Esai Hamberan Syahbana: Mengungkap Kandungan Puisi 'Sajak Sebatang Pohon Karet' Karya Sandi Firly

21.48 Zian 0 Comments

Sandi Firly kelahiran 16 Oktober 1975 di Kuala Pembuang Kabupaten Seruyan Provinsi Kalimantan Tengah. Alumni FISIP Universitas Islam Kalimantan ini sehari-harinya ia adalah seorang wartawan tepatnya Redaktur Pelaksana SKH Media Kalimantan. Ia mulai menulis sejak tahun 1990-an yang awal-awalnya ia sering diminta teman-teman SMA-nya menuliskan surat-surat cinta untuk cewek yang disukai. Dan dari kebisaan inilah yang mengantarkannya secara serius menggeluti dunia tulis menulis. Puisi-puisinya ikut dimuat dalam antologi bersama. Antara lain dalam Antologi Puisi Bulan Ditelan Kutu (Banjarmasin, 2004), dalam Antologi Puisi Taman Banjarbaru, (Banjarbaru, 2006) dan dalam Antologi Puisi Konser Kecemasan, Sajak-sajak Peduli Lingkungan Hidup Penyair Kalimantan Selatan (Banjarmasin, 2010).

Ia juga piawai dalam menulis cerpen. Beberapa judul di antaranya telah dibukukan bersama Harie Insani Putra dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Memburu Hujan (2007). Salah satu cerpennya yang berjudul Perempuan Balian yang dimuat dalam Harian Kompas juga ikut terpilih dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Surat Kabar Kompas 2012. Selain itu ia juga rajin menulis novel antara lain novel Rumah Debu (2010), novel Lampau (2013) dan novel Hanya Sebutir Debu (2014). Dan Novelnya yang berjudul Rumah Debu telah mengantarkannya menjadi salah satu dari 15 penulis terpilih dalam Ubud Writer and Readers Festival 2011 di Bali.
Pada tahun 2007 atas keuletan dan dedikasinya Sandi Firly menerima Penghargaan Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Selanjutnya di sini kita akan mengenal lebih dekat lagi dengan Sandi Firly melalui puisinya yang berjudul Sajak Sebatang Pohon Karet yang ada di halaman 146 buku Konser Kecemasan, Sajak-sajak Peduli Lingkungan Hidup Penyair Kalimantan Selatan, berikut di bawah ini.

***

Sajak Sebatang Pohon Karet

Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi
seperti pasukan Abrahah di tepi hutan ini
berderap, menerbangkan debu hitam batubara
dan tanah kering merah bata
Pepohonan sunyi burung
embun lesap sebelum mencium daun
angin kaku, kehilangan peta arah
pada subuh beraroma barah
Tanah terang, anak penakik getah datang
wajahnya pucat lesi bulan kesiangan
telah terbayang harga karet turun beribu-ribu
sebab berserbuk, kesat kain belacu
Nadiku tersekat berkarat-karat
dalam bola mata anak penakik getah yang sekarat
tepi hutan, tepi kematian
suaranya kian menghilang
Kubayangkan arakan ababil datang dari samudera sunyi
menghujani gajah-gajah besi dengan batu api
langit terbakar, berkibar, menerbangkan lelatu
tepi hutan ini pun berubah menjadi abu

bulan awal tahun 2008

Konser Kecemasan hal. 146

Berdasarkan paparan di atas kita ketahui bahwa puisi Sajak Sebatang Pohon Karet karya Sandi Firly ini ditulis dengan menggunakan tipografi konvensional yang terdiri dari 5 bait. Setiap bait terdiri dari 4 larik, jadi keseluruhan lariknya berjumlah 20 larik. Ditinjau dari sang penutur, puisi ini masuk dalam kelompok puisi lirik yang ditandai dengan klausa aku telah menyaksikan di larik 1, Nadiku tersekat di larik 13 dan klausa Kubayangkan arakan Ababil di larik 17. Ditinjau dari ungkapan yang disajikan, puisi ini masuk dalam kelompok puisi deskriptif impresionis yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan berupa kesan penulisnya terhadap kerusakan lingkungan hidup. Jelasnya, ini adalah puisi kritik sosial terhadap pengrusakan lingkungan hidup yang sudah sangat amat memprihatinkan. Untuk lebih jelasnya marilah kita telisik puisi ini secara cermat bait per bait, larik per larik dan ungkapan per ungkapan sebagai berikut di bawah ini.
Marilah kita awali dengan menelisik dan mencermati bait 1 berikut ini.
1. Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi
2. seperti pasukan Abrahah di tepi hutan ini
3. berderap, menerbangkan debu hitam batubara
4. dan tanah kering merah bata
Berdasarkan paparan di atas kita ketahui bahwa bait 1 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan pengrusakan lingkungan hidup. Hal ini terlihat jelas dalam untaian kata Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi. Frasa gajah-gajah besi di sini bukanlah benar-benar gajah yang bertubuh besi, tetapi alat-alat berat dan barisan truk-truk besar yang mengangkut batu bara.
Berikut dilanjutkan dengan ungkapan seperti pasukan Abrahah di tepi hutan ini berderap, menerbangkan debu hitam batubara dan tanah kering merah bata. Ini menunjukkan bahwa betapa dahsyatnya alat-alat berat itu dan truk-truk besar itu bagaikan pasukan Abrahah yang dengan angkuhnya ingin merusak dan menghancurkan Ka’bah, tetapi tidak berhasil. Berbeda dengan gajah-gajah besi itu yang telah berhasil sukses menjalankan tugasnya, dan konvoy truk-truk berat itu menerbangkan debu hitam batubara dan tanah kering merah bata bekas bongkaran itu beterbangan ke mana-mana.
Bait 1 ini juga dibangun dengan rima akhir yang tertata rapi. Ini ditandai dengan adanya pengulangan bunyi vokal [i] pada kata gajah besi di akhir larik 1 yang bersajak dengan kata hutan ini di akhir larik 2. Berikut ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata batubara di akhir larik 3 yang bersajak dengan kata bata di akhir larik 4.
Bait 1 ini dibangun dengan imaji auditif yang diawali dengan dengan ungkapan Aku telah menyaksikan di mana kita seakan benar-benar mendengar sang penyair mengucapkan Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi. Juga kita seakan benar-benar mendengar bunyi deru mesin truk-truk besar pengangkut batu bara yang digambarkan sebagai gajah-gajah besi seperti pasukan Abrahah di tepi hutan. Bait ini juga dibangun dengan imaji visual di mana kita seakan benar-benar melihat alat-alat berat yang bergerak serempak membongkar dan memporak-porandakan tanah demi sejumlah batubara yang terkandung di bawahnya. Pembaca juga seakan benar-benar melihat iringan truk-truk besar mengangkut batu bara yang debu tanah bongkaran dan debu hitam batubara beterbangan ke mana-mana.
Bait 1 ini juga dibangun dengan majas simille yang ditandai dengan kata sambung seperti di awal larik 2 yang menghubungkan larik 1 dan larik 2 sehingga menjadi satu kesatuan majas simile yang berbunyi Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi seperti pasikan Abrahah di tepi hutan ini"
Selanjutnya marilah kita cermati bait 2 berikut di bawah ini.
5. Pepohonan sunyi burung
6. embun lesap sebelum mencium daun
7. angin kaku, kehilangan peta arah
8. pada subuh beraroma barah
Berdasarlan paparan di atas kita ketahui bahwa bait 2 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan akibat debu-debu hitam yang diterbangkan oleh gajah-gajah besi bagaikan pasukan Abrahah berderap di sepanjang jalan yang dilaluinya. Hal ini ditandai dengan ungkapan Pepohonan sunyi burung, embun lesap sebelum mencium daun, angin kaku kehilangan peta arah dan subuh (yang) beraroma barah.
Bait 2 ini juga dibangun dan diperindah dengan rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a/rah] pada kata arah di larik 7 yang bersajak dengan kata barah di larik 8. Di sini juga rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata burung diakhir larik 5 yang bersajak tak sempurna dengan kata daun di ujung larik 6. Bait ini menjadi semakin indah dengan adanya rima asonansi yang ditandai bunyi [um] di larik 6 pada kata sebelum yang bersajak dengan kata mencium.
Bait 2 ini juga dibangun dengan imaji visual dimana kita seakan benar-benar melihat Pepohonan yang sunyi karena tak ada burung yang hinggap di pohon-pohon yang hitam oleh debu-debu batubara. Kita juga seakan melihat daun-daun yang basah dengan embun hitam berdebu batubara. Kita juga seakan-akan turut merasakan udara saat subuh yang sarat dengan debu batubara sehingga terasa sangat menyesakkan nafas.
Bait ini juga dibangun dengan majas Enumerasio yang mengungkapan sesuatu dengan cara menguraikan bagian-bagian dari keseluruhan. Hal ini ditandai dengan rangkaian ungkapan yang merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Hal ini dapat kita resapi pada rangkaian ungkapan Pepohonan sunyi burung, embun lesap sebelum mencium daun, angin kaku, kehilangan peta arah, pada subuh beraroma barah. Bait 2 ini juga diperkuat dengan majas Hiperbola yang ditandai dengan ungkapan embun lesap, angin kaku, dan ungkapan subuh beraroma darah.
Selanjutnya marilah kita cermati bait 3 berikut di bawah ini.
9. Tanah terang, anak penakik getah datang
10. wajahnya pucat lesi bulan kesiangan
11. telah terbayang harga karet turun beribu-ribu
12. sebab berserbuk, kesat kain belacu
Berdasarkan paparan di atas kita ketahui bahwa bait 3 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat di sekitar areal pertambangan batu bara, khususnya dampak negatif bagi mata pencaharian petani karet. Hal ini ditandai dengan ungkapan telah terbayang harga karet turun beribu-ribu, sebab berserbuk, kesat kain belacu.
Bait 3 ini juga dibangun dengan rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [ng/ang] pada kata datang di akhir larik 9 yang bersajak tak sempurna dengan kata kesiangan di akhir larik 10. Di sini juga ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata beribu-ribu di akhir larik 11 yang bersajak dengan kata belacu di akhir larik 12.
Bait 3 ini dibangun dengan imaji visual. Kita seakan benar-benar melihat seorang anak penakik getah karet datang ke kebun karet saat hari mulai terang di pagi hari. Wajahnya pucat pasi bagaikan bulan kesiangan saat membayangkan harga karet pasti akan turun beribu-ribu rupiah. Kita juga seakan benar-benar melihat getah karet yang lesat seperti kain belacu karena penuh dengan serbuk-serbuk debu batu bara.
Bait 3 ini sepenuhnya dibangun dengan majas Perifrase, yang menggunakan ungkapan pajang untuk menegaskan betapa buruknya dampak yang ditimbulkan pada hasil kebun petani karet. Hal ini ditandai dengan ungkapan harga karet turun beribu-ribu sebab berserbuk, kesat bait belacu (larik 12). Di sini juga ada majas Metafora yangmengungkapkan sesuatu dengan perbadingan langsung, yang ditandai dengan ungkapan wajahnya pucat lesi bulan kesiangan (larik 10)
Selanjutnya marilah kita cermati bait 4 berikut di bawah ini.
13. Nadiku tersekat berkarat-karat
14. dalam bola mata anak penakik getah yang sekarat
15. tepi hutan, tepi kematian
16. suaranya kian menghilang
Berdasarkan paparan di atas kita ketahui bahwa bait 4 ini juga dibangun dengan diksi dan ungkapan kesan dan keprihatinan penyair Sandi Firly tentang dampak negatif bagi kehidupan masyarakat di sekitar areal pertambangan batu bara. Hal ini ditandai dengan ungkapan Nadiku tersekat berkarat-karat, anak penakik getah yang sekarat dan ungkapan suaranya kian menghilang.
Bait 4 ini dibangun dengan rima akhir yang ditadaki dengan bunyi konsonan [t/rat] pada berkarat-karat di akhir larik 13 yang besajak dengan kata sekarat di akhir larik 14. Bait 4 ini juga dibangun dan diperindah dengan rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal dalam larik yang sama. Ini dapat kita di larik 14 yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata bola yang bersajak dengan mata dan kata anak. Di larik 15 ada pengulangan bunyi vokal [e] pada kata tepi yang bersajak dengan kata kematian. Do si ijjuyha ada penguangan bunyi vokal [a/an] pada hutan yang bersajak dengan kata kematian. Di larik 13 ada rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] dan [t] pada kata berkarat-karat yang bersajak dengan kata sekarat.
Bait 4 ini juga dibangun Imaji visual kita seakan melihat bola mata anak penakik getah yang sekarat. Di sini juga ada imaji auditif, kita seakan mendengar suara yang semakin menghilang di tepi hutan. Bait 4 iui juga dibangun dengan majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan Nadiku tersekat berkarat-karat (larik 13), tepi kematian (larik 15), suaranya kian menghilang (larik 16)
Selanjutnya mari kita cermati bait 5 berikut di bawah ini.
17. Kubayangkan arakan ababil datang dari samudera sunyi
18. menghujani gajah-gajah besi dengan batu api
19. langit terbakar, berkibar, menerbangkan lelatu
20. tepi hutan ini pun berubah menjadi abu
Berdasarkan paparan di atas kita ketahui bahwa bait 5 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan berisi kritik dan kemarahan Sang penyair kepada para peruisak lingkungan hidup yang telah menyengsarakan masyarakat sekitar. Hal ini ditandai dengan rangkaian ungkapan dalam larik-larik Kubayangkan arakan ababil datang dari samudera sunyi, menghujani gajah-gajah besi dengan batu api, langit terbakar, berkibar, menerbangkan lelatu tepi hutan ini pun berubah menjadi abu
Bait 5 ini juga dibangun dengan rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [i] pada kata sunyi di akhir larik 17 yang bersajak dengan kata api di akhir larik 18. Di sini juga ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada lelatu di akhir larik 19 yang bersajak dengan kata abu di akhir larik 20.
Bait ini juga dibangun dengan imaji visual, kita ikut membayangkan seakan benar-benar melihat arakan burung ababil yang datang dari samudera sunyi, lalu menghujani gajah-gajah besi dengan batu api. Langit terbakar menerbangkan lelatu, tepi hutan itu pun berubah menjadi abu.
Bait 5 ini dibangun dan diperkuat dengan majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan arakan ababil datang dari samudera sunyi, menghujani gajah-gajah besi dengan batu api, langit terbakar dan ungkapan tepi hutan ini pun berubah menjadi abu.

***

Sajak Sebatang Pohon Karet karya Sandi Firly ini termasuk dalam kelompok Puisi Deskriftif Impresionistik yang mengungkapkan kesan penyair Sandi Firly terhadap kerusakan lingkungan yang sudah sangat memprihatinkan. Melalui puisi ini pula ia menyatakan kritik dan ketidaksenangannya atas perbuatan tidak bertanggung jawab yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan masyarakat sekitar areal pertambangan batu bara. Demikianlah amanat dan pesan moral yang ingin disampakannya melalui puisi Sajak Sebatang Pohon Karet ini.

Sumber:
https://www.facebook.com/hamberan.syahbana/posts/10206549857945701

0 komentar: