Cerpen Ninin Susanti: Spaghetti

23.27 Zian 2 Comments

Sudah seminggu ini, aku dibuat pusing oleh permintaan isteriku yang sangat nyeleneh. Dia  sedang hamil muda. Duh, kenapa sih wanita hamil muda diberi hak dan kebebasan untuk meminta ini dan itu? Siapa sih sebenarnya yang pertama kali menciptakan budaya ngidam? Sehingga atas nama ngidam mereka bebas melakukan ini dan itu, minta A, minta B, ingin A, dan ingin B.  Ngidam seperti membudaya di kalangan ibu hamil, kadang-kadang ngidamnya sangat aneh dan sulit sekali diterima oleh nalar bahkan membuat malu keluarga. Aku jadi sangsi, jangan-jangan ngidam itu cuma akal-akalan kaum hawa agar terpenuhi segala hajatnya, dengan mengatasnamakan anak yang ada di dalam kandungan. “Dedeknya minta ini, dedeknya pengen itu….!!!”
Tak seperti  hamil anak  kami yang pertama, yang permintaannya masih tergolong wajar-wajar saja dan dengan mudah kutuluskan. Aku masih ingat, dia minta mangga muda yang harus memetik langsung di pohonnya. Bukan masalah, tinggal kubawa dia ke rumah tetangga yang pohon mangganya sedang berbuah, setelah kujelaskan maksud kedatangan kami, mereka malah mencarikan kantong plastik dan mengijinkan isteriku untuk memetik sebanyak yang dia mau. Tentu saja dengan suka cita dia memetik mangga-mangga muda tersebut. Walaupun pada akhirnya hanya dua biji mangga muda saja yang benar-benar masuk ke dalam perutnya. Sisanya cuma jadi bahan pajangan, sebab sedikit pun kami tak ia bolehkan menyentuhnya, apalagi menyantapnya.

Nah, sedangkan ngidamnya kali ini, aduh…, pusing aku bagaimana mencarinya. Dia minta makan spaghetti! Seandainya kami orang kota yang terbiasa naik turun mobil, punya uang berlebih, mungkin itu biasa-biasa saja. Tapi bagi kami yang hidup di kampung, yang sehari-hari hanya mengenal nasi dan singkong untuk mengganjal perut ini, mana mungkin bisa.  Aku sungguh tak habis pikir, makanan jenis apa  itu? Seperti mie saja bagiku, apa enaknya? Apa istimewanya? Tapi isteriku memaksa minta makanan itu. Di mana aku bisa mendapatkan makanan semacam itu di kampungku ini? Makanan itu pasti adanya cuma di kota.
Setiap hari dia tak pernah lupa menagih makanan itu. Seperti pagi ini, baru saja aku bangun tidur, isteriku sudah teriak-teriak menagihnya.
”Hari ini kah, Bah, pian menukarakan ulun spaghetti?”
Duhhh…, apa lagi alasanku kali ini? Kemarin aku beralasan tak ada pinjaman sepeda motor untuk pergi ke Banjarmasin. Kemarinnya lagi aku bilang kalau Mang Udin yang kebetulan ke Banjarmasin sudah kutitipi namun ia lupa membelikannya karena terburu-buru, padahal memang tak pernah sekalipun aku titip minta dibelikan oleh Mang Udin. Saat itu aku sudah kehabisan akal mendengar rengekan isteriku yang terus-menerus minta dibelikan makanan aneh itu, dan itu berhasil mendiamkan mulutnya beberapa saat. Padahal sungguh aku tak tahu di mana  harus membelinya, dan lagi aku tak tahu berapa harganya. Dengan penghasilanku yang cukup untuk makan sehari ini, bisakah aku membelikannya untuk isteriku?
Ini gara-gara iklan TV sialan itu! Malam itu, kami sedang asik menonton siaran televisi menemani si kecil yang sedang melihat acara sinetron komedi kesayangannya. Saat jeda iklan, ditayangkan sebuah restoran terkenal mempromosikan produk terbarunya yaitu “Spaghetti”. Sepasang kekasih, dengan bergandengan  tangan masuk ke dalam restoran ternama tersebut, tiba-tiba pelayan menghidangkan makanan yang disebut-sebut sebagai “spaghetti’ tadi, padahal menurut penglihatanku, makanan tersebut tak ada bedanya dengan mie ayam yang biasa kami makan sekeluarga di siring apabila dapat rejeki berlebih. Tampak si gadis begitu menikmati makanan tersebut, dan si pria tersenyum puas melihat si gadis makan dengan nikmat. Seketika, wajah isteriku berubah, seolah-olah ikut menyantap mie tersebut, mulutnya berkecap-kecap seperti orang yang sedang makan. Lalu seperti yang kuceritakan di atas, setiap hari aku dihujani dengan keinginannya yang tidak pernah surut, tidak pernah berubah. Aku saja yang mendengarnya sudah sangat bosan, tapi dia tak sekalipun bosan untuk memintanya.
Sore ini, untuk menyenangkannya, pulang menarik klotok, sengaja aku singgah di warung mie ayam  siring langganan kami dan membeli dua bungkus, satu untuk isteriku, satu lagi untuk anakku, dengan harapan dia akan berhenti meminta padaku untuk dibelikan spaghetti. Tapi apa yang terjadi? Mie ayam yang kubelikan tak disentuhnya sedikit pun, apalagi saat kukatakan, “Tuh, kubawakan spaghetti Marabahan.”
Aduh, ia langsung merajuk dan marah-marah. Lalu keluar jurus-jurus andalannya,
Kalo anak pian beliuran, jangan salahkan ulun, Bang lah! Pian sepertinya tidak sayang sama sekali wan anak kita, orang tuh kayapakah caranya ya dicariakan, diusahakan!” tukas isteriku sambil berlalu meninggalkan kami berdua. Deg… Seketika hatiku serasa disayat-sayat. Aku serasa seorang suami yang tidak berguna, tak bisa membahagiakan isteri, apalagi yang sedang mengandung buah hati kami.
Malam semakin larut. Sudah beberapa batang rokok yang kuhisap malam ini, tapi tak mampu membuatku tenang. Lagi-lagi kata-kata isteriku sore tadi terngiang-ngiang di telingaku. Pelabuhan klotok malam ini sepi sekali, hanya ada satu klotok yang tertambat di pelabuhan. Tiga orang pemuda sedang main domino di sudut pelabuhan. Malam ini memang dingin sekali, wajar saja jika banyak yang memilih meringkuk di balik selimut daripada harus begadang di pelabuhan seperti malam-malam biasa. Begitu juga para nelayan, hanya ada dua perahu saja yang berada di tengah Sungai Barito.
Ahhh…. Kembali aku teringat isteriku yang sedang hamil muda bersama ngidamnya itu. Ya  Tuhan, sungguh tidak bergunanya aku sebagai suami. Hanya sebungkus spaghetti saja, masa aku tak mampu mengabulkannya? Tapi dari mana aku bisa dapat uang untuk bisa membelinya? Ngutang? Aduh, terlalu banyak hutangku yang belum kulunasi sampai saat ini. Hutang ke mamaku masih ada, hutang ke mama mertua juga belum dibayar, hutang ke teman sesama pengklotokan? Ah, kalau mereka tahu aku ngutang untuk membelikan isteriku spaghetti, pasti akan jadi bahan tertawaan teman-temanku. Keharatan, kada beingat dan bermacam olok-olokan akan terlontar dari mulut mereka ke isteriku. Aku tak ingin itu.
Hwahhhh, sakit kepalaku jadinya, ini gara-gara iklan TV sialan itu. Ahaaaa… TV!  Kenapa tak kujual saja TV di rumah? Tak perlu hutang sana-sini. Kurasa dengan menjual TV, cukup untuk biaya ke Banjarmasin, menyewa kendaraan dan membeli sebungkus spaghetti.

***

Akhirnya berangkat juga aku ke Banjarmasin mengabulkan keinginan isteriku. Dengan sepeda motor sewaan, aku berangkat pagi-pagi sekali. Terasa olehku dinginnya pagi di musim kemarau ini menusuk tulangku, menggigilkan tubuh dan hatiku. Tapi demi isteri tercinta, aku harus semangat.
Sebenarnya bukan hawa dingin musim kemarau yang menggigilkan tubuh dan hatiku. Terlebih adalah perasaan bersalah yang menyusupi dadaku, kali ini bukan pada isteriku, justru demi meluluskan keinginannya, aku harus mengorbankan kesenangan anakku satu-satunya. Kasihan dia, mulai hari ini dia tidak bisa nonton TV lagi di rumah. Tapi ini sebanding dengan sakit hatiku, bukankah asal-muasal masalah yang timbul ini gara-gara TV itu? Biarlah si kecil menonton TV di rumah tetangga saja. Kau tunggu saja sayang, siang ini, kau akan melahap spaghetti yang dalam mimpi sekalipun sangat kau inginkan! Tiba-tiba saja aku serasa menjadi pangeran yang telah menyelamatkan putri yang dikurung di puri oleh raksasa selama bertahun-tahun lamanya. Membayangkan itu semua, tiba-tiba dadaku kembali menghangat walaupun udara pagi ini masih sangat dingin. Hidungku kembang kempis karena bangganya.

***

Dengan hati yang berbunga-bunga aku menyambut kantongan yang diserahkan oleh pelayan restoran. Inikah yang disebut dengan spaghetti itu, yang rupanya harganya tak semahal TV itu? Memang sejenis mie juga, tapi baunya memang lain dari mie ayam yang biasa kami beli di siring. Mie ini harum sekali. Terpikir untuk sedikit mencicipinya, tapi kuurungkan niatku. Kasian isteriku, betapa dia menginginkan makanan ini, masa aku yang duluan mencicipinya? Biar dia saja yang menikmatinya, setelah itu barulah kami menghabiskan sisanya. Tapi kalo mienya habis disantapnya, ya… sudahlah, yang penting anak dalam perut isteriku tidak beliuran seperti yang sering diucapkannya padaku apabila keinginannya tidak kupenuhi. Terbayang wajah sumringah isteriku saat membuka isi bawaanku, dia pasti akan melonjak kegirangan. Sambil menyantap makanan yang diidam-idamkannya ini, dia akan terus-terusan berterima kasih padaku tanpa henti.
Bergegas aku meninggalkan restoran. Hari sudah mulai terik. Buru-buru aku mengenakan jaket usangku dan memakai helm dan mulai mengendarai kendaraan sewaan menuju arah Marabahan. Hari ini ramai sekali, panas dan sesak jalanan sepanjang jalan. Mungkin karena hari kerja dan jam istirahat para pegawai-pegawai kantoran. Aku menjalankan sepeda motor sewaanku tidak terlalu kencang, sedang-sedang saja, toh aku sudah mendapatkan apa yang diinginkan isteriku.
Di tengah perjalanan, rasa kantukku mulai menjalar. Tadi pagi, aku bergegas mengangkat TV dan membawanya ke pasar saat isteriku sudah berangkat mengantar anakku sekolah. Setelah menerima uang hasil penjualan, aku langsung ke rumah Amang Usup menyewa sepeda motornya. Setelah itu langsung melaju ke Banjarmasin, tanpa sempat mengopi dan mengisi perutku. Pantas saja kepalaku mulai pusing dan perutku keroncongan minta diisi. Kulihat di depan sana Warung Kasturi yang terkenal itu, kata orang rawon di sana sangat enak. Wah, pas banget menyantap rawon dan ngopi sambil istirahat sebentar melepas penat. Di samping warung itu juga ada pedagang buah. Aku membeli tiga biji apel untuk anakku.

***

Sesampai di rumah Amang Usup, cepat-cepat kukembalikan motor serta kunci dan STNK-nya, lalu kuambil kresek belanjaanku.
Bergegas aku menuju rumah. Sesampai di rumah kuserahkan pada isteriku yang tengah duduk-duduk di pelataran sambil mengelus-elus perut.
“Apa ini?” tanyanya.
“Itu spaghetti yang kau minta. Tadi Abang ke Banjarmasin membelinya,” jawabku bangga, lalu masuk ke dalam rumah. Aku capek sekali, ingin istirahat.
“Baaaang…!” Isteriku berteriak dari luar.
“Iya, kenapa?”
“Mana spaghettinya? Cuma ada apel…”[]

Lepasan, 8 Juli 2011


Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher

2 komentar:

  1. Ada versi PDF-nya?

    dipa.nugraha@gmail.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa download di sini kak
      https://userscloud.com/7yglpik57jrw

      Hapus