Cerpen Jamal T. Suryanata: Kartu Undangan

00.46 Zian 0 Comments

Prolog
Berita itu pun segera tersebar. Cepat sekali. Seperti ada yang kembali, mengulang sejarah. Seperti dulu, hampir setahun yang lalu. “Mustaqimah akan kawin! Imus mau menikah lagi!” kata mereka. Lucu, memang. Benar-benar menggelikan. Si Imus akan kawin? Mau menikah lagi? Hm, kupikir ada yang salah. Memangnya kapan Imus menikah? Kapan juga ia bercerai? Tidak. Mereka tidak salah. Di kampung
sesempit ini, adakah suatu peristiwa besar yang bisa terlewatkan begitu saja? Apalagi tentang gagalnya pernikahan Mustaqimah itu. Putri seorang terpandang seperti Haji Fauji pula. Sungguh, tak mungkin kami melupakannya. Bahkan biar sepuluh tahun sekalipun.



/ 1 /  
Larut malam. Sepi. Kampung di sepanjang bantaran sungai itu sudah bagai kuburan sekarang. Tak ada lagi bunyi kertuk dayung orang mengayuh jukung1, apatah lagi derum mesin kelotok2 yang melaju memburu waktu. Bahkan jengkrik pun seperti enggan untuk bersiul malam ini. Benar-benar sunyi. Tapi, suami-istri itu belum juga akan beranjak tidur. Keduanya masih menyandar lesu di ruang tamu. Saling diam. Di depan mereka, selembar kartu undangan perkawinan masih tergeletak pasrah di atas lantai. Sepotong kertas putih, agak sedikit buram, dengan huruf-huruf cetakan berwarna hijau lumut. Tanpa sampul plastik. Terkesan amat sederhana.
Satu jam. Dua jam. Sungguh, begitu cepat waktu berlalu. Ah, Pak Rahim ingin tersenyum sebenarnya. Ada rasa geli yang selalu ditahan-tahannya. Apanya yang salah dengan kartu undangan itu, batinnya menimbang-nimbang. Tak ada. Mungkin ini cuma soal selera saja. Atau, barangkali juga menyangkut rasa yang lain? Gengsi, misalnya? Tapi, senyum itu selalu saja diredamnya. Kata-kata itu senantiasa urung dilontarkannya. Ia tahu benar tabiat sang istri. Mudah tersinggung. Cepat naik darah. Meski perawakannya kecil, tapi suaranya nyaring bagai petasan. Tak sekali dua ia mendengar orang menggelari istrinya sebagai latupan cabi3. Ia sudah malas terus berdebat dengan perempuan baya yang sudah puluhan tahun menjadi pendamping hidupnya itu.
Sudah. Yang lanjur sudahlah terlanjur. Baru saja terjadi perang mulut antara mereka. Entah sudah yang keberapa kali. Seperti tak ada ujung kesudahannya. Tak ada tuntas-tuntasnya. Sejak kemarin sore, selalu saja kartu undangan perkawinan itu yang jadi pungkala4, biang perkara. Pembawaan sang istri marah-marah melulu. Bukan lantaran sedang mengidam. Wajahnya masam, kecut seperti jeruk nipis. Kalau sudah begitu, kadang Pak Rahim tergoda juga untuk mengganggunya. Ingin ia mengulang romantisme cinta mereka sewaktu muda dulu. Ingin ia merayu dengan sedikit bergenit-genit, “Wahai, Dinda Halimah sayang, engkau jangan terus bermuram durja begitu dong. Ntar kepergok malaikat pencatat dosa lagi. Gimana?” Lalu, sambil meliuk-liukkan telunjuk kanannya vertikal ke bawah, dalam satu titik pandang, ia katakan pula dengan nada sedikit mengejek, “Kacian… deh lo!” Tapi tidak. Itu pun harus diurungkannya. Sebab, ia tahu gelagat sang istri. Tentu tak akan seromantis dulu lagi. Kini, di sisinya bukan lagi seorang gadis remaja yang senang bermanja-manja, tapi seorang wanita berumur empat puluhan yang lebih sering tampil galaknya daripada lembut keibuannya.
“Pokoknya, Pak, aku tidak akan mau berangkat ke pesta perkawinan itu. Titik!” geram suara Bu Halimah sore itu, seperti sangat membenci orang yang empunya hajat. Kata-kata itulah yang diulang-ulangnya sejak kemarin. “Tidak! Tidak! Tidak! Titik!” Tak ada tawaran lain. Tak ada pilihan lagi baginya.
Pak Rahim hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Bu,” dicobanya mendinginkan suasana. “Soal berangkat atau tidak itu memang hak dan urusan pribadi masing-masing. Tapi, cobalah pikir sekali lagi. Tidak enak rasanya kita kepada keluarga Haji Fauji. Mereka sangat baik. Mereka sudah terlalu sering menolong kita. Kita sudah banyak berutang budi kepada mereka. Apa salahnya kalau sekali ini kita sedikit mengalah? Masakan hanya lantaran selembar kartu undangan saja kita harus memutuskan silaturrahmi? Bagaimanapun, Bu, mereka itu kan tetangga kita juga. Jiran kita. Lagi pula, menurut ajaran agama, memenuhi undangan orang itu wajib hukumnya. Fardhu ‘ain, Bu.”
“Kalau itu aku juga tahu, Pak. Tapi, sekarang masalahnya bukan lagi soal wajib atau sunat. Ini masalah keadilan. Keadilan, Pak!”
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Kuin, maksudmu?” seloroh Pak Rahim sambil tersenyum-senyum kecil.
“Hih, dasar si Bapak.” Bu Halimah tampak merajuk. “Sekarang Bapak pikirkan juga sekali lagi. Kalau undangannya saja sudah harus dibeda-bedakan, bagaimana nanti pelayanannya? Coba. Di sana nanti, jangan-jangan orang-orang seperti kita ini akan ditempatkan di ruang khusus yang sangat tidak istimewa, sementara orang-orang dari kalangan terpandang disediakan ruang lain yang jauh lebih mewah. Dengan aneka makanan yang serba enak. Apa Bapak mau dibeda-bedakan seperti itu? Itu namanya penghinaan. Penghinaan, Pak!”
Pak Rahim terdiam. Kini ia mulai ragu juga dengan pendiriannya. Namun, ia tetap mencoba meneguhkan hati. Ia benar-benar merasa tidak enak kalau hanya karena perkara kecil sampai melupakan segala kebaikan yang pernah diberikan keluarga Haji Fauji kepada mereka selama ini. Ia tidak mau perbuatannya dikatakan orang seperti kemarau setahun disiram oleh hujan sehari. Maka, meski tetap dengan sedikit ragu, ia harus berusaha meyakinkan sang istri bahwa masalah perbedaan warna itu bukanlah suatu kesengajaan, melainkan lantaran kekhilafan semata.
“Begini, Bu,” ujar Pak Rahim tampak serius. “Sebaiknya kita jangan berprasangka buruk dulu. Yah…, husnul zan sajalah. Kita ambil yang baiknya, kita singkirkan yang buruknya. Siapa tahu ini cuma kesalahpahaman kita sendiri. Mungkin saja keluarga Pak Haji sebenarnya tidak bermaksud membeda-bedakan para undangan, tapi hanya lantaran keterbatasan jumlah undangan yang sudah dicetak. Mungkin juga akibat kekeliruan orang yang diserahi urusan menulis dan membagi-bagikan undangan itu. Bukankah hal seperti itu sudah lumrah?”
“Yah, terserah Bapak sajalah kalau begitu. Tapi, kalau nanti dugaanku benar, Bapak tanggung sendiri akibatnya. Tak usah mengeluh. Tak usah dibahas lagi. Bapak seperti tidak tahu Haji Fauji saja. Meskipun naik hajinya sudah lima kali, tapi siapa yang tahu berapa istri simpanannya? Munafik! Kalau dia memberi sumbangan, pasti hanya ingin dipuji-puji. Ingin dikatakan orang paling dermawan di kampung ini. Kalau lagi bicara, cah, pasti cuma memamerkan segala kekayaannya. Dasar sombong. Orang sombong tidak wajib kita hormati. Pokoknya, Pak, nanti aku tidak akan ikut berangkat ke pesta perkawinan anaknya itu. Titik!”
Melihat kekerasan hati istrinya, kini Pak Rahim semakin jadi serba salah. Benar-benar seperti menghadapi buah simalakama. Menurutkan kehendak sang istri berarti memutuskan silaturrahmi dengan keluarga Haji Fauji, memenuhi undangan Haji Fauji sama dengan memperburuk kondisi ‘stabilitas nasional’ dalam rumah tangganya sendiri. Dan, celakanya lagi, belakangan sang istri tak segan-segan minta cerai kalau penyakit naik darahnya sedang kambuh. Kadang-kadang ia juga suka berpikir kalau sang istri sedang puber kedua.

/ 2 /
Perdebatan itu berawal setelah Bu Halimah pulang dari pertemuan ibu-ibu di rumah Pambakal5 Arbain. Seperti biasa, bagi ibu-ibu di kampung itu makna setiap kali ada pertemuan atau arisan bukan sekadar kegiatan kumpul-kumpul dan bersilaturrahmi, tapi lebih sebagai ajang pamer kekayaan dengan bumbu bualan di sana-sini. Bukan suatu pemandangan aneh lagi bila kebanyakan ibu-ibu itu nyaris memakai semua perhiasan yang dimilikinya. Lehernya berat dengan gandulan rantai emas bermedalion biji-biji mutiara. Daun telinganya lentur oleh giwang emas bermata tatahan intan. Tangannya kiri-kanan penuh jejeran gelang emas. Layaknya toko berjalan.
Kadang Bu Halimah merasa rikuh duduk bersama mereka. Merasa minder bila sudah ditanya ibu-ibu di sampingnya soal keadaan keluarga. “Oh ya, suami Bu Halimah kerja di mana ya? Anak-anak Ibu kuliah di mana? Tadi Ibu naik apa kemari?” Ih, begitu nyinyirnya. Padahal, mereka tahu persis bagaimana keadaan keluarganya. Sering ia merasa jijik melihat kelakuan mereka. Pada pertemuan kali ini pun rasa rikuhnya tak dapat ia sembunyikan. Ia ingin sekali cepat-cepat pulang. Gelisah mendengarkan obrolan teman-temannya.
“Eh, Ibu-ibu, sudah pada dapat undangan semua kan?” celetuk Bu Atikah.
“Undangan? Maksud Bu Ati undangan perkawinannya Mustaqimah itu?”
“Iyalah…, siapa lagi yang akan kawin di kampung ini? Konon pestanya besar-besaran, lho. Di Gedung Bundar lagi. Dua ekor sapi, katanya. Dan ada yang tahu berapa jumlah jujuran6-nya? Hanya seperangkat alat salat. Sebab, katanya sih, si Imus sendirilah yang menolak maskawin dalam bentuk uang. Ia tidak mau kalau dirinya seperti diperjualbelikan, katanya. Tapi jangan kaget dulu, sebab sang calon suami yang pengusaha batubara itu akan memberinya kado perkawinan istimewa. Sebuah rumah gedung dan sebuah mobil mewah!”
“Ya, anak siapa dulu dong. Haji Fauji, juragan kayu, pemilik wantilan7 terbesar di Pulau Alalak. Terang saja akan jadi berita. Apalagi si Imus itu kan putri sulungnya. Masakan kalah sama pesta perkawinan adiknya dulu. Lagi pula, Ibu-ibu sudah tahu semua kan bagaimana cerita gagalnya perkawinan Imus dulu? Sudah dua kali, lho. Sempat minggat ke Bali segala lagi. Jadi, tentu saja orang tuanya harus bisa-bisa mengatur. Harus pandai-pandai pasang siasat. Kalau tidak, wah, bisa-bisa gagal lagi. Kalau anaknya sampai jadi perawan tua, malu kan?”
Hm, dasar tukang gosip! Bu Halimah menahan rasa gemasnya.
“Oh iya, Ibu-ibu, ini kebetulan sekali saya bawa kartu undangannya,” ujar Bu Atikah pula seraya mengeluarkan selembar kartu undangan dari dalam tasnya, lalu menatingnya tinggi-tinggi. Sebuah kartu undangan dengan amplop besar seukuran buku. Warnanya merah muda. Kertasnya kukuh mengkilat. “Hm, masih wangi,” tambah Bu Atikah setelah membuka sampul plastik dan melekatkan lembar amplop itu ke ujung hidungnya.
“Eh, Bu Ati, ternyata saya juga kebawa nih!” sahut Bu Ita.
“Saya juga bawa!” Ibu yang lain tak mau kalah.
“Saya juga, Bu!”
“Wah, seperti kebetulan semua ya?”
Bahu Bu Halimah serasa bergidik melihat kelakuan ibu-ibu itu. Dasar genit, pikirnya. Tapi, kedua matanya tak bisa berkedip. Satu demi satu diamatinya semua kartu undangan yang tertating di tangan ibu-ibu itu. Kebanyakan berwarna pink, tapi ada beberapa yang berwarna putih seperti yang diterimanya. Dan ia segera tahu, mereka yang menerima kartu undangan warna putih diam-diam segera menyimpannya kembali. Dengan wajah malu-malu.
“O, punya Bu Atun warna putih rupanya?”
Yang ditanya tampak tersipu-sipu.
“Kalau Bu Halimah, bagaimana?”
Bu Halimah segera gelagapan. Tapi, dengan cepat ia dapat mengendalikan kegugupannya. Sekadar dengan senyum kecil. Ia tak merasa perlu menjawabnya. Ia sudah tahu ke mana arah pertanyaan itu. Sebab, beberapa ibu yang tadi memegang kartu undangan warna putih ternyata berasal dari kalangan yang lebih-kurang senasib dengannya. Sebaliknya, ibu-ibu pemegang kartu undangan warna pink memang semuanya dari kelas menengah ke atas. Ada Bu Pambakal, Bu Lurah, istri pegawai bank, istri pemilik wantilan, dan beberapa lagi pedagang di Pasar Lama atau Ujung Murung. Tak ada istri seorang tukang ojek, istri penarik becak, atau istri kuli pasar seperti dirinya. Sungguh memuakkan, gerutunya dalam hati.

/ 3 /
Pagi itu, meski sang suami sudah berulang kali membujuknya, Bu Halimah tetap pada pendiriannya. Ia benar-benar tak mau ikut berangkat ke pesta perkawinan Mustaqimah. Bukan lantaran ia tidak mengenal Mustaqimah secara dekat, tetapi karena kekerashatiannya yang tidak mau diperlakukan secara tidak adil. Ia benar-benar tidak bisa terima kalau derajatnya dibeda-bedakan dengan orang lain. Maka, Pak Rahim akhirnya pasrah saja. Tak ada gunanya lagi segala penjelasan dan bujuk rayunya. Dengan langkah berat, ia pun akhirnya berangkat sendirian. Sepanjang jalan ia terpaksa mengarang-ngarang, mencari-cari alasan yang tepat atas ketidakhadiran istrinya. Sekadar jaga-jaga kalau nanti ditanyakan Pak Haji Fauji. Sebab, bagaimanapun, keluarga Haji Fauji sudah terlalu banyak menolongnya. Selama puluhan tahun ia pernah bekerja di bawah kepercayaan juragan terkaya di kampungnya itu, meski cuma sebagai buruh kasar.
Memasuki ruangan luas gedung megah itu, tempat pesta perkawinan dilangsungkan, Pak Rahim benar-benar merasa demikian kecil. Merasa begitu terkucil. Ia melihat pemandangan yang sangat asing. Para tamu mengambil makan-minum sendiri-sendiri. Segala jenis hidangan tersaji dalam panci-panci dan talam-talam mengkilap, aneka minuman dalam piala-piala kristal, di atas beberapa meja panjang yang ditempatkan terpisah. Oh, inikah yang namanya prasmanan itu? Para tamu makan sambil berdiri, sebagian berpasang-pasangan. Inikah pula yang namanya pesta taman, dengan makan ala Prancis itu?
Pak Rahim harus banyak belajar dulu. Lama ia mengamati bagaimana cara orang mengambil sajian makan-minum, sebelum membawanya ke suatu tempat untuk disantap. Tak ada yang menghiraukannya. Hampir semua wajah asing di matanya. Tak tampak tetangga-tetangga di kampungnya. Ke mana mereka? Entahlah. Mungkin belum datang. Mungkin pula sudah pulang. Di sini ia hanya kenal keluarga Haji Fauji, tapi mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan, Haji Fauji sendiri seolah tak melihat kehadirannya. Setiap saat ia bolak-balik menerima dan menggandeng tamu-tamu kehormatannya. Orang-orang berpakaian parlente. Orang-orang dari kelas atas. Orang-orang yang tadi keluar dari pintu mobil-mobil mewah. Mereka saling bersalaman. Berpeluk-pelukan. Berbasa-basi dan tertawa-tawa. Sungguh Pak Rahim benar-benar merasa terasing, merasa seorang diri, di pesta perkawinan putri juragan terkaya di kampungnya itu.
Batin Pak Rahim mulai berkecamuk. Rasa haru, sedih, sesal, benci, bercampur aduk menjadi segumpal guman yang tak sampai di bibirnya. Ternyata engkau benar, Halimah. Ini memang bukan undangan untuk orang-orang seperti kita. Ini bukan tempat orang-orang sekelas kita. Hatinya serasa teriris. Kini, seperti kata istrinya, ia memang merasa terhina. Ia ingin pulang. Ingin segera meninggalkan tempat itu. Tapi, oh…, alangkah naïf dirinya. Bagaimana kalau nanti Pak Haji Fauji menegurnya? Ia ingat amplop dalam sakunya. Ia ingin bersalaman langsung dengan Haji Fauji. Ia merasa kurang afdal kalau hanya memasukkan amplopnya ke lubang guji berhias di samping pintu keluar itu. Tapi, dilihatnya Haji Fauji masih terus dalam kesibukannya, di antara tamu-tamu kehormatannya. Mungkin Pak Gubernur, Pak Walikota, anggota DPR, pejabat penting, atau pengusaha besar. Entahlah. Ia tak mengenali mereka. Yang jelas, sampai lama ia menunggu, juragan itu tak juga mengacuhkan kehadirannya.
Pulang. Dengan diam-diam. Demikianlah akhirnya yang harus dilakukan Pak Rahim. Tak ada pilihan lain. Sebab, toh juga tak akan ada yang mau tahu. Tak ada yang hirau atas kehadirannya. Juga kepulangannya. Ada atau tidak ada, sama saja. Maka, pulang. Pulang dengan diam-diam. Dengan hati teriris-iris. Ingin rasanya ia menangis. Sedih. Nelangsa. Seperti seorang anak yang tak dipedulikan ibunya. Maka, pulang. Dengan diam-diam. Dan setibanya di rumah nanti, ia akan segera merobek-robek kartu undangan perkawinan itu.

Epilog
Entah harus bersyukur ataukah ikut bersedih, keesokan harinya kami sekampung mendengar kabar dramatis dari babak akhir pesta perkawinan yang sangat mewah itu. Aku sendiri hampir tak percaya. Tak terjadi deus ex machina.8 Tak ada dewa turun ke panggung. Sang Dalang telah menutup ceritanya. Bukan happy ending, tapi dengan sad ending. Syahdan, calon mempelai laki-laki yang siang itu sejatinya segera bersanding dengan Mustaqimah di atas sebuah pelaminan gemerlap ternyata tak kunjung datang hingga sore hari. Hingga pesta berakhir dengan air mata. Mustaqimah menangis sejadi-jadinya. Haji Fauji merah padam wajahnya. Sang istri langsung pingsan begitu sampai berita: Drs. Kurnain Daud, MM, calon mempelai laki-laki, mendadak dijemput ke Mabes POLRI karena terlibat perkara illegal mining bersama empat rekan bisnisnya!

Batu Ampar, Februari 2006

Variasi cerita buat penulis cerpen “Perkawinan Mustaqimah” (Zulfaisal Putera) dan “Mencari Timur” (Sainul Hermawan) yang pernah dimuat di Radar Banjarmasin (5 Juni 2005 dan 18 Desember 2005).

Catatan :
[1] Sampan; biduk; perahu tanpa mesin (khas masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan).
2 Perahu bermotor (tempel) di Kalimantan Selatan.
3 Secara harfiah berarti jenis petasan kecil, sekecil cabe rawet, tetapi ledakannya keras; sindiran bagi orang (biasanya perempuan) berperawakan kecil, tetapi ketika mencak-mencak suaranya nyaring meladak-ledak.
4 Faktor penyebab terjadinya sesuatu (masalah/peristiwa).
5 Kepala kampung/desa.
6 Maskawin (dalam tradisi perkawinan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan).
7 Tempat penggergajian kayu.
8 Secara harfiah berarti dewa turun dari langit (bahasa Yunani); kebiasaan para dramawan Yunani klasik yang mengakhiri adegan/pertunjukan dramanya dengan menghadirkan dewa ke panggung untuk membantu para tokoh dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi.


Sumber:
http://www.readzonekami.com/2016/07/cerpen-jamal-t-suryanata-kartu-undangan.html

0 komentar: