Cerpen Khairi Muhdarani: Pasar Terapung, Cinta dan Kenangan
Salam, Anggina!Apa kabarmu di seberang pulau sana?
Jauh sebelum semua hal yang kumengerti tentang komunikasi dalam sebuah hubungan, jauh sebelum telepon genggam ditemukan, bahkan jauh sebelum raja mengirim utusan untuk menyampaikan pesan, atau bahkan sebelum Tuhan mengirim Rasul sebagai penyempurna peradaban, aku tahu bahwa kerinduan adalah hal yang harus dituliskan─pada sehelai daun yang gugur, pada tembok gua yang menganggur, pada batu di tepi kali yang tak bisa luntur, pada cinta sejati yang harusnya buta akan tutur.
Maka, kutulis surat ini untukmu, Anggina. Barangkali tulisan bisa membuat kerinduan ini abadi, sebagaimana melalui puisi Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi. Atau barangkali melalui tulisan, ada yang membaca kisah kita tentang sebuah perasaan yang harus berhenti tanpa sempat kita memulai. Cinta kadang terlalu sederhana, kita adalah yang membuatnya menjadi rumit, kemudian tak bisa memecahkannya.
Apa kabarmu di sana, Anggina? Apakah kau sudah berkeluarga? Apakah kau sedang sibuk mengurus anakmu? Apakah kau sedang menyiapkan makan pagi untuk suamimu? Atau kah kau sedang mengingatku, sebagaimana aku masih mengingatmu? Dan kuharap kau tak masih sendiri, sebagaimana aku belum menemukan atau bahkan tak akan menemukan pengganti dirimu.
Ini tahun ke tujuh setelah perpisahan itu. Ini adalah tahun ke tujuh aku duduk mengunjungi tempat ini, tempat yang selalu kukenang tentang dirimu, tempat yang selalu kukunjungi setiap akhir pekan, pada subuh buta dengan perahu kecil yang kukayuh perlahan. Apakah kau juga masih mengenang tempat ini? Apakah kau juga masih mengenang Pasar Terapung di Kota Seribu Sungai ini? tempat yang dulu selalu kita kunjungi di akhir pekan. Melepas lelah, melepas penat, membuang semua himpitan dunia yang penuh dengan nafsu-nafsu keserakahan. Terlebih melepas rasa rindu yang tak tertahankan.
Saat ini, Anggina, embun pagi menebar putih sucinya, pada permukaan Sungai Martapura, hingga bertemu dengan Sungai Barito. Pedagang buahan-buahan dari berbagai penjuru merapat ke perkumpulan, mendayung perahu dengan muatan hasil panen, penjual Soto Banjar membersihkan meja tempat pembeli makan, transaksi perdagangan berjalan, burung terbang mencari makan, kapal tongkang melintas pelan, seburat mentari memancar keemasan, dan aku membayang wajahmu di kejauhan. Barangkali ada juga turis yang mengabadikan momen di Pasar Terapung ini dengan kamera super canggih, dan aku mengabadikan kenangan dengan mengingatmu tanpa sedikitpun risih.
Aku masih ingat senyum wajahmu, ranum bibirmu, hitam rambutmu, dan celoteh manjamu. ”Kenapa penduduk di sini tidak membuat kota di sungai?” tanyamu, ”bukankah semua orang di sini terbiasa dengan sungai?” dan aku hanya tersenyum sambil membiarkan angin pagi sedikit memaksa rambut panjangmu bergoyang.
Seperti itulah sebenarnya kebiasaan, Anggina. Kebiasaan tak selamanya menjadi sesuatu yang mudah dinalar, sebagaimana matematika selalu menjadikan satu ditambah satu sama dengan dua. Kebiasaan selalu saja menjadi misteri walaupun kadang selalu berulang di setiap hari.
Orang yang terbiasa kadang tidak lagi menghiraukan kebiasaannya. Maka penduduk di sini yang terbiasa dengan sungai tidak serta merta mereka mencintai sungai. Karena kebiasaan tetap saja tak bisa mendikte cinta.
Bukankah begitu, Anggina? Bukankah kebiasaan kita yang selalu bersama yang kemudian kita sebut saling menyayangi tiba-tiba membuat kita berpisah karena alasan sebuah takdir ; di mana dan kapan serta oleh siapa kita dilahirkan.
Begitulah jalan takdir menulis kisah sesuka hatinya, kita sebagai lakon pengemudi hanya bisa mengikuti jalur yang sudah digaris tanpa bisa berbuat banyak. Tidur yang kadang tak nyenyak, makan yang kadang tak enak, mimpi yang tak jadi nyata, dan cinta yang tak menemukan caranya. Seperti cinta kita yang mati sebelum sempat menyerbak bunga keindahan. Dan kita berpisah tanpa pernah saling mendaratkan ciuman.
Tetapi Anggina, ada yang tak pernah luntur dalam sebuah perpisahan, ada yang tak pernah hilang walaupun tiada pertemuan─adalah kenangan, Anggina. Di sini, di tempat ini aku selalu nyaman bersama kenangan, di mana pada kenangan bayang wajahmu masih serasa nyata dimataku, dan aku mengenang, tentu saja tanpa sempat meminta izin kepadamu. Bukankah kenangan masih menjadi sesuatu yang bebas untuk diingat di Negeri ini?
”Kamu masih mencintainya, Ismul. Kamu masih merindukannya, dan akan terus mengenangnya. Bahkan sejauh apapun kau berusaha melupakan, cinta bukan seuatu yang dipaksa untuk hilang, bukan pula sesuatu yang dipaksa untuk datang. Cinta akan tetap menjadi sesukanya. Cinta akan selalu egois dan duduk menjadi raja di mana ia hinggap dan di mana ia bertahta. Dan kita yang dilanda cinta, adalah hamba yang paling setia.” begitu bisik benakku setiap duduk di perahu ini, mengenangmu, mengenangku dan mengenang kita.
Apa kabarmu di seberang sana, Anggina?
Kuharap kau menemukan kebahagiaanmu disana, sebagaimana aku bahagia dengan cara mengenangmu, walaupun kutakmau kau bahagia dengan cara mengenangku. Aku ingin kita bahagia dengan cara masing-masing, aku ingin kamu bahagia dengan caramu sendiri, dengan cara yang berbeda, mungkin dengan cara melupakanku, karena kita memang tercipta untuk berbeda, kemudian kita melanggar perbedaan dengan saling mencintai, kemudian lagi menutupi perbedaan dengan kebersamaan. Dan akhirnya perbedaan dengan pongahnya memisahkan kita.
Tuhanku, pernah berkata, bahwa makhluk itu diciptakan dalam keadaan berbeda, bersuku-suku, untuk saling mengenal satu sama lain, dan mungkin untuk saling mencintai. Dan Tuhanku juga pongah dengan takdir-Nya. Memisahkan kita.
Dulu aku sempat berpikir, Anggina. Begitu dahsyatnya cinta. Begitu cinta bisa membuat makhluk menjadi hidup bahkan mati. Makhluk yang mati bisa terlihat seperti hidup, dan makhluk yang hidup bisa terlihat mati karena cinta. Jika saja cinta mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan, aku yakin makhluk banyak yang menyembah cinta kemudian mengganti agamanya dengan agama penyembah cinta.
Aku dulu pernah bermimpi, Anggina. Kita berdua menganut agama cinta, kemudian pergi ke sebuah tempat dimana hanya ada aku dan kamu, di mana kita bisa memuja cinta sepuasnya, tanpa perlu takut kepada Ustazd yang teriak-teriak kemudian menyerang kita, tak perlu takut kepada pendeta yang seakan-akan mewarisi tangan Tuhan. Kita akan tinggal disebuah pulau tak terjamah, sebuah pulau yang bahkan peta lupa menggambarkannya. Dan kita akan menyebutnya pulau cinta.
Ah, tetapi semua memang khayalan, dan kautau aku memang seorang pengkhayal yang tak berguna, Anggina. Aku lelaki pengecut yang selalu menggunakan perasaan. Dan kamu wanita luar biasa yang bisa meletakkan logika pada tempat yang setingkat di atas perasaan.
”Cinta hanya mengenai perasaan, Ismul. Dan kamu tentu tahu bahwa perasaan bukanlah sesuatu yang abadi. Dia akan bergerak bersama waktu dan keadaan. Cinta bisa terkondisikan, sementara perbedaan adalah sesuatu yang nyata dan harus disamakan pada tataran yang prisifil. Dan kita tak bisa bersatu dengan perbedaan yang nyata.” begitu katamu, waktu itu.
”Lupakan aku, Ismul. Dan aku akan melupakanmu. Yakinlah bahwa suatu saat ada wanita yang bisa membuatmu jatuh cinta, dan tentu saja membuat orang tuamu juga menyukainya. Dan aku yakin bahwa Tuhan sudah menyiapkanku lelaki yang akan membuatku jatuh cinta, dan tentu saja membuat orang tuaku juga menyukainya.” katamu sambil melangkah meninggalkanku. Kau memasuki kapal yang segera meninggalkan pelabuhan Tri Sakti.
Kau begitu kejam, Anggina, dan aku hampir membencimu. Tetapi, yang ternggelam di bening matamu, yang tergelincir di pipi mulusmu, adalah aku yang terlanjur mencintai, kemudian lupa cara membenci.
Ah, apa kabarmu, Anggina?
Ini tahun ketujuh aku di sini, di Pasar Terapung ini. Tempat yang selalu kukunjungi setiap akhir pekan. Dan mungkin setelah hari ini, aku akan sangat jarang berkunjung ke tempat ini, dan aku akan merindukan tempat ini, atau mungkin yang aku takutkan, aku malah akan melupakan tempat ini.
Semoga tidak.
Kerabat ibuku di Samarinda membangun sebuah pesantren, dan beliau meminta aku mengajar di pesantren tersebut. Kelak jika suatu saat kita bertemu, kau tak boleh meledekku, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang Ustazd di sebuah pesantren. Ah, lucu sekali sepertinya. Tetapi aku bahagia, mungkin ini adalah hidupku, dan atau akhir dari kenangan ini. Di sana aku akan membagi ilmu yang pernah kudapat ketika di pesantren dulu. Dan ilmu yang kudapat ketika bersamamu. Dan kuharap kau tidak marah, aku akan mengajarkan bahwa cinta diatas ilmu. Cinta lebih tinggi dari ilmu, bahkan lebih tinggi dari agama. Karena bukankah agama tercipta atas dasar cinta?
Ada banyak hal yang ingin kuceritakan kepadamu, Anggina. Tetapi,mungkin surat ini tak cukup untuk menyampaikan semuanya. Barangkali tak semua rasa harus dibagi, biar waktu membuat puisinya sendiri.
Hanya satu hal yang harus kau sadari,Anggina. Sepetinya aku memang lelaki yang lemah. Dan aku tak bisa sepertimu yang dengan mudahnya memintaku melupakanmu, kemudian mencari wanita lain. Sebagaimana kamu berharap dirimu mendapat lelaki lain yang Tuhan persiapkan untukmu.
Aku akan terus mengenangmu, Anggina. Dan aku─mungkin─akan terus mencintaimu. Selamanya.
Maka, demikian surat ini kusampaikan, Anggina. Besok aku akan berangkat ke Samarinda, dan aku belum tahu apakah tempat dan jarak bisa menghapus kenangan.
Salam, Anggina.
Selamat Hari Natal, Anggina. Bersama surat ini kukirimkan lukisan pohon natal.
Untukmu.
Astambul, 08 Desember 2013.
Sumber:
Khairi Muhdarani, dkk. 2014. Mambur, Datanglah ke Tubuh Balian. NulisBuku.com
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/cinta-dan-kenangan/10152985035813242
Sumpah ini aku menangis membacanya. Makna nya sangat dalam, kata-kata nya sangat indah menusuk kedalam hati.
BalasHapus