Cerpen Hamberan Syahbana: Begitu Ringan Ada Yang Keluar dari Ubun-ubunku

21.16 Zian 0 Comments

Aku bingung, ada sesuatu yang aneh pada Irawati belakangan ini? Dia agak lain dari biasanya? Kerjanya diam melulu, hampir tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Padahal dia biasanya periang.
“Kenapa kamu diam saja Ira? Abang tidak tahu apa maumu?”
E, sekarang dia malah tidak mau masuk kuliah. Wah gawat ini! Aku harus cari tahu. Tentu bukan soal SPP. Ia kan anak orang kaya? Setelah kudesak berkali-kali akhirnya mau juga ia masuk kuliah, padahal aku sempat takut kalau keterusan.

“Ada apa Ira? Kamu malu? Kalau kamu mau. kamu boleh putus sama aku.”
“Kenapa mesti malu? Kenapa mesti putus?” Alhamdulillah ya Allah. Dia tidak malu. Ternyata salah dugaanku selama ini.
“Teman Ira memang anak-anak orang kaya, tetapi tidak ada masalah. Kepintaran, kecerdasan bukan hanya milik orang kaya. Lagi pula kita tidak pernah membeda-bedakan status.”
“Lalu kenapa kamu mogok ngomong, sampai tidak masuk kuliah SEGALA?”
“Ngomong juga nggak ada hasilnya. Abang juga tidak akan mengabulkannya.”
“Siapa bilang? Apapun yang kamu minta pasti Abang kabulkan.”
“Benar?”
“Iya, minta aja.”
“Ira minta kawin, Ira mau cepat-cepat kawin.”
“Astagfirullah, apa-apaan ini? Kawin? Kawin dengan siapa?” tanyaku keheranan.
“Ya kawin dengan Abang lah, masa kawin dengan orang lain.”
“Lho? Kan kuliahku belum selesai? Lagi pula aku juga masih belum siap.”
“Nah tu kan? Bingung kan?”
“Ya bingung aja.”
Sejujurnya aku juga mau cepat-cepat kawin. Siapa sih yang nggak mau sama Ira? Orangnya cantik, pandai, anak orang kaya lagi, tetapi aku belum siap. Aku belum siap secara mental, lebih-lebih lagi secara financial, lagi pula aku belum punya pekerjaan tetap. Gini-gini aku juga tipe lelaki yang bertanggung jawab.
“Udah, nggak usah dipikirkan. Soal kerja kan? Ah itu gampang. Nanti Ira minta jabatan manajer buat Abang. Jadi kerja jalan, kuliah juga jalan. Gampang kan?”

***

Aku hanyalah anak petani gurem. Hasil sawah keluarga kami tidak cukup untuk makan satu tahun. Untuk menambah penghasilan, kami biasa nyambi-nyambi jadi buruh tani. Pokoknya kerja serabutan, apa saja asal dapat duit. Untungnya aku diberi kecerdasan yang memadai, sehingga aku selalu juara kelas dan selalu mendapat bea siswa sejak SMP sampai sekarang. Saat ini aku kuliah di Banjarmasin, hidupku tetap seperti dulu. Di kota ini aku kerja apa saja asal bisa dapat duit. Termasuk diantaranya jadi tukang ojek. Lucu ya, mahasiswa kok tukang ojek?
Yang lebih lucu lagi, masa cewe tercantik di kampus ini minta dikawini. Nah, sekarang jadi ngga lucu kan? Ada apa ya? Padahal tampangku biasa aja, nggak keren-keren amat. Apa maunya sih?
“Wah gawat nih,” kata Fani teman sekamar di kontrakanku. “Kamu sudah itu? Kecelakaan ya?”
“Kecelakaan apaan? Aku lelaki baik-baik. Pantang berbuat sebelum menikah.”
Wah, itu lebih gawat lagi! Siapa tahu ini suatu jebakan? Atau bisa saja ini sebuah persekongkolan. Orang lain makan nangkanya aku yang dapat getahnya. Kecurigaan Fani ini memang terlalu berlebihan, tapi ada benarnya juga. Aku makin bingung. Jebakan apa? Persekongkolan apa? Atau sebaiknya kutunggu saja beberapa bulan lagi sampai dapat dipastikan bahwa tidak ada yang perlu dicurigai lagi.

***

Beberapa bulan kemudian dapat kupastikan bahwa keadaan Ira aman-aman saja, dia tidak hamil. Padahal tadinya kepalaku sempat pusing tujuh keliling. Sekarang aku harus mempersiapkan biaya perkawinan. Biasanya sehabis jam kuliah kami selalu istirahat bareng di kafe kampus. Sekarang? Aku harus cari duit yang banyak. Aku bingung mencari tempat pangkalan ojek yang bisa dapat duit banyak. Di mana ya? Oh ya di depan hotel itu, biasanya para ladies suka bayar mahal.
Ini adalah hari pertama aku ngojek sampai malam, lumayan juga pendapatanku. Hasil bersih tarikan siang tujuh puluh ribu dan hasil tarikan malam juga tujuh buluh ribu, jadi total hari ini seratus empat puluh ribu, bersihnya seratus sepuluh ribu rupiah, alhamdulillah. Lumayan buat menambah tabungan. Sebulannya Rp. 110.000,- x 30 hari jadi Rp. 3.300.000,- Kalau sampai empat bulan, 4 bulan X Rp. 3300.000,- totalnya Rp. 13.200.000,- Waw! Cukup buat selamatan kawin sederhana. Kekuranganya ditutup oleh keluarga Ira. Jadi perkawinanku itu nanti tidak 100% modal dengkul kan?
Sampai hari ke tujuh penghasilanku berjalan lancar, rata-rata Rp. 110.000,- per hari. Tetapi pada hari ke delapan terjadi penurunan tajam. Penyebabnya adalah cuaca yang tidak mau kompromi. Dari pagi sampai sore hujan melulu, akibatnya para ladies itu demi keamanan cuaca, mereka lebh suka beralih ke taxi argo. Atau ke taxi on line. Imbasnya aku kehilangan langganan setia. Bahkan tidak jarang aku hanya dapat sepuluh ribu. Sekarang sudah pukul sembilan malam aku hanya dapat Rp. 30.000,- Pokoknya aku tidak akan pulang sebelum membawa duit seperi biasa, Sial! Betul-betul sial malam ini. Masa sih tidak ada ladies yang naik ojek? Semuanya beralih ke taxi argo yang biasa mangkal di depan hotel.
Hujan ini sepertinya tak akan berhenti. Bosan menunggu, aku menyisir sepanjang jalan menoba mencari tarikan lain. Barangkali saja ada yang mau naik ojek. Setiap ada orang di tepi jalan langsung kudekati. Tapi memang dasar tarikan lagi sepi, ya mau bagaimana lagi? Bosan keliling-keliling aku istrahat lagi di depan hotel sambil menunggu tarikan. SMS dari Fani sudah berkali-kali masuk ke HPku, “Kamu kapan pulang?” kujawab, ”sebentar lagi”.Lalu ”Kamu dimana?” kujawab “ Masih di jalan” Saking lelahnya aku tertidur dan baru terbangun pukul dua malam. Aku cepat-cepat pulang, kepalaku terasa berat. Siangnya aku terpaksa tidak masuk kuliah, istrahat di rumah. Pukul tiga menjelang sore baru aku pergi ke pangkalan ojekan.
Malam ini hujan turun lagi, masih sama seperti malam kemaren, jadinya tidak ada tarikan. Ladies-ladies itu lebih suka naik taxi argo. Maklum jaga penampilan, takut basah. Dan yang sangat menyakitkan tiba-tiba kepalaku pusing lagi, terasa berat lagi, sakit lagi. Kalau begini terus, bagaimana bisa dapat duit?
Sebenarnya Ira tidak tahu, aku begini cari duit buat selamatan perkawinan nanti. Aku tidak mau orang tuaku menggadaikan sawahnya hanya buat biaya selamatan perkawinan. Dan aku juga tidak mau biaya selamatanku ditanggung Ira. Gengsi ah, masa aku mau enaknya saja.
Waduh gerimis ini sudah jadi hujan lagi, guntur dan halilintar saling kejar saling sambar. Aku batuk-batuk, ludahku terasa asin dan katika meludah ada warna merah. Waw! Darah! Dengan sisa tenaga yang ada aku segera pulang. Sesampainya di rumah aku langsung pingsan.

***

Perlahan kubuka mata, di depanku berdiri bidadari cantik. Ada air mata meleleh di pipinya. Lalu dia duduk di tempat tidurku. Aku bingung ada di mana?
“Alhamdulillah, akhirya kamu siuman juga.” E ternyata bidadari itu adalah Ira. “Gara-gara Ira kamu jadi begini. Kamu tidak seharusnya menarik ojek sampai larut malam Kan Ira sudah bilang, semuanya sudah beres. Abang cukup siapkan diri saja, jaga kesehatan. Itu saja. Lagian janin ini sudah aman, sudah tidak ada lagi,” katanya keceplosan. Kulirik wajahnya langsung pucat, ia jadi serba salah.
Aku terkejut bagai disambar petir di tengah hari. Masya Allah, hal yang tidak kuinginkan akhirnya terjadi juga. Ira benar-benar abortus. Itu bayi siapa? Dadaku berdebar, lalu nyeri, nafasku semakin sesak. Suara Ira terdengar menjauh dan akhirnya menghilang.
“Apakah sudah ada yang menghubungi keluarganya?” sayup-sayup kudengar seseorang bertanya.
“Sudah,” jawab yang lain.
Tiba-tiba saja ada seseorang yang membisikan sesuatu di telingaku, begitu ringan kuiringi suara itu kuikuti pelan-pelan, begitu ringan pula perlahan ada sesuatu yang keluar dari ubun-ubunku.

Banjarmasin, Agustus 2009

Sumber:
https://www.facebook.com/hamberan.syahbana/posts/10205938996594549

0 komentar: