Cerpen Mahmud Jauhari Ali: Sepupuku Murjani
Aku terdiam sejenak mendengar perkataan Murjani,“Rasyid, maafkan aku! Aku sadar bahwa aku salah kepadamu. Dahulu, saat aku masih muda dan kaya aku sangat sombong dan tega kepadamu sekeluarga. Kini, aku sudah tua dan miskin. Sebagian besar hartaku telah disita oleh pihak bank karena aku tidak sanggup membayar hutang-hutangku kepada mereka. Istriku dan anak-anakku telah pergi meninggalkanku sendiri.”
Aku masih ingat bagaimana perlakuannya dulu kepadaku sekeluarga. Saat aku masih menjadi anak buahnya di perusahaan warisan orang tuanya dulu, ia sangat tega tidak mengizinkanku pulang untuk sekadar menjenguk istriku yang sedang sakit muntaber.
“Ah! Isrtimu hanya sakit sedikit saja kamu sudah ingin pulang meninggalkan pekerjaanmu hari ini! Aku tahu saat ini kamu hanya menjadikan sakit istrimu sebagai alasan dari kemalasanmu bekerja. Aku tidak akan mengizinkanmu pulang, kecuali istrimu itu sekarat di rumah sakit. ”, katanya pedas waktu dulu kepadaku.
Begitu pula saat kami sekeluarga ingin meminjam uang kepadanya sekadar untuk membeli beras dan lauk-pauk ia berkata,
“Tempatku bukanlah bank yang dapat kalian datangi untuk meminjam uang. Dahulu aku pernah meminjami kalian uang, tetapi sampai detik ini kalian belum melunasi bunganya seratus persen kepadaku. Kini, kalian ingin meminjam uang lagi kepadaku. Tidak! Aku tidak akan memberikan kalian pinjaman uang. Sebaiknya kalian lekas tinggalkan tempatku ini sebelum aku mengusir kalian dengan paksa!”
Dua tahun berikutnya saat istriku melahirkan anak kedua kami, aku terpaksa tidak masuk kerja. Dia saat itu memberiku izin hanya dua hari. Karena keadaan istriku yang masih lemah dan membutuhkanku di sisinya, aku terpaksa tidak dapat masuk kerja sebagaimana mestinya selama dua hari di luar izin yang diberikannya kepadaku. Dia datang ke rumahku ditemani dua tukang pukulnya yang gagah dan berotot besar. Kukira ia ingin melihat anakku yang baru lahir, tetapi dugaanku salah besar. Ia berkata,
“Kamu sudah melanggar aturan di perusahaanku. Kuberi kamu izin dua hari tidak masuk kerja untuk menjaga istrimu, tetapi kamu malah membolos selama dua hari setalah izin menemani isrtrimu habis. Karena itulah, aku datang kemari memberitahukanmu bahwa mulai hari ini kamu tidak perlu lagi datang di perusahaanku.”
***
Kini, dia menatapku dengan pandangan sayu. Rambutnya telah memutih. Kulit mukanya sudah berkeriput. Tubuhnya pun kurus, tidak gemuk seperti dulu.
“Murjani, masih ingatkah kamu saat istriku sakit muntaber dulu? Aku meminta izin kepadamu untuk menemaninya di rumah, tetapi kamu tidak mengizinkanku pulang. Saat itu aku sangat sedih. Padahal sebagai seorang pemimpin termasuk pemimpin perusahaan seperti dirimu, seharusnya kamu peduli terhadap kesejahteraan anak buahmu. Akan tetapi, kamu malah berlaku sebaliknya.”, kataku kepadanya.
“Masih ingatkah kamu saat aku sekeluarga meminjam uang kepadamu sekadar untuk membeli beras dan lauk-pauk? Saat itu kami benar-benar tidak punya uang. Kami kelaparan saat itu. Namun, kamu dengan tega tidak memberikan uang pinjaman kepada kami. Padahal saat itu kami tidak meminta, tetapi hanya meminjam uang kepadamu. Ingatlah bahwa kita haruslah saling menolong di jalan kebaikan. Ingatlah pula bahwa di antara harta kita terdapat hak orang miskin. Aku masih ingat benar saat itu kamu mengatakan bahwa kami belum membayar bunga hutang seratus persen atas pinjaman kami sebelumnya kepadamu. Apa saat itu kamu lupa bahwa bunga dalam setiap hutang-piutang itu hukumnya haram dalam agama kita? Terlebih lagi kamu mematok bunga yang besar kepada orang miskin seperti kami dulu.”, kataku lagi kepadanya.
“Hal yang sampai hari ini masih membayang di dalam kepalaku adalah saat kamu datang di rumahku untuk memberiku kabar bahwa aku tidak perlu lagi datang ke perusahaanmu. Sungguh, kamu tega Murjani memutus hubungan kerja denganku. Padahal kamu tahu bahwa aku menggantungkan hidupku sekeluarga pada pekerjaan di perusahaanmu itu.”, lanjutku.
***
Kulihat matanya berair dan kemudian pipinya basah terkena air mata penyesalannya dan rasa bersalahnya itu.
“Maafkan aku Rasyid. Sungguh kini aku telah menyesal berbuat seperti itu kepadamu sekeluarga. Aku sadar bahwa aku dahulu sombong dan kejam terhadap orang-orang disekitarku, termasuk dirimu sekeluarga. Sekali agi aku meminta maaf darimu, maafkan aku Rasyid!” pintanya kepadaku.
Semula aku tidak ingin memaafkannya karena bagiku kesalahannya sangatlah besar kepadaku. Akan tetapi, tiba-tiba aku teringat bahwa Allah Maha Pengampun. Sungguh tidak pantas aku sebagai makhluk-Nya tidak berjiwa pemaaf. Kutatap wajah Murjani yang sebenarnya tidak lain adalah sepupuku sendiri itu dengan perasaan iba. Wajahnya penuh rasa penyesalan dan rasa bersalah kepadaku. Tidak ada lagi semangat yang terpancar dari wajahnya seperti dulu. Aku segera mengatakan,
“Sudahlah! Kamu tidak perlu meminta maaf lagi kepadaku! Aku sudah memaafkanmu atas segala kesalahamu waktu dulu itu. Kini, kita sama-sama sudah tua dan tidak sekuat dulu. Usahamu pun sudah gulung tikar. Aku turut perihatin atas nasib yang kamu alami sekarang. Akan tetapi, aku juga turut bahagia kamu sudah mendapatkan petunjuk dari Allah untuk segera bertobat dan menginsafi kesalahan-kesalahnmu pada masa lalu.”
Ia kemudian mendekatkan dirinya dan menjabat erat kedua tanganku, serta berkata,
“Alhamdulillah dan terima kasih banyak Rasyid. Aku sangat menghargai pemberian maafmu kepadaku hari ini. Kini hatiku lapang telah mendapatkan maaf darimu.”
Segera ia memelukku dengan erat. Dia menangis dan air matanya membasahi bahuku.
“Ya Allah, begitu besar kekuasaan-Mu telah menyadakan hamba-Mu dari kesombongan, kekejaman, dan perbuatan buruk lainnya yang telah Murjani lakukan pada masa lalu” kataku dalam hati.***
Sumber:
https://cerpenborneo.wordpress.com/2012/05/12/mahmud-jauhari-ali-indonesia-kalimantan-selatan/
0 komentar: