Cerpen Noor Hafizah Uhdiyati: Gazaku

23.32 Zian 0 Comments

Kapan semua ini akan berakhir? Kapan negaraku terbebas dari penderitaan ini? Kapan kami semua dapat hidup dengan tenang, tanpa pertumpahan darah lagi?
Kami merindukan ketenangan dan kedamaian. Kami rindu saat di mana kami dapat sekolah bersama, menuntut ilmu agama. Kami rindu saat kami dapat mengadakan pengajian dengan bebas. Kami rindu saat-saat berkumpul dengan sanak keluarga dan menghabiskan waktu bersama. Tak bisa kujelaskan bagaimana kami merindukan gelak tawa anak-anak yang bermain di halaman rumah, bagaimana ramainya pasar, senyum ramah setiap orang yang menyapa saudaranya.
Aku tahu itu adalah hal sepele, terutama bagi mereka yang tak punya konflik seperti negara kami. Tapi justru hal sepele seperti itu yang sangat kami rindukan.
Aku seorang remaja putri Palestina. Namaku Aisyah. Usiaku 17 tahun. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku, Umar, dan ayahku, Muhammad, telah bergabung dengan mujahid lain untuk berperang melawan Zionis Israel. Aku bahagia sekaligus sedih melihat semangat perjuangan mereka. Bahagia karena mereka bukan pengecut, berani melawan Israel dengan hanya berbekal senjata sederhana. Tak ada sedikit pun ketakutan di mata mereka. Mereka tak gentar karena yakin kalau Allah akan senantiasa melindungi. Mereka yakin dengan janji-janji Allah. Mereka yakin Allah tidak akan pernah meninggalkan mereka sedetik pun. Mereka yakin itu, begitu juga aku dan ibuku. Aku bahagia karena mereka akan pulang dengan senyuman kemenangan atau syahid di jalan Allah. Namun di sisi lain aku tidak menyangkal kesedihanku, aku takut kehilangan mereka.

Sekarang aku tinggal di kampung pengungsian Jabaliya di bagian utara Gaza, tak jauh dari pintu perbatasan Erez, karena hampir semua bangunan dan pemukiman kami telah rata dengan tanah. Aku tinggal bersama ibuku, Khadijah, dan adikku yang masih berusia dua tahun, Zahra.
Pertumpahan darah memang tak asing lagi bagi kami. Pembunuhan dan pembantaian  biasa terjadi setiap hari. Bahkan setiap detik ada saja yang gugur syahid. Setiap detik selalu ada keluarga yang menjerit histeris melihat kepala keluarga mereka sudah tidak bernyawa lagi. Setiap detik selalu terdengar jeritan-jeritan memilukan penduduk yang harus menahan sakit karena penyiksaan yang dilakukan Zionis Israel. Setiap detik puluhan anak kecil tak berdosa  meregang nyawa. Setiap detik kota kami penuh pertumpahan darah.
Beginilah waktu demi waktu kulalui. Sedikit pun aku tidak merasakan indahnya masa remaja.
Aku merinding mendengar beberapa bom yang meledak, juga roket-roket yang dihujankan dengan membabi buta. Suaranya menggelegar lantaran saking dekatnya dengan kami. Malam ini tentara-tentara Israel kembali beraksi.
Sebatang lilin, satu-satunya alat penerangan kami, terpaksa dipadamkan. Kini sumber cahaya kami adalah kepulan-kepulan api dari bom itu. Aku bersyukur api tersebut tidak menjalar ke tenda kami. Aku meringkuk di sudut tenda sambil memeluk Zahra yang sudah berkeringat dingin karena ketakutan. Sementara Ummi hanya bisa terbaring pucat di pangkuanku. Ummi sakit. Sudah dua hari demamnya tak kunjung turun. Kami hanya bisa terus berdzikir dan beristighfar.
”Ukhti, kapan bomnya berhenti,” Zahra bertanya kepadaku.
”Sebentar lagi, sebentar lagi semuanya akan berakhir,” aku terpaksa berbohong untuk menghiburnya. Kupaksakan untuk tersenyum di depannya. Kulihat raut wajahnya menjadi sedikit cerah.
”Tapi, aku takut... Abi dan akhi ke mana? Kenapa belum pulang?” Zahra kembali bertanya. Aku terdiam. Apa lagi yang harus kukatakan kepadanya?
”Mereka baik-baik saja, jangan takut sayang... Mereka akan selalu dilindungi Allah. Begitu pula dengan kita, kita akan selalu dilindungi-Nya,” tiba-tiba Ummi menjawab pertanyaan Zahra dengan suara lirihnya. Aku menitikkan air mata. Ucapan Ummi yang tegar membuatku terharu. Ya Allah, lindungilah kami!

***

Kulangkahkan kaki menuju pasar. Hatiku serasa tersayat pisau manakala melihat puing-puing bangunan sudah rata dengan tanah. Bahkan aku melihat beberapa penduduk dan relawan berlari-lari kecil membawa korban yang terluka dan berlumur darah. Astaghfirullah...
Walaupun banyak bangunan yang porak-poranda, masih ada beberapa pedagang yang berbaik hati menjual kebutuhan pokok untuk kami. Berbagai bantuan yang mengalir dari negara-negara lain tidak bisa kami nikmati lagi karena para Zionis itu merampasnya. Mereka juga menyerang kapal yang mengangkut relawan yang akan membantu kami. Mereka benar-benar tega!
Aku mengantri dan berdesakan dengan penduduk lain. Aku ingin membeli obat dan beberapa potong roti. Keringat mengucur di wajah kami karena siang ini matahari begitu terik. Ditambah lagi aku memakai jilbab hitam lusuh yang menyerap panas.
Alhamdulillah, aku mendapatkan beberapa potong roti dan obat setelah mengantri beberapa jam.
Hatiku kembali miris melihat seorang laki-laki lanjut usia terduduk lemas di pinggiran sebuah bangunan. Aku berjalan ke arahnya. Matanya berkaca-kaca sambil terus berdzikir. Keringat mengucur dari pakaian lusuhnya. Ia menengadahkan tangannya ke arahku.  Wajahnya terkoyak beberapa senti, tangannya juga dipenuhi lumuran darah segar yang sudah membeku. Aku berjongkok dan memberikan sepotong roti yang kupunya. Tak henti hentinya ia mengucapkan terima kasih kepadaku.
Semula aku ingin mencari bantuan untuk orang tua itu. Namun tiba-tiba saja Zionis Israel menyerang pasar dan mulai menembak-nembaki semuanya dengan membabi buta, tak peduli warga sipil, wanita hamil bahkan anak-anak sekalipun. Aku berlari menyelamatkan diri. Berlari semampuku sambil terus membawa belanjaan. Sekuat tenaga aku berlari menuju tenda.
Entah kenapa firasatku tidak enak. Ternyata benar, tentara keparat itu mulai menembak dengan membabi buta seperti yang dilakukannya di pasar tadi. Aku segera menyelamatkan Ummi. Aku mencari-cari sosok Zahra, namun nihil.
Kami tidak bisa berlari kencang karena kondisi Ummi yang tak memungkinkan. Tiba-tiba Ummi tersungkur di belakangku. Beberapa timah panas menembus punggungnya. Salah satunya tepat mengenai jantung. Aku histeris dan terus menggoyang-goyangkan tubuh Ummi yang sudah terbujur kaku. Namun, sesaat kemudian rasa perih yang teramat sangat menghantamku. Sebutir timah panas bersarang di pinggangku. Aku terkulai di samping Ummi yang berlumuran darah.
Samar-samar aku melihat sosok Zahra berlari ke arah kami. Ya Allah, Zionis itu  menembaknya. Zahra tersungkur. Aku mencoba merangkak ke arahnya dengan  sisa tenaga yang kupunya. Dan lagi-lagi Zionis Israel mendaratkan pelurunya di kakiku. Mendadak semuanya jadi gelap.

***

Perlahan aku membuka mata. Hari mulai malam. Keadaan di sini tenang karena Zionis Israel sudah pergi. Aku belum mati. Namun,rasa perih menjalar ke seluruh tubuhku karena kedua timah ini masih bersarang di tubuhku. Aku melihat Ummi yang sudah terbujur kaku. Aku juga melihat puluhan mayat bergelimpangan. Aku menangis sambil terus berdzikir. Aku menutup mata Ummi dengan tanganku. “Ummi, berbahagialah di sisi-Nya...” gumamku.
Aku teringat Zahra. Aku mencari-cari sosoknya yang tersungkur waktu itu. Aku terhenyak ketika melihat mayatnya mulai dikerumuni anjing. Oh, anjing-anjing Zionis itu melahap daging adikku... Tenggorokanku tercekik melihatnya. Aku mencari beberapa batu dan melempar ke arah anjing itu. Mereka menjauh. Dengan sekuat tenaga aku merangkak ke arahnya. Tiba-tiba hujan rudal dan bom kembali berjatuhan. Aku masih merangkak.
Dari jauh kulihat Abi dan Akhiku berlari ke arah kami sambil terus meneriakkan ’Allahu Akbar!’. Mereka datang... Tapi seketika mereka dihujani tembakan oleh Zionis Israel di belakangku. Mereka jatuh tersungkur! Ya Allah, hatiku bergetar. Keluargaku syahid. Allahu Akbar!
Terdengar hujan timah panas mengarah kepadaku. Rasa perih di sekujur tubuhku hilang seketika. Aku tersungkur. Aku menyusul mereka yang mati syahid...[]


Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher

0 komentar: