Cerpen Khairi Muhdarani: Gadis Manis, Nenek dan Hari Minggu

19.43 Zian 0 Comments

Sudah hampir tiga bulan aku tak pernah pulang ke kampung halamanku. Kebutuhan uang kuliahku hanya aku pesan untuk dikirim ke rekeningku. Dan orang tuaku juga tidak terlalu banyak bertanya. Mereka mengira, aku sudah terbiasa tinggal di Kota Idaman ini. Sehingga aku tidak pulang setiap Sabtu-Minggu seperti biasanya. Pernah suatu hari ketika semua keperluan habis─uang habis dan sisa beras di kost juga habis. Uang yang dikirim Ayah ke rekeningku tidak masuk. Aku terpaksa pulang hari Sabtu. Menempuh perjalanan selama tiga jam. Kemudian pulang lagi ke kota idaman ini pada hari itu juga. Hari Minggu ada kegiatan di kampus, begitu ucapku kepada orang tuaku. Dan mereka tak pernah bertanya lagi, karena─mungkin─kekhawatiran mereka tentang aku yang tidak akan betah dan tidak biasa berpisah dengan keluarga─terutama nenekku, terbantahkan sudah.
Aku sangat menyukai hari Minggu. Terutama di waktu pagi. Dulu, sekarang dan mungkin untuk selamanya.
Dulu aku menyukai hari Minggu karena pada hari itu aku bisa pulang ke kampung. Meninggalkan suasana kota dan masalah kuliah yang menghimpit otakku. Bertemu dengan teman-teman di kampung, dan tentu saja bertemu Nenek yang selalu setia mendengar cerita-ceritaku. Bercerita tentang pengalaman di kota yang sangat menjengkelkan, membosankan. Bagiku masyarakat perkotaan tak punya hati. Sama tetangga yang jarak hanya selemparan batu saja mereka kadang tidak mengenalnya. Ini sungguh ketelaluan. Sementara di kampung, aku punya puluhan teman dari kampung seberang yang jaraknya cukup lumayan. Begitulah dulu aku menyukai Hari Minggu.

Dan sekarang Minggu tetap menyenangkan. Mungkin akan jauh dan lebih menyenangkan jika dibandingkan minggu-minggu yang dulu. Awalnya teman satu kost-ku yang sering meledekku karena selalu pulang setiap Minggu. Katanya aku harus mencoba betapa serunya hari Minggu di kota ini.
”Ngapain?” tanyaku ketus.
”Coba satu hari Minggu aja deh kamu di sini!”
”Buat apa?”
”Coba deh sekali-sekali ikut lari pagi di Lapangan Dokter Murjani!” katanya. ”Banyak cewek cantiknya loh!”
”Di kampung juga bisa lari pagi,” kelahku. ”Udaranya malah jauh lebih bersih. Wanitanya juga masih alami dan lugu.”
”Tapi kau hanya bertemu dengan orang yang sudah kau kenal sejak kau masih ingusan,” katanya. ”Di sini lari pagi di Lapangan Dokter Murjani jauh lebih menarik dari yang kau bayangkan.”
”Aku sering melihat orang-orang kota lari pagi,” kataku. ”Di televisi.”
”Dan kau harus melihat secara langsung.”
”Bersamamu?”
”Sendirian.”
”Sendirian?”
”Iya.”
”Kenapa harus sendirian?” tanyaku.
Temanku tertawa, ”Karena Minggu depan aku mau pulang kampung,” katanya. ”Masa kau terus yang pulang, gantian dong!”
Aku ikut tertawa dan dia memang ada benarnya.

***

Aku sangat menyukai hari Minggu. Terutama di waktu pagi. Dulu, sekarang dan mungkin untuk selamanya.
Sudah hampir tiga bulan aku tak pulang ke kampung. Rasanya aku terlalu rugi jika haru meninggalkan satu Hari Minggu saja di kota idaman ini. ketika hari sudah siap menjemput pagi. Aku akan bersemangat untuk lari pagi. Dari Jalan Astoria Sungai Besar, Aku hanya berlari menuju Lapangan Dokter Murjani. Lari sepuluh putaran di Lapangan Dokter Murjani, kemudian langsung menuju Taman Idaman. Duduk di samping seorang gadis yang setiap Minggu menghabiskan pagi di tempat ini.
Aku tak tahu namanya. Tak ada perkenalan di antara kami berdua. Tetapi aku merasa sudah begitu dekat dengannya. Walaupun hanya tiga bulan.
Aku akan bercerita banyak hal; kuliahku, teman-teman di kampung, teman-teman di kost, nenekku yang lucu, hubungan diam-diam dosen dan mahasiswinya. Dan ia akan tersenyum dan menjawab seperlunya. Ketika bibirnya merekah bersiap melantunkan satu kata ”Iya”, ”Masa…!” atau ”Owh….!” aku selalu merasa sejuk dan tak sabar untuk mendengar dan terus mendengar suaranya.
Begitu lembutnyakah gadis ini di mataku? Begitulah yang aku tangkap. Semua yang ada di dirinya menampilakan kelembutan. Matanya yang lembut, senyumnya yang lembut, bahkan jemari tangannya yang juga lembut ketika tidak sengaja aku menyentuh-nya, kemudian kami sama-sama terkejut menahan malu. Ia tak banyak bicara dan bertingkah serta senyum seperlunya. Mungkin di situlah keistimewaannya.
Ketika pagi mulai menjemput siang, kami akan sama-sama berdiri dari bangku taman. Meninggalkan tatapan pada air mancur buatan, pada kendaraan bermotor yang membisingkan, pada muda-mudi yang memadu kasih di dekat patung jerapah-jerapahan. Kami akan pergi dengan arah yang berlawan ; aku menuju Sungai Besar dan ia menuju Lok Tabat. Aku berlari dan dia juga berlari. Begitu setiap pagi Minggu. Monoton dan tidak pernah ada perubahan, saklek hanya seperti itu setiap Minggu pagi. Tetapi aku menyukainya. Entahlah dengan dia. Tapi aku rasa dia juga menyukainya.
Sebuah ulas wajah yang mungkin terlalu lembut dan halus untuk dilupa. Sehingga setiap malam menjelang tidur, gurat wajahnya, senyum manisnya dan teduh matanya selalu saja menemaniku menjelang tidur. Terkadang juga hadir di dalam tidur. Jatuh cintakah aku? Aku juga tidak memahaminya. Aku tidak berani menduga, tidak pula berani berharap terlalu banyak. Yang jelas aku menikmatinya, aku menyukainya. Menyukai lembut sifatnya, menyukai senyum manisnya, menyukai kebersamaan dengannya. Dan tentu saja menyukai hari Minggu.

***

Aku sangat menyukai hari Minggu. Terutama di waktu pagi. Dulu, sekarang dan mungkin untuk selamanya.
Aku tahu semua hari itu bagus, aku paham dan percaya tak ada hari yang sial. Tetapi aku rasa tentu ada hari yang istimewa. Ketika orang muslim memuliakan hari jum’at. Kristiani ke gereja di hari Minggu. Dan aku menyukai Minggu bukan lantaran agama, tetapi aku menyukai hari Minggu karena di sana ada kebersamaan. Kebersamaan keluarga yang berolaharaga di Lapangan Dokter Murjani, kebersamaan muda-mudi, dan tentu saja kebersamaanku dengannya.
Aku tahu semua hari itu bagus. Dan aku juga tahu semua angka itu bagus. Minggu ini adalah Minggu ke-13 aku bersama dengannya. Angka yang sebagian orang menganggapnya sebagai angka sial. Tetapi seperti yang aku katakan sebelumnya. Semua hari bagus dan semua angka itu bagus. Maka, tak ada yang perlu dikhawatirkan ketika hari ini aku yakin adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Sampai sekarang aku masih tidak berani terlalu berharap, tidak pula terlalu berani memastikan perasaanku kepadanya. Termasuk aku yang belum menjawab pertanyaanku sendiri. Jatuh cintakah aku kepadanya? Bukankah tidak semua tanya harus dijawab. Bukankah sebuah tanya akan menjadi sesuatu yang istimewa ketika sulit dijawab. Bukankah sampai sekarang cinta itu misteri. Bukankah sampai sekarang cinta adalah sesuatu yang belum bisa didefinisikan maknanya. Maka, itu pulalah yang membuat cinta begitu istimewa dan belum ada tandingannya.
Tetapi Minggu ini aku akan mengungkapkan perasaan kepadanya. Rasa bahwa aku nyaman ketika bersamanya. Rasa bahwa aku suka dengan kelembutannya. Rasa bahwa aku tak ingin melewatkan satu Minggu Pagi pun tanpa bersamanya. Aku tidak suka menduga-duga atau mengira-ngira. Tetapi aku sudah hafal ia akan mejawab dengan tatapan yang lembut. Kemudian tersenyum lembut. Oh, wanita yang begitu lembut.

***

Dan apakah aku harus ragu kemudian menarik ucapanku bahwa ternyata memang ada yang namanya angka sial. Tentu aku tidak boleh terlalu cepat mengambil kesimpulan seperti itu. Tetapi yang jelas, baru saja Ayah menelpon. Dan beliau meminta aku untuk segera pulang. Sementara ini sudah sore Sabtu dan besok adalah Minggu ke-13. Hari dimana aku akan mengungkapkan persaanku. Hari dimana satu kali pun aku tak bisa meninggalkannya. Namun pula, perminataan Ayah bukan tanpa alibi. Kata Ayah, Nenek sakit dan aku harus pulang. Aku tahu bukan sekedar karena aku harus menghormati perintahnya, bukan pula karena memang sewajarnya sebagai seoarang cucu aku harus pulang karena puluhan cucu Nenek yang sudah datang menjenguk bahkan menginap. Tetapi jauh dari itu semua, aku adalah cucu kesayangan Nenek. Karena hampir setengah hidupku kulalui bersama Nenek. Bahkan aku lebih sering tidur di rumah Nenek daripada di rumahku sendiri.
Ketika aku di kampung dulu, aku memang sangat dekat dengan Nenek. Karena beliau sangat mengerti aku. Beliau juga sangat memahami aku. Dulu ketika Ayah mendengar aku menerima telepon mesra dari pacar pertamaku waktu SMA, beliau langsung marah dan menyita HP-ku. Kata beliau, aku harus mengutamakan sekolah dulu sebelum mengurusin wanita. Dan aku langsung mengadu kepada Nenek. Dengan entengnya Nenek pulang membawa HP yang tadi disita Ayah, kemudian menyerahkannya kepadaku. Nenek juga menyarankan agar aku sebaiknya menerima telepon ketika di rumah beliau saja. Dan semakin seringlah aku menghabiskan waktu di rumah Nenek. Dan beliau tidak pernah melarang aku berhubungan dengan wanita, tetapi beliau selalu menjelaskan bagaimana batasan dalam menjalani hubungan. Oh, Nenek! Sudah hampir tiga bulan aku tidak bertemu dengannya.
Dan bernarkah Minggu ke-13 ini angka yang sial. Sehingga di tengah aku ingin mengungkapkan perasaanku kepada gadis manis dan lembut yang sering bersamaku di Taman Idaman ini, aku malah diminta Ayah pulang, karena Nenek sedang sakit.
Hidup adalah pilihan dan bukan keputusan. Karena orang yang sudah memutus-kan sesuatu dalam hidupnya tidak bisa lagi memperbaiki keputusannya. Namun jika kehidupan adalah pilihan, maka pilihan tidak hanya satu, dan pilihan juga bisa berubah, kemudian pilihan bisa pudar dan hilang atau bahkan akan semakin menarik ketika muncul pilihan-pilihan lain. Maka aku memilih tetap berjalan sesuai rencana. Besok pagi aku akan lari pagi seperti biasanya. Mengungkapkan perasaanku kepada gadis yang lembut yang senyumnya manis dan tatapan teduh serta lembut itu. Kemudian setelah itu aku langsung pulang ke kampung, menjenguk Nenek. Dan menceritakan tentang gadis manis, lembut dan halus yang aku temui setiap Minggu pagi. Aku yakin Nenek pasti senang mendengar ceritaku. Seperti ketika aku bercerita tetang pacar pertamaku saat SMA. Nenek pendengar yang sangat baik, juga penasihat cinta yang baik.

***

Aku sangat menyukai hari Minggu. Terutama di waktu pagi. Dulu, sekarang dan mungkin untuk selamanya.
Aku sudah menyelesaikan putaran ke-13 di Lapangan Dokter Murjani. Karena hari ini Minggu ke-13 dan hari ini adalah pagi Minggu dimana aku ingin mengungkapkan persaanku kepada gadis manis yang lebut itu. Maka aku memutuskan untuk memutari Lapangan Dokter Murjani ini sebanyak tiga belas kali. Dan aku juga akan membuktikan bahwa tidak ada angka yang sial. Dan semua angka itu bagus.
Aku berlari menuju Taman Idaman, tempat di mana gadis itu duduk tertegun. Menatap lembut, kadang juga tersenyum lembut, halus keibuan. Aku melap keringat yang mengucur di keningku. Berhenti sebentar, kemudian menarik nafas sebentar, menetralkan detak jantung yang kian tak beraturan. Ah, ini sensasi yang luar biasa. Nenek pasti akan tersenyum mendengarnya, dan mengeluarkan sedikit nasihatnya, ketika nanti aku akan menceritakannya.
Ah, apakah aku harus percaya dengan angka sial? Karena tepat ketika aku tiba di Taman Idaman, di mana gadis itu sering duduk menatap lembut dan kadang memperlihat-kan senyum lembutnya. Kursi itu kosong. Ia tidak ada, dan ia tidak di sana. Apakah ia sakit? Atau ia belum tiba.
Aku memutuskan untuk menunggunya beberapa saat, mungkin ia belum tiba. Macet? Ah, ia kan biasa jalan kaki, ia juga lari pagi.
Hampir setengah jam aku menunggu, namun gadis itu tak juga muncul di hadapanku. Aku memilih untuk kembali ke lapangan Murjani. Menambah putaran lariku menjadi lima belas kali, tiga puluh kali, mungkin juga seratus kali. Sambil berpikir untuk mencari cerita menarik yang akan aku ceritakan kepada Nenek ketika pulang siang nanti. Karena cerita tentang gadis manis yang matanya lembut dan senyumnya manis itu akan kutunda pada Minggu berikutnya.
Ketika melewati sebuah jalan sepi di sekitar lapangan Murjani. Aku mendengar sebuah jeritan. Jeritan meminta tolong dan meminta ampun. Aku mencari asal suara, dan sepertinya di balik gang seberang sana. Aku cepat berlari ke sana. Kemudian aku hanya bisa terdiam, terpaku ketika gadis manis dan senyumnya lembut yang sangat aku kenali berada di sana. Bajunya kotor dan di tangannya sebuh balok kayu diangkat tinggi dan siap dipukulkan. Di hadapannya seorang wanita paru baya tersungkur meminta ampun. Kaleng gelas di tangan wanita tua itu terlempar ke selokan.
”Sial kau pengemis menjijikan,” mata gadis itu tak selembut biasanya, ”Kau sudah membuat aku terlambat, dan mengotori pakaianku. Nyawa kau saja tidak cukup membeli harga bajuku ini,” hardiknya.
Aku masih mematung melihat itu semua. Tiba-tiba pengemis tua itu menoleh ke arahku, ”Tolong aku….!” dan gadis manis itu juga menolah ke arahku. Terdiam, menurunkan balok kayunya. Tetapi aku malah berbalik, berlari sekencanganya, berlari, dan terus berlari menuju tempat kostku. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan di kost nanti, marah, menangis atau harus menertawakan diriku sendiri. Aku terus aja berlari. Dan ketika aku tiba di kost sebuah telepon dari Ayah masuk. Beliau meminta aku untuk segera pulang. Nanti siang Nenek akan dimakamkan.

***

Aku sangat menyukai hari Minggu. Terutama di waktu pagi. Dulu, sekarang dan mungkin untuk selamanya.
Di pusara Nenek aku tidak banyak meronta, tidak pula banyak bicara. Bahkan ketika semua orang sudah pergi, dan aku masih membenamkan lutut di gundukan tanah yang masih basah ini, aku juga masih diam. Mungkin Nenek tahu semuanya, dan aku tak perlu bercerita. Aku hanya perlu mengenang Nenek, dan mengingat semua nasihat Nenek. Kata Nenek, wanita itu sedingin air, sesejuk angin timur, tetapi air bisa seganas ombak, dan angin bisa sebuas badai yang menabrak.

Astambul, 23 September 2012.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/gadis-manis-nenek-dan-hari-minggu/10151550967963242

0 komentar: