Cerpen Nonon Djazouly: Piano

21.26 Zian 0 Comments

Kudentingkan jari jemariku di atas tuts tuts piano melagukan Symphony 40-nya Mozart. Sementara Zelda istriku mengomel tak karuan. Suaranya terdengar timbul tenggelam dari balik kamar, seriring bunyi denting pianoku yang kadang nyaring dan kadang pelan. Selesai melagukan Symphony 40 kulagukan lagi For Alice-nya Bethoven. Kali ini tak terdengar lagi omelan Zelda, mungkin ia sudah tertidur lelap dan bermimpi.
Setelah puas main piano, aku duduk sambil meluruskan pinggang di sofa.
Zelda...Selalu saja ia ribut kalau aku main piano. Kadang aku bingung kenapa ia sepertinya benci sekali dengan yang namanya piano. Sering ia berkata bunyi piano itu bising, padahal menurutku suara piano itu sangatlah romantis. Pernah juga dikatakannya bunyi piano itu mengerikan, namun kubilang alunan suara piano itu malah memberi kesejukan dan rasa damai di hati. Tapi Zelda tak pernah mau kalah, ia selalu mengomel dan mengomel terus kalau aku main piano.

Piano ini kubeli lima bulan lalu, dari sahabatku Wiby. Memang bukan piano baru, tapi piano lama warisan kakeknya. Aku membelinya karena selain modelnya yang sudah kuno hingga terkesan antik, juga karena harganya jauh lebih murah daripada membeli yang baru. Tapi waktu aku membawanya ke rumah, Zelda membelalakkan matanya.”Bang, kenapa kau tak kompromi dulu denganku kalau mau membeli lemari ikan kering begini?” katanya.
“Kau tidak menghargai barang antik, Zelda. Piano ini sudah puluhan tahun umurnya, harusnya Wiby menghargainya mahal, tapi karena dia sahabatku...”
“Aku tak suka piano!” jawabnya ketus sambil berlari masuk kamar.
Esok harinya sepulang kerja, piano yang tadinya kutaruh di sudut ruangan sudah berpindah tempat ke samping kamar pembantu. Oh, Zelda, kau benar-benar tak menghargai suamimu. Tapi biarlah dulu, aku berusaha sabar.
Kubuka koleksi lagu-lagu lama yang kusimpan dalam laci. Habis rapat direksi di kantor tadi cukup membuatku lelah. Aku ingin bersantai sejenak dengan memainkan beberapa lagu kesukaanku dulu. Apalagi Zelda sedang pergi arisan, berarti aku bisa bebas bermain piano sepuasnya.
Dua lagu kumainkan, aku pun tenggelam dalam kenangan masa lalu bersama guru pianoku yang manis, Deborah. Wanita berdarah Belanda itulah dulu yang mengajarku main piano sejak aku SD hingga tamat SMA. Usianya terpaut lebih tua lima tahun dariku. Deborah yang manis tak segan-segan memukul jari-jari tanganku dengan penggaris jika aku dilihatnya kurang konsentrasi memainkan lagu. Namun pernah beberapa kali aku mendapat hadiah ciuman di pipi tatkala permainanku dianggapnya sempurna. Sayang setelah menikah Deborah diboyong suaminya ke Belanda. Sejak itu aku hampir tak pernah lagi menyentuh tuts tuts piano, dan setelah aku menikah piano kesayanganku diminta oleh Nina adikku yang juga menyenangi musik.
Malam hari, saat kami akan tidur Zelda berkata dengan dengan wajah sedikit cemberut. “Bang, apa kau tak pernah berpikir untuk menjual saja piano tua yang jelek itu?”
“Zelda, yang namanya jiwa seni itu tak pernah bisa hilang dalam diri seseorang. Aku menyukai seni musik, dan piano adalah alat musik yang kusenangi sejak kecil.”
“Aku mengerti itu, tapi kau juga harusnya bisa mengerti aku. Bunyi piano itu sungguh tak kusukai,” katanya sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Aku ingin bertanya sesungguhnya apa yang menyebabkan ia tak suka mendengar suara piano, tapi kuurungkan karena ia pasti tak pernah mau menyebutkan alasannya juga seperti yang sudah-sudah. Duh,  Zeldaku, ada apa gerangan dengan dirimu?
Sesungguhnya yang tambah membuatku bingung adalah bahwa istriku ini seorang perempuan yang juga berjiwa seni. Ia suka membeli lukisan dan suka memelihara bunga. Di dinding rumah kami penuh dengan pajangan lukisan, di pekarangan pun penuh dengan berbagai jenis bunga tanamannya. Dan yang kutahu, sebenarnya Zelda juga penggemar musik. Namun lucunya, istriku yang penampilannya selalu anggun ini menyukai jenis musik rock. Koleksi kasetnya sangat banyak tersimpan dalam lemari khusus yang berkunci. Tapi kini ia sudah jarang mendengarkan kaset-kaset kesayangannya itu. Hanya sesekali kalau kami jalan keluar kota, ia mengeluarkan beberapa kaset itu dan memutarnya dalam mobil. Lagu-lagu Queen, Deep Purple, Beatles. Katanya biar aku yang nyetir tidak mengantuk!
Pernah kutanya, bukankah dalam lagu-lagu kesayangannya itu juga ada suara piano walau tidak dalam setiap lagu. Jawabnya, bunyi piano dalam sebuah grup band itu tenggelam oleh suara alat musik yang lain, jadi artinya dia hanya tak menyukai suara piano tunggal. Aku membahas lagi, bukanlah kalau banyak alat musik dimainkan itu lebih berisik daripada alat musik tunggal? Jawabnya berulang lagi, “Aku tidak suka bunyi piano!” Wah, wah, wah...
Namun uniknya, semakin Zelda protes maka semakin pula hatiku selalu ingin bermain piano. Bias-bias rindu untuk menekan tuts tuts piano malah semakin menggebu setiap saat. Semakin Zelda mengomel, makin keras pula aku menekan tuts tuts piano. Pernah suatu ketika, saat aku melangkah menuju piano di samping kamar pembantu, Zelda masuk kamar lalu kulihat ia menutup kedua lubang telinganya dengan kapas. Saat aku mulai membuka tutup piano, ia bergegas pergi ke taman menyiram bunga-bunganya dengan kapas basah menempel di telinga.
Dan sore itu saat pulang kantor kulihat pemandangan yang sungguh membuat hatiku mulai gusar. Piano kesayanganku telah ditutup dengan lakband di sekelilingnya!
Malamnya aku bertandang ke rumah Wiby dan kuceritakan semua tingkah laku Zelda. “Mungkin kau sering memainkan satu lagu berulang-ulang hingga membuat ia curiga,” katanya.
“Maksudmu?”
“Mungkin ia curiga kalau lagu itu merupakan lagu memorymu bersama mantan kekasihmu dulu,” jawabnya.
“Tidak, Wiby. Aku selalu memainkan bermacam lagu, dan tampaknya masalahnya memang bukan itu.”
“Atau kau mungkin terlalu kemaruk main piano sehingga ia merasa kurang diperhatikan, dengan kata lain kebersamaan kalian jadi berkurang?”
“Aku tak pernah lupa waktu. Paling banyak tiga empat lagu kumainkan, aku sudah puas. Jadi kurasa itu juga bukan alasan.”
“Lalu menurutmu sendiri apa sebenarnya masalahnya?”
“Justru itulah yang membuatku pusing, dia hanya sering berkata bunyi piano itu berisik, mengganggu dan sebagainya. Padahal kan alunan denting piano itu justru menghasilkan nada-nada yang syahdu,” kataku.
Wiby menghela napas dalam-dalam tanpa bersuara apa-apa. Namun saat kuceritakan bahwa Zelda dulu menyukai lagu rock, Wiby mengernyitkan dahi kemudian tertawa terbahak-bahak. “Berarti memang ada sesuatu yang tersembunyi di balik tingkah istrimu itu,” katanya. “Kau harus menyelidikinya sendiri, kawan. Baru kita cari solusinya,” sambungnya lagi.
Sepanjang jalan ke rumah, aku berpikir apa mungkin istriku mengalami phobia, phobia terhadap piano. Kalau mungkin, lalu apa sebabnya?
Suatu ketika aku bertandang ke rumah Amri temanku di SMA dulu yang sekarang berprofesi sebagai psikiater. Aku lalu menceritakan tentang Zelda kepadanya. “Kau kan tahu Zelda itu orangnya anggun, sikapnya tenang. Tapi ketika mendengar bunyi piano ia langsung berubah panik, gelisah dan cerewet. Aku benar-benar tak habis mengerti, Amri. Apa mungkin ia mengalami phobia?”
“Mungkin saja. Jangan dikira orang yang perilakunya tenang seperti istrimu tak akan pernah mengalami phobia. Karena phobia bisa menghinggapi siapa saja. Namun banyak orang yang mengalami phobia selalu menyembunyikannya, bahkan pada orang terdekat sekalipun...”
“Apa mungkin karena takut dianggap abnormal?”
“Bisa jadi, bukankah irasional jika seseorang takut melihat benda semacam piano saja? Takut mendengar suara piano? Ogi...Setiap orang sebenarnya wajar memiliki rasa takut. Takut berada dalam kegelapan, takut sendirian dalam rumah, takut terhadap ular karena ular itu berbisa, takut melihat truck batubara yang ngebut di jalan raya. Dan rasa takut itu memang harus dimiliki setiap orang dalam hidup ini agar kita selalu berhati-hati. Berhati-hati di jalan raya, berhati-hati terhadap binatang berbisa. Tapi kalau rasa takut itu berlebihan dan di luar kewajaran sehingga mengganggu kejiwaannya, apalagi terhadap obyek yang tidak berbahaya sama sekali, maka berarti ia memang mengalami phobia.”
“Lalu apa yang harus kuperbuat? Kadang aku merasa tersiksa juga, Amri,” tanyaku.
“Kau harus bisa memberi pengertian, pengertian yang sangat mendalam karena phobia bukanlah rasa takut biasa. Lama kelamaan mungkin akan timbul keinginan melawan dan membunuh rasa takut itu sendiri dari dalam jiwanya...”
Aku mengernyitkan alit, sekilas teringat waktu akan berangkat tadi, Zelda sempat berkata bahwa ia akan menyuruh pembantu untuk memindahkan piano kesayanganku itu ke ruang atas.
Amri meneruskan, “Penyebab phobia itu ada yang hanya sekali tetapi ekstrim, tapi ada pula yang hanya karena masalah kecil tapi kontinyu mengganggu perasaannya. Satu contoh ada seseorang yang phobia terhadap eskalator karena waktu kecil ia pernah menyaksikan seorang anak yang jatuh dari pagar atas eskalator ke lantai bawah dan tewas seketika di depan matanya.”
Lama sekali aku berbincang dengan Amri. Ternyata begitu banyak orang yang mengalami phobia di dunia ini, hanya kadar dan intensitasnya berbeda. Bahkan penyanyi sekaliber David Bowie pun mengaku mengalami phobia terbang, dan selalu mengkonsumsi obat penenang jika akan naik pesawat.
Di pagi Minggu saat aku baru pulang mengantar Zelda ke salon, Dino abang Zelda menyambangiku ke rumah dan kami duduk-duduk di teras. Di tengah obrolan, Dino menanyakan piano tua yang kubeli dari Wiby. “Kenapa tak kelihatan piano itu, Ogi?”
Mendengar pertanyaannya, aku merasa ini mungkin kesempatan bagiku untuk mencari tahu sebab musabab phobia Zelda terhadap piano. Kembali aku bercerita panjang lebar seperti yang pernah kusampaikan pada Wiby dan Amri tentang Zelda. “Bahkan beberapa kali ia menyuruhku menjual saja piano yang dikatakannya seperti lemari ikan kering itu,” kataku menutup cerita.
Dino tersenyum. “Sudah kuduga, Ogi. Waktu kalian pacaran dulu Zelda pernah bilang padaku bahwa menurutmu waktu remaja kau suka main piano. Aku berpikir suatu saat bukan tak mungkin hal ini akan menjadi problema bagi kalian, walau mungkin tak akan begitu serius, tapi cukup mengganggu.”
“Mungkin ada kenangan buruk yang berkaitan dengan piano itu terhadap diri Zelda?” tanyaku.
“Ya,” Dino menghela napas sejenak. “Waktu kecil saat kami masih tinggal di daerah Batu Jawa Timur, tak begitu jauh dari rumah kami ada sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang sangat angker. Kalau kebetulan kami lewat di sana Zelda selalu saja ketakutan. Tangannya selalu memeluk erat tubuhku dan mulutnya komat-kamit membaca surah surah kecil sambil matanya dipejamkan. Padahal ketika kami lewat tak pernah sekali pun ada sesuatu yang aneh atau menakutkan keluar dari rumah itu. Satu kali, pernah aku memaksanya bersama-sama mendekati rumah tua itu. Dengan langkah terpaksa Zelda mengikutiku mengintip ke dalam rumah itu dari balik kaca jendela yang agak tinggi. Dari luar kami melihat ruangan yang tertata rapi. Ada kursi malas, sebuah sofa yang sangat bagus tapi sudah lusuh, dan sebuah piano tua di sudut ruangan. Melihat ruangan yang bersih dan rapi itu, aku yakin sebenarnya dalam rumah itu ada penghuninya. Mungkin saja ada orang yang ditugaskan oleh pemiliknya untuk merawatnya. Suatu malam sepulang mengaji, aku kembali memaksa Zelda melewati rumah itu. Sebenarnya bisa saja lewat jalan lain, tapi aku memang suka penasaran, aku ingin tahu siapa sih penghuninya. Baru saja berada di depan rumah itu tiba-tiba kami mendengar alunan bunyi piano yang semakin lama terdengar semakin nyaring. Sesungguhnya tak ada rasa takut sedikit pun di hatiku karena kupikir ini justru membuktikan bahwa di rumah itu ada penghuninya. Tapi Zelda...ia pucat pasi, terlihat dari pantulan sinar bulan yang menimpa wajahnya. Tangannya yang memegang tanganku terasa dingin seperti es. Semakin nyaring suara piano itu, semakin ia tak mampu bersuara apa-apa, dan beberapa saat kemudian tubuhnya pun lunglai. Aku memboyongnya pulang ke rumah. Setelah itu seminggu lamanya Zelda sakit. Ia sering mengigau dan katanya sering bermimpi ada orang Belanda di rumah tua itu sedang bermain piano sambil tersenyum kepadanya.”
“Mungkin sejak itu ia jadi takut dan ngeri mendengar suara piano?” tanyaku.
“Ya, terlebih pada piano tua yang antik bentuknya, seperti yang kau beli dari Wiby itu. Padahal dulu sudah berkali-kali kukatakan bahwa ia harus berani memerangi rasa takut itu, karena sebenarnya rasa takut itu timbul dari khayalannya sendiri.”
Aku termangu, berarti Zelda tak mau mengakui ketakutannya itu padaku karena ia memang menyadari bahwa ketakutannya itu tak beralasan, namun ia tak mampu menguasai rasa takut yang diciptakannya sendiri itu.
“Mas, bagaimana kalau istriku kusuruh meditasi saja, misalnya ikut latihan yoga. Mungkin itu akan membantu?”
“Kalau kau hanya menyuruh dia, kurasa dia takkan mau. Kalau bersama-sama denganmu mungkin dia mau. Semoga berhasil.”  Dino pamit pulang.
Seminggu sudah aku dan Zelda ikut yoga di rumah seorang keturunan India. Setelah itu ia kusuruh ikut latihan sendiri. Kenapa? Karena sewaktu ia berlatih yoga, maka di rumah aku bisa main piano sepuasnya. Namun sebulan kemudian ia berhenti sendiri, malas katanya.
Habis makan malam aku naik ke lantai atas lalu kulagukan Love of My Life-nya Freddie Mercury dengan piano tuaku. Namun di pertengahan lagu, ”Bang, berisiiik...,” teriak Zelda tiba-tiba sambil mengeraskan suara TV. Wah, rupanya meditasi sebulan untuknya belum membawa hasil juga!
Aku pun pasrah, ikut yoga, memberi pengertian dengan kata-kata lemah lembut agar ia mampu menggunakan pikiran sehatnya dalam membebaskan dirinya dari belenggu rasa takut terhadap sebuah benda yang bernama piano ini juga tak berhasil. Bahkan kadang sambil marah ia berkata bahwa tak sedikit pun ia pernah merasa takut pada piano. Lalu cara terakhir yaitu sesering mungkin kumainkan lagu-lagu kesukaannya dulu, tampaknya juga tak memberi arti.
Kini hampir sebulan sudah aku tak menyentuh piano. Malam ini kami menonton TV berdua.
“Bang, kenapa sekarang aku merasakan kelengangan di dalam rumah kita ini,” berkata Zelda yang membuat konsentrasiku menonton siaran berita jadi buyar.
“Lengang? Berarti kau merasa sepi?” tanyaku.
“Ya...,” sahutnya datar.
“Kalau begitu, gimana kalau kau putar saja kaset lamamu itu?”
Zelda cemberut, lalu melirik ke arahku.
“Ya, sepi karena sudah tak ada lagi suara piano di rumah ini,” aku meneruskan tanpa memandang wajahnya. Tiba-tiba ia mencengkeram tanganku membuatku kaget. “Ada apa, Zelda?”
“Nggak, aku cuma mengantuk,” katanya sambil menyipitkan matanya, lalu beranjak ke kamar. Beberapa waktu ini ia kuperhatikan selalu tidur lebih dulu dariku, namun kulihat ia sering bangun tengah malam dan salat tahajud.
Pagi sekali saat aku baru membuka mata, terdengar olehku suara Zelda ribut di dapur. Tiba-tiba ia masuk kamar dan mengguncang bahuku. “Bang, apa benar kata Sumi kau telah menjual piano tuamu itu?”
“Memang kenapa?”
“Kenapa kau tak kompromi denganku dulu sebelum menjualnya?”
“Lho, kan aku membelinya dulu juga tanpa kompromi? Dan bukankah berkali-kali kau minta aku menjual saja lemari ikan kering itu?”
“Iya sih, tapi...”
“Tapi apa?” Sekilas kulihat ia seperti bingung, diam tak berkata-kata lagi lalu melangkah pelan ke luar kamar.
Habis mandi kuhampiri Zelda yang duduk sendiri, termenung di ruang tamu.
“Bang, aku sungguh tak mengerti,” ia berkata pelan.
“Kenapa?”
“Aku, aku kini merasakan suasana yang begitu sunyi, bahkan teramat sunyi.”
“O ya.”
“Ya, Bang, kurasa ternyata rumah ini sekarang demikian sepi dan terasa hampa tanpa...”
“Tanpa apa, Zelda?”
Ia diam sejenak, lalu menggigit ujung kukunya seperti menahan sesuatu yang ingin diucapkan. “Mungkinkah itu karena tiadanya lagi alunan suara pianomu di rumah ini?” bisiknya dengan tatapan syahdu.
Aku terdiam, seakan tak percaya pada pendengaranku sendiri. “Sungguh, Zelda?”
“Ya...Aku tak mengerti kenapa sekarang aku malah merindukan dentingan suara pianomu.”
Kupandang wajah istriku, berusaha menemukan apakah ada isyarat canda, namun yang kulihat hanyalah dua bola mata sendu yang memancarkan ketulusan.
“Maafkan aku selama ini...”
“Tak ada yang perlu dimaafkan, sayang. Asal besok kau izinkan aku meletakkan sebuah piano di sudut ruang tamu kita, gimana?”
Zelda mengangguk sambil tersenyum. Aku tak tahu, apakah upaya terakhirku ataukah perpaduan dari ketiga cara yang pernah kulakukan itu yang telah menaklukkan traumanya, atau ia sendiri yang telah berusaha sedemikian rupa untuk membunuh phobianya tanpa sepengetahuanku, entah dengan cara apa...


Mtp, 071009

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 23 September 2007
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media

0 komentar: