Cerpen Sandi Firly: Cerita yang Muram

02.23 Zian 0 Comments

I

Andai ada suasana yang tepat bagi jiwa seperti apa pun, mungkin inilah tempat dan saatnya; kala matahari mulai meliring ke tepi barat hampir senja di sebuah tepi sungai di tengah kota, dengan angin yang berembus sedikit lebih kencang dari hari-hari biasanya. Dan pohon-pohon tua tak terlalu besar begitu segar serta meneduhkan.
Saat seperti itulah mereka berdua bertemu dan duduk di sebuah bangku panjang, menatap sungai yang airnya mengalir tenang seperti elang yang melayang tanpa mengepakkan sayap di atasnya.
Bukan hal yang mudah memulai percakapan antara dua orang yang dulu pernah bersahabat karib dan memendam perasaan setelah hampir sepuluh tahun terpisah tanpa kabar apa pun. Ini soal riak perasaan bagai derau sungai dibelah kelotok-kelotok kecil yang sesekali melintas di hadapan mereka.
Kita memang tidak pernah menduga bila waktu bisa mengubah seseorang jauh dari yang mungkin bisa kita bayangkan. Lelaki itu, sekali lagi menatap perempuan yang dulu sangat dikenalnya dengan hati bagai dawai yang bergeletar pelan. Semuanya tampak berbeda, berubah. Rambut perempuan itu ternyata sedikit berombak setelah agak panjang menyentuh pundak. Wajahnya yang dulu terlihat bulat dengan potongan pendek, sekarang terkesan tirus dan anggun dengan pakaian yang lebih feminin. Hanya senyum itu yang tidak pernah berubah, manis, bahkan jauh lebih manis sekarang ini walau usianya sudah jauh lebih dewasa, bagai anggur yang tengah matang.

Serupa juga di mata perempuan itu, lelaki di hadapannya agak membuatnya sedikit gugup seolah bertemu seorang yang asing. Hampir tak ada satu pun dari keseluruhan lelaki itu yang masih diingatnya; kecuali juga senyumnya yang kini tak lagi diikuti kumis tipis yang dulu seperti pagar rumput liar yang tak terawat. Rambut yang dipotong klimis dan berminyak mungkin adalah perubahan paling besar dari lelaki itu, dan seakan mengubah seluruh kesan pertamanya terhadap sahabatnya itu hampir sepuluh tahun lalu. Hal pertama yang selalu ia kenal terhadap lelaki itu adalah rambut gondrong ikalnya yang mencuir ke mana-mana. Juga, pakaian planel kotak-kotak dengan seluruh kancing dibuka, kini digantikan hem biru tipis, licin dan rapi. Hanya celananya tetap jeans, namun sekarang jauh lebih bersih dan tidak robek seperti kebanyakan jeans yang dulu dikenakannya.


II

Layaknya sebuah novel romance dari seorang penulis pemula sebelum tersentuh tangan editor, dialog pembuka tidak penting pun terjadi.
“Apa kabar?” tanya mereka nyaris bersamaan, dan terkesan kikuk. Pertanyaan yang sebenarnya sudah mereka tanyakan juga ketika sehari sebelumnya bertemu di pameran buku Kota Banjarmasin—pertemuan tak terduga yang kemudian berlanjut dengan janji pertemuan mereka kini di tepi Sungai Martapura.
Mereka duduk nyaris bersamaan pula setelah sebelumnya saling lirik.
Seperti biasa pada hampir sepuluh tahun lalu, lelaki itu selalu menyalakan rokok setiap awal bertemu.
“Hampir sepuluh tahun, rasanya baru kemarin ya? Ternyata telah banyak yang berubah,” lelaki itu membuka pembicaraan.
”Iya, dan kita bukan lagi anak muda, tentu saja,” jawab perempuan dengan nada yang seakan menyeret ingatan kepada masa lalu.
”Rambutmu tidak lagi pendek.”
”Kamu tidak lagi gondrong.”
“Kamu sekarang lebih perempuan.”
“Kamu tidak lagi terlihat seperti gembel.”
Hahahaaa….
Tawa pertama mereka terbawa angin sore yang terasa nyaman, seakan mencairkan ketegangan yang sempat hadir.
”Jadi, berapa anakmu sekarang?” tanya lelaki sambil mengembuskan asap rokoknya.
”Dua. Kamu?”
”Satu. Aku maunya segera dua, tapi nggak dikasih sama istri.”
Kembali keduanya tertawa, namun kali ini agak ditekan seolah muncul kesadaran bahwa mereka berdua telah sama-sama memiliki keluarga.
”Kemana saja kamu selama ini?” tanya lelaki.
”Aku tidak kemana-mana, di Bandung saja seperti kubilang waktu perpisahan kita setamat SMA. Kamu?”
”Aku tidak kemana-mana, selamanya di Banjar, seakan terpenjara di sini untuk selamanya.”
”Itu seperti terdengar membosankan.”
”Membosankan mungkin tidak cukup, lebih tepatnya tersiksa.”
”Hahahaa...seburuk itukah nasibmu?”
Lelaki menarik napas. ”Kita tahu, dunia ini begitu luas. Kukira tidak ada hidup yang lebih buruk daripada seseorang yang tidak pernah bergerak dari tempat dia lahir hingga seusia sepertiku saat ini.”
”Lalu, mengapa kamu tidak pernah melakukan perjalanan?”
”Entahlah, aku juga tidak tahu. Tanah Banjar ini mungkin tidak menginginkan aku pergi jauh-jauh hingga sampai nanti aku menjadi bagian darinya.”
”Terdengar membosankan sekaligus menyedihkan memang.”
”Ya, kukira hidupku adalah salah satu contoh hidup yang buruk untuk seorang lelaki.”
Perempuan menyunggingkan senyum. ”Tapi kamu kan sudah berkeluarga, setidaknya kamu bisa mendapatkan kebahagiaan di dalamnya.”
Lelaki menatap sungai yang mengalir membelah kota. Dia merasa hidupnya seperti aliran sungai yang tanpa gejolak, selalu begitu setiap dia pandangi. ”Keluarga adalah sebuah kehidupan kecil dari kehidupan yang lebih besar yang tiap hari, bahkan tiap detik, harus selalu kita upayakan menjadi selalu bahagia. Karenanya, setiap orang yang sudah berkeluarga tidak boleh mengatakan hidupnya tidak bahagia, karena itu akan melukai orang-orang yang ada di dalam keluarga itu.”
“Berarti kamu bahagia, kan?”
“Harusnya memang tidak ada pilihan jawaban lain selain itu.”
”Kamu memang tidak pernah berubah, selalu terdengar rumit bila berbicara,” kata perempuan, yang di dalam hatinya sebenarnya berharap lelaki itu mengakui kalau hidupnya tidak bahagia.
”Kamu tahu, hidupku terlalu sederhana, dan aku tidak ingin terdengar lebih buruk lagi bila kusampaikan dengan kata-kata yang lugas. Setidaknya, kamu atau siapa pun yang mendengar perkataan dariku berpikir bahwa hidupku tidaklah sesederhana sebenarnya.”
Tatapan lelaki itu mengesankan bahwa ia seperti memendam kesedihan yang berlarat-larat. Bahkan perempuan itu tak sanggung memandangnya lebih lama.
”Ya benar, kata-katamu jauh lebih rumit dari hidupmu sendiri.”
”Dan aku memang ingin orang melihatnya seperti itu,” ujar lelaki. ”Bagaimana dengan hidupmu sendiri?”
Sejenak perempuan menikmati terpaan angin sore yang menyelusup di sela lehernya yang putih. Dia sadar, bicara tentang hidup selalu terdengar rumit, meski setiap orang bisa saja memberikan jawaban yang paling mudah. ”Sudah pasti tidak pernah ada seseorang yang sepanjang hidupnya selalu bahagia. Begitu juga, tidak ada seseorang yang tidak pernah merasakan bahagia, walau hanya semenit saja.”
”Dan hidupmu?” kejar lelaki.
”Kamu telah melihat sendiri, sekarang aku ada di sini bersamamu. Dan aku merasa bahagia saat ini.”
”Kamu bahagia?”
”Bahagia. Saat ini.”
”Tahukah kamu mengapa kita bisa bahagia, dan selalu ingin merasa bahagia?”
”Tidak tahu. Mengapa?”
”Karena sebenarnya hidup manusia itu sesungguhnya menyedihkan, dan karenanya dia selalu harus berusaha mendapatkan kebahagiaan. Penciptaan-penciptaan yang selalu dilakukan manusia adalah salah satu upaya untuk meraih dan memenuhi rasa keinginbahagiaan itu.”
”Tidakkah menurutmu pembicaraan kita terlalu berat?”
”Hahahaa...” Lelaki tertawa lepas hingga asap rokok dalam mulutnya berhamburan begitu saja. ”Kita memang mesti membicarakan hidup dengan serius. Bukan sesuatu yang mudah sebenarnya bagi setiap manusia di dunia dalam mencari kebahagiaan.”
”Untuk dua orang sahabat yang baru bertemu setelah sekian tahun terpisah, pembicaraan ini kurasa tidak terlalu tepat.”
Lelaki kembali tertawa sambil berucap, ”Itu...itu...”
”Kenapa? Itu apa..?” Perempuan agak kebingungan.
”Menurutmu apakah ada sesuatu di dunia ini yang benar-benar tepat?”
Perempuan lagi-lagi terdiam, berpikir. “Aku tidak tahu maksudmu.”
“Ada banyak hal yang dilakukan manusia sebenarnya hanyalah sebuah spekulasi untuk mendekati kata tepat. Misalnya, apakah setiap pasangan di dunia ini adalah pasangan yang tepat, tepat bagi si lelaki dan tepat bagi si perempuan?” ucap lelaki, kali ini dia bediri mendekati pagar tepi sungai.
“Tentu saja tidak semuanya tepat, tapi pasti ada yang memang benar-benar tepat,” jawab perempuan.
Lelaki berbalik menghadap perempuan. “Atau begini, ketika kamu memutuskan menerima lamaran pria yang kini menjadi suamimu, pasti semula kamu hanya mengira-ngira bahwa dia adalah pasangan yang tepat buatmu. Artinya, saat itu kamu tidak benar-benar tahu kalau dia apakah memang benar-benar tepat atau tidak. Bukan begitu?”
“Ii..iya, tentu saja.”
“Nah…, tepat atau tidak apa yang kita bicarakan saat ini, itu juga adalah spekulasi dari pertemuan kita ini, pertemuan yang mungkin tepat dan bisa juga tidak tepat.”
“Jadi, menurutmu pertemuan kita ini tidak tepat?”
”Menurutmu?”
”Aku justru bertanya kepadamu...”
”Bukankah aku juga boleh menanyakan hal yang sama?”
”Baiklah, mungkin pertemuan kita ini tidak tepat, karena kita telah sama-sama berkeluarga.”
”Bila kamu menganggap pertemuan kita ini tidak tepat, lalu apakah mungkin akan terjadi perbincangan yang tepat?”
”Kamu membuatku semakin bingung.”


III

Perempuan beranjak dari duduk, dan melepaskan pandangan ke kelotok yang sedang melaju di tengah sungai. Dugaannya semula bahwa perubahan penampilan lelaki itu juga diikuti dengan perubahan cara berpikirnya, ternyata salah. Lelaki itu selalu terkesan merumit-rumitkan sesuatu yang sebenarnya bisa dipandang secara sederhana, namun dia tidak melihat itu sebagai sok-sokan. Cara bicara lelaki itu memang begitu sejak dia pertama mengenalnya di bangku kelas satu SMA. Jangan-jangan karena itu juga mereka tidak pernah bisa menjadi sepasang kekasih walau selalu bersahabat akrab hingga mereka lulus sekolah.
”Hidupmu bahagia?” tanya lelaki pelan, lebih serius.
Perempuan merasa pertanyaan itu adalah inti dari semua kehidupannya. Ia seakan tertikam tepat di jantung, dan menghenyakkannya kepada kenyataan yang pahit.
”Seharusnya aku bisa menjawab seperti jawabanmu ketika kutanyakan hal serupa. Dan bukankah hidup memang campuran kesedihan dan kebahagiaan?”
”Iya. Dan pada akhirnya setiap manusia ketika tua selalu akan sedih, setidaknya setiap orang tua menampakkan wajah sedih dan membosankan.”
”Tapi kakekku kurasa bahagia,” perempuan mencoba mematahkan pendapat lelaki.
”Ya, mungkin ketika itu kamu melihatnya saat dia mencandai anakmu, cucunya.”
”Kamu terkesan sinis memandang hidup.”
 ”Sebab hidup itu sesungguhnya adalah kesunyian, dan kita selalu dipaksa untuk membuatnya menjadi bersemangat. Seperti seorang lumpuh yang harus terus berlatih berjalan. Dan kurasa itu cukup membosankan.”
”Hidup hanya membosankan bagi mereka yang tidak bahagia.”
”Hahahahaaa....”
Lelaki itu tertawa, terus tertawa, hingga memancar airmatanya. Hingga kemudian dia terdiam, hening, hanya memandang aliran sungai yang lamban. “Mungkin hidupku memang tidak bahagia,” katanya kemudian lebih terdengar sebagai gumaman kepada dirinya sendiri.
“Seperti apakah kehidupanmu?” tanya perempuan.
Lelaki berbalik. ”Kamu benar-benar mau mendengarkannya?”


***

Langit kota Banjarmasin cerah menjelang senja. Sungai Martapura tampak cemerlang dilumuri sinar matahari kekuning-kuningan yang tajam. Sebuah hari yang mungkin tidak terlalu tepat untuk cerita yang muram.[]


Sumber:
SKH Media Kalimantan, 2014

0 komentar: