Cerpen Rismiyana: Hitam Putih Kotaku

15.22 Zian 0 Comments

Hujan baru saja reda. Angin berhembus dari utara. Seperti biasa aku berdiri di bawah tali jemuran yang berseliweran di atas kepalaku. Memandang ikan-ikan di kolam dan sesekali awan yang berlarian di langit. Menunggu saat adzan Ashar dikumandangkan.
Kotaku dikenal dengan julukan Kota Seribu Sungai. Namun, aku lebih senang menyebutnya Kota Seribu Mesjid. Bukan hanya di kotaku, di sepanjang jalan Banjarbaru, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, dan kota-kota kecil lainnya, hal yang sangat mudah ditemui adalah mesjid! Kalimantan Selatan, bagiku adalah Propinsi Seribu Mesjid.
Karena tekstur tanah kotaku seperti pada umumnya kota-kota di Kalimantan Selatan adalah rawa. Tanah berair dan datar. Maka, ketika adzan dikumandangkan dari mesjid-mesjid itu, suara adzan seakan memenuhi segala penjuru. Mendengung, bergemuruh.
Sambil menengadah, memandang gumpalan-gumpalan awan berarak, mataku memejam beberapa saat. Ya Allah.., seandainya mata dapat memvisualisasikan wujud malaikat, mungkinkah yang akan terlihat pada setiap adzan dikumandangkan seperti saat ini adalah ribuan malaikat yang sibuk berseliweran mencatat pahala? Pahala bagi muadzin di mesjid-mesjid dan surau-surau itu, pahala bagi orang-orang yang dengan khidmat mendengarkan kemudian berdoa, dan pada mereka yang bergegas memenuhi seruan muadzin.
Tiba-tiba HP di saku gamisku bergetar. Ada SMS masuk.


Aww. Ka, ulun handak batamu Pian. Ulun ada masalah serius. Pabila kawa?

Pengirim SMS itu adalah Aya, adik binaanku. Setiap sabtu aku biasanya memberi kajian di sekolahnya. Ada masalah apa? Seserius apa masalah yang ingin dibicarakannya. Kebetulan sore ini aku belum memiliki agenda. Aku bisa memintanya menemuiku di dekat gerbang sekolahnya. Tapi tiba-tiba HP di tanganku kembali bergetar. Satu lagi SMS masuk.

Aww. Aulia sore ini kakak ada jadwal presentasi buletin Al Iman di Majelis Taklim Al Husnah di Pegustian, tapi kendaraan kakak mogok. Bisakah Aulia antar kakak ke sana?

Ternyata SMS dari Kak Aisyah. Setiap Selasa sore dia memang rutin mengunjungi MT Al Husnah. Bukan dia yang akan berceramah, tapi ustadzah Laila. Dia datang karena diberikan kesempatan menyebar buletin keislaman Al Iman dan mempresentasikannya kurang lebih 15 menit pada ibu-ibu peserta pengajian.

Www. InsyaAllah bisa.

Setelah mengirim balasan ke Kak Aisyah, kuketik lagi SMS untuk Aya.

Www. InsyaAllah kakak ada waktu lusa, siang jam 3. Bubaran sekolah, jangan langsung pulang. Tunggu kakak di gerbang.

Aku merasa kakiku mulai kesemutan. Mangkuk dupa yang berada di sebelah kananku dan dinyalakan saat dimulai pembacaan Shalawat Burdah tadi, kini ditiup angin tepat ke arahku. Aku menahan napas. Aku memang menyukai wangi-wangian terutama wangi mawar, tapi tidak wangi dupa! Wangi dupa membuat perutku serasa diaduk. Sesuatu terasa mendesak-desak dari pangkal tenggorokanku.
Ustadzah Laila telah membaca doa selamat. Sebentar lagi beliau akan menyelesaikan ceramahnya. Itu artinya Kak Aisyah sebentar lagi akan dipersilahkan mempresentasikan isi buletin Al Iman yang isinya selalu menyerukan kaum muslimin untuk menerapkan syariat Islam. Buletin Al Iman siap-siap kubagikan pada ibu-ibu peserta pengajian. Setelah membagikan buletin itu aku mengubah tempat dudukku.
Selama lebih dari setahun ini aku belum berani mempresentasikan buletin Al Iman seperti Kak Aisyah. Aku hanya berani mengantar Kak Aisyah dan teman-temannya itu ke MT-MT di daerah Kerindangan A, Kerindangan B, dan Pegustian. Menjadi ojek gratis bagi mereka. Serta membantu membagikan buletin itu pada ibu-ibu peserta pengajian.
Aku belum berani mengisi MT seperti teman-temanku itu karena aku terlalu gugup menghadapi ibu-ibu itu. Suaraku yang datar, tanpa improvisasi, pergaulanku dengan teman-teman yang lebih sering menggunakan bahasa Indonesia membuatku walaupun mengerti, tetapi kurang begitu fasih berbahasa Banjar. Padahal berkomunikasi dengan ibu-ibu itu jelas memerlukan penguasaan bahasa Banjar yang baik dan hangat. Sebagai gantinya, aku memilih diskusi di Kelompok Studi Islam atau KSI di sekolah-sekolah.
Sebenarnya, dulu waktu awal-awal mengantar dan egoku masih melekat kuat, aku merasa terpaksa menjalankan tugas mengantar Kak Aisyah dan teman-temannya. Itu karena dengan mengantar dan menemaninya menyampaikan presentasi isi buletin Al Iman, aku akan menyaksikan sikap tidak menyenangkan sebagian ibu-ibu pengajian itu. Beberapa dari ibu-ibu itu tidak mendengar apa yang disampaikan Kak Aisyah, mereka sibuk menghitung uang arisan. Beberapa ibu pengajian lainnya asyik ngerumpi sambil sesekali mengibaskan tangan yang didereti gelang emas, mengeluarkan bunyi gemerincing. MT sekaligus arisan seperti ini adalah ajang pamer perhiasan bagi ibu-ibu itu.
Pulang dari MT Al Husnah, aku mengambil jalan pintas. Aku akan melewati jalan Kerindangan A, masuk ke gang Ketuju, terus ke jalan Pekayuan Raya, baru kemudian ke Banjar Langkar mengantar Kak Aisyah yang rumahnya berada di komplek Bumi Bungas.
Aku sengaja mengambil rute ini karena menyenangi keramaian di sepanjang jalan ini. Hampir semua pengguna jalan adalah pengendara sepeda motor dan sepeda, hanya sesekali diselingi mobil.
Jalan ini terlalu sempit untuk dilewati dua mobil yang berpapasan. Itulah mungkin penyebab mengapa pengendara mobil segan lewat jalan ini. Mobil-mobil yang melewati jalan ini adalah jenis pick up pengangkut barang. Sebagian lagi jenis mobil lain yang pemiliknya beralamat di sekitar sini.
Sementara pengendara sepeda kebanyakan remaja putra dan putri yang berbusana muslim. Setahuku ada beberapa pesantren di sekitar sini. Dan sekolah-sekolah di sini umumnya sekolah keislaman. Mungkin mereka baru pulang mengaji atau malah sedang menuju mesjid untuk shalat Maghrib. Berlalu lalang di antara mereka membuatku mengalami suasana seperti pada syair lagu Kota Santri yang sewaktu SD sering kudengar. Di telingaku seperti terdengar syair lagu itu.
Suasana di kota santri.
Asyik tenangkan hati….
Pengendara sepeda lainnya adalah laki-laki umur 20 tahun ke atas. Dari pakaian dan peralatan yang mereka bawa, aku yakin mereka adalah buruh bangunan.
Pada saat mendekati adzan Maghrib seperti ini, di sepanjang jalan, pedagang kaki lima menjajakan bermacam barang dagangan. Di depan deretan rumah yang seolah berhimpitan, di sepanjang jalan yang kadang becek dan pecah-pecah, berjejer pakaian, kue, peralatan dapur dari plastik, sayur, VCD bajakan dan barang lainnya. Barang-barang itu bisa kita dapat di sepanjang jalan ini. Belum lagi pada hari-hari tertentu, beberapa pedagang kaki lima berkumpul menyelenggarakan pasar dadakan.
Di depan komplek Bumi Bungas, Kak Aisyah minta diturunkan.
“Sampai di sini haja gin. Terima kasih ding-lah, sudah maatar kaka. Jangan jara-lah…”
“Tidak apa-apa Kak. Tidak merepotkan. Lain kali kalau Pian perlu ada yang mengantar, hubungi saja ulun.”
Aku baru hendak memutar sepeda motor, saat kurasakan getar HP di saku gamisku. Kutepikan sepeda motor untuk membaca pesan yang masuk.

Aww. Ka, kawalah ketemunya besok ja? Ulun bujur-bujur parlu pendapat Pian.

SMS dari Aya lagi. Hmm, ada apa dengan anak itu. Aku sendiri tidak begitu mengetahui latar belakangnya secara detail. Aku sebatas hapal namanya. Karena sudah dua bulan ini aku mengisi kajian di sekolahnya. Baru dua minggu lalu aku berkesempatan bicara hanya berdua dengannya. Itu pun karena aku mengantarnya pulang ke rumah sehabis pengajian di rumah Kak Aisyah.
Hmm.., besok agendaku cukup padat. Mengajar di sekolah dari pagi sampai jam sebelas, ke warnet ngirim file tulisan ke Mbak Sofi, pulang untuk makan dan shalat, terus jam 13.30 - 14.30 memberi privat membaca pada Elies di RK Atas, jam 16 – 18 mengajar di bimbel.

Www. Ya, insyaAllah bisa. Tunggui kakak jam 14.50 di gerbang sekolah.

Suasana sekolah sudah sepi saat aku tiba di depan pintu gerbang sekolah. Kulirik jam di pergelangan tanganku, tepat pukul 14.45 Wita, lebih cepat lima menit dari waktu yang kujanjikan. Sebaiknya aku me-misscall dirinya.
“Ka Aulia!” Aku tidak jadi menekan tombol HP. Aya melambaikan tangan padaku. Dia berjalan ke arahku setengah berlari, seragam dan kerudung putihnya agak berkibar karena menabrak angin.
“Assalamualaikum…” Aku mengulurkan tangan, menjabat tangannya.
“Walaikumsalam. Kita bepanderannya di rumah ulun aja Ka-lah.” Aya menyambut tanganku. Wajahnya terlihat agak pucat. Tapi walau begitu, dia tetap terlihat manis. Seperti anak gadis usia 17 tahun lainnya, aura kecantikan memancar dari raut wajahnya. Dia memang terkategori langkar dibanding teman-temannya yang lain.
Di sebuah gang sempit di Kerindangan B, aku membelokkan sepeda motorku. Kontrakan yang ditempati Aya dan keluarganya ada di ujung gang itu, berjarak sepuluh meter dari bantaran sungai Kerindangan.
Rumah kontrakan itu berupa bedakan, dibagi menjadi kamar-kamar memanjang yang masing-masing dihuni keluarga yang berbeda. Kontrakan Aya berada di urutan yang keenam, paling pojok.
Setelah mengganti seragamnya dengan baju biasa, dan menyuguhkan segelas teh manis hangat, Aya duduk bersila di depanku.
“Maaf, Ka-lah, sudah mengalihi Pian ja.”
“Tidak apa-apa. Sebenarnya ada masalah apa?”
“Ulun lagi pusang Ka-ai. Bingung banar nah.”
Dari mimik wajahnya, tampak memang ada masalah berat yang menjadi sebabnya. Hmm.., apakah ini ada kaitannya dengan masalah pelajarannya di sekolah? Atau masalah keluarga?
“Ka, bakas pacar ulun semalam datang ke sini. Inya membawai ulun bebulikan pulang.”
“Terus?” Aku jadi khawatir. Bulan lalu aku sudah menjelaskan konsep pergaulan Islam pada Aya. Bagaimana seharusnya interaksi antara laki-laki dan wanita dalam Islam.
“Ulun padahakan nang kaya jar Pian padahakan di pengajian semalam tu, kalo bepacaran tu kadada dalam Islam. Ulun kisahi, wahini ulun sudah kada kaya indahulu lagi.”
Mendengar perkataan Aya aku merasa lega. Berarti internalisasi pemahaman keislaman yang kulakukan padanya, setidaknya, memiliki keberpengaruhan dalam dirinya.
“Tapi jarnya, inya kada handak, inya tatangis Ka-ai di hadapan ulun.” Aku melongo mendengar perkataan Aya.
“Sudah lawaskah bepacaran lawan inya?”
“Sudah lawas pang, lima tahunan labih. Indahulu, sebelum acil ulun, inya nang membiayai sekolah ulun, keperluan hidup ulun…” Dia lalu bercerita tentang perceraian ayah dan ibunya sewaktu ia masih kecil. Bahwa suami kedua ibunya beberapa tahun lalu terbunuh oleh temannya yang sedang mabuk. Bahwa ayah kandungnya memiliki anak-istri di mana-mana dan masuk penjara berkali-kali, terakhir karena membunuh. Ia bercerita tentang acilnya yang bekerja di salon kecantikan dan selalu menuntutnya berdandan, menanggalkan kerudung.
Dan terakhir ia bercerita tentang lelaki bekas pacarnya itu. Bahwa lelaki itulah yang selama beberapa tahun membiayai hidupnya.
“Ooh…” Aku tidak tahu apa yang harus kuutarakan padanya. Tak terbayangkan bagaimana jadinya diriku, bila besar dalam lingkungan keluarga seperti itu.
Namun, dari cerita dan mimik wajahnya, aku dapat membaca perasaannya pada lelaki itu. Entah apapun sebabnya, lelaki itu tak lagi menempati ruang hatinya. Tadinya aku mengira pembicaraan ini akan sulit, melupakan orang yang memiliki kesan mendalam di hati—apalagi yang tak pernah kau dapatkan pada orang lain—bukanlah hal mudah, bahkan mungkin tak bisa. Dan aku tak tahu bagaimana cara mengajarkan padanya.
“Kaya apa, Ka?”
“Emm, kalau memang kalian saling mencintai dan dia laki-laki yang baik dan bertanggung-jawab, kejelasan status kalian harus diperjelas. Kalau memang kamu siap, ya..menikahlah!” Aku memberikan jawaban yang pernah dinasehatkan Kak Aisyah pada salah seorang temanku.
“Ulun belum siap Ka-ai. Ulun handak kuliah, handak begawi dulu, mana..anu pulang Ka-ai..” Dia terdiam sesaat, menatap padaku. Ia tampak ragu-ragu.
“Ka, ulun sudah ternoda.” Ucapnya lirih.
“Maksudmu?” Aku merasa tidak yakin dengan pendengaranku.
“Ulun kada suci lagi…”
Untuk kedua kalinya aku melongo. Pengakuan Aya barusan benar-benar di luar perkiraanku. Aya yang masih begitu belia, yang tampak kalem, yang bersemangat mengikuti kajian yang kupaparkan dan berniat mengkaji lebih dalam lagi.
“Sejak kapan?”
“Sudah lawas Ka-ai. Dahulu tu ulun masih halus, lugu, masih kada bapikir panjang.”
“Dengan dia, bekas pacarmu itu?”
Dia mengangguk. Aku hanya dapat menarik napasku. Baru kali ini aku menghadapi masalah sebesar ini. Masalah yang tak pernah terlintas di benakku akan dialami salah satu adik binaanku.
“Kekawanan di sekolah sudah banyak yang tahu. Jar buhannya, kelihatan dari body ulun. Tapi nang kaya ini, ni, kada ulun ja sorangan. Kekawanan sakalas ulun gin banyak jua , sampai ada nang betianan pulang. Kawin inya. Ampih sakulah. Guru ulun sampai ada nang tatangis-tangis.”
“Haah…” kini aku dibuat kembali kaget, mendengar cerita Aya itu. “Kok bisa?”
“Kekawanan ulun tu banyak nang baisi pacar Ka-ai. Pacar buhannya tu sama kaya bakas pacar ulun jua, sudah begawian. Jadi kaya itu ai bepacarannya.” Aku hanya mengangguk berusaha mencerna penjelasannya.
“Buhannya tu Ka-ai, wahini mun ada masalah atau handak refreshing katuju naikan.”
“Maksudmu, naik apa?” Aku bingung apa yang dimaksud Aya dengan kata ‘naikan’.
“Naikan tu istilah di sini. Artinya ke diskotik. Acil ulun gin rancak ke situ mun lagi pusang bamasalah di rumah. Bebinian parak rumah ulun gin ada nang bejualan di parak-parak hotel di bawahnya.”
“Bejualan apa?”
“Bejualan nang kaya di Begawu tu nah, la**ng…” Dia berkata sambil berbisik.
“Apa?”
“Pelacur Ka ai.”
Aku mengangguk-angguk sambil tetap mencoba mencerna apa yang dikatakannya. Kini di benakku mulai tergambar gejala perubahan sosial masyarakat di lingkungan sekitar sini.
Daerah Kerindangan dan Pegustian, serta beberapa kelurahan sekitar sini adalah daerah padat penduduk. Kehidupan Islami cukup kental terlihat pada siang hari. Dari mesjid, mushola, pesantren, sampai majelis taklim mewarnai kehidupan mereka. Bahkan jika kita melintasi daerah sekitar sini pada saat menjelang adzan, suara pengajian yang terdengar dari mesjid dan langgar, dapat terdengar sepanjang jalan tanpa terputus.
Namun, beberapa hotel dan tempat hiburan yang memiliki fasilitas diskotik ternyata memberikan warna yang berbeda pada malam hari. Belum lagi permainan biliar yang menjamur di jalan-jalan pada malam hari.
Mengapa selama ini tak terlintas di benakku? Hotel dan diskotik itu dibangun di dekat perkampungan mereka. Jumlah mereka yang banyak menjadi pasar bagi diskotik-diskotik itu. Dan dampak sosial bagi masyarakat di sekitar sini sungguh terasa. Siapa yang harus bertanggung jawab? Tokh, diskotik-diskotik itu disahkan oleh pemerintah daerah.
Aku meninggalkan rumah Aya dengan perasaan haru. Pelan-pelan kulewati jalan pintas itu. Saat melihat rumah-rumah padat dan jalanan pecah-pecah itu, suasana hatiku tidak lagi seperti dulu. Sungguh, terasa asing dan gamang.***

Banjarmasin, 17 Maret 2008

Sumber:
http://aukorganizer.blogspot.co.id/2009/05/hitam-putih-kotaku-cerpen-rismiyana.html

0 komentar: