Cerpen Hamberan Syahbana: Sastrawan Gila

21.20 Zian 0 Comments

Tadinya, sedikitpun tak pernah kubayangkan bahwa desaku ini jadi terkenal hanya karena ada yang selalu memperkenalkan dirinya sebagai Menteri Kesejahteraan Sastrawan. Itulah awalnya orang-orang menyebutya Sastrawan Gila. Dan hanya dalam waktu dua minggu ia sudah menjadi buah bibir di mana-mana.

Awalnya aku acuh saja tetapi lama kelamaan aku tertarik juga mencari tahu tentang orang itu. Bukan berarti aku mau ikutan tenar sebagai orang gila, tetapi semata-mata karena itu berkaitan dengan dunia sastra yang aku geluti saat ini. Akhirnya aku menemukan akun Menteri Kesejahteraan Sastrawan di media sosial fesbuk. Kuamati foto profilnya. Astagfirullah! Ini kan fotonya Sastrawan Gila itu? Meski ia memakai jas, berdasi, berkacamata putih dan berkumis tipis, tetapi aku kenal betul. Itu kan Rusmadiansyah? Meski ia mengaku tinggal di Karang Tumaritis tapi aku tahu betul ia tinggal di desa ini.
Diam-diam aku mulai peduli karena ada kaitannya dengan dunia sastra. Aku juga merasa aneh, sejak Presiden Soekarno sampai Presiden Jokowi belum pernah ada Menteri Kesejahteraan Sastrawan. Diam-diam aku pun membuat akun baru dengan nama Dewi Subadra dari Amarta. Aku sengaja memasang foto artis Bollywood dalam profilku. Akun ini kubuat khusus untuk menjalin pertemanan dengan Sastrawan Gila itu. Dan ia langsung nenerima permintaan pertemananku. Tentu saja ia mengira aku adalah seorang gadis cantik. Tak berapa lama kemudian aku membaca pemberitahuan di fesbuk, bahwa Sastrawan Gila itu akan mengamen puisi di kafe tenda langgananku malam minggu ini.
Aku berangkat dari rumah setengah jam lebih awal dan tiba di kafe sepuluh menit sebelum acara dimulai. Hampir semua kursi sudah terisi, hanya ada dua kursi yang masih tersisa. Satu di depan dan satunya lagi di pojokan. Ternyata yang di depan itu khusus buat Sastrawan Gila. Dua menit kemudian masuk Sastrawan Gila berbusana ala pejabat dengan busana jas biru gelap dan berdasi. Tanpa protokoler ia langsung memperkenalkan diri.
“Saudara-saudara perkenalkan saya adalah Menteri Kesejahteraan Sastrawan. Saya akan membacakan puisi karya saya sendiri. Ini saya lakukan untuk pengumpulan dana yang akan diserahkan kepada sastrawan buat menerbitkan buku secara indie.” Berikutnya ia mengeluarkan sejumlah buku dari dalam tasnya. “Nah inilah salah satu novel yang terbit dengan dana hasil mengamen puisi seperti saat ini. Judulnya adalah Mencari Cinta di Karang Tumaritis. Harganya hanya Rp. 35.000,- ditambah sumbangan operasional ngamen puisi Rp. 15.000,- totalnya jadi Rp. 50.000,-. Yang berminat silakan ambil sendiri dan uangnya taruh di kotak ini,” katanya sambil menaruh sebuah kotak di samping buku-buku itu.
Mulailah seorang demi seorang maju, aku pun ikut membeli novel itu. Ternyata novel itu karya Rusmadiansyah si Sastrawan Gila itu sendiri. Aku yakin disini tak ada seorang pun yang tahu bahwa Rusmadiansyah itu adalah nama asli dari Sastrawan Gila. Hampir semua yang ada di sini adalah sastrawan. Sebagian besar aku mengenal mereka. Kami saling senyum dan mengangkat tangan dari tempat duduk masing-masing.
Kini buku itu sudah habis terjual membuat Sastrawan Gila itu gembira karenanya. Tak lama kemudian tanpa pemandu acara ia berdiri dan membuka tablet tujuh inci yang sama dengan kepunyaanku, lalu membacakan satu demi satu puisi karangannya sendiri. Melihat keterampilannya menggunakan tablet ini, sedikitpun tak ada tanda-tanda kegilaan. Dibanding denganku dia lebih menguasainya. Perlahan tapi pasti ia mulai membacakan puisinya yang pertama.

Kepada Penjual Jamu Gendong yang Ada di Sana

Yayangku penjual jamu gendong yang rupawan
Gambarmu yang manis memukau dan menawan
di persimpangan jalan itu sudah lama diturunkan
Kucari kabarmu di angin petang tak ada jawaban
ternyata kau sudah duduk manis di gedung dewan.

Meski kau sudah duduk di sana teruslah kau menjual jamu manjur
Juallah jamu sarijujur
agar mereka tidak tergiur rayuan gombal
yang selalu datang menghibur
Dan bila datang bujukan halus
mereka tak akan tergiur

Juallah jamu galian kucing
agar mereka bisa menangkap tikus
agar mereka tak tergoda ikutan rakus
agar mereka tidak diam-diam berunding dengan tikus-tikus

Ternyata ia bukan hanya terampil membaca puisi, tetapi ia juga menguasai teknik vokal dalam berorasi. Ia tahu betul kapan saatnya harus bersuara lembut dan syahdu, miris merintih, menggugah dan menyentuh nurani, dan kapan saat harus keras nyaring melengking berapi-api dan dahsyat menggelegar. Semua hadirin terpukau.
Ia membaca berturut-turut puisi yang berjudul Kepada Penjual Jamu Gendong Yang Ada di Sana, Sajak Sastrawan Kepada Istrinya Yang Hamil Tua, Di Bawah Pohon Kasturi Kita Memadu Janji.
Dari awal sampai akhir tak henti-hentinya terdengar riuh tepuk tangan yang meriah di akhir setiap puisi yang dibacakannya. Lebih-lebih lagi di akhir puisinya yang terakhir. Tak ada seorang pun yang tak ikut bertepuk tangan. Tidak kurang dari seperempat jam terdengar tepuk tangan. Sampai akhirnya mereka puas sepuas-puasnya.
Kini kafe itu sudah mulai tenang setenang-tenangnya. Namun tiba-tiba saja salah seorang hadirin mengangkat tangan.
“Pak Menteri, boleh nanya nggak?”
“Ya boleh lah. Memangnya Anda mau nanya apa?” jawabnya senyum-senyum ceria.
"Pak Menteri? Apa maksudnya beda status beda juga pembinaannya.”
“O itu? Ada yang dibina cukup diberi pelatihan saja. ada yang dibantu menyalurkan karya-karyanya ke media-media, ada juga yang dibantu memasarkan hasil karyanya, dan ada juga yang diberi Tunjangan Profesi Sastrawan. Ada lagi yang mau nanya?”
“Ya ada Pak Menteri,” sahut salah seorang hadirin.
“Ya silakan.”
"Apa Program Bapak seratus hari pertama Pak?”
“Pertama-tama akan mendata sastrawan yang memilih dunia sastra sebagai profesi. Berikut membagi menjadi kelompok sastrawan yang sudah sejahtera, yang pra sejahtera dan yang belum sejahtera.”
"Kenapa dikelompokan berdasarkan kesejahteraannya Pak?
“Ya, karena beda status kesejahteraannya beda juga program pembinaannya.”
“Konkretnya bagaimana Pak?”
“Pertama kami minta kepada semua media cetak agar menyediakan ruang khusus buat memuat karya penulis-penulis potensial. Sebagai konpensasinya akan diberikan subsidi khusus buat membayar honor penulisnya. Kedua kami menjalin kesepakatan kerja sama dengan beberapa penerbit untuk menerbitkan buku-buku karya penulis yang kesulitan menerbitkan karyanya. Ketiga kami akan membantu promosi, pendistribusian dan pemasaran buku-buku sastra yang diterbitkan secara indie. Keempat kami akan memberikan Tunjangan Profesi Sastrawan bagi penulis yang memenuhi syarat.”

***

Acara Ngamen dan Temu Sastrawan Gila di kafe itu sudah selesai beberapa jam yang lalu. Aku pun sudah pulang ke rumah. Kini saatnya aku mau tidur, tetapi ada yang aneh. Sudah berjam-jam kenapa mata ini tak mau terpejam juga. Tubuhku ada di pembaringan tetapi hatiku masih berada di kafe itu. Yang mengusik pikiranku sekarang adalah Sastrawan Gila yang sedikit pun tak nampak seperti orang gila itu punya gagasan yang begitu cemerlang. Di samping itu sampai saat inipun belum pernah bahkan tak pernah ada yang namanya Menteri Kesejahteran Sosial. Jangankan ada menterinya, insitusi yang mengurusi seni budaya yang ada pun tak pernah ada yang begitu memperhatikan nasib dan kesejahteraan Sastrawan. Padahal pekerja sastra itu jelas-jelas telah mencurahkan segenap pikirannya guna memberi asupan rohani dan mencerahkan pembacanya. Itu adalah pekerjaan yang sangat mulia yang ikut mencerdaskan dan mencerahkan wawasan masyarakat. Sudah sepantasnya diapresiasi dengan apresiasi yang setimpal.
Tiba-tiba saja aku menyesal, kenapa tadi tidak ikut bertanya. Padahal banyak hal yang ingin kutanyakan. Salah satunya adalah bagaimana cara untuk mendapatkan Tunjangan Profesi Sastrawan itu. Berapa besarnya tunjangan per bulan. Adakah Kartu Jaminan Kesehatan Sastrawan? Apakah sastrawan bisa menjadi profesi yang menjanjikan seperti PNS? Astagfirullah! Kenapa aku harus bertanya kepada orang gila? Kenapa aku harus memercayaiya? Itu sama saja aku ikut gila kan? Tidak! Aku tidak mau disebut Sastrawan Gila II. Tapi aku harus mengakui ternyata brilliyan juga ide dan gagasannya. Sayangnya itu hanya ada dalam pikiran Sastrawan Gila itu.

***

Kini peristiwa di kafe itu sudah seminggu berlalu. Tiba-tiba saja akun Menteri Kesejahteraan Sastrawan itu tak ada lagi di media sosial fesbuk. Bahkan papan nama WARUNG SASTRAWAN GILA yang biasa ditemui di warung makan sepanjang jalan Trans Kalimantan yang melewati desa Kuranji ini, juga ikut lenyap begitu saja. Kini ia tak pernah lagi nongol di warung-warung. Bahkan di warung-warung saat sarapan pagi sedikitpun tak ada yang berani membicarakannya. Sepertinya ada tekanan dan larangan dari pihak berwajib. Atau ada ancaman serius dari pihak keluarga.
“Sekarang warung sepi,” bisik pemilik warung saat aku sarapan.
“Kenapa Bu?” tanyaku bingung sambil menikmati kopi hangat yang kupesan.
“Ya, karena Sastrawan Gila itu menghilang begitu saja. Padahal biasanya warung ini selalu ramai jam-jam seperti ini. Tidak seperti sekarang. Hanya ada dua tiga orang saja.”
“Sebenarnya ke mana sih dia itu Bu?”
“Kata orang-orang sekarang ia disekap di rumah untuk menutup aib dan menjaga martabat keluarga.”
Ternyata yang menyukai Sastrawan Gila itu pada umumnya adalah pemilik warung makan. Karena keberadaan Sastrawam Gila itu membuat kendaraan keluarga selalu singgah di warung yang ada tulisan SASTRAWAN GILA itu. Tentu saja mereka ingin tahu berita itu langsung dari warga di sini. Akibatnya sekarang hampir semua yang singgah yang ada di sini jadi kecewa karenanya. Bahkan ada yang sudah gulung tikar.
Diam-diam aku mulai kangen dengan ide-idenya yang sangat cemerlang itu. Aku mulai mempertimbangkan untuk menemuinya. Beruntung sekali rumah kami berdekatan hanya dibatasi sebidang sawah. Rumahnya ada di sebelah sawah kami. Jadi kapan saja aku bisa mendekati rumahnya dengan berpura-pura merawat dan membersihkan sawah. Di samping itu jendela yang menghadap ke sawah itu adalah jendela kamar Sastrawan Gila. Jendela itu tepat berseberangan dengan jendela kamarku. Jadi kalau sekali waktu ia berdiri di balik jerajak jendela aku bisa melihatnya. Tapi aku ragu, apakah aku akan melihatnya di jendela itu? Bukankah sekarang ia sedang disekap? Jangan-jangan jendela itu juga sudah disegel dari dalam.
Malam ini aku bingung. Kenapa aku jadi kangen pada Sastrawan Gila itu? Padahal ia itu bukan temanku. Kami hanya bertetangga satu RT yang sesekali bertemu saat sarapan pagi di warung, yang juga sesekali bertemu saat menghadiri undangan selamatan dan walimah perkawinan anak tetangga. Barangkali pertemuan di kafe itu adalah pertemuan pertemuan terakhir. Bisa jadi kan? Tetapi aku ingin itu bukan pertemuan terakhir. Karena aku yakin tentu masih banyak lagi ide dan gagasan cemerlang yang belum terungkapkan. Atau barangkali aku dapat menemuinya lewat dunia maya. Semoga saja akun Menteri Kesejahteraan Sastrawan itu tidak diblokir seperti dugaanku selama ini.
Kubuka laptopku langsung berlayar di dunia maya. Akun Sastrawan Gila itu tak ada. Kucari di daftar pertemananku juga tak ada. Padahal aku tak pernah mendeletnya. Berarti akun itu memang benar-benar sudah diblokir. Barangkali saja karena akun itu mengatas namakan Menteri meskipun hanya menteri semu yang tak pernah ada. Barangkali itu bisa dianggap menghina institusi negara. Akun itu pasti sudah didelet dan danggap sampah.

***

Sudah berbulan-bulan lebih aku tak melihat Sastarawan Gila lagi. Besar dugaanku ia bukan hanya disekap barangkali kakinya juga dipasung dan digembok. Aku jadi sangat prihatin pada keadaannya. Pagi ini aku sengaja memperhatikan jendela kamar Sastrawan Gila itu. Sudah berjam-jam aku memantau jendela itu dari kejauhan, tetapi tetap saja tertutup. Aku jadi penasaran ingin cepat-cepat ke rumahnya. Dengan sedikit keraguan kulangkahkan kaki di sepanjang pematang, lalu aku turun ke sawah. Tak perduli apakah mencurigakan atau tidak? Yang penting secepatnya bisa sampai di tepi sawah di sebelah sana, dengan harapan barangkali bisa mendengar jeritan dan keluhan Sastrawan Gila itu. Aku mendekati rumah itu. Mulailah aku memasang telingaku untuk mendengarkan kalau-kalau ada suara dari kamar di balik jendela itu. Ternyata benar, terdengar jeritan dan erangan histeris dari balik jendela.
“Aku tidak gila! Aku tidak gila! Kalianlah sebenarnya yang gila! Sungguh tega kalian menyebutku Sastrawan Gila. Aku bukan sastrawan! Memang dulu ingin jadi sastrawan, tetapi selalu gagal. Berpuluh-puluh bahkan beratus cerpen dan puisi yang aku kirim, tetapi selalu saja tak ada media yang memuat tulisanku”
Tak lama kemudian jendela itu mulai terbuka. Nampak seseorang dengan wajah kusut masai, kurus tak terurus berpakaian lusuh dan dekil. Tak salah lagi, itu pasti si Sastrawan Gila. Aku mengeluarkan ponsel dan mulai merekamnya. Dia berdiri dibalik jerajak jendela seperti tahanan dibalik jeruji besi. Ia berteriak-teriak sambil memandang ke arahku. Matanya tajam menyorot, ia lagi-lagi berteriak histeris.
“Hei! Kenapa aku dipenjarakan di sini? Ini kan khusus untuk koruptor? Aku bukan koruptor. Aku hanya korban konspirasi tingkat tinggi. Aku hanya tumbal mafia bagi-bagi kursi. Semua kebocoran program anggaran di kementrian itu tidak pernah ada. Itu semua baru ada dalam proposal. Belum ada yang cair. Hei kalian semua yang ada di luar sana! Kenapa kalian kirim dokter jiwa yang ini. Aku minta pengacara bukan dokter jiwa.”
Masih terang dalam ingatanku, bulan lalu mengaku sebagai Menteri Kesejahteraan Sastrawan dengan gagasannya yang cemerlang membawa angin segar bagi sastrawan. Sekarang ia bilang hanya korban konspirasi tingkat tinggi. Padahal tadinya aku berharap akan mendengar gagasannya yang lebih cemerlang. Ternyata hanya ocehan tak bermutu. Namanya juga orang gila ocehannya memang tak ada yang betul. Lalu rekaman ini buat apa? Disebarkan di dunia maya? Tak elit rasanya kalau aku menyebarkan rekaman ini. Atau disimpan saja untuk sekedar kenangan. Buat apa? Diam-diam aku balik kembali ke rumah sambil menghapus semua yang baru kurekam tadi. Oh sastrawan gila yang malang. Sayangnya ide dan gagasan cemerlang itu bukan dari elit penanggungjawab kesejahteraan sastrawan.

Banjarmasin, awal Pebruari 2015.

Sumber:
https://www.facebook.com/hamberan.syahbana/posts/10205947232240435

0 komentar: