Cerpen Ferry Irawan Kartasasmita: Zaman Tak Boleh Memakan Anakku
Kini aku menjadi pemain yang ‘naik’. Aku bidikan dengan seksama logo-ku, kutautkan dengan stik yang telah aku genggam dengan erat. Aku harus memukul, ini adalah pertarungan gengsi. Apabila aku kalah, maka aku akan diolok-olok temanku dan itu sungguhlah menyakitkan.“Ayo, Yu, lambat sekali kamu membidik logo-nya,” kata temanku yang sekarang berada di pihak ‘pasang’.
“Sabar, San, aku konsentrasi dulu,” jawabku dengan mata yang masih memicing menyeimbangkan emosi dengan kekuatan.
Aku bersiap untuk memukul, stik dari bambu ini akan menjawab semuanya. Tangan sudah kuayunkan, logo jagoanku telah bergulir dengan kencang dan…
“Yes, aku menang,” aku berjoget-joget kesenangan.
Santo mengambil logonya yang terlempar jauh setelah aku hempaskan.
“Yah, logo-ku lepas, Yu. Rusak deh.”
“Hah, yang benar, San?” aku mulai bertambah girang. Dalam kebiasaan kami, barang siapa yang berhasil menghancurkan logo milik lawan, dia lah raja dari permaianan balogo. Orang yang paling tangguh. Itulah mengapa niatan kami bukan saja untuk menang, tapi untuk menghancurkan.
“Iya, Yu, ini logo-ku hancur,” Santo memperlihatkan logo dari tempurungnya yang kini terlepas karena aspal yang merekatkan tempurung satu dengan yang lain telah pecah. Wajahnya berubah ingin menangis.
“Besok kita buat yang lebih kuat,” bujuk Dani kawan setimnya.
Perkara hancur menghancurkan bukanlah perkara kita menindas yang lemah dan bersenang-senang di atas kebahagiaan mereka, tetapi tentang bagaimana kita bangkit dan membangun kembali sesuatu yang rusak dengan lebih baik lagi. Terkadang kita memang perlu kerusakan, agar kita bisa kembali mulai membangun dari awal. Bukanlah kemajuan di bumi ini adalah bagian dari kerusakan yang telah terjadi. Sejak kecil kami sudah mengenal, rusak adalah waktu untuk kembali membangun bukan untuk berputus asa.
“Ngga, ahh. Aku ngga mau main balogo lagi, Dan,” Santo kini sesenggukan menggenggam logonya yang hancur.
Mendengar itu kegembiraanku sirna. Hal yang paling menyedihkan adalah kehilangan sahabat sepermainan. “San, ambil aja logo-ku ini, tapi besok kita main lagi, ya.”
Santo hanya menggelengkan kepalanya. Imam mendekati Santo, merangkul dan membujuknya.
“Kita cari tempurung aja, yuk. Biar kita bisa buat logo lagi sore ini,” ajak Imam ramah dibalas dengan senyuman dan anggukan dari kami semua tanda setuju.
Santo pun mengangguk dan senyumnya keluar malu-malu. Kami menghentikan permainan kami, dan berangkat mencari tempurung kelapa tua untuk dijadikan sumber kebahagiaan kami lagi. Ini hanyalah permaianan, pasti ada suka dan duka di sana, tapi yang perlu kita lakukan adalah hanya bahagia
Aku tak akan membiarkanmu berhenti bermain, Kawan
***
Aku terbangun dari tidur siang, pukul tiga tepat, setengah jam lagi waktu ashar. Aku duduk di pinggiran ranjang dan mencoba mengingat kembali mimpi yang baru saja terjadi. Mimpi tentang masa kecilku dulu.
Aku bangkit dari ranjang dan keluar kamar. Aku dapati anakku, Tommy, tertidur di sofa dengan memeluk tablet. Hatiku miris melihatnya. Anak zaman sekarang telah banyak berubah. Dulu aku mengendap-endap untuk keluar rumah dan bermain di tengah terik matahari yang sedang meraja. Di luar rumah bagiku tempat bermain tanpa batas, kita bisa memainkan apa saja di sana, balogo, kelereng, petak umpet, layang-layang, gobak sodor, egrang, ular tangga, sumpit-sumpitan, gasing, bola dan lebih banyak lagi. Tak ada kebosanan bagi kami dulu, fisik kami di tempa oleh alam, emosi kami diseimbangkan dengan bermain dengan teman sepermainan. Belum lagi ketika musim buah tiba, kita memanjat pohon siapa saja dengan sesuka hati, memakan buahnya dan setelah kenyang kita baru meminta ijin kepada empunya. Aku tertawa kecil mengingat ‘nakal’nya masa kecilku dulu.
Tetapi, ketika aku melihat perkembangan anak zaman sekarang, terlebih ketika melihat anakku. Aku turut prihatin atas kondisi ini. Dulu aku selalu bemain di luar rumah, memainkan berbagai macam permainan. Sekarang, segala permainan masuk ke dalam tablet. Tak ada keringat yang keluar, tak ada kulit gosong yang dihasilkan, tak ada tubuh yang digerakan secara maksimal. Hanya mata saja yang perih karena terlalu lama menatap layar dan jari yang semakin aktif dalam beratraksi. Ini sungguh bukan permainan, tak ada yang menarik, dan tak berguna di pikiranku.
“Tommy, ayo bangun. Siap-siap sholat ashar ke mesjid,” aku membangunkan anakku.
“Nanti aja, Pa, aku baru tidur.”
“Kalau begitu papa ambil tab-nya. Gara-gara main terus kamu jadi lupa waktu.”
Anakku dengan berat membuka matanya dan mulai merengek manja. “Jangan, Pa. Ini aku bangun deh.”
“Cepat ambil wudhu biar segar.”
Anakku beranjak pergi dengan malas. Aku kini duduk di sofa, membuka tablet miliknya dan kudapati puluhan permainan yang ada di sana. Ada permainan balapan, perang-perangan, pesawat, bahkan memancing dan bermain layang-layang.
“Ya Allah, sampai memancing dan layang-layang dikerdilkan untuk masuk ke dalam tablet ini, apa menariknya?” aku bergumam lirih.
Tak lama anakku telah siap. Kami berangkat di mesjid yang tak jauh dari rumah.
***
“Assalamualaikum, Pak Haji,” aku menyapa Haji Madrun ketika sama-sama keluar dari mesjid. Rumahnya searah denganku dan kami saling mengobrol selama perjalanan.
“Walaikumsallam, Pak Wahyu. Wih, si Tommy rajin juga, ya, ikut sholat berjamaah. Semoga jadi anak yang soleh, Tom,” Haji Madrun mengelus rambut anakku. Kami berjalan beriringan.
“Aamin, Pak. Jamaah sepi, ya, kalau sholat ashar.”
“Ya begitulah kondisi sekarang, Pak. Dulu masyarakat Banjar terkenal religius, langgar dan mesjid selalu penuh kalau sholat lima waktu, yang muda yang tua berbondong-bondong keluar rumah jika adzan telah dikumandangkan.”
“Iya, Pak, waktu kecil dulu saya juga dipaksa sama bapak saya untuk sholat. Padahal waktu itu sedang malas sekali.”
Haji Madrun menatapku dengan seksama, sedangkan anakku hanya diam mendengarkan.
“Benar itu, Pak, buktinya di wilayah Banjar ini banyak sekali langgar. Setiap lima puluh meter pasti kita menemukan langgar berdiri. Setiap waktu sholat tiba, adzan bertalu-talu berkumandang. Saling bersahutan, macam ayam jantan di pagi hari.”
“Ha.,Ha, benar sekali itu, Pak. Malah sampai sekarang ini seperti itu, sayang saja yang mengisinya hanya bisa dihitung oleh jari.”
“Ya, begitulah, Pak Wahyu. Saya juga bingung apa yang berubah sehingga masyarakat Banjar perlahan-lahan mulai meninggalkan sisi religiusnya. Saya takut di masa depan, anak cucu kita malah tak sama sekali mau memakmurkan mesjid atau bahkan meninggalkan sama sekali itu yang namanya sholat.”
“Wah, jangan sampai, Pak. Bisa dapat bencana daerah kita ini,” rumahku sudah semakin dekat padahal pembicaraan ini mulai hangat.
“Ya, mudahan saja tak sepeti itu. Selagi kita-kita ini menjadi orang tua yang baik, yang mengajarkan anak dengan cara yang baik pula. Insya Allah, anak-anak kita akan mengikuti jalan hidup kita.”
Kami berhenti tepat di depan rumahku, “Aamin, mau mampir dulu, Pak? Sekalian ngobrol sore-sore.”
“Terima kasih, Pak. Ada yang harus saya kerjakan. Saya tinggal dulu, ya, Assalamualaikum.”
“Walaikumsallam,” aku menatap Haji Madrun sampai dia jauh berjalan. Anakku sudah masuk ke dalam rumah.
***
Ketika aku masuk ke dalam rumah, aku mendapati anakku tengah asyik memainkan tablet. Ini tak bisa dibiarkan, zaman boleh semakin modern, tapi bermain di luar rumah akan tetap jauh lebih baik dibandingkan hanya mendekam dengan segenggam tablet.
“Tommy, ayo kita jalan-jalan keluar.”
“Mau kemana lagi, Pa? Aku ngga ikut, ya.”
“Harus ikut kamu, Tom. Kita cari bambu sama tempurung kelapa.”
Mata anakku melotot tanda penasaran, “Untuk apa, Pa?” tanya anakku dengan antusias.
“Buat bikin permainan. Ayo cepat ganti bajumu kita berangkat.”
***
Kini kami jauh masuk ke dalam daerah perumahan. Masih banyak pohon dan suara serangga pohon yang saling bersahutan. Aku ingin menuju rumah Pak Mukmin. Di halaman rumahnya banyak terdapat pohon kelapa dan bambu.
“Pa, masih jauh tempatnya?”
“Sebentar lagi, Tom. Itu atap rumah teman papa sudah kelihatan.”
Rumah Pak Mukmin sangat khas adat banjar. Rumah Gajah Baliku disebutnya, dari jauh saja ada suasana teduh dan nyaman melihatnya. Kayu ulin menopang kokoh seisi rumah, atap sirap dengan beberapa jendela tanpa terali. Seandainya membuat rumah seperti ini tidak mahal di zaman sekarang, sungguh aku pasti membuat rumah yang seperti ini. sayang sekali, kayu ulin sekarang lebih mahal dibandingkan beton.
“Nah kita sudah sampai, Tom, ayo kita pamit minta ijin dulu,” aku mengajak anakku naik ke atas pelataran rumah.
“Assalamualaikum, Pak Mukmin.”
Tak lama ada yang menjawab dari dalam rumah, “Walakumsallam, wah, Pak Wahyu. Tumben-tumben sekali ini mampir ke sini, ayo masuk-masuk,” Pak Mukmin mempersilahkan ramah.
“Terima kasih, Pak. Maksud saya ke sini mau minta bambu, sama tempurung kalau ada juga.”
“Wah, kebetulan sekali, Pak. Di belakang saya baru motong bambu. Kalau tempurung ada juga bekas membuat santan. Ayo, kita turun ke belakang, Pak.”
“Nah, ini dia. Banyakkan, Pak, ayo tinggal pilih saja. Memangnya mau membuat apa, Pak?”
“Ini mau buat logo buat Tommy. Di rumah dia main handphone terus. Saya mau mengajarkan apa yang saya rasakan waktu kecil dulu. Hehe..”
“Oh, betul sekali itu, Pak. Saya juga turut prihatin sama perkembangan anak zaman sekarang. Dulu banyak anak-anak kemari minta bambu buat layang-layang atau stik logo atau dibuat meriam sama sumpit. Saya juga ikut bantu kalau mereka mau motong bambu. Sekarang ini malah jarang sekali mereka kemari.”
“Ya dari itu, Pak, saya mau permianan zaman kita dahulu tidak hilang dimakan zaman.”
***
“Kok bengong, Tom,” aku memulai pembicaraan diperjalanan pulang. Sebilah bambu lumayan panjang dan beberapa tempurung kami bawa untuk dibuat logo.
“Rumah Pak Mukmin tadi ngeri, Pa. Pasti banyak hantu di sana, apalagi letak rumahnya jauh masuk ke dalam hutan gini. Tadi juga aku melihat ada lambang ‘tambah’ di setiap tiang rumah Pak Mukmin, pasti itu jampi-jampi, ya, Pa?”
Aku tertawa kecil mendengar ketakutan anakku, “He, itu rumah adat banjar namanya, Tom. Ngga angker, kok, cuma kamu jarang aja sekarang melihatnya. Kalau tanda tambah itu namanya ‘cacak burung’. Itu semacam tanda magis buat penolak bala dalam kebudayaan asli Kalimantan, Suku Banjar sama Dayak mempercayai tanda semacam ini. Tanda seperti itu biasanya juga ditulis di badan dengan kapur atau sirih buat mengobati kapidaraan.”
“Kapidaraan itu apa, Pa?” anakku bertambah penasarannya.
“Itu semacam sakit disebabkan karena arwah gaib. Biasanya yang sering kena kapidaraan itu bayi dan anak kecil. Orang dewasa juga bisa kena, kok, kalau jiwanya sedang kosong. Orang banjar, sih, biasanya menyebutnya lamah bulu.”
“Hii, berarti aku nanti kena kapidaraan, Pa. Aku kan masih anak kecil.”
“Zaman sudah modern, Tom. Tak perlulah kamu terlalu mempercayai seperti itu. Asal kamu dekat dengan Tuhan, yang seperti-seperti itu juga ngga akan dekat, kok. Akhirnya sudah sampai rumah, ayo kita buat logo.“
“Logo itu apa, sih, Pa? Dari tadi papa bilang itu terus, aku saja ngga tahu apa artinya.”
“Sudah tak usah perlu penjelasan, langsung kita buat saja dan mainkan. Kamu pasti akan langsung paham.”
Tak akan kubiarkan anakku terkubur perlahan-lahan oleh kemajuan teknologi. Tak akan kubiarkan fisik anakku semakin lemah karena jarang digerakkan. Akan aku ajarkan semuanya, semua yang telah aku mainkan sewaktu kecil. Anakku berhak menikmatinya.
Keluarlah anakku, keluar rumahlah kamu ketika siang semakin terik, tak usah perdulikan warna kulitmu yang akan menghitam. Pengalaman jauh lebih berharga dari itu semua, biarlah letih yang akan menidurkanmu di awal malam dan kembali bermain keesokan harinya. Bermainlah anakku, karena inilah waktumu untuk bermain, sebelum kamu harus mengemban tanggung jawab yang berat.
Banjarbaru, 10 Desember 2013.
Sumber:
https://makhluklemah.wordpress.com/2014/05/08/cerpen-zaman-tak-boleh-memakan-anakku/
0 komentar: