Cerpen Ririn Handayani: Mitos Langit Senja
Aku berlari kencang ingin lekas sampai di rumah. Matahari sudah mulai memancarkan sinar jingganya. Sayup-sayup terdengar suara alunan ayat suci Al-Qur’an di mana-mana. Hatiku mulai gamang. Tak pernah sebelumnya aku bermain sejauh ini dari rumah. Entah kenapa hari ini aku mau saja di ajak Andi untuk bermain kelereng di kampung sebelah.Setiba Di rumah aku pergi ke dapur untuk meneguk air minum karena dahaga sudah mulai melemaskan tubuhku. Dari tempatku berdiri terlihat Uma yang sedang mengambil air wudhu. Setelah Uma selesai, ia menghampiriku. “Berapa kali dikasih tahu, jangan dibiasakan pulang ke rumah saat adzan magrib, pamali!” raut muka Uma terlihat gusar. Aku terdiam dan tidak berani menyahut. Aku tahu bahwa aku salah.
Di keluargaku, sebagai anak Uma dan Abah1. Kami tidak boleh bermain sampai waktu senja. Semua anak harus sudah berada di rumah sebelum sang surya menebar jingga keemas-emasan. Uma selalu saja mengatakan hal yang tidak pernah aku mengerti: Pamali. “Apa pamali itu, uma?” suatu hari aku pernah bertanya dengan polosnya. “Pamali, ya, pamili. Kata orang tua zaman dulu tidak boleh melanggar pepadah orang tua bahari. Nanti kenapa-kenapa?” Uma menjelaskan namun masih saja aku tidak mengerti sama sekali.
Ternyata teman-temanku juga mendapatkan nasehat Pamali yang sama sepertiku. Ketika itu kami bermain basasumpitan2, “Ayo, kita pulang!” ajak Johansyah, salah satu temanku yang paling alim di antara yang lain. Disebut alim kebetulan dirinya yang paling penurut kepada ucapanUma dan Abah-nya. “Nanti Uma kita akan memarahi kita”, lanjutnya. Dengan serta merta teman-temanku yang lainnya menurut saja apa kata Johan, seketika aku menjadi bingung. Biasanya mereka masih saja bermain sampai adzan magrib berkumandang. Teringat apa kata Uma, ”Kalau senja kuning cepat-cepat pulang ke rumah, tidak baik kalau masih di luar.”
Kutatap langit dengan penuh selidik, Ah, ternyata senja kuning, pantas saja mereka mau saja disuruh Johan pulang. Aku pun bergegas pulang ke rumah sebelum Uma memberikan wejangannya kepadaku lagi. Meskipun aku masih saja tidak mengerti maksud nasihat Uma kepadaku yang selalu saja menyisipkan kata pamili di setiap nasihatnya.
***
Hari pun berganti. Kali ini kami bermain di sungai Kuin yang bermuara di sungai Barito. Dengan lincahnya kami berenang karena setiap hari terbiasa mandi di aliran sungai ini. Setelah cukup lelah berenang sambil berkejar-kejaran di dalam air, aku berhenti untuk memulihkan tenaga dan duduk di Lanting3.
“Bagaimana kalau kita bermain batatimbulan ilung4?” usul Ole. Ole juga salah satu temanku, kami selalu saja pergi bermain berempat. “Sejutu.” Kata Johan. “Aku juga” sambung Andi. “Kamu Mansyah, mau ikut juga?” tanya Andi kepadaku. Aku tentu saja menggangguk dengan cepat.
Kami mulai menunggu ilung. Tidak jauh dari tepi sungai ada jembatan kecil yang menghubungkan kampungku dengan kampung sebelah. Di atas jembatan tersebut Andi berdiri sambil membawa ilung yang nantinya akan diletakkan di ujung kakinya kemudian meloncat menjatuhkan diri ke sungai dan tenggelam. Aku, johan dan Ole menunggu di bawah jembatan sambil berenang untuk mengambil ilung yang ditenggelamkan Andi tadi. Siapa yang pertama bisa menemukan ilung tersebut akan menjadi pemenangnya, sesuai kesepakatan, yang menang akan menjadi raja sehari misalnya membawakan tas ketika pulang sekolah.
Asyik bermain dan bersenang-senang, tak terasa di ujung langit, matahari sudah mulai meredupkan cahayanya. Kali ini senja kuning tidak muncul, sehingga kami mengabaikan pesan Uma dan Abah untuk pulang ke rumah sebelum senja. “Aku pulang dulu ya,” ucap Johan. Terdengar dari nada suaranya kalau dia sudah menggigil. Barangkali karena kami bermain air terlalu lama. Menyusul Andi membawa sandal di tangan kirinya melambaikan tangan kanannya tanda bahwa dia juga akan pulang. Kemudian, giliran aku yang akan pulang ke rumah karena aku juga merasa hawa dingin sudah merasuk sampai ketulang. Tinggallah Ole yang masih asyik berenang dengan berbagai gaya renang yang aku lihat sebelum aku meninggalkan sungai. Entah sampai kapan dia akan puas untuk berenang.
***
Keesokan harinya kampungku menjadi gaduh. Banyak orang yang berbondong-bondong menuju ke arah sungai kuin. Menyusuri dan mencari sesuatu entah apa. TerlihatUma Ole menangis terisak-isak tanpa mempedulikan orang yang menenangkannya sambil berteriak “Anakku? Anakku?” di pinggir jalan dekat dengan sungai yang kami renangi kemaren. Deg, jantungku menjadi tak enak. Di kerumunan tersebut terlihat Johan dan Andi sudah berkumpul melihat kondisi yang terjadi, terlihat mereka celingak-celinguk sambil berjinjit kaki supaya pandangan mereka tak terhalangi. Aku pun bergegas menghampiri mereka. Aku tepuk pundak Johan.
“Ada apa?” tanyaku heran.
“Ole hilang!” Jawab Johan masih dengan celingak-celinguknya.
“Hilang? Hilang dimana?” aku masih penasaran dengan yang terjadi.
“Di sungai, mungkin di makan hantu banyu5?” Jawab Andi nyeletuk.
Aku meletakkan tanganku ke pundak kedua temanku tersebut, terlintas pandanganku teralihkan sejenak ke arah jam tangan hitam yang terbelit di tangan kananku. Jam sudah memperingatkan kami agar bergegas menuju sekolah kalau tidak ingin terlambat. Aku menepuk pundak mereka berdua “Ayo ke sekolah nanti kita terlambat. Sudah jam 07.25, nih!” Aku mengingatkan. Johan langsung saja pergi berlari dengan kencang setelah itu diikuti oleh aku dan Andi. Kami pun tiba di sekolah dengan ngos-ngosan, untungnya sekolah tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri tadi.
***
Sepulang sekolah, kampungku masih terlihat gaduh sebab hilangnya Ole. Mayatnya belum juga di temukan di mana pun. Aku merasakan perasaan ngeri setelahnya. Aku bergegas pulang ke rumah dan tidak mau ikut berkerumun lagi karena terlihat olehku Johan dan Andi tanyai oleh beberapa warga kampung.
“Di mana saja kalian berenang?” tanya Uma mengagetkanku di balik pintu. “Di dekat rumah Uwa Jali, Ma!” jawabku. Tempat itulah tempat favorit kami bermain karena Lanting yang ada di tempat Uwa Jali lebih lebar daripada Lanting yang lainnya.
“Sudah berapa kali Uma dan Abah katakan, tidak baik kalau senja datang kalian masih saja bemain di luar, apalagi saat itu senja kuning.” Ingat Uma kepadaku lagi. Aku tidak menyahut setiap kali Uma mengatakan wejangannya. Seingatku ketika kami bermain di sungai kemaren tidak ada senja kuning, itu hanya senja biasa. Orang-orang di kampungku sangat memercayai Pamali tersebut.
***
Tiga hari kemudian, mayat Ole baru ditemukan. Setelah ditemukan pun banyak desa-desus yang simpang siur di kampungku. “Orang gaibnya baik, cuma tiga hari saja sudah ketemu mayatnya, coba seperti Utuh Idun, satu minggu baru bisa ditemukan dengan kondisi yang mengerikan,” ujarUwa Jali.
“Iya, mungkin Uma Ole banyak memberi sesajen ke sungai biar cepat ditemukan,” kata Acil sarinah. “Inggih, cil. Bisa jadi, aku kemarin melihat Uma Ole menangis di pinggir sungai, kelihatannya baru saja melepaskan sesajen ke sungai,” sahut Uma Andi. Perbincangan itu aku dengar ketika berbelanja di warung Uwa Jali.
Ole pun dimakamkan dengan tenang. Namun, cerita di balik kematian Ole masih misterius, sama misteriusnya seperti mitos langit senja dan senja kuning. Anak-anak di kampungku kini tidak berani berenang di sungai untuk beberapa waktu lamanya, kecuali ditemani oleh orang dewasa. Uma dan Abah pun gencar mengingatkanku untuk tidak lagi mendekati sungai. “Nanti dimakan hantu banyu seperti Ole,” kata uma. Hal itu akhirnya membuatku tidak pernah lagi mendekati sungai dan selalu pulang ke rumah sebelum senja. Begitu pula dengan anak-anak di kampungku, kami tidak pernah lagi melanggar nasihat Uma dan Abah untuk pulang ketika adzan magrib berkumandang. Akhirnya kampungku tidak pernah lagi terlihat anak-anak yang berani berenang dan bermain di luar ketika senja datang, meskipun senja terlihat elok.
***
Kini aku memandangi senja kuning sambil duduk di teras rumah dengan secangkir kopi buatan isteriku. Senja yang terjadi akibat hamburan gelombang cahaya pada siang hari terlalu banyak menghamburkan warna biru sehingga yang tersisa adalah warna kuning dan merah, jingga.
Seketika Aku rindu masa kecilku, di mana masih banyak pepohonan dan binatang khas kalimantan Selatan dengan bebas berdampingan hidup dengan kami. Masih teringat setiap senja aku menyempatkan diri menengok pepohonan nan tinggi hanya sekedar melihat kelincahan para monyet dan bakantan bergelantungan menuju rumah mereka masing-masing. Sangat menyenangkan rasanya. Hal itu menjadi penanda ketika aku masih kecil yang berarti aku harus pulang ke rumah juga.
Sebenarnya senja bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Mungkin orang tua dahulu menyusupi cerita yang seram untuk anak-anaknya supaya tidak berkeliaran pada malam hari. Hal ini sangat berbahaya bagi anak-anak apalagi bagi kami yang hidup di dekat aliran sungai. Seperti yang terjadi pada teman sama kecilku, Ole.
Pergantian siang dan malam pun juga sangat rentan dengan angin yang bertiup kencang sehingga apabila anak-anak tertentu merasakan atmosfir tersebut dengan daya tubuh yang lemah maka bisa saja langsung sakit. Untuk itu orangtua bahari ada benarnya. Ketika senja datang segeralah masuk ke rumah agar tidak sakit. Mungkin agar para anak-anak percaya dengan yang terjadi, maka disisipilah sebuah mitos yang turun-temurun menjadi kepercayaan.
Setelah aku dewasa akhirnya aku mengerti, apa yang terjadi di lingkungan sekitarku. Para orang tua zaman dulu menjadikan sebuah mitos demi kebaikan, demi kemaslahatan semua penduduk. Agar alam dan kita menjadi bersahabat.
“Ayah, ayo masuk,” rengek anakku yang paling bungsu, Anggi namanya. “Nanti ayah sakit, ini senja kuning lho, Yah,” kata Anggi dengan polosnya, sepolos ketika aku kecil dulu. Aku pun tersenyum dengan kata yang diucapkannya. Kemudian kami berdua masuk ke rumah.[]
Keterangan:
1 Ibu dan Ayah
2 Permainan tradisional khas kalimantan selatan biasanya kami menggunakan potongan pohon bambu kecil yang kami temukan tidak jauh dari rumah dengan peluru/anak sumpit terbuat dari tanah liat karena sebagian kampung kuin, masih banyak di tumbuhi pohon-pohon besar dan tinggi, bisa dikatakan perumahan masih sangat jarang sehingga kampung kami terlihat seperti hutan belantara yang dihidupi oleh berbagai jenis hewan juga, termasuk warik dan bekantan.
3 Susunan kayu untuk titian yang biasanya terletak di pinggiran sungai.
4 Ilung biasanya lebih dikenal dengan nama Eceng Gondok, yang larut di sungai untuk di ambil sebagai alat permainan tersebut. Ilung yang nantinya akan diletakkan di ujung kakinya kemudian sang empunya kaki meloncat menjatuhkan diri ke sungai dan tenggelam. Teman-teman yang lain mencari ilung yang tenggelam tersebut. Siapa yang menemukan dialah pemenangnya.
5 Di kampungku, Sungai Kuin, memang ada mitos mengenai Hantu Banyu yang menghilangkan seseorang ketika dia sendirian berenang. Apalagi itu terjadi ketika senja mulai tiba. Biasanya ada musim tertentu kenapa hal tersebut terjadi.
Catatan:
Cerpen ini merupakan Juara Harapan Pertama Lomba Menulis Cerpen Perpustakaan Daerah Kota Banjarbaru 2015.
Sumber:
https://banjarmazine.com/2015/07/12/cerpen-mitos-langit-senja/
0 komentar: