Cerpen Hamberan Syahbana: Cinta Penjaga Kubur
Tiap kali memandang batu-batu nisan ini, setiap kali itu pula aku teringat orang-orang yang kusayang. Mereka semuanya ada di sini. Di baris pertama, berdampingan di tengah itu adalah makam kakek dan nenekku, Di samping kiri nenek makam ayah dan makam ibuku, di samping kanan kakek berjejer julak dan acil-acilku. Di baris kedua paling kanan ada tanah kosong, yang itu dipersiapkan untuk aku, ya di sanalah nanti aku akan dikebumikan. Selanjutnya berjajar makam adikku, kakakku dan istrinya yang aku sayang. Selanjutnya sepupu-sepupu aku.Selebihnya aku tidak kenal lagi, kayaknya mereka itu orang lain, setidaknya keluarga jauh. Jadi alkah keluarga ini telah menjadi pemakaman umum. Artinya alkah ini telah menjadi wakap, kan? Pasti! Alhamdulillaah, berarti pahalanya juga akan mengalir terus sampai dunia kiamat.
Kalau melihat tanggal lahir dan tangal meninggal di nisan itu, seluruh keluargaku termasuk orang-orang yang pendek umurnya. Berarti aku juga …? Itu artinya aku harus mulai bersiap-siap. Kalau tidak? Tentu akan menyesal selama-lamanya. Maklum, aku kan termasuk dalam daftar tunggu? Aneh ya, masuk daftar tunggu kok bangga?
***
Beberapa hari ini aku teringat dan terus teringat hadist nabi yang dibacakan Ustadz di Mesjid itu. Aku ingat yang artinya, Nikah itu sunnahku kata Nabi, barang siapa yang tidak nikah maka mereka itu bukanlah orang-orangku. Aku kan belum nikah? Yang gitu-gitu sih sering. Berarti aku orang luar. Orang-orang yang diakui Nabi sebagai ummatNya dijamin pasti akan masuk sorga, walaupun ke neraka dulu, mendingan dari pada tidak masuk-masuk.
Siapa yang mau kawin sama aku? Aku kan sekarang tidak muda lagi? Dulu sih ada, tapi karena keburu dikawini kakaku, aku jadi … patah hati. Sudah beberapa hari ini aku merasa lesu. Pikiran kacau seakan-akan ada sesuatu yang bergerak-gerak di sudut-sudut kepalaku. Sementara di tengah kuburan yang sepi ini kudengar desau angin menghembus dedaunan puring dan kambat memanggil-manggil namaku. Kutengok kiri dan kanan, tak ada orang.
Kuambil parang pariwas yang menganggur sejak tadi, kusiangi rumput-rumput yang sabat di pekuburuan itu..Lalu pelan-pelan kukumpulkan sampah-sampah kering dan langsung kubuang ke tempat pembuangan sampah. Tak terasa bercucuran air mataku ketika membersihkan makam kakakku dan makam istrinya, pikiranku tak terasa melayang kembali ke masa lalu.
***
“Pokoknya kita harus meninggalkan kampung ini,” begitu katamu sore itu.
“Pergi ke mana? Dunia ini begitu sempit buat pelarian kita.”
“Pokoknya kemana saja, asal jauh dari kampung ini.”
“Aku tidak akan meninggalkan orang tuaku, kakakku, dan kampung ini Aku cinta kamu tetapi aku juga sayang kakakku.”
Kulihat kau cembrut, kau marah, kau mau nangis, lalu kau katakan,” Ah Abang ini bagaimana? Abang penakut, pengecut, tidak berani bertanggung jawab,” begitu katamu.
“Bertanggung jawab apaan? Aku kan tidak ngapa-ngapain kamu? Kau masih suci, buat apa bertanggung-jawab?”
“Abang ada hutang sama aku, Abang harus bayar dong,” pintamu kesal dan manja.
“Hutang apaan?”
“Hutang janjji! Janjji kawin, janji itu hutang. Jadi Abang harus bayar.”
“Tidak, tidak boleh begitu. Yang satu ini aku tidak sanggup membayarnya, biarlah kan kubawa sampai ke liang kubur.”
“Tapi Bang, bukankah lamaran itu untuk menjadi istri Abang? Kenapa tiba-tiba berubah menjadi calon istri kakak Abang? Mestinya Abang bilang bahwa Abang sangat mncintai Juwita.”
“Juwita kan tahu sendiri? Bahwa kakakku itu belum kawin, dan aku tidak boleh melangkahi. Sayangnya kakakku tertarik akan kecantikan dan sopan santunmu, jadinya aku …”
“Pak Sabri, tolong pak.” Eh sejak kapan Juwita menyebutku Pak Sabri? Namaku memang Sabri Hermayadi, tetapi Juwita tidak pernah memanggilku Pak Sabri. Aku terkejut tiba-tiba, ternyata itu bukan Juwita, tetapi salah seorang peziarah yang memintaku membacakan doa untuk seseorang di dalam sana.
“Melamun ya? Ah Pak Sabri, yang sudah tidak usah dikenang lagi.”
“Oh, ya,” ternyata orang ini Pak Rusli bersama dua anaknya yang masih kecil-kecil. Orang ini tahu betul kisah masa laluku, ya hanya dia satu-satunya remaja waktu itu yang mengetahui jalinan asmara antara aku dan Juwita.
Sesaat kemudian kumulai pembacaan doa buat almarhumah istrinya di alam sana, mereka pun turut mengaminkannya..Setelah selesai, ya seperti biasa ada amplop salam tempel alakadarnya. Sejak kepulanganku ke kampung ini, aku alih profesi dari pelaut menjadi penjaga kubur merangkap pembaca doa arwah.
“Bang, tolong Bang.” Suara itu, ya suara itu suara yang tidak asing bagiku.
“Juwita,” sapaku.
Langsung bergetar sekujur tubuhku. Kuamati dengan seksama, Masya Allah, ia Juwita. Dia benar-benar Juwita, wanita yang pernah menjadi pelabuhan cintaku. Wajahnya masih secantik dulu, senyumnya masih semanis dulu, dan manjanya juga masih yang dulu.
“Kau? Kau kah ini Juwita?,” tanyaku terbata-bata.
“Ya, Bang ini aku. Juwita Bang, Masa Aban tidak mengenaliku?” jawabnya sendu. “Katanya tidak akan meninggalkan kampung ini. Ternyata, buru-buru pergi juga. Kemana saja Abang selama ini? Juwita mencari Abang kemana-mana, baru sekarang ketemu,” wajahnya lirih penuh harap.
Kami sama-sama tertegun, tak ada suara, bicara hanya antara mata. Masing-masing tenggelam dalam gejolak batin membara.
“Bagaimana mungkin? Bukankah kau sudah meninggal?”
“Juwita masih hidup Bang.”
“Lalu? Yang ada di samping kakaku itu siapa?”
“Itu Juwita yang lain, Bang” Kemudian ia tertunduk. “Abang ada hutang sama Juwita, Abang harus bayar dong,” pintanya sama seperti dulu, kesal dan manja.
“Hutang apaan?”
“Hutang janji! Janji kawin. Abang harus bayar.”
“Terima kasih Ya Allah,” tanpa pikir panjang lagi aku langsung sujud syukur.
Seketika terdengar desau angin bersama alunan tasbih tahmid takbir dan shalawat di helai-helai daun puring. Sementara di langit biru ada iring-iringan jemaah terbang mengawal sepasang unggas pulang sarang. .
Banjarmasin, Juli 2009
Sumber:
SKH Banjarmasin Post, 26 Juli 2009
http://syahbanasastrapelangi.blogspot.co.id/2016/05/cinta-penjaga-kubur.html
0 komentar: