Cerpen Mahmud Jauhari Ali: Sajadah
Tanganku masih terasa penat akibat mencuci sejumlah pakaian dan beberapa peralatan salatku dan orang tuaku. Setelah kucuci di sungai, aku pun menjemur cucian yang sudah bersih di belakang rumah kami. Untunglah hari ini cuacanya cerah.“Lin, mana sajadahmu?” pertanyaan kak Rudi membuat jatungku tersentak kaget.
“Sajadahku tidak ada?” Kakak jangan bercanda!”
“Kalau kamu tidak percaya, lihat saja sendiri di jemuran!”
“Astaghfirullah! Kak Rudi benar. Karena tergesa-gesa, aku lupa kalau sajadahku tidak ikut kucuci.”, ucapku dalam hati.
“Mungkin sajadahmu larut di sungai.”, kata ibu dari dalam rumah yang melihatku di jendela rumah kami.
Segera kuberlari ke arah sungai tempatku mencuci tadi pagi. Kudapati tiga orang lelaki yang sedang memancing di sana.
“Cari apa Dik?” tanya salah seorang dari mereka kepadaku.
“Saya sedang cari sajadah saya yang kemungkinan terjatuh di sungai saat saya mencuci di sini.”
“Wah! Mungkin sudah jauh terseret arus sungai Dik sajadahmu itu”, kata pemancing lainnya kepadaku.
“Ikhlaskan saja Nak sajadahmu itu!” pemancaing lainnya yang terlihat lebih tua daripada yang lain ikut mengeluarkan pendapatnya kepadaku.
Ketelusuri sungai itu hingga aku menyerah dan mengikhlaskan hilangnya sajadahku. Dalam hati aku berucap, “Siapa pun yang menemukan sajadahku, kurelakan ia memilikinya.”
***
Hari ini aku terpaksa salat dengan alas kain putih lusuh yang terbentang di lantai dalam musala tempat aku biasa salat. Besok aku berencana membeli sajadah baru di pasar.
“Kak Rudi, boleh ‘kan Lina besok meminjam sepeda motor kakak ke pasar untuk beli sajadah?” tanyaku dengan nada sedikit memelas.
“Boleh, tetapi siang saja karena besok pagi kak Rudi akan mengantarkan baju-baju ini ke desa sebelah.”, ucap kak Rudi sambil menunjuk ke tumpukan baju kaos yang sudah disusunnya rapi.
“Terima kasih banyak Kak”, ucapku dengan hati yang bahagia.
Aku pun mulai merebahkan diriku yang lelah di atas kasurku dan berharap semoga besok hariku lebih baik daripada hari ini.
***
Cuaca siang ini secerah kemarin. Aku melaju cukup kencang dengan sepeda motor kak Rudi menuju pasar. Jarak pasar yang kutuju dengan rumah kami cukup jauh.
“Boleh Dik sajadahnya!” seorang penjual manawarkan sajadah dengan bermacam corak kepadaku.
“Berapa harga sajadah yang ini Bu?”, tanyaku.
“Kalau yang itu harganya lima puluh ribu.”
“Dua puluh lima ribu saja ya Bu!”
“Harga pasnya tiga puluh ribu Dik”
Aku pun setuju dengan harganya. Sudah pukul setengah tiga sore, aku pun langsung pulang. Kali ini aku tidak melaju seperti saat aku berangkat tadi karena harinya sudah tidak terlalu panas lagi.
***
Dalam perjalanan pulang aku melihat ada sajadahku di jemuran orang lain. Aku berhenti dan menghampiri si pemilik rumah.
“Assalamu’alaikum!” sapaku nyaring kepada si pemilik rumah.
“Wa’alaikumussalam!” sahut seorang perempuan tua dari dalam rumah
“Ada apa Nak? Kamu ingin beli minyak tanah milikku ya?”
Hatiku takjub melihat ada perempuan tua masih berusaha mencari nafkah tanpa meminta-minta. Tadi di pasar aku melihat seorang perempuan muda yang masih kuat, tetapi kerjanya hanya meminta-minta.
“Maaf Nek! Saya hanya ingin menanyakan apakah sajadah di jemuran itu milik Nenek?” tanyaku untuk membuka pembicaraan kami.
“Bukan, sajadah itu kutemukan di bebatuan sungai tempaku mengambil air wudu. Aku berencana akan meminta orang-orang masjid di dekat pasar untuk memberitahukan bahwa telah ditemukan sebuah sajadah tanpa pemilik. Aku tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan hakku.”
“Nek, sajadah itu semula milik saya. Tanpa sengaja saya telah menjatuhkannya di sungai dan terbawa arus hingga tersangkut di bebatuan tempat Nenek mengambil air wudu. Di bagian belakannya tertulis dua huruf Arab, yakni lam dan mim. Lam merupakan singkatan dari Lina dan mim singkatan Maisyarah. Namaku Lina Maisyarah Nek. Ini Kartu Tanda Penduduk saya, tertera nama dan foto saya di sini.”
“Kamu berkata jujur Nak. Ambillah sajadahmu kembali dan tunaikanlah salat tepat pada waktunya di atas sajadah itu!”
“Saya sudah mengikhlaskan sajadah itu kepada siapa pun yang menemukaannya. Jadi, sajadah itu sekarang milik Nenek.”
Kulihat wajah nenek itu menjadi ceria setelah mendengar kata-kataku. Baru kali ini aku membuat orang lain bahagia dengan memberikan barang yang aku sayangi. Sebelumnya aku hanya memberikan barang-barang yang tidak bernilai bagiku kepada orang lain.***
Sumber:
https://cerpenborneo.wordpress.com/2012/05/12/mahmud-jauhari-ali-indonesia-kalimantan-selatan/
0 komentar: