Cerpen Asep Fauzi: Hujan Batu di Gubuk Lelaki Buta
Lelaki buta itu tengah menangis. Padahal siang ini, angin tengah sepoi-sepoinya membelai apapun yang ditiupinya ke arah gubuk tempatnya berdiri itu. Jika saja matanya masih wagas laiknya mata manusia pada umumnya, tentu dari kedua sudutnya akan meleleh air bening. Namun yang terlihat memang hanya dua belah mata yang telah mati, tergantung begitu saja di kelopaknya. Tidak bergerak. Mata itu terlihat menjijikan dengan darah kering yang masih menempel di kedua belahnya. Sedangkan di bagian tengahnya terlihat basah. Sesekali, beberapa ekor lalat terbang dan hinggap di mata lelaki itu.Namun, lelaki itu bergeming. Meski lalat telah beberapa kali hinggap menyedot dengan lahap cairan kental kekuningan yang ada di bagian tengah matanya yang amis namun terlihat juice itu. Kau tahu, bukan perihal kondisi matanya yang menjadi musabab dia menangis. Namun, ia sedang menangisi apa yang orang-orang sebut sebagai dosa. Ya, dia memang telah lama membenci dirinya sendiri yang selama ini terlampau asyik menimang kesalahan-kesalahannya.
***
Sebelumnya, tokoh kita ini tidak buta. Ia lelaki dengan organ tubuh nyaris sempurna, termasuk matanya dengan sorot yang tegas. Ia anak tunggal dari keluarga sederhana di kota kecil di ujung Kalimantan Selatan ini. Kau tentu dapat membayangkan bagaimana seorang anak satu-satunya diperlakukan oleh kedua orang tuanya? Apalagi dia adalah anak yang telah selama bertahun-tahun dinanti-nantikan terlahir ke muka bumi ini. Ya, apa pun yang dikehendakinya akan berusaha dituruti oleh kedua orang tuanya. Meski demikian, tokoh kita ini tidak termasuk anak yang memanfaatkan hal tersebut.
Kedua orang tuanya memiliki kebun yang letaknya lumayan jauh dari perkotaan. Karena keduanya suka bercocok tanam. Setiap anak lelakinya itu libur sekolah, mereka bertiga selalu menyempatkan untuk menanam, merawat, atau sekadar menengok aneka tanaman buah mereka seperti pisang, mangga, jeruk, nangka, dan buah-buah yang lainnya. Sudah menjadi rahasia umum bagi tetangga dan kerabat, bahwa kehadiran anak lelaki dalam pernikahan mereka menjadi pemantik kebahagiaan yang selama ini telah dinanti-nantikan pasangan suami istri itu.
Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang tentang keluarga ini. Entah karena ibunya sudah terlihat renta, yang garis-garis kecantikan wanita Banjar perlahan telah memudar dari parasnya, saat lelaki itu duduk di bangku SMP, ayahnya ternyata hobi sekali menonton film porno.
Celakanya, ruang keluarga tempat yang digunakan oleh ayahnya menonton, sangat dekat dengan kamar lelaki itu yang memang tidak berpintu. Hanya dilindungi oleh tirai warna coklat muda. Sehingga suatu malam, saat lelaki itu terjaga dari tidurnya, secara tidak sengaja ia melihat dari celah tirai kamarnya, ayahnya terlihat tengah khusyu melihat adegan-adegan film itu dengan lampu ruangan seluruhnya dipadamkan.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh lelaki itu. Seumur hidup, untuk pertama kalinya dia melihat tanyangan-tayangan seperti itu. Saat itu juga, ia tidak paham, mengapa selangkangannya tiba-tiba saja mengeras? Meskipun malam itu dia berusaha mati-matian menahan mual dengan adegan-adegan yang selama ini dia anggap tabu. Apalagi saat adegan menyesap cairan putih kental dari alat kelamin pemainnya. Huek. Dia menutup mulutnya kuat-kuat, ingin muntah.
Malam-malam selanjutnya, dia seakan penasaran dengan kaset-kaset yang akan diputar ayahnya di malam selanjutnya. Darah kelelakiannya lambat laun membuatnya menjadi penasaran. Saat mandi atau melamun di kamar, adegan-adegan itu sempurna tayang kembali di otaknya. Lengkap dengan desahan-desahannya. Oh, ia menjadi selalu resah.
Rasa penasaran mendorongnya untuk berbuat tidak sopan. Saat ayah dan ibunya tengah berada di rumah makan yang mereka kelola, dia menuju kamar mereka. Di atas lemari pakaian mereka di dalam sebuah kardus kecil, dia menemukan lebih dari sepuluh CDBF dengan gambar bermacam-macam asal negara dan adegan-adegan hotnya. Tentu saja tanpa busana. Dan hingga jadwal kedua orang tuanya pulang, ia baru mengembalikan kepingan-kepingan CD itu ke tempat asalnya. Dia telah menyelesaikan beberapa keping menontonnya. Di hari-hari yang lain, selain ikut menonton dengan cara sembunyi-sembunyi dari dalam kamar di malam hari saat ayahnya menapaki film-film itu, dia juga acap kali menontonnya sendirian di jam-jam kerja kedua orang tuanya.
Semenjak itu, hari-hari remaja tanggung itu menjadi penuh khayal. Selangkangannya sering sekali mengeras karena lintasan-lintasan adegan-adegan film itu, bahkan tanpa alasan. Namun, ada yang aneh dan tidak disadari sebelumnya, bahwa ia lebih tertarik dengan lakon lelaki yang rata-rata berotot dari film-film yang ditontonnya itu.
***
“Ya, Allah, aku tidak butuh apa pun saat ini. Aku hanya butuh ampunanmu!”
Sudah ribuan kali ia mengucapkan kalimat permohonan itu. Sejak kejadian tadi pagi di dalam kamarnya, dia dengan sadar telah menikam nikmat penglihatannya di usia ke dua puluh tujuh itu dengan dua buah gunting sekaligus.
Erangannya pagi minggu itu menggemparkan kedua orang tuanya yang tengah bersiap-siap menuju ke kebun keluarga. Ibunya yang paling kacau. Betapa tidak? Anak semata wayang kebanggaannya, yang telah lulus kuliah dan bekerja di sebuah hotel ternama di kota ini, meskipun selalu beralasan jika ditanya perihal calon istri, kini tengah mengerang-ngerang dengan kedua gunting menancap di kedua belah matanya.
“Kenapa, Nak? Kenapa kau lakukan ini?”
Itu pertanyaan ayah dan ibunya yang tidak pernah ia jawab, termasuk pertanyaan-pertanyaan cemas sejak malam sebelumnya. Sejak dia kembali melakukan pelampiasan birahi dengan teman facebook lelakinya yang sengaja menginap di hotel tempatnya bekerja.
Sebenarnya, jika dihitung, telah belasan kali dia bersikap diam, termenung, wajah sedih, menandakan beban kotor yang ia alami. Namun, kedua orang tuanya tidak pernah tahu, bahwa setiap ia datang dengan wajah ditekuk dan diam seperti itu, malamnya ia telah saling beradu pedang di salah satu kamar hotel. Hal itu mulai berani ia lakukan (tentu dengan diam-diam), sejak masuk dunia perkuliahan. Dia selalu merasa meriap dingin setiap kali mencium aroma lelaki.
Ia sadar betul itu katanya dosa. Meskipun mungkin itulah kesalahannya selama ini. Selama ini ia masih ragu dengan keberadaan Tuhan. Mungkin juga ia tak pernah benar-benar mengenal Tuhannya. Hanya kenal dengan neraka dan syurga yang dikisahkan oleh guru-gurunya di sekolah atau guru ngajinya. Namun semuanya seperti candu. Sehingga setiap hasrat itu menghampirinya, ia selalu tak berdaya membendungnya. Selalu saja berakhir dengan pelampiasan di atas ranjang, yang membuat tubuhnya tergolek lemas lalu menyisakan penyesalan-penyesalan sementara.
Padahal, dia dikenal sebagai lelaki baik. Rajin salat, berprestasi, bahkan kini telah mapan. Hanya saja, semua itu malah dijadikannya sebagai tameng, agar orang-orang tidak sampai mengira sedikit pun bahwa dia akan berbuat keji melakukan hubungan badan dengan sesama jenis. Dia pernah berpikir, apakah hal serupa juga dilakukan ayahnya untuk menutupi hobi bejadnya yang pernah ia lihat saat SMP dulu? Ya, dengan menjelma seorang suami dan ayah yang alim dan bijaksana di hadapan ibu dan dirinya.
Lelaki itu terlampau lelah dengan jalan hidup yang dia lakoni selama ini. Akhirnya dia putuskan untuk membunuh penglihatannya. Agar dia tidak mampu lagi melihat makhluk-mahkluk tampan yang ada di muka bumi ini. Karena saat salat di masjid pun dia sudah pasti masih bisa melihat lelaki atletis nan tampan yang akan mengeraskan selangkangannya di saat ruku’ atau sujud. Yang akan membawa salatnya pada adegan-adegan penuh kenikmatan yang menjijikan. Huek.
***
Lelaki itu mengamuk saat kedua orang tuanya akan membawanya ke rumah sakit. Dia menolak dengan keras bujukkan mereka. Walau ibunya sekadar ingin mengompreskan luka matanya pun ia menolak dengan kasar. Sikap yang tidak pernah ia lakukan selama ini kepada kedua orang tuanya.
“Tidak, ayah. Tidak ibu. Aku tidak mau. Biarkan kedua mataku ini mati. Biarkan aku buta selamanya. Agar semua ini berakhir tanpa kedua mataku.”
Mereka menyerah. Tetangga juga sudah gelisah di rumah mereka masing-masing. Bertanya-tanya apa yang terjadi. Padahal selama ini tidak pernah ada tangis, apalagi erangan dan amukan yang bersumber dari rumah mereka itu.
Lalu, dengan memalas, lelaki itu memohon kepada kedua orang tuanya untuk mengantarkannya ke kebun. Ia ingin tinggal di sana. Mereka terpaksa setuju meskipun masih diselimuti dengan berbagai kebingungan yang berkecamuk. Dengan masih menahan rasa sakit di matanya, lelaki itu dibimbing oleh kedua orang tuanya menuju mobil, sambil mengendap-endap dari mata-mata tetangganya dan melaju ke arah kebun.
Sesampainya di sana, dia meminta kedua orangnya untuk pulang. Kembali, dengan sangat terpaksa dan tidak habis pikir, orang tuanya lagi-lagi mengalah.
“Aku ingin merenung di sini, Ayah, Ibu.”
“Ada apa sebenarnya yang terjadi, Nak? Ceritakanlah kepada kami!”
“Tidak ada, Ibu. Kalian pulanglah! Aku mohon! Aku janji tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh lagi. Aku sudah terbebas dari rasa takutku selama ini Ibu. Mata inilah yang membuatku takut. Mata yang selama ini membuat hidupmu tidak tenang.” Dia menyedot ingusnya dua kali. Di matanya tidak ada lagi terlihat airmata, hanya darah yang mulai mengental.
“Pulanglah. Aku mohon!”
Kedua orang tuanya beringsut. Mereka bingung dan syok dengan kejadian medadak dan perubahan sikap anak kesayangannya itu. Sepulang kedua orang tuanya, ia hanya ditemani semilir angin yang menggesek dedaunan dan ranting pohon buah-buahan di kebun itu, kicauan burung, dan warna yang kini harus berani dia intimi sendiri yaitu gelap. Ya, kegelapan yang kini menurutnya lebih baik ia rasakan ketimbang menikmati warna pelangi sekalipun.
***
Siangnya, kedua orangtua lelaki itu datang kembali membawa beberapa tas yang berisi kebutuhannya, terutama pakaian, penerangan, dan makanan. Mereka tidak mau anak satu-satunya itu mati kelaparan di kebun mereka, yang tidak ada seorang pun yang merawatnya.
“Letakkan saja di samping kananku, Ibu. Nanti jika aku lapar, aku akan memakannya.”
“Ada apa sebenarnya, Nak! Coba katakanlah!” Ayahnya membuka pembicaraan.
“Jika kami ada kesalahan kepadamu, katakanlah, Nak! Maafkanlah kami! Ayah dan Ibu akan melakukan apa pun agar kau mau pulang. Hanya kau satu-satunya harta berharga yang kami punya, Nak,” katanya lagi.
“Setiap manusia pasti memiliki aib dan dosa ayah. Aku percaya itu. Tinggal kita saja menyadarinya atau tidak dan apakah berusaha atau tidak memperbaikinya. Hanya saja, itu yang selama ini selalu gagal aku lakukan. Aku selalu kembali terjerumus ke lubang yang sama. Aku terlanjur kecanduan dengan kenikmatan sesaat yang menjijikan itu.”
“Apa sebenarnya dosa yang telah kau perbuat, Nak? Tidak’kah kau kepingin membicakan sebelumnya dengan kedua orang tuamu ini untuk mencari jalan keluarnya? Sehingga tidak perlu kau menjadi kehilangan kedua matamu seperti sekarang ini, Anakku.”
“Pulanglah, Ayah, Ibu. Kalian sudah berjanji tidak akan menggangguku di sini, bukan?”
Terdengar suara mulut yang dibekap. Tangisan ibunya berantakan sembari menghambur memeluk anak lelakinya yang telah resmi menjadi lelaki buta itu.
“Kenapa jadi begini, sayang. Ayo pulang, kita ke dokter, ya!”
Dia menggeleng. Mantap. Menolak untuk kesekian kalinya. Membuat hati kedua orang tuanya terasa semakin teriris.
***
Malam ke empat, kedua orang tuanya kembali harus pulang dengan menelan kekecewaan karena anak lelakinya itu masih menolak untuk diajak ke dokter atau pulang. Dia juga meminta untuk tetap merahasiakan keberadaannya di gubuk ini kepada siapa pun yang mencari tahu tentangnya, termasuk rekan-rekan kantor di hotel tempatnya selama ini bekerja.
Dia sudah nyaman dengan kesunyian ini. Meskipun di awal-awal, dia tentu mengalami kesulitan melakukan apapun dengan kedua matanya yang kini buta, terutama saat ingin buang air. Namun, dia kembali menangis. Bukan…bukan karena kesulitan-kesulitannya menjadi lelaki buta yang ia tangisi. Tetapi selangkangannya. Mengapa dengan suasana seperti ini hasrat itu masih saja muncul? Dia berusaha tidak menghiraukan otaknya dengan lintasan-lintasan bibir-bibir yang pernah dia lumat, dada bidang berbulu yang pernah direbahinya, atau selangkangan para pria yang pernah dinikmatinya. Napasnya kian berburu. Tidak terkontrol. Adegan-adegan bergerak semakin nyata, bagai slide-slide presentasi yang biasanya ia bicarakan di depan klien-kliennya di tempat kerja.
Tangan lelaki itu akhirnya meraba selangkangannya. Melorotkan celana traning yang dikenakannya. Dia gerakkan pinggulnya maju mundur. Dia tidak tahan lagi. Sekian menit berlalu, saat cairan kental putih itu menyemprot, bersamaan dengan itu pula, batu berjatuhan dari langit seperti hujan, meluluhlantahkan gubuknya dengan guyuran batu-batu itu. Dalam sekejap, lelaki buta itu terkapar dengan erangan yang pilu.
***
Esoknya, lelaki buta itu ditemukan oleh kedua orang tuanya di antara bebatuan dan reruntuhan gubuk yang jenis batunya masih diteliti oleh beberapa lembaga di bidangnya. Karena para ilmuan di negeri ini mengaku, tidak pernah melihat jenis batu yang menghujami gubuk lelaki itu sebelumnya.
Tubuh lelaki itu kaku, teradon oleh abu batu-batu yang telah menghujaninya. Meringkuk. Mulutnya menganga. Posisi tangannya memegang alat vitalnya tanpa celana. Keanehan selanjutnya adalah, batu-batu tersebut hanya menghujani gubuknya. Sebatas gubuk tempat lelaki buta itu tinggal. Tidak lebih, tidak kurang. Dan tidak dapat ditawar-tawar juga, bahwa ibunya seketika itu juga pingsan melihat kenyataan yang menimpa anak lelaki kesayangannya.
Selang beberapa jam, televisi nasional maupun swasta berlomba-lomba menayangkan berita yang menggemparkan dunia itu. Menjadi trending topic di berbagai media sosial. Mereka masing-masing menyimpulkan bahwa kiamat memang benar-benar sudah semakin dekat.
Kotabaru, 23-25 April, 2016
*Terinspirasi dari Q.S. Al A’raf ayat 80-84
Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 01 Mei 2016
0 komentar: