Cerpen Ananda Rumi: Satu
Bedanya hanyalah, kau seorang laki-laki dan aku seorang perempuan. Ketika namamu hadir dalam hidupku, tentu saja semua berubah. Aku bahkan tak menyangka upayamu untuk mencari tentang diriku di berbagai jejaring sosial menjadi sarana kita mengirimkan gelombang rasa lewat udara. Apa kau sadari itu, sayang? Inikah cinta? Atau inikah yang namanya takdir hingga kita dipertemukan di tempat yang sama-sama kita sukai. Dan tentu saja, aku sangat menyukaimu.Bedanya hanyalah, kau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki, memanggil namamu sama saja memanggil namaku sendiri. Dan, saat duduk di hadapanmu tempo lalu, aku seperti bercermin. Kuakui aku seorang tampan, dan tentu saja kau cantik. Jika boleh kukatakan, aku mulai jatuh cinta denganmu pada pandangan pertama. Hanya sekitar Sembilan detika menatap ke lensa matamu saja. Tapi aku khawatir, apakah kau punya perasaan yang sama dengan diriku?
Bedanya hanyalah kau seorang laki-laki dan aku seorang perempuan. Kita itu ibarat magnet, sama bentuk, tapi berlawanan di kutub. Maklumlah, kau selalu hadir di saat aku membutuhkanmu dan aku pun selalu berupaya ada di sampingmu ketika kamu membutuhkan aku. Kita ibarat zodiak gemini. Hei, apa kau bilang? Kau mempunyai bintang yang sama denganku? Apakah ini suatu kebetulan? Heran. Apakah ini sudah aturan Tuhan? Ah, aku seperti memanggil diriku sendiri yang ada dalam dirimu.
Bedanya hanyalah kau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki. Tanggal lahir kita sama, 7 Juli. Apakah itu sebagai numerologi alam semesta, 7 lapisan langit 7 lapisan bumi. Dan kita sama-sama percaya jika dunia ini dibuat dalam tempo 7 hari. Aku yakin ini bukan suatu kebetulan. Dan aku merasa seperti memanggil diriku sendiri dalam dirimu.
Bedanya hanyalah, kau seorang laki-laki dan aku seorang perempuan. Aku memandang bola matamu. Tapi aku tak tahan. Tak kat menahan emosi yang kadang bisa berubah cepat. Dari sedih menjadi senang. Dari bahagia menjadi kalut. Hatiku meleleh. Aku jatuh cinta. Aku selalu jatuh cinta dengan diriku sendiri. Aku menyukai dan bangga sekali dengan kepribadian ini. Tapi masalahnya, aku juga melihat kepribadianku ini ada dalam dirimu.
Masalahnya adalah, kau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki. Aku tak menyangka bisa jatuh cinta dengan seorang wanita cantik yang namanya sama dengan namaku. Aku, melihat diriku sendiri ada dalam tubuh seorang perempuan. Persis. Kau adalah aku dalam versi seorang perempuan. Dan tak pelak, aku mulai mencintaimu.
Masalahnya adalah, aku melihat diriku sendiri dalam dirimu. Sebagai aku dalam versi seorang pria tampan. Bukankah ini hal yang menyenangkan. Kau bisa bayangkan, jika kelak kita menikah sayang. Akan banyak keunikan terjadi. Undangan Perkawinan. Namaku dengan namamu dengan tanggal perkawinan 7 bulan 7 tahun 2007. Bukankah ini hal yang mengasyikkan. Aku mencintaimu sama seperti aku mencintai diriku sendiri.
Kau datang di saat aku menjanjikan untuk bertemu di suatu kedai minuman. Kau memandangku, melihat jauh ke dalam jendela mataku. Di saat itu, kau pegang pipi kiriku dengan punggung tangan kananmu. Di saat yang sama, aku mencoba meraih lehermu tapi aku tak mampu. Bulir air mata menetes di kedua pipiku. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya kau inginkan dari diriku. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling setia. Adakah sesuatu hal yang sebenarnya kau sembunyikan. Aku jadi curiga.
Dan saat kau mencoba meraih leherku, aku teringat akan seseorang lain yang sebelumnya sudah menyentuh leherku. Aku menjauh agar kau tak sampai melelehkan perasaanku. Aku tahu, sebenarnya aku salah. Tapi, kau yang terlalu menggebu-gebu atas reaksi kimia yang ada dalam aliran darah kita. Kau keliru. Kau mengira aku mencintaimu. Aku mengira apakah kau benar-bebar mencintaiku. Aku ragu.
Kau katakan cinta, saat otak kita mengirim pesan lewat gelombang malam yang menghempas angin-angin laut. Sejak itu, aku memunyai rasa kecintaan terhadap diriku sendiri. Ternyata, aku terburu-buru. Bukankah seharusnya aku menunggu sampai waktunya tiba? Sampai di mana rasa ini menjelma menjadi napas yang selalu bekerja tanpa diminta. Kau salah, sayang. Kau mengira aku baik-baik saja. Kau keliru.
Akan kita bawa kemana cinta ini sebenarnya? Bukankah kau telah mengetahui hal ini. Kita bersebelahan dalam bidang yang sama, layaknya koin, Yin Yang, Gemini, dan sejumlah simbol simetris lainnya. Kita adalah pasangan serasi, yang tak akan pernah terpisahkan.
Hingga malam itu, kita melakukan perjalan panjang. Aku menciummu kau mencium keningku. Kini rasanya sudah tak ada lagi perbedaan di antara kita. Yang membedakan hanyalah, kau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki. Sayangya, kita tak mungkin bisa bersama.
Dan seseorang itu datang di hadapanku menjelema menjadi dirimu. Aku tertipu. Aku mengira dia adalah dirimu. Senyumnya, raut mukanya, cara bicaranya, gesture tubuhnya, cara dia memperlakukan diriku sebagaimana yang sering kau lakukan terhadapku. Tapi, aku bisa mencium aroma tubuhnya. Bukan! ini bukan dirimu. Dia adalah orang lain yang memakai topeng serupa dengan dirimu.
Dan seseorang itu menjelma menjadi diriku. Dia berlagak sebagaimana aku memperlakukan dirimu, menyayangimu, membelaimu, bahkan menciummu. Tapi, kau tahu, kau pasti hafal aroma tubuhku. Aku ingin kau percaya, bahwa dia bukanlah diriku. Dia hanyalah seorang penipu yang memakai topeng serupa dengan diriku.
Kau tak terima terhadap penjelasanku. Aku menyerah. Aku sudah muak. Kau berdusta. Aku tak percaya. Begitu juga dirimu yang tak percaya dengan pemaparanku. Kau tak terima, aku terpaksa berdusta demi menjaga perasaanmu. Aku menyalahgunakan kepercayaanku selama ini. Kau, bukanlah diriku. Kau hanya peniruku. Aku tak ingin. Aku tak ingin. Atau, aku yang ternyata keliru. Aku yang menirumu. Aku yang menjelmamu. Tapi, bukankah kau hanyalah seorang lelaki dan aku hanya seorang perempuan. Atau yang sebenarnya, kita hanyalah dua anak manusia yang sedang kesepian?
Maka saat ini, aku tak ingin pengkhianatan yang pernah kulakukan dulu terulang. Aku mendua, aku tak setia. Aku tak ingin menyakitimu yang hukumnya sama saja menyakiti diriku sendiri. Salah satu di antara kita harus menjauh. Kita memang tak ditakdirkan untuk bersama.
Dan mulai sekarang, aku tak ingin kesakithatianku yang telah lewat kau rasakan. Aku ingin kau terus mencari kebahagiaan meski tidak bersamaku. Ya, kita memang banyak sekali mempunyai persamaan. Tapi kau tak dapat mengelak, juga tak sedikit perbedaan di antara kita. Kau menyadari itu, sayangku?
Pada akhirnya, satu di antara kita harus mengalah. Atau, satu di antara kita berdua harus keluar dari arena pengaku-ngakuan ini. Atau, satu di antara kita harus pergi sejauh mungkin sampai kita tak bertemu lagi. Semua demi kebahagianmu, atau jangan-jangan semata-mata demi kebahagianku sendiri. Nah, mungkin sekarang kita sudah mulai gila, sayang. Aku sangat mencintaimu. Sungguh, ini cinta yang datang dari sang pencipta cinta.
Kau yang mengalah atau aku yang menang. Atau, aku menang, kau mengalah. Bukankah itu sama saja. Kau mulai mementingkan dirimu sendiri, begitu pula aku. Mungkin, kau harus keluar dari dunia ini, atau aku yang harus meninggalkanmu. Atau aku yang meninggalkanmu dan kau yang harus keluar dunia ini. Atau mungkin, salah satu di antara kita harus ada yang mati. Itu lebih baik.
Sudah kau berhenti. Jangan bicara lagi. Aku pusing.[]
Mandiangin, 9 April 2014.
Sumber:
SKH Media Kalimantan, Minggu, 2014
0 komentar: