Cerpen Rahmiyati: Mandi Bungas(1)
Udara masih sejuk, sisa-sisa embun masih mengendap di dedaunan. Matahari belum tegas memancarkan sinarnya ketika aku memilih menyandarkan tubuh pada kursi taksi yang ku tumpangi. Taksi yang membawaku dari bandara Syamsudinnor(2) menuju kampung halaman. Ada kesedihan mendalam dalam hatiku ketika beberapa jenak kutatap wajahku yang memantul pada kaca jendela mobil. Bekas luka di bagian pipi kanan ini masih terlihat jelas. Kecelakaan mobil yang kualami bersama majikanku dan keluarganya ketika kami melakukan ibadah umrah beberapa bulan lalu membuat wajahku tak seperti sediakala. Bekas luka yang tentu saja bisa menimbulkan prasangka bahwa aku pernah disiksa majikan ketika menjadi TKW di Arab Saudi.Setelah kecelakaan itu, rasanya sulit mengembalikan kepercayaan diri seperti dulu. Pun mestinya kepulanganku kali ini bisa sedikit mengimbangi ketidakpercayaan diriku. Namun, perasaan campur aduk yang tak mampu kusimpulkan ini seolah menjelma lelah yang membeku di hatiku. Lelah yang kuanggap lebih disebabkan karena perjalanan panjang yang kulalui hingga membuatkku hampir terlelap.
***
“Kita sudah di depan terminal kota Rantau(3) Cil(4)!”
Suara sopir taksi mengejutkanku. Ia memanggilku acil. Kembali kutatap wajahku pada kaca jendela yang memantul. Terlihat lebih tua dari umurku. Kecamuk baru muncul dalam hatiku. Perasaanku lebih melankolis saat taksi yang kutumpangi semakin dekat. Aku hampir sampai di desa Kepayang(5).
***
Suara kakakku setengah berteriak saat melihatku turun dari taksi.
“Milah datang!”
Kakak dan ibu menghampiriku, diikuti kakak ipar dan dua keponakanku. Bergantian mereka memelukku. Terlebih ibu, pelukan yang lebih erat kurasakan hingga air mata kami berderai. Aku tak menyangka, kedatanganku bisa menjelma rasa haru yang menuntaskan rindu di hati kami. Kini aku telah kembali ke rumah.
Acara selamatan menyambut kedatanganku selesai dilaksanakan. Malam belum melewati separuh perjalanannya. Euforia masih terasa dalam hati kami. Ibu, kakakku, istri dan anak-anaknya belum ingin memejamkan mata. Mereka masih sangat antusias mendengar cerita tentang pengalamanku bekerja di Arab Saudi.
Tentang majikanku yang membawaku menunaikan ibadah haji dan umroh. Tentang kecelakaan yang kami alami hingga membuatku terluka lebih dalam karena tak mungkin menghilangkan bekas luka di wajahku. Meskipun demikian, aku cukup beruntung karena saat sebagian TKW lain mengalami nasib naas. Aku justru bernasib lebih baik. Gajiku tak pernah telat dibayar hingga aku bisa rutin mengirim uang pada ibuku.
Kakakku menceritakan tentang penggunaan uang yang ku kirim. Rumah yang kini kami tempati telah direnovasi. Kakakku juga membeli dua petak sawah dan sepeda motor. Selebihnya, uang yang kukirimkan digunakan ibu untuk biaya hidup sehari-hari. Ekonomi keluarga kami membaik sejak aku bekerja di Arab Saudi.
Kini, aku telah kembali ke kampung halaman. Aku menggunakan uang yang kubawa untuk membeli perhiasan emas dan sepeda motor jenis matic keluaran terbaru. Kisah hidup yang baru telah dimulai. Kisah hidup seorang mantan TKW yang kini tidak lagi bekerja.
Malam tak menyisakan pekat, pagi telah menjelma siang yang datang menjelang dengan cuaca lebih panas. Matahari memancarkan aura sianarnya seolah menegaskan keberadaanku yang kini manyandang predikat Hajjah TKW(6).
Sejak pulang dari Arab Saudi. Ada sepi yang tak habis terurai kata saat mengetahui teman-teman yang seangkatan denganku telah menikah dan punya anak. Sedangkan aku, masih seperti ini. Aku benar-benar merasa sendiri karena tak ada lagi teman sebaya yang bisa kuajak berbagi cerita. Ketika bertemu teman-teman lama pun yang mereka bicarakan adalah keluarga, suami dan anak-anak mereka hingga aku lebih banyak diam.
Ingatanku kembali pada saat sopir taksi bandara memanggilku acil. Semakin hari aku merasa semakin tua, kadang perasaan seperti itu membuatku ingin kembali menjadi TKW agar tak lagi dihantui ketakutan dan ketidakjelasan perasaan yang kuciptakan sendiri.
Aku baru menginjak usia dua puluh lima tahun. Di usia ini, aku mulai takut mendapatkan gelar perawan tua jika belum mendapatkan jodoh. Kini, rasa was-was mulai mengendap dalam hatiku. Ketidakpercayaan diriku semakin menjadi. Apalagi beberapa hari yang lalu, ibu mengatakan padaku bahwa ibu ingin melengkapi kebahagian di sisa usianya dengan melihatku menikah. Aku tak menjawab ketika kakak iparku menanyakan tentang siapa teman laki-laki yang dekat denganku.
Hingga suatu hari, kakak iparku menceritakan bahwa di desa kami ada seorang nini(7) yang bisa melakukan ritual mandi bungas untuk seseorang yang ingin mendapatkan jodoh. Kata kakak iparku, mandi bungas itu biasanya dilakukan pada malam ke-14 penanggalan Hijriah atau malam bulan purnama.
“Mil, kalau kau ingin ke tempat nini Amak, aku bisa mengantarmu ke sana malam 14 ini.”
Kakak iparku menawarkan jasanya. Ia terlihat bersemangat hingga aku tertarik dan ingin melakukannya
“Iya Kak, saya akan coba.”
“Jangan coba-coba, kau harus yakin, biar cepat dapat jodoh!”
Nada bicaranya sangat serius. Seperti ada persamaan visi dengan ibuku, sama-sama ingin segera melihatku menikah.
Bada shalat Isya, aku dan kakak iparku berangkat ke rumah nini Amak. Aku terkejut karena di rumah nini Amak ada beberapa orang yang juga ingin mandi bungas. Aku merasa malu karena terlihat paling tua. Beruntung mereka berasal dari desa lain. Jadi, tak ada warga desa yang tahu bahwa aku datang pada nini Amak.
Selang beberapa jam, di bagian belakang rumah nini Amak yang luas tanpa atap, kulihat bulan mulai penuh. Nini Amak memberi isyarat agar aku bersiap-siap. Aku memakai kain putih yang kulilitkan pada tubuh kemudian duduk batalimpuh(8) menghadap ke arah matahari terbit. Di dalam ember yang berisi air dan kembang kenanga, kulihat bayangan bulan bercahaya.
“Lafalkan niat dalam hati, ambil cahaya bulan itu agar wajahmu seperti bulan, terang benderang. Berdoalah agar kau segera mendapatkan jodoh!” perintah nini Amak.
Kulakukan sesuai perintah itu. Mulut nini Amak komat kamit membaca entah doa atau mantra-mantra tertentu yang tak kuketahui, kemudian meniupkannya pada air dalam ember. Aku menggigil, tulang-tulangku terasa kaku ketika air membasahi tubuhku. Dingin yang tidak biasa.
Selesai memandikanku, nini Amak memberitahu pantangan yang tak boleh kulakukan. Untuk beberapa waktu aku tidak boleh lewat di bawah dadayan(9). Jika melanggar maka apuah(10) mandi bungas akan hilang.
Aku pulang dipapah kakak iparku karena energiku seolah habis menahan dingin yang tak bisa kugambarkan. Menurut kakak iparku, bila saat mandi bungas seseorang merasa kedinginan, tidak lama lagi ia akan mendapatkan jodoh. Aku tidak tahu kebenaran dari kata-katanya. Aku hanya bisa berdoa agar cepat mendapatkan jodoh. Itu saja.
***
Perkenalan itu dimulai ketika aku membeli sepeda motor di dealer tempatnya bekerja. Saat itu, kami bertukar nomor handphone. Segalanya begitu cepat. Sikapnya yang baik dan tutur kata yang baik pula membuatku menyukainya. Ia mengatakan ingin segera menikahiku. Seketika kegamangan hatiku mulai luntur. Aku merasa ia bisa menerima kekurangan yang ada pada diriku.
***
Kebahagiaan terpancar di wajah keluargaku karena akhirnya aku menikah. Tidak sempat menjadi perawan tua yang tidak laku. Beberapa undangan yang datang ke resepsi perkawinanku mengatakan pada ibu bahwa beruntung sekali laki-laki yang mengawiniku. Kata mereka lagi, sebenarnya ada beberapa pemuda desa yang ingin melamarku. Tapi tidak berani karena takut dituduh mahandaki(11) harta kami. Aku tak mengerti kenapa mereka berpikiran sempit seperti itu.
***
Aku masih ingat bau harum melati ketika aku mengenakan pakaian adat Banjar saat resepsi perkawinan kami. Kebahagian yang terurai seperti harum bunga melati itu kini benar-benar menjadi kenangan. Suamiku tak lagi kutemukan. Ia menghilang membawa semua perhiasan emas milikku.
Beberapa kali kucari ke tempatnya bekerja tapi tak pernah membuahkan hasil. Kata pihak dealer. Ia dipecat sejak dua bulan lalu karena tidak jujur. Tak kuketahui ketidakjujuran yang mereka dimaksudkan. Tapi, hal itu cukup menguatkan alasan mengapa ia membawa pergi semua perhiasanku.
Aku juga sempat mendatangi rumah orang tuanya. Tapi tak mendapat respon. Belakangan kuketahui bahwa kejadian seperti yang kualami bukan yang pertama kali terjadi. Rumah orang tuanya pernah didatangi seorang perempuan mantan TKW seperti aku. Keterkejutanku tidak sampai di situ. Ada hal yang lebih menyakitkan dari sekedar perhiasan yang dibawanya pergi. Kini aku harus menerima kenyataan bahwa suamiku ternyata pernah menikah sebelum menikah denganku. Banyak hal yang tak kuketahui tentangnya. Waktu perkenalan yang singkat dan keluguanku membuatku mudah percaya padanya.
Rasa was-was yang kurasakan karena takut menjadi perawan tua, hanya gara-gara bekas luka di wajahku dan ketakutanku tidak mendapatkan jodoh. Ditambah lagi dengan ketidakpercayaanku pada diri sendiri, membuatku terjebak dalam kegamangan ketika melihat teman-temanku telah menikah. Hingga aku melakukan mandi bungas agar cepat mendapatkan jodoh.
Tentang kakak iparku yang membawaku pada nini Amak tak sepantasnya juga kusalahkan. Aku sendiri yang telah tersugesti dan terlalu percaya dengan hal semacam itu. Aku sadar, aku tidak mempertimbangkan semuanya. Aku tergesa-gesa. Aku baru tahu bahwa mantan TKW yang pulang dengan membawa banyak uang seperti aku telah menjadi incaran laki-laki hidung belang yang hanya menginginkan harta.
Sekarang aku mengerti maksud dari kata-kata yang diucapkan beberapa undangan pada ibuku di hari perkawinanku. Bahwa ketidakberanian beberapa pemuda desa untuk melamarku semata-mata karena aku membawa banyak uang. Mereka takut dituduh menginginkan harta. Bukan karena aku tidak laku atau tak ada laki-laki yang mencintaiku.
Barabai, 24.10.2015
Keterangan:
1) Mandi untuk membuka aura dengan tujuan mendapatkan jodoh
2) Nama bandar udara di Kalimantan Selatan, terletak di kota Banajarbaru
3) Ibu kota Kab. Tapin, Kalimantan Selatan.
4) Sebutan untuk tante dalam bahasa Banjar.
5) Nama salah satu desa di Kecamatan Tapin Tengah, berjarak 5 Km dari kota Rantau.
6) Istilah yang sering dipakai masyarakat kota Rantau untuk TKW yang telah melaksanakan ibadah haji.
7) Nenek dalam bahasa Indonesia
8) Bersimpuh
9) Jemuran pakaian
10) Tuah/sakti
11) Menginginkan
Catatan:
Cerpen ini menjadi Juara III Lomba Menulis Cerpen Aruh Sastra Kal-Sel XII Martapura
Sumber:
Radar Banjarmasin, 5 Desember 2015
0 komentar: