Cerpen Sandi Firly: Senja Kuning Sungai Martapura
Bamula angin manyapu banyu/ maniup di batang banyu/ maantar alang tarabang/ handak bulik ka sarangnya(Bermula angin menyapu air
meniup di batang air
mengantar elang terbang
hendak pulang ke sarangnya)
Senja kuning luruh. Kuning, sewarna kuning kunyit. Seperti biasa kau duduk di situ, di batang banyu rumah lantingmu1, dengan rambut panjang tergerai masai, kaki tercelup sungai. Matamu berkabut air mata, meriak, sebelum akhirnya satu-satu bulir bening itu jatuh melincir di pipimu. Hening dalam senja kuning.
Air sungai yang surut memperlihatkan kaki-kaki kurus rumah kayu. Satu dua kelotok2 bergerak pelan, suara mesinnya yang memekakkan telinga beradu dengan lantunan ayat-ayat suci yang menyeruak dari corong-corong pengeras suara masjid dan surau. Melengkapi parade senja kuning itu, jukung-jukung3 dikayuh menyisir, melewati orang-orang mandi di batang atau mengambil wudhu untuk sembahyang. Jukung-jukung itu biasanya baru kembali dari Pasar Terapung di muara Sungai Barito, tempat bertemunya sungai-sungai kecil yang membelah kota Banjarmasin, pun Sungai Martapura yang berada di jantung kota bergelar Kota Seribu Sungai ini – akh.., gelar yang terlalu berlebihan, karena banyak sungai kecil yang tidak lagi mengalir karena tersumpal sampah, ilung4, atau bangunan yang didirikan sesuka-sukanya hingga menutup sungai yang lantas tercekik, lalu mati.
Tapi kau adalah perempuan tersendiri yang selalu duduk di batang rumah lantingmu di pinggiran sungai itu bila senja tiba. Sungai yang sekian waktu telah menjadi tambatan matamu, mungkin juga hatimu. Entah berapa senja telah kau lewati dan menelan bayang-bayangmu di sudut rumah lantingmu itu, satu dari sedikit rumah lanting yang masih tersisa, sebab hanya rumah lanting itulah warisan turun temurun keluargamu yang memang tidak punya tanah daratan. Di rumah lanting itu jualah kau dilahirkan, dan kemudian juga melahirkan. Rumah lanting yang di musim penghujan tak pernah takut kebanjiran, meskipun Sungai Martapura meluap dan menggenangi jalan-jalan kota seperti yang sering terjadi tahun-tahun belakangan ini akibat pembabatan hutan yang membabi buta dan eksploitasi habis-habisan tambang batubara.
Kau tahu, sungai itu tak terlalu banyak berubah sejak puluhan tahun, kecuali airnya kian terlihat keruh saat naik pasang, dan sebuah siring taman yang baru selesai dibangun persis di seberang Masjid Sabilal Muhtadin itu. Tapi apa yang bisa dipandang dan dinikmati dari siring taman itu? Di seberang sungai sana tak ada bangunan yang menawan hati, kecuali rumah-rumah penduduk yang sekian tahun tak berhasil digusur untuk pembangunan Banjarmasin Park yang kini terhenti, juga rumah lantingmu yang terayun-ayun dialun riak gelombang bila kelotok-kelotok lewat.
Seperti saat ini, di batang rumah lantingmu itulah selalu kau tunggui senja, duduk dengan kaki tercelup di sungai yang tenang. Elang-elang yang melayang-layang di atas sungai itukah yang menjaga rindumu? Arus sungai yang tenang namun menyimpan banyak kenangan itukah yang menyeret lamunanmu? jukung-jukung dan kelotok yang membawa harapan itukah yang membasuh mimpimu? Ataukah anak-anak yang bermain di air itu yang menyempurnakan keindahan senjamu? Tak ada yang bisa membacanya dalam tatapan matamu yang kosong dan selalu berkabut air mata, juga dalam wajahmu yang bisu dan membatu. Namun semua orang tahu, kau masih menunggu anakmu yang terbenam di sungai itu di suatu senja kuning berapa bulan lalu.
“Dia pasti pulang, aku menunggunya,” begitu ucapmu selalu setiap suamimu menyuruhmu masuk ke dalam rumah lanting ketika senja telah menghilang. Meski suamimu tak pernah berhasil membujukmu, namun ia selalu saja mengulang ucapannya itu setiap senja, seperti sebuah alarm yang selalu berbunyi tepat pada waktunya.
“Galuh.., Galuh…, kenapa tidak pulang-pulang juga, Nak?” dengan bibir bergetar kau berucap pelan, masih kepada sungai itu. Sungai yang telah menelan Galuh, anakmu, dan seakan-akan menyimpannya di liang terdalam saat senja kuning dalam bayang-bayang malam. Usianya belumlah genap dua tahun, usia seorang anak manusia yang masih hangat dalam kerinduan dan kemanisan masa kecil. Mungkin kehilangan yang sedini itulah yang tak terelakan di hatimu. Sungai yang merenggutnya di kala senja kuning itupun lalu kau tunggui, berharap kelak suatu senja akan mengantarkannya pulang, ke pinggiran batang rumah lantingmu. Jasadnya. Ya, kau hanya berharap melihat jasadnya, yang meski sudah membusuk remuk, mungkin cukuplah untuk memberikan kerelaan itu, kerelaan sebuah kehilangan yang abadi.
Saat senja kuning hampir lindap inipun, kau masih duduk di sudut rumah lantingmu memandang air sungai, menunggu Galuh pulang di bawah bayang-bayang senja kuning yang segera hilang.
***
Kau masih ingat senja penghabisan Galuh-mu, saat senja kuning sewarna kunyit.
Bocah itu seperti biasa kau ajak duduk di samping rumah lantingmu sambil menikmati kehidupan sungai yang masih berdenyut saat menjelang malam. Elang-elang yang melayang adalah pemandangan yang paling Galuh suka. Burung perkasa bersayap lebar itu melayang tanpa mengepakkan sayap, menggiring angin, lalu menukik ke sungai, dan kembali mengangkasa dengan sesuatu di cakarnya, ikan kecil atau entah apa.
Lalu lintas di atas jembatan yang membentang di atas sungai itu juga sesekali menarik perhatian Galuh, jembatan yang selalu padat oleh kendaraan di siang hari, dan penuh pengail ikan saat malam. Kelotok dan jukung yang keluar dari bawah jembatan itu juga menjadi sesuatu yang menggugah perhatian Galuh. Entah, mungkin Galuh mengira kelotok dan jukung itu keluar dari sebuah tempat yang asing dan tak terduga karena bagian bawah jembatan itu memang semakin gelap bila senja kian melindap, seolah-olah kelelawar yang keluar dari gua.
Di batang banyu itu kau selalu bermain dengan Galuh-mu. Kakinya sesekali kau celupkan ke air sungai, yang membuatnya tertawa senang. Anak-anak kecil yang berenang di sungai juga kadang menghampiri Galuh, menyelam lalu menyembulkan kepala di dekat kakinya. Begitulah tawa Galuh selalu pecah di setiap senja. Sampai kemudian keindahan senja itu berubah menjadi huru-hara dalam hatimu; Galuh tercebur, tenggelam. Hilang.
Bagaimana Galuh tiba-tiba menghilang dari pandanganmu, adalah sebuah pita ingatan yang selalu berputar ulang setiap waktu; seperti ada tangan dari sungai yang secepat kilat merenggut Galuh yang sedang duduk di sampingmu, sesaat ketika kau mengalihkan pandangan darinya menengok ke arah pintu rumah mendengarkan panggilan sang suami untuk mengajak Galuh agar lekas masuk ke dalam rumah lanting karena senja kuning.
“Mamaa.., jangan lama-lama di luar. Lekas bawa Galuh masuk. Ingat, senja kuning tidak baik,” teriak suamimu dari dalam rumah.
“Iya, sebentar lagi..,” sahutmu sambil menoleh ke pintu rumah. Ya, begitu saja. Namun entah bagaimana, ketika kau kembali mengalihkan pandanganmu ke tempat duduk Galuh di sampingmu, ia sudah tak ada di situ. Lalu kau sesaat sempat melihat tangan mungil itu tenggelam di sungai sejarak pengayuh dari tempat dudukmu. Seperti ada tangan dari dalam sungai yang secepat kilat merenggutnya. Kau pun berteriak histeris sambil menyeburkan diri ke sungai di tempat terakhir tangan mungil itu terlihat. Menyelam. Lebih dalam. Lebih dalam. Namun Galuh seperti terbenam.
“Galuuuh… Galuuuh..,” teriakmu berulang-ulang setiap menyembul ke permukaan.
Suamimu sudah pula berada di sungai sejak teriakan pertamamu memanggil Galuh. Ia menyelam di bawah batang rumah lanting kalian, di bawah rumah-rumah pinggiran sungai, di bawah kelotok dan jukung yang ditambat, tapi Galuh seperti terbenam di liang terdalam sungai yang disepuh cahaya senja kuning, senja yang oleh sebagian orang dipercaya membawa malapetaka.
“Galuuuh… Bapaak, Galuuuh…,” teriakmu kepada suamimu yang terus timbul tenggelam di sungai yang dalam..
Orang-orang mulai berkerumun di batang rumah lantingmu. Sebagian dari lelaki segera menceburkan diri ke sungai. Jala-jala dilemparkan berharap berhasil memerangkap Galuh seperti ikan. Setengah jam berlalu, Galuh-mu tak juga ditemukan. Tim SAR pun didatangkan untuk ikut melakukan pencarian dengan perahu karet, menyisir tiang-tiang bawah rumah atau sampah-sampah yang menumpuk terhalang di bawah jembatan. Hingga senja menghilang, dan azan magrib telah lama berlalu, tubuh kecil Galuh tidak juga terlihat mengambang, ia seperti benar-benar ditelan sungai yang menyimpannya di liang terdalam. Menjelang salat isya, pencarian dihentikan.
“Besok pagi kita akan cari lagi. Insya Allah, kita akan temukan,” janji salah satu Tim SAR. Kau tak sanggup lagi bersuara, meski hanya sekadar mengucapkan terima kasih karena telah membantu mencari Galuh.
Ketika malam semakin sempurna, pelan orang-orang beranjak meninggalkan batang rumah lantingmu, hingga akhirnya tinggal kau dan suamimu yang masih duduk kuyup dengan mata sembab di batang itu. Kalian masih mengawasi sungai dengan sebuah lampu senter dan pendar cahaya bulan bulat penuh, juga lampu-lampu taman di seberang sungai sana. Setiap ada benda yang mengapung, dengan cepat kalian menyorotkan senter berharap itu adalah Galuh. Namun kekecewaanlah yang selalu dirasa karena benda-benda mengapung itu hanyalah sampah-sampah, potongan-potongan kayu, ada pula bangkai anjing dan kucing.
Terkadang kau dengarkan suamimu menggerunum5 dalam kekesalannya, menyalahkanmu karena tak segera membawa Galuh masuk ke rumah saat senja kuning itu. Dan rasa bersalah yang memuncak di dalam dada membuatmu tak sanggup bicara. Apa yang hendak dikata? Kata maaf pun sepertinya tak berarti.
Sepenuh rasa sesal, kau tahu Galuh tak seharusnya tenggelam andai kau mendengarkan peringatan suamimu untuk segera membawanya masuk rumah saat senja kuning itu. Tapi, apakah benar senja kuning bisa membawa malapetaka? Ada kekuatan apakah pada senja yang menyepuh warna kuning kunyit itu sehingga bisa menebarkan hawa kematian lewat penyakit atau kemalangan? Sungguh, sebagai seorang yang memiliki iman di dada, kau tak bisa mempercayainya.
Namun tentang cerita senja kuning itu, kau tidak bisa membantahnya, hingga kini masih sering dipetuahkan sebagian orangtua meski mereka sendiri tidak tahu bagaimana mitos senja kuning itu dipercaya. “Jangan mencela, ini sudah sejak kai nini dahulu,” begitulah jawab mereka bila ada yang menanyakan mengapa senja kuning dipercaya bisa membawa penyakit dan kemalangan seperti mata yang menjadi rabun, panas dingin6 berkepanjangan, serta malapetaka yang bisa datang tak terduga, dan tiba-tiba.
Bila senja kuning luruh, pengayuh mesti disimpan dan jukung-jukung ditambatkan, yang hendak turun mandi ke batang harus diurungkan karena buaya-buaya sedang mencari mangsa– yang ketika dahulu sungai-sungai masih dipenuhi rawa-rawa. “Pengantin baru, sebelum tiga hari, jangan sekali-sekali mencoba mandi di sungai saat senja kuning. Sambaran, sambaran buaya-buaya. Ingat itu!” Anak-anak yang masih berada di tanah harus segera masuk ke rumah, sebab hantu-hantu mengintai di keremangan senja kuning dan akan menyembunyikan anak yang masih bermain di tanah.
Sanja kuning luruh/ tatanaman layu, apa wahananya/ sanja kuning luruh/ tatanaman layu, sasuka duka
(Senja kuning luruh
tanam-tanaman layu, apa wahananya
senja kuning luruh
tanam-tanaman layu, sesuka duka)
Begitulah senja kuning dalam cerita-cerita, hingga abadi dalam lagu Sanja Kuning7 untuk menjadi pengingat agar anak cucu tetap terpelihara dari segala hawa buruk yang disebarkan senja kuning. Dan bila azan magrib dikumandangkan, maka tutuplah rapat-rapat pintu rumah, atau lekaslah masuk ke dalam surau-surau, sebab saat itu dipercayai juga orang-orang gaib yang tidak mempunyai tumit sedang mencari manusia untuk diangkat menjadi saudara di alamnya. Maka, tutuplah rapat-rapat pintu rumah, jangan duduk di muara pintu. Tutup rapat-rapat, bila mungkin tak seberkas cahaya senja kuning pun menerobos ke dalam rumah.
“Galuuuh.. Galuuuh…” Seperti bisikan, antara sadar dan terjaga dengan mata berkabut, hanya nama anakmu itulah yang bisa kau sebut berulang-ulang. Berulang-ulang. “Galuuuh.. Galuuuh…” Seperti rintihan, lirih, mengiris sepanjang malam di antara kau dan suamimu yang duduk berjaga di pinggiran sungai, hingga suara azan subuh membangkitkan kalian untuk masuk ke dalam rumah, salat berdua dan memanjatkan doa panjang, panjang, bercampur air mata meminta agar Galuh ditemukan untuk kalian kuburkan.
***
Pagi itu, usai memasak nasi dan kalian makan berdua dalam diam dan tetesan air mata, kalian kembali menunggu di batang rumah lanting berharap menemukan Galuh. Agak terang, beberapa lelaki kembali turun ke batang, juga Tim SAR dengan perahu karet. Seperti senja sebelumnya, pencarian Galuh dilanjutkan pagi itu.
Satu-persatu orang mulai ramai berkumpul di batang mengamati proses pencarian dan ingin tahu akhir dari pencarian anakmu. Di antaranya ada yang membawa koran yang memuat berita tentang tenggelamnya Galuh. Dan ketika anak muda yang membawa koran itu berdiri di dekatmu, hatimu berdesir membaca judul berita itu: SUNGAI MARTAPURA KEMBALI MEMINTA TUMBAL, dicetak tebal-tebal dengan hurup besar. Itulah judul dari berita tentang tenggelamnya anakmu, Galuh, semalam. Benarkah anakku menjadi tumbal? Begitulah pertanyaan di dalam benakmu. Mengapa orang-orang koran itu yakin Galuh menjadi tumbal sungai? Tumbal untuk apa? Apakah di Sungai Martapura ada penunggunya, sesuatu yang perlu sesembahan untuk dijadikan tumbal? Apakah juga ada hubungannya dengan senja kuning yang diyakini membawa malapetaka?
Kau sama sekali tak meyakini itu, sama tak berterimanya kau bila Galuh dianggap menjadi tumbal sungai di senja kuning raya itu. Kata tumbal begitu menyakitkan perasaanmu, sebab itu bukanlah sebuah kematian yang wajar. Apa haknya orang-orang koran itu menyebut Galuh menjadi tumbal? Meski memang kau tahu Galuh begitu cepat tenggelam, seperti ada tangan dari dalam sungai yang tiba-tiba merenggutnya dan membenamkannya ke liang terdalam.
Kau pun tahu, sudah banyak orang yang mati tenggelam di sungai itu. Apakah mereka juga menjadi tumbal? Koranlah yang sering mengatakan itu. Tidak pernah ada masyarakat yang membicarakan kata tumbal setiap ada orang yang mati lamas8. Koran itu hanya membuat sensasi, menghubung-hubungkan sebuah kematian dengan hal yang mistis. Tidakkah orang-orang koran itu tahu, betapa menyakitkannya kata tumbal itu bagi keluarga si korban. Dan kau merasakan itu, seperti luka yang digarami.
Dengan setengah geram, tiba-tiba kau rebut koran dari tangan lelaki muda itu. Kau remas-remas sepenuh marah, lalu kau lemparkan ke sungai. “Tidakkah kalian punya hati sehingga tega menyebut anakku Galuh sebagai tumbal!” hardikmu lantang mengagetkan orang-orang. Seketika suasana menjadi tegang, orang-orang melongo memandang tingkah polahmu yang mengeluarkan sumpah serapah ke arah koran yang tadi kau lemparkan dan kini mulai tenggelam terseret air. Kau terus menceracau, menjambak rambutmu yang tergerai masai, meludah, mencakar-cakar tubuhmu. “Aku tak rela…! Aku tak rela Galuh dikatakan tumbal! Tak rela..! Tak relaa..!”
Orang-orang tersentak. Kaget. Kau terus menjambak, meludah, mencakar, bergerak liar. Orang-orang menyingkir. Kau terus teriak, “Tak rela..! Tak rela…! Galuh bukan tumbal! Galuuuh…”
Suamimu yang saat itu berada di air, lekas naik ke batang. “Maa…, istighfar… istighfar…,” buru-buru ia datang menenangkan. Kau yang berusaha dipeluknya, berontak dan mencakar. Beberapa tetangga dekatmu datang membantu suamimu untuk menahan tubuhmu yang kalap. Dengan susah payah, akhirnya kau berhasil juga dibawa masuk ke rumah lantingmu, masih dalam teriak ceracau dan cakar-cakar, “Galuuuh… Galuuuh… Gila! Mereka gila! Galuh bukan tumbal…! Galuuuh…”
Sementara pencarian Galuh tak kunjung jua berhasil. Galuh seperti telah terbenam di liang sungai terdalam, dan tak akan pernah kembali ke permukaan.
***
Azan magrib telah memenuhi angkasa. Senja kuning memudar, dan dingin angin sungai seperti mempercepat malam. Tapi kau masih saja duduk di situ, di pinggiran sungai dengan rambut panjang tergerai masai, kaki tercelup air sungai. Dan kabut bening di matamu terus meriak, sebelum akhirnya satu-satu membulir jatuh melincir di pipimu.
“Maa, lekas masuk, sudah magrib. Galuh tidak akan pulang. Relakan saja,” suara suamimu dari pintu rumah lanting kalian. Sebentar menunggu, namun kembali masuk ke dalam rumah ketika kau tak jua beranjak dari dudukmu di batang itu.
Setelah sekian senja kau lewati, kau mulai sadar kalau Galuh mungkin tidak akan pernah pulang. Dan kau tahu, satu-satunya cara agar bisa bertemu dengan Galuh-mu, kau harus membenamkan diri ke dalam sungai itu seperti halnya Galuh yang terbenam. Kau harus menjemputnya meski mungkin di liang terdalam sungai untuk kemudian membawanya pulang. Atau mungkin kau akan betah bersama Galuh di tempat barunya, di mana di sana kalian juga bisa menikmati senja raya di sungai itu, memandang elang-elang melayang, kelotok dan jukung hilir mudik, anak-anak bermain air, dan ketika cahaya senja menghilang kalian berdua pun berkumpul di suatu tempat yang lebih nyaman dari rumah lantingmu. Bukankah ketidakpulangan Galuh ke rumah lanting kalian, itu bisa berarti karena tempat baru Galuh lebih nyaman?
Lalu kau pun ingin pergi ke sana, menjemputnya atau ikut berbenam bersamanya di liang terdalam Sungai Martapura, tepat saat senja kuning kian hening.
Galuh, lakasi naik/ sanja kuning sanja luruh di muara/ bakayuh jukung-jukung hancap bulik/ sudah dikiau abahnya
(Galuh, lekas naik
senja kuning senja luruh di muara
berkayuh sampan-sampan cepat pulang
sudah dipanggil bapaknya)***
Keterangan:
1) Rumah lanting = Rumah kayu khas yang dibangun di atas gelondongan kayu di pinggir sungai (banyak terdapat di wilayah Kalimantan).
2) Kelotok = Kapal kecil bermesin.
3) Jukung = Sampan.
4) Ilung = Enceng gondok.
5) Menggerunum = Menggerundel, menggerutu.
6) Panas dingin = Sakit demam.
7) Sanja Kuning = Senja Kuning, judul lagu berbahasa Banjar karya Anang Ardiansyah.
8) Mati lamas = Mati tenggelam di air (sungai).
Sumber:
Putra, Harie Insani dan Firly, Sandi. 2008. Perempuan yang Memburu Hujan. Banjarmasin: Tahura Media
https://sfirly.wordpress.com/2008/03/06/senja-kuning-sungai-martapura/
0 komentar: