. Prof. Asraf keluar kamar dan ikut berpelukan dengan mereka. Prof. Asraf dan DR. Musyarrafah menampakkan ketidakberdayaannya di hadapan Kiram, mereka memandangnya dengan tatapan yang mengisyaratkan kamulah harapan kami.
“Aku akan berusaha mencarinya, tenang saja,” kata Kiram meyakinkan keduanya.
***
Seperti biasa, setelah mengajar fiqih di halaqah yang ada di rumahnya, Kiram bertasbih memuja Rabbnya, Tuhannya yang tak pernah bosan menemaninya di kala ia menjalani pahit dan getir lika-liku jalan hidupnya. Sama seperti Kiram, Prof. Asraf dan DR. Musyarrafah sedang bermunajat, mengeluh pada Allah tentang Karim yang tak ada lagi kabar keberadaannya. Mereka tak berputus asa, walau tetangga dan sahabat mereka telah menasehati.
“Sudahlah, relakan saja ia untuk Allah…”
Nama Hakim Abdah semakin memburuk saja di kalangan warga negaranya sendiri, tapi semakin terangkat di luar negri. Pembangunan fasilitas di Pantai Malkan hampir selesai, dan turis-turis asing mulai menjadikan tempat-tempat wisata di sekitarnya sebagai tujuan utama untuk berpesta ria, karena natal akan tiba beberapa hari lagi.
Dua tahun sudah Kiram tak melihat Karim di matanya, semenjak kejadian di Kabsyir be Hotel. Selama itulah ia terus mencari informasi tentangnya, baik dari Jendral Qosim, Yunus, sampai dari anggota PM yang tertangkap. Semuanya nihil, tak ada yang bisa menyalakan secercah harapn yang menggembirakan dari mulut mereka. Dan selama dua tahun itulah, Kiram telah membangun rumah tangga yang dilengkapi seorang anak laki-laki.
Harapan Nyonya Musyarrafah pada Kiram tampaknya membuahkan hasil. Rumahnya sekarang tiap pagi selalu diisi penuh oleh murid-murid Kiram. Tapi ada satu yang disayangkan Kiram darinya, ia takkan mau untuk melepaskan pakaian hitamnya sampai Kiram kembali lagi padanya. Beberapa psikiater telah banyak melakukan penyembuhan, mereka tahu obatnya dan memberitahukannya pada Kiram, tapi obatnya terlalu sulit.
“Obatnya cuma satu Pak, datangkan adik Bapak, Karim,” kata psikiater tersebut.
“Itu sangat sulit, adakah cara yang lain?”
“Cuma itu, tak ada yang lain.”
***
Musim panas telah berlalu, namun hati Kiram tidak berubah. Hati yang selalu menyimpan setumpuk rintihan, lalu memendamnya dengan sejuta harapan. Harapan yang memantul dari dawai hatinya menuju pendengaran Tuhan, satu-satunya yang selalu ada untuknya. Jiwanya bergelora nista penuh asa akan kehadiran seseorang yang ia harapkan selalu batang tubuhnya, canda tawanya, hingga senyum manis di pipinya.
Ia duduk di pelataran rumahnya, rumah yang merekam betapa indahnya masa kecil bersama Karim.
Dari kejauhan, terlihat Yunus datang menujunya dengan tergesak-gesak. Jika Yunus mendatangi rumahnya, Kiram merasakan sesuatu yang berbeda, hati yang ingin berburu membawa matanya untuk mencari Karim, karena Yunus selalu memberi kabar apabila ada berita atau informasi tentang Karim. Yunus memarkir sandalnya dan mulai berkata.
“Lihat ini,” Yunus menyerahkan selembar foto.
“Di mana tempat ini?”
“Bagian utara Kota Kabsyir.”
***
Dengan kecepatan tinggi, Kiram mulai memacu mobilnya. Utara kota Kabsyir tidaklah dekat, tapi akan terasa dekat jika dibandingkan nanti ia akan bertemu saudaranya tercinta. Di foto yang diperlihatkan Yunus tadi tampak sebuah gubuk dikelilingi beberapa pria berlilitkan sorban di wajah, dan di antaranya terdapat pemilik mata adiknya, Karim. Sepertinya itu markas anggota PM.
Lukisan-lukisan alam silih berganti dengan cepat di luar kaca mobil Kiram. 100 kilometer perjam sudah hal biasa bagi Kiram dalam menggelindingkan roda mobilnya. Melewati pepohonan yang rindang, sedikit menenangkan hati Kiram yang sedang gelisah bermandikan rindu yang mendalam. Rindu akan sebuah obat yang sangat dinanti ibunya untuk menghilangkan sakitnya selama ini. Dan rindu akan sebuah magnet yang akan mengembalikan keceriaan rumahnya yang telah hilang.
Jalan semakin sepi, hanya mobil Kiram yang sedang memutar roda. Kecepatan pun semakin meniggi, 150 Km/jam.
“Tut… tut…” HP-nya menerima panggilan, rupanya sang ibu sudah tak sabar menerima kabar darinya.
“Bagaimana, apakah kau sudah menemui adikmu?”
“Belum, Bu. Sabar dan berdoalah!” Brakk…
“Allah………….”
“Kiram….!? Ada apa?”
HP itu melayang ke udara ketika mobil Kiram menabrak truk yang sedang berhenti. Kepala Kiram mulai meneteskan darah dan ia pun tak sadar lagi. Anggota PM yang ada di markas yang cuma berjarak 50 meter dari mobil Kiram langsung menuju asal suara tabrakan itu. Ternyata truk mereka ditabrak sebuah mobil. Beberapa di antara mereka langsung mengevakuasi pengendara mobil itu.
“Allahu akbar.”
Sebuah teriakan keluar dari mulut Karim setelah melihat pengendara itu ternyata kakaknya dan kini sedang bermandikan darah.
***
Saat Kiram membuka mata, cahaya matahari menyeruak memasuki kornea matanya. Ia ingin sekali bergerak, tapi sakit langsung menghinggapi badan dan saraf otaknya. Ia pun kembali memasuki dunia gelap yang menidurkan kesadarannya.
Sekarang tubuh Kiram dirawat di rumah sakit As-Syifa, 20 Km dari rumahnya. Karimlah yang membawanya, setelah sebelumnya terjadi percekcokan mulut, antara ia dengan beberapa anggota PM untuk membawa Kiram yang masih dirawat di markas PM ke rumah sakit. Karena mereka tahu, bahwa Kiram punya hubungan dekat dengan Jendral Qosim, seorang yang selama ini selalu mencari informasi tentang PM. Mereka juga mengkhawatirkan keamanan Karim ketika jauh dari anggota-anggota PM.
Tapi Karim tetap bersikeras pada pendiriannya untuk membawa Kiram ke rumah sakit, supaya Kiram lebih baik daripada sekarang, yang dirawat dengan segala kemampuan yang dimiliki PM. Dan akhirnya setelah Karim memberikan argumen yang benar-benar keluar dari lembah hatinya yang begitu sayang pada sang kakanda, Panglima PM, Jahir Khalid mengizinkannya untuk membawa Kiram ke rumah sakit. Jahir mengerti dengan perasaan Karim.
Dari dalam mobil PM, Karim mengirim SMS pada keluarganya dengan HP milik Kiram. Ia memberitahu bahwa Kiram sekarang ada di rumah sakit As-Syifa. Namun ia tak memberi kabar tentang dirinya.
Lima belas menit kemudian Ayah, Ibu, Yunus, dan seorang perempuan yang menggendong bayi datang dengan sebuah mobil. Ingin sekali tangannya sekarang memeluk mereka, melepas rindu yang selalu menggundahkan hatinya. Namun apa mau dikata, ia telah menyetujui perjanjian dengan Jahir Khalid bahwa ia tak boleh diketahui oleh siapa pun, apalagi dari keluarga. Dan sekarang 5 anggota PM senantiasa menjaga apa saja yang ia perbuat. Setelah itu ia pergi dengan membawa kerinduan yang semakin menjadi.
***
Dokter yang menangani Kiram keluar dari kamar Kiram.
“Bagaimana, Dok?” DR. Musyarrafah langsung bertanya.
“Kiram telah mengalami benturan keras di kepalanya, sehingga sebagian sarafnya tak bisa berfungsi. Tapi kami akan berusaha sebisa kami,” jawab dokter itu singkat, kemudian berlalu meniggalkan keluarga Kiram yang menggenggam berjuta harapan.
“Ini semua salahku! Akulah penyebab semua ini! Kau tak adil Tuhan….! Kau ambil semuanya….!” DR. Musyarrafah berteriak-teriak sambil berlari di koridor rumah sakit.
Yunus dan Prof. Asyraf segera mengejarnya. Ia semakin berteriak, “Tuhan tak adil!”
Ia berlari dengan cepat dan keluar dari bangunan rumah sakit. Prof. Asyraf dan Yunus juga semakin cepat mengejarnya. Mereka sangat takut jika ia sampai ke jalan raya. Sambil mengayuh kakinya, Prof. Asyraf menelpon satpam yang menjaga pintu masuk rumah sakit.
“Pak, tolong tangkap seorang perempuan yang berlari sambil berteriak-teriak.”
“Baik, kami akan menjaga di pintu rumah sakit.”
“Tolong langsung siapkan ambulan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa!”
“Baik, kami siapkan secepatnya.”
***
Setelah sampai di markas PM, Karim duduk di depan markas, memandang bintang-bintang yang selalu tersenyum, tak punya banyak masalah seperti dirinya. Mereka cuma berdiam diri, tapi dapat memberikan sesuatu yang berharga bagi para nelayan, yaitu menuntun meeka kembali pulang ke rumah. Memberitahu para petani tentang waktu bercocok tanam yang baik dan lain-lain.
Andai aku adalah salah satu dari mereka, tentu Ayah, Ibu dan Kakak bangga melihatku yang sangat berguna, Karim membatin.
Jahir keluar markas dan kemudian duduk di sebelah Karim yang sedang melamun.
“Kau tahu Karim, sebentar lagi natal tiba, sekaligus pembukaan Pantai Malkan?”
“Ya, aku tahu itu. Lalu apa yang kau rencanakan?”
“Kau tahu, untuk apa PM didirikan?” tanya Jahir kembali.
“Untuk menggulingkan pemerintahan Hakim Abdah.”
“Hakim Abdah yang akan membuka Pantai Malkan pada 25 Desember nanti. Hari itulah semua anggota kita berbaur di antara hadirin, dan saat itulah kita harus menghabisi nyawanya. Untuk hal itu kuserahkan padamu Karim!”
“Kau saja. Kau kan panglima?!”
“Bukan masalah panglima atau anak buah. Yang saya pikirkan kejituan tembakanmu. Tembak bagian jantungnya. Setelah itu semua anggota mengiringi tembakanmu dengan tembakan membabi buta pada seluruh hadirin. Lalu kita melarikan diri masing-masing, dan berkumpul kembali di sini.”
“Baik, kuterima usulmu.”
***
Setelah menyelesaikan administrasinya, Prof. Asyraf menengok kembali istrinya yang sedang berada di sebuah kamar berterali besi. Sungguh sedih hatinya melihat sang istri meracau tak karuan. Kadang teriak-teriak, kadang menangis. Malam itu juga ia pergi, kembali ke rumah sakit di mana Kiram dirawat sekarang, karena ia tak mungkin membagi tubuhnya untuk dua orang yang berlainan dan berjauhan tempat.
Ia berjalan menapaki jalan malam hari ini menuju rumah sakit As-Syifa. Malam yang sangat berbekas di hati, malam yang telah meruntuhkan benteng hatinya. Benteng yang selama ini telah banyak menahan cobaan yang datang bertubi-tubi, membabi buta, hingga akhirnya merobohkannya dengan paksa. Bahkan menjadi pasir yang beterbangan dilanda angin kemarau.
Angin malam sedikit mendinginkan suasana hatinya. Menjalani takdir Ilahi dengan tawakkal dan sabar. Takdir tak hanya untuk direnungi, tapi untuk diubah kepada keadaan yang lebih baik. Itulah yang diinginkan Prof. Asyraf sekarang, menyelesaikan segala masalah yang sedang ia hadapi.
Ia dilahirkan dalam keadaan yatim di dusun terpencil utara Kota Kabsyir. Ia tidak dibesarkan di antara orang-orang terpelajar, melainkan orang-orang desa yang hanya mempelajari agama dan bekerja menyambung hidup dalam rangka ibadah. Tapi cuma ia yang berkeinginan keras mencari pendidikan yang lebih tinggi. Sampai akhirnya ia memperoleh gelar doktor di Kabsyir University bidang teknologi, gelar yang ia dapatkan dengan susah payahnya menjadi kuli bangunan.
Seminggu setelah gelar doktor terpajang di depan namanya, Perusahaan Transfortasi Negara (PTN) memintanya bekerja. Dalam jeda waktu yang tak begitu lama, Kabsyir University memintanya menjadi dosen di sana karena ilmu yang ia miliki. Dua jabatan telah ia dapatkan, tapi rasanya ada satu yang kurang, keluarga!
Suatu ketika diadakanlah rapat antara para Peneliti Luar Angkasa Negara dengan PTN. Peneliti-peneliti itu meinta PTN membuatkan pesawat luar angkasa yang akan membawa mereka menjelajahi tata surya. Tentu saja petinggi-petinggi PTN banyak yang angkat tangan, mengingat pengetahuan anggota-anggota PTN tentang produksi pesawat luar angkasa sangat minim. Namun DR. Asyraf menyatakan kesanggupannya, asalkan pegawai PTN yang lain membantunya dalam bekerja.
DR. Musyarrafah yang tergabung dalam Peneliti Luar Angkasa Negara pun kagum memandangnya, pandangan kagum sekaligus cinta.
Dan akhirnya setelah empat tahun berselang, pesawat luar angkasa yang sangat dinanti-nanti semua orang di negri ini, apalagi para astronot, telah siap digunakan. Semua rakyat gembira, karena negri mereka tidak kalah dengan negara-negara lain.
Presiden Laqitullah Asrar memberikan gelar profesor pada DR. Asyraf. Namanya pun seketika mencuat di media-media massa.
Para astronot pun tak sabar lagi menaiki pesawat yang sangat mereka dambakan itu. Presiden akhirnya menyetujui acara penerbangan pertama pesawat tersebut, sehari setelah pesawat rangkum.
Sejak penerbangan para astronot pertama kali dengan pesawat hasil Prof. Asyraf, Prof. Asyraf semakin dekat dengan DR. Musyarrafah. Hingga pada akhirnya lamaran pada DR. Musyarrafah dikeluarkan mulut Prof. Asyraf pada kedua orang tua DR. Musyarrafah.
Gayung bersambut, pinangan itu diterima tanpa ada kendala. Kebahagiaan demi kebahagiaan mereka rangkul bersama.
Namun semua itu hanyalah slide masa lalu. Sekarang yang ada hanyalah keadaan-keadaan pahit yang meruntuhkan semua kebahagiaan yang ia dapatkan.
***
Dini hari 25 Desember. Adzan subuh belum terdengar, kokok ayam baru satu dua yang terdengar membahana memecah kesunyian. Bintang-bintang pun masih memancarkan sinarnya. Melum terlihat aktivitas manusia, kecuali anggota PM. Mereka sibuk menyiapkan senjata api, peluru, bom, granat, dan lain-lain.
“Hari ini adalah puncak tujuan kita. Hari ini kita pertaruhkan hidup dan nyawa, harta dan kehormatan yang kita pertahankan selama ini,” Jahir Khalid men-support anak buahnya.
“Kemenangan ada di tangan yang benar!” teriak Karim.
“Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar...!” Takbir menggema, membakar semangat yang telah menyala.
“Karim, setelah kamu tembak Hakim Abdah, kamu langsung lari. Dan semuanya, setelah itu kalian lempar semua granat yang kalian bawa ke segala arah kecuali ke belakang. Paham?!” Jahir Khalid mengatur rencana dengan matang.
***
Aroma khas obat menyengat penciuman. Para perawat dan pengunjung rumah sakit hilir mudik di hadapan Prof. Asyraf yang sedang duduk terpaku, menundukkan wajahnya ke lantai yang terbuat dari marmer putih. Warna yang sesuai dengan warna dinding dan tiang-tiangnya. Ia tidak membayangkan bagaimana cara membuat marmer itu, atau bagaimana tukang-tukang menempelkannya di sepanjang koridor ini, atau sebanyak apa uang yang dikeluarkan pemerintah untuk membeli semua marmer-marmer itu, tapi ia sedang gelisah menunggu operasi terhadap putera sulungnya.
Kadang air matanya menganak sungai di pipi tuanya. Air yang berasal dari sukma hatinya, entah mengapa kalbunya kini selalu sedih. Mungkin ia sangat kasih pada keluarganya yang sedang merajut asa, akan sebuah kesembuhan raga dan jiwa.
“Yunus, bagaimana hal istriku?” tanyanya pada Yunus yang baru datang dari rumah sakit jiwa.
“Tak da perubahan, seperti kemarin Pak.”
Setelah beberapa kali diperiksa, sebuah kesimpulan akhirnya bisa ditemukan para dokter pada kepala Kiram. Dalam kepalanya terjadi pendarahan hebat, tetapi tidak keluar dan akhirnya membeku. Karena itulah ia cuma bisa sadar sekitar enam detik perhari. Atas segala pertimbangan, dilakukanlah operasi yang sudah disetujui Prof. Asyraf yang akan dilaksanakan pada 25 Desember pagi.
“Allah, kuserahkan semua masalahku ini pada-Mu,” rintih hati kecil Prof. Asyraf.
***
Semua yang ada terlihat gembira, tamu dan undangan yang datang banyak sekali. Sebuah gapura yang masih disegel dengan rantai bunga, berdiri megah menyandang tulisan ‘Malkan Beach’.
Karim membaur di antara tamu yang datang, bersama seluruh teman-temannya untuk menjalankan misi yang mereka pikul.
Hakim Abdah tampak duduk santai berbincang dikawal oleh empat orang pengawal khusus. Acara baru saja dimulai. Pembukaan Pantai Malkan sangat meriah. Turis-turis asing menjadi mayoritas di antara para tamu, sedang penduduk asli menjadi minoritas yang terbatas di antara para pejabat dan petinggi, para pengusaha, dan para pemimpin beberapa agama.
Senjata telah Karim siapkan di balik jasnya. Hidup dan kematiannya sangat ditentukan oleh takdir yang digariskan Allah. Musim flu yang mewabah membantunya, karena banyak para hadirin yang memakai masker. Ia pun memakai masker, menutupi mukanya yang sudha diketahui badan intelijen.
“Untuk acara selanjutnya, sambutan-sambutan. Untuk sambutan pertama, akan disampaikan oleh Presiden Hakim Abdah. Waktu dan tempat kami persilakan.”
Tepuk tangan hadirin mengawali berdirinya Hakim Abdah menuju podium. Karim siap mengeluarkan pistol dari balik jasnya.
“Selamat pagi para hadirin,” Hakim Abdah memulai sambutannya.
“Dor... Dor...”
“Akh...:”
Belum sempat Karim menarik pelatuk pistolnya, dua peluru panas telah lebih dulu bersarang di dadanya. Presiden Hakim Abdah segera turun menuju mobil.
Peluru yang ada di dadanya itu berasal dari pistol yang ditembakkan Jendral Qosim yang sedari tadi mengawasinya. Ia tidak sendiri. Seluruh Intelijen negara mengepung tempat itu. PM terjebak. Jahir Khalid dan seluruh anggota PM juga tertembak bersamaan tembakan Jendral Qosim. Semua hadirin yang ternyata seluruhnya adalah intelijen negara asinglah yang membasmi mereka.
Tipuan Jendral Qosim yang sudah lama ia siapkan membuahkan sesuatu yang ia kejar selama ini: hancurnya PM.
Pembukaan Pantai Malkan yang sebenarnya adalah hari tahun baru, tanggal satu Januari nanti. PM tertipu!
“Asyhadu alla.... ila... ha illallah...” Syahadat mengalir lembut dari mulut Karim, bersamaan dengan syahadat yang dibaca seluruh angota PM. Pemuda-pemuda itu tersenyum.
***
Orang-orang telah pulang. Tinggal Prof. Asyraf yang sedang memangku cucunya di depan dua makam, makam Karim dan Kiram.
Dokter rumah sakit As-Syifa tak berhasil melakukan yang diharapkannya. Kini tinggal ia, menantu dan cucunya. Sedangkan istrinya masih berjeruji besi di rumah sakit jiwa.
“Aku takkan mau kau menjadi ilmuwan,” katanya pad sang cucu.
Warna hitam di matanya seketika menjadi abu-abu.[]
Pon Pes Al Falah Putera, 12 Agustus 2009
Sumber:
Buletin Literasi Edisi 1
Buletin Literasi Edisi 2
Buletin Literasi Edisi 3
Buletin Literasi Edisi 4
http://forumpenapesantren.blogspot.co.id/2009/12/kelabu-di-matanya-episode-1.html
http://forumpenapesantren.blogspot.co.id/2009/12/kelabu-di-matanya-episode-2.html
http://forumpenapesantren.blogspot.co.id/2009/12/kelabu-di-matanya-episode-3.html
http://forumpenapesantren.blogspot.co.id/2009/12/kelabu-di-matanya-episode-4-tamat.html
0 komentar: