Cerpen Martha Krisna: Persimpangan Tiga Hati
ALIAAku masih tak bisa melupakan kata-kata terakhirnya, dia sungguh-sungguh ingin melamarku. Dia menginginkan aku menjadi isterinya. Hati perempuan mana yang tak berbunga-bunga bila dilamar laki-laki sebaik dan segagah dia? Entahlah apa yang ada di pikirannya. Bagaimana mungkin dia bisa tertarik dan memilih aku. Aku tak punya keistimewaan apa-apa. Penampilan fisik biasa, dari kalangan biasa, tak punya prestasi apa-apa, keahlian masak juga biasa, bahkan aku sudah punya anak tiga. Aku benar-benar bingung. Sebenarnya jauh di hati kecilku aku ingin selalu bersamanya. Hanya wanita bodoh yang menolaknya.
Tapi, aku memang bodoh. Aku tak bisa membayangkan betapa sakit hati isterinya kalau aku menikah dengannya, meskipun alasannya syar’i. Aku bisa mengukur perasaan isterinya seandainya aku yang ada di posisi dia. Bimbang dan merasa bersalah tapi sekaligus takut akan
kehilangan dan cemburu. Mungkin seperti perasaan Siti Sarah ketika Nabi Ibrahim mau menikahi Siti Hajar.
SHERRY
Mas Ridwan suntuk terus akhir-akhir ini. Aku tak punya waktu memikirkannya. Pekerjaanku sebagai pimpinan perusahaan juga menumpuk. Mungkin hanya masalah kantor biasa. Aku lihat pagi ini dia kembali melamun. Aku tak ingin menegurnya. Paling-paling jawabannya sama seperti kemarin. Kepekaanku semakin lama memang semakin tumpul. Aku tak begitu peduli. Hatiku sudah seperti marmer, keras dan dingin.
***
Ridwan benar-benar tak bisa mengerti kenapa Alia menolaknya. ”Aku tak mau menyakiti hati Mba Sher, Mas!” katanya beberapa waktu lalu ketika dia menemuinya di pasar tempat dia biasa berjualan.
”Al, antara kami sudah ada gunung es yang tinggi. Dia tak akan peduli. Baginya yang penting hanya status pernikahan kami.”
Dia menunduk dan tak mau menatap ke arah Ridwan. “Al, aku sudah mengenal kamu dari kecil, aku percaya dengan ketulusanmu.”
Alia memandang ke arah tempat mangkal para tukang becak. “Mungkin aku sudah tak seperti itu lagi, Mas. Lagipula bagiku perasaan bersalah jauh lebih menyiksa ketimbang perasaan dikhianati.”
“Al, dari dulu kamu selalu berhati malaikat. Apakah kamu tidak memikirkan dirimu sendiri, perasaanmu, anak-anakmu?”
“Mas, apakah Mas sudah mengutarakan niat ini kepada Mbak Sherry? Apakah dia setuju? Bagaimana dengan orangtua Mas, mertua Mas?”
“Belum Al, tapi secepatnya aku akan memberitahu Sherry dan keluarga kami. Hanya kalau kau menerimaku, aku tidak menginginkan wanita lain.”
“Sudahlah, Mas. Aku tidak akan merubah keputusanku. Sebaiknya Mas pulang dan jangan menemuiku lagi. Terlalu banyak yang ingin tahu di sini. Aku tidak mau menodai jilbabku.”
Ridwan tidak bisa membujuknya lagi. Alia memang kepala batu dari dulu. Tapi Ridwan yakin masih melihat kilat-kilat cahaya di matanya setiap dia datang.
***
RIDWAN
Aku tak habis pikir kenapa dia menolakku. Aku hanya ingin meringankan bebannya, bukan untuk melampiaskan nafsu atau egoku untuk punya keturunan. Ketika melihatnya aku merasa kagum akan kekuatannya menjalani hidup. Di balik lusuh wajahnya aku terpaku pada mata yang sayu dan teduh seolah aku berada di sebuah mata air yang sejuk. Dia sangat lugu dan baik hati. Mungkin aku tidak akan bertemu wanita seperti itu lagi di lain waktu. Aku harus melupakannya. Tapi semakin aku coba, semakin pikiranku hanya tertuju kepadanya. Aku sudah berupaya membujuk lewat paman dan bibinya, tapi dia memang kepala batu. Dia tak mau menyakiti hati isteriku.
Mungkin aku tak usah menemuinya dulu beberapa waktu. Membiarkannya berpikir dan kehilangan sosokku akan lebih baik untuk keputusannya. Aku masih punya harapan, harus punya harapan. Dia layak untuk diperjuangkan. Waktu berlalu datar, seperti dulu, aku ingin sekali menemuinya, walau cuma memandangnya dari balik tenda-tenda yang bergelantungan di
pasar. Entah apa yang merasuki pikiranku, merindukan wanita lain yang bukan isteriku. Benar- benar penyakit berbahaya.
Akhirnya aku tak tahan lagi terus berdebat dengan pikiranku. Semua yang kukerjakan kacau. Aku harus menemuinya.
Aku menatapnya dari balik tumpukan peti-peti kecap dan saus tomat. Dia terlihat lelah dan melamun. Mungkin dia menyesali keputusannya. Semoga saja dia berubah pikiran dan akhirnya mau menerimaku. Aku sangat mengenalnya, dia hampir tak pernah menyesali keputusannya. Dan dia wanita yang sangat tegar. Ketegarannyalah yang menjadi magnet bagiku. Sangat berbeda dengan ketidakpedulian Sherry.
Aku tidak bermaksud membandingkan mereka berdua mengingat aku juga seorang yang sangat jauh dari sempurna. Hanya saja sifat Sherry yang semakin lama semakin tidak kukenali lagi membuat aku dongkol dan serasa menelan kulit durian. Seharusnya memang aku menegurnya dan mengajarinya karena itu adalah tugas suami. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang begitu cuek dan merasa tak bersalah, aku selalu mengurungkan niatku. Selain itu, aku malas berdebat.
***
Akhirnya Ridwan memutuskan untuk berbicara dengan Sherry tentang niatnya. Dia mengajaknya makan malam di sebuah restoran favoritnya, restoran yang menyajikan menu vegetarian, aliran yang dianut Sherry agar awet muda dan tetap langsing.
“Mmmmh enak sekali sup ini, Mas. Mau coba?” Sherry menikmati sekali appetizer pilihannya.
Ridwan menggeleng. Nafsu makannya menguap entah ke mana sekarang. Bagaimana mungkin ia bisa makan dalam suasana tegang seperti ini, apalagi memikirkan reaksi Sherry setelah apa yang akan dikatakannya nanti.
“Sher, aku mau mengatakan sesuatu. Mungkin kamu akan sangat terkejut, tapi aku harap kamu mau mendengarkan penjelasanku.”
Sherry menatapnya. “Ada apa, Mas? Mas mau dipindah ke kota lain? Atau mau berhenti kerja dan memulai usaha sendiri?”
Sherry mencoba menebak-nebak apa yang akan Ridwan katakan. Dia memang suka memprediksi segalanya. Selalu berpikir logis dan matematis.
***
RIDWAN
“Mas… mau menikah lagi.” Cuma empat kata itu yang bisa keluar dari mulutku, padahal sebelumnya sudah aku persiapkan berbagai pembukaan sebelum sampai pada pokok maksudku.
“Apa, Mas?” Senyum di wajah Sherry menghilang dan berganti dengan
keheranan. “Sherry nggak salah dengar kan Mas?” Sherry masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Mas bercanda ya? Nggak lucu, ah.”
Aku mulai bisa mengendalikan keberanianku. “Nggak Sher, Mas serius. Mas benar-benar ingin menikah lagi.”
Sherry berdiam mematung mendengarkan penjelasanku, seolah-olah rohnya meninggalkan jasadnya berapa waktu. Sampai kepulangan kami dia terus terdiam dan lunglai.
Sherry terus mendiamkanku sejak makan malam itu. Yah… wanita mana yang
bisa bersikap biasa-biasa saja ketika suaminya menyatakan ingin menikah lagi? Aku sudah mencoba jujur. Bukankah keingintahuannya tentang kebimbanganku akhir-akhir ini terjawab sudah?
SHERRY
Aku harus menyelidiki wanita mana yang sudah mencuri hati Mas Ridwan. Apa kurangnya aku sampai Mas Ridwan berpikir untuk melengkapi hidupnya dengan menambah satu isteri lagi? Aku harus menguntit Mas Ridwan. Mungkin dia akan menemui wanita itu lagi untuk memberitahu kalau dia sudah bicara denganku tentang niatnya
Aku harus menyogok satpam di kantor mas Ridwan untuk mengabariku kalau
Mas Ridwan keluar. Tak mahal memang, hanya dengan selembar voucher pulsa. Laki-laki mana yang bisa menolak permintaan tolongku?
Setelah makan siang telepon genggamku berbunyi. Ada pesan dari Pak Satpam kalau suamiku baru keluar dari lobby. Untunglah kantor kami berdekatan sehingga misiku bisa berjalan lancar.
Aku mengikuti Mas Ridwan sampai ke sebuah pasar tradisional yang tidak jauh dari perkantoran kami. Aku melihat dia masuk ke pasar itu dan menuju ke sebuah toko kelontongan yang barang-barangnya berjubel dan terserak-serak di depan lantai toko. Dia memandang ke arah sebuah toko lain.
Ketika para pembeli telah berlalu, aku melihat seorang wanita cantik yang sederhana tersenyum kepada orang yang lalu lalang. Wajahnya yang bulat telur dengan mata yang sayu dan indah, sungguh menarik dipandang. Bahkan aku yang seorang wanita pun senang menatapnya, apalagi laki-laki seperti Mas Ridwan.
Sepertinya aku telah banyak berbuat kesalahan pada Mas Ridwan. Demi ambisiku buat memajukan perusahaan aku sering mengabaikan dia. Mentang-mentang penghasilanku lebih besar, aku tidak memperlakukan dia sebagaimana layaknya seorang suami.
Haruskah aku minta maaf padanya, walaupun dulu dia adalah mantan sopir di perusahaan almarhum Papiku? Tapi, sanggupkah aku membuang jauh-jauh perasaan gengsiku? Entahlah…[]
Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher
0 komentar: