Esai Jamal T. Suryanata: Dunia Cerpen Banjar: Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
/ 1 /DALAM tradisi penulisan sastra Banjar, cerita pendek (cerpen) atau kisah handap (kisdap) merupakan suatu fenomena baru karena memang baru muncul kira-kira sejak pertengahan dekade 70-an silam. Dibandingkan dengan tradisi penulisan puisi, terutama jika dilihat dari segi kuantitasnya, tradisi penulisan cerpen Banjar sangatlah jauh tertinggal. Hingga tahun 2000 yang lalu, ketika saya melakukan penelitian, jumlah cerpen Banjar yang ada (baca: sejauh yang dapat dapat lacak) tidak melebihi 50 judul dan ditulis oleh 30 pengarang. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa para pengarang cerpen Banjar bukanlah tipe penulis yang produktif.[1]
Akan tetapi, kendati dengan kondisinya yang cenderung ”menyedihkan” itu, menarik untuk dicermati perkembangan estetisnya selama lebih-kurang dua dasawarsa (1980—2000) tersebut. Namun, menyangkut perkembangan estetisnya, ruang lingkup pembicaraan itu jelaslah terlalu luas. Maka, dalam tulisan ini hanya akan dibahas pokok masalah yang terkait dengan aspek kebahasaannya. Atau, jika ingin dikerucutkan lagi, risalah singkat ini hanya akan membicarakan beberapa ciri estetisnya yang diasumsikan sebagai fakta-fakta pendukung pernyataan bahwa ”dunia” cerpen Banjar selama kurun waktu tersebut masih berada dalam ketegangan kultural antara kelisanan (orality) dan keberaksaraan (literacy).
/ 2 /
Bahasa merupakan medium sastra, demikianlah kenyataannya. Karya-karya sastra tak akan pernah lahir tanpa bahasa. Dalam uraian dan penelitian modern, sebagaimana dikemukakan Teeuw, eratnya hubungan antara ilmu sastra dan bahasa semakin ditekankan. Para ahli sastra semakin jelas keinsafannya bahwa sastra pada umumnya, puisi pada khususnya, adalah semacam penggunaan bahasa. Fungsi sastra atau fungsi puitis dianggap sebagai salah satu fungsi bahasa (poetic function of linguage), di samping fungsi-fungsi lainnya. Hal ini, antara lain, lazim dinisbahkan dengan penggunaan istilah literary competence (dalam ilmu sastra) yang segera mengingatkan kita pada konsep competence-performance (dalam ilmu bahasa) seperti yang umum dipakai oleh kalangan penganut Linguistik Transformasional (aliran yang dikembangkan oleh Noam Chomsky).[2]
Sejalan dengan pernyataan di atas, di samping sering dikatakan bahwa sastra adalah dunia dalam kemungkinan, sastra juga merupakan dunia dalam kata (world in word). Dalam kaitan ini, Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa bahasa dalam seni (sastra) dapat disetarakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, atau sarana yang diolah sedemikian rupa untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekadar bahan itu sendiri. Jadi, di satu sisi bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra, di sisi lain sastra lebih dari sekadar bahasa atau deretan kata. Namun, nilai lebihnya itu justru hanya dapat diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya, yakni fungsi komunikatif.[3]
Dengan demikian, dalam usaha mengungkapkan aspek bahasa dan gejala kebahasaan dalam karya-karya cerpen Banjar, jelas bahwa pembicaraan ini tidak bisa lepas dari masalah-masalah yang bersifat linguistis —di samping dalam keterkaitannya dengan persoalan estetika sastranya, tentu saja. Bahkan, masalah tersebut tampak lebih menonjol oleh karena beberapa pertimbangan praktis. Dalam konteks ini, permasalahan utama yang dapat ditangkap dan paling mudah diamati terutama berkaitan dengan bidang kajian sosiolinguistik. Namun, sebagai salah satu ragam sastra daerah —yang bahasa Banjar merupakan mediumnya— dan sekaligus hidup berdampingan dengan sastra Indonesia, hal yang paling kentara terutama menyangkut berbagai gejala yang mungkin terjadi akibat persinggungannya dengan bahasa Indonesia.
/ 3 /
Berdasarkan pengamatan atas kenyataan yang ada, dapat kita ketahui bahwa dewasa ini hampir semua suku bangsa di Indonesia —termasuk masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan— sudah menjadi masyarakat bilingual, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang kini sudah memasuki golongan multilingual. Sebagai salah satu kelompok dwibahasawan, dapat dipastikan bahwa para pengarang (sastrawan) Banjar merupakan komunitas elitis yang memiliki kemampuan linguistis relatif berimbang antara penggunaan bahasa daerah di satu pihak dan pemakaian bahasa nasional (Indonesia) di pihak lain dalam tindak komunikasi mereka sehari-hari.
Dalam berbagai kesempatan dan keperluan komunikasi, hampir semua orang Banjar kini dapat secara alih-alih menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Banjar. Dengan demikian, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan, kemungkinan munculnya gejala sosiolinguistis berupa alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) cenderung sudah tak terelakkan lagi. Bahkan, melihat kedekatan persentuhannya dengan bahasa Indonesia, kemungkinan terjadinya pengaruh tertentu dari unsur-unsur bahasa Indonesia ke dalam bahasa Banjar merupakan gejala yang sudah sangat umum dalam khazanah sastra Banjar modern. Gejala tersebut terutama jelas terlihat pada tataran kosakatanya (dalam beberapa cerpen juga terjadi pada tataran sintaksisnya), meskipun sangat mungkin pula terjadi pada tataran fonologi maupun morfologinya.
Jika kita telaah berdasarkan tingkat kemurniannya, sesungguhnya agak sulit untuk menemukan karya-karya cerpen Banjar yang penggunaan bahasa Banjarnya benar-benar murni, tanpa masuknya pengaruh bahasa Indonesia. Sebab, secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa Banjar dalam cerpen-cerpen Banjar yang ada selama ini sedikit-banyak masih tampak dipengaruhi oleh unsur-unsur bahasa Indonesia. Keterpengaruhan tersebut bukan hanya menonjol dari segi penggunaan sejumlah kosakata bahasa Indonesia dalam karya-karya cerpen Banjar, melainkan juga —untuk cerpen dan cerpenis tertentu— dari segi struktur bahasanya. Jika persoalan ini kita pilah-pilah berdasarkan intensitas masuknya unsur-unsur bahasa Indonesia ke dalam bahasa (cerpen) Banjar, secara garis besar karya-karya cerpen Banjar yang ada selama ini dapat dikelompokkan menjadi dua golongan; pertama, karya-karya yang memperlihatkan tingkat pengaruh bahasa Indonesianya relatif tinggi dan, kedua, karya-karya yang tingkat pengaruh bahasa Indonesianya relatif rendah.
Kendati ada indikasi bahwa pengelompokan tersebut lebih didasarkan pada faktor senioritas atau jam terbang kepengarangan, tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa tidak semua pengarang senior akan selalu menghasilkan karya-karya yang berkualitas baik —konsep ”baik” dalam konteks ini terutama mengacu pada aspek kemurnian penggunaan bahasa Banjarnya. Sebab, ada fakta yang menunjukkan bahwa dalam beberapa karya para pengarang senior justru “lebih parah” tingkat pengaruh bahasa Indonesianya daripada beberapa karya pengarang muda tertentu. Namun demikian, secara umum cerpen-cerpen yang termasuk dalam golongan pertama (baca: karya-karya yang memperlihatkan tingkat pengaruh bahasa Indonesianya relatif tinggi) memang lebih didominasi oleh karya-karya pengarang muda yang notabene kurang berpengalaman dalam proses kreatif penulisan cerpen Banjar. Bahkan, beberapa di antaranya justru dapat dikatakan sebagai kelompok penulis pemula atau baru memasuki tahap belajar.
Ditinjau dari segi penggunaan kosakata bahasa Indonesianya, dalam teks-teks cerpen Banjar yang ada memang memperlihatkan tingkat yang bervariasi. Kenyataan ini, paling tidak, tampak dalam belasan cerpen yang —berdasarkan kategori tingkat keterpengaruhan tersebut— termasuk dalam golongan pertama. Taksiran kuantitatif penggunaan kosakata tersebut tentu saja tidak serta-merta akan menunjukkan kurangnya penguasaan bahasa Banjar para pengarangnya karena hal itu juga ditentukan oleh faktor panjang-pendeknya teks cerpen masing-masing. Selain itu, masuknya unsur bahasa Indonesia ke dalam karya-karya cerpen Banjar juga tidak selalu dalam bentuk serapan seutuhnya (kosakata bahasa Indonesia murni), tetapi bisa juga terjadi dalam bentuk serapan adaptatif (melalui proses “pembanjaran” kosakata bahasa Indonesia tertentu). Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan, misalnya, kutipan paragraf dari cerpen “Salah Maartiakan” karya Muliani berikut ini.
Aku handak bangat manangis pas inya bulik, tapi aku tahu harga diri. Kada sudi aku dijadiakan hagan tempat palarian. Selama ini inya kada suah manyakiti hatiku. Aku ingat banar inya sangat sayang lawan aku, apalagi aku barada di ambang kahancuran karena kuitanku kada maharagu aku lagi. Inya hadir mambariku parhatian di saat kuitanku kada baharung. Aku bahasil dalam palajaran dan kawa manjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Unlam.Kutipan di atas merupakan salah satu contoh teks cerpen Banjar yang tingkat pengaruh bahasa Indonesianya sangat tinggi, di samping juga memperlihatkan gejala campur kode yang mungkin tidak begitu disadari oleh pengarangnya. Hanya dalam satu paragraf saja sudah terdapat puluhan kosakata yang diserap —baik dengan serapan murni maupun secara adaptatif— dari leksikon bahasa Indonesia. Kata-kata seperti harga diri, tempat, selama, sangat, apalagi, ambang, karena, hadir, dan saat merupakan bentuk-bentuk yang murni dipungut secara utuh dari khazanah bahasa Indonesia.
(Aku ingin sekali menangis ketika ia pulang, tetapi aku tahu harga diri. Tak sudi aku dijadikan sebagai tempat pelarian. Selama ini ia tidak pernah menyakiti hatiku. Aku ingat benar ia sangat sayang kepadaku, apalagi aku berada di ambang kehancuran karena orang tuaku tak memelihara aku lagi. Ia hadir memberiku perhatian di saat orang tuaku tak lagi mempedulikan. Aku berhasil dalam pelajaran dan bisa menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Unlam.)
Andai saja kata-kata semacam itu memang benar-benar tidak terdapat padanannya yang tepat dalam bahasa Banjar (seperti mahasiswa dan perguruan tinggi, misalnya), tentunya sang pengarang masih dapat melakukan adaptasi dengan cara membanjarkannya sesuai dengan kaidah-kaidah (khususnya menyangkut sistem fonologi dan morfologi) yang berlaku dalam bahasa Banjar. Bandingkan, misalnya, dengan kata-kata seperti dijadiakan, palarian, manyakiti, banar, barada, kahancuran, mambariku, parhatian, bahasil, palajaran, dan manjadi dalam teks yang sama. Kata-kata tersebut merupakan beberapa contoh kata bentukan dari proses morfologis pembanjaran. Namun, sebagaimana tampak dalam kutipan di atas, pada kenyataannya terjadinya pengaruh tersebut bahkan bukan saja dalam wujud masuknya sejumlah kosakata bahasa Indonesia ke dalam teks cerpen Banjar, melainkan juga sudah menjurus ke arah penggunaan struktur kalimatnya. Hal ini dapat kita lihat dari bentuk terjemahan bahasa Indonesianya yang secara harfiah (baca: kata per kata) pun struktur kalimatnya tidak jauh berbeda dengan struktur kalimat pada teks aslinya yang (konon) berbahasa Banjar.
Kita perhatikan, misalnya, kalimat pertama yang berbunyi “Aku handak bangat manangis pas inya bulik, tapi aku tahu harga diri.” Dalam bentuk terjemahan harfiahnya ke dalam bahasa Indonesia (”Aku ingin sekali menangis ketika ia pulang, tetapi aku tahu harga diri”) sama sekali tidak terjadi perubahan dalam struktur sintaksisnya. Demikian pula yang terjadi pada kalimat kedua, “Kada sudi aku dijadiakan hagan tempat palarian” (yang dalam bentuk terjemahannya menjadi “Tidak sudi aku dijadikan sebagai tempat pelarian”), juga tidak mengalami perubahan dalam struktur sintaksisnya. Hal itu tentunya akan berlaku pula untuk sederetan kalimat lainnya dalam cerpen yang sama.
Maka, dalam kaitan ini, ada dua kemungkinan yang dapat disimpulkan. Pertama, sang pengarang tidak menguasai struktur kalimat bahasa Banjar yang lebih murni karena mungkin sudah tidak akrab lagi dalam pergaulan sehari-harinya. Kedua, struktur kalimat bahasa Banjar sama dengan struktur kalimat bahasa Indonesia oleh karena secara historis keduanya memang sama-sama berasal dari rumpun bahasa Melayu. Namun, kemungkinan yang kedua ini tampaknya kurang kuat oleh karena banyak fakta bandingan —khususnya dalam teks-teks cerpen Banjar lainnya— yang menunjukkan bahwa tata sistaksis bahasa Banjar tidak sama persis dengan tata sintaksis bahasa Indonesia.
/ 4 /
Gambaran masih kuatnya pengaruh bahasa Indonesia dalam tradisi penulisan cerpen Banjar juga terjadi dalam sejumlah cerpen lainnya, bahkan —dengan tingkat tertentu— juga tampak pada beberapa cerpen yang termasuk dalam golongan kedua (baca: karya-karya yang tingkat pengaruh unsur bahasa Indonesianya relatif rendah). Dalam cerpen berjudul “Sajampal Patirai” karya M. Sulaiman Nazam, misalnya, kita temukan sederet kosakata serapan adaptatif yang sesungguhnya masih mungkin dicarikan padanannya yang lebih mencerminkan kemurnian bahasa Banjarnya. Kata-kata seperti kadua urang, basahabat, marika, manunggu, sanang, dan saking nyaringnya barangkali akan lebih tepat (baca: lebih murni bahasa Banjarnya) jika diganti dengan bentuk inya badudua, bakawal bangat, bubuhannya, mahadang, himung, dan marga kanyanyaringan atau lantaran liwar hantapnya.
Dalam beberapa cerpen lainnya tidak jarang pula kita temukan kata-kata serapan yang kurang tepat (baca: kurang mencerminkan kemurnian bahasa Banjarnya). Sekadar contoh, mari kita cermati kata-kata semisal ini: sampai, malihati, batambah, pucat, bingung, parasaanku, kupaluk, taingat, kalihatannya, mau, akhirnya, kutika, sawaktu, balanja, licin, mandarita, ditutup, garimis, bakata, baputar, sahabis, parnah, langsung, tapi, masih, malarang, mahitung, campur aduk, dan lima balas.[4] Pilihan kata-kata tersebut tentunya akan lebih terasa nilai rasa kebanjarannya andai saja para pengarangnya bisa lebih jeli dalam memilih diksi yang lebih tepat. Misalnya, secara runtut, diganti dengan bentuk-bentuk seperti lacit, manjanaki, sasain, kalas, kapulingaan, pangrasaku, kuragap, taganang, pinanya, hakun, kaputingannya, wayah, rahatan, bawilanja, lincar, marista, dikantup, baribisan, baucap, baulai, limbah, suah, balalu, tagal, pagun, manangati, marikin, ramak-rampu, dan lima walas. Maknanya sama, tetapi deretan kata yang kedua ini terasa lebih Banjar dibanding dengan deretan kata yang pertama. Selain itu, sejumlah kosakata tertentu masih mungkin memiliki bentuk-bentuk sinonim yang dapat dipilih sebagai alternatif penggantinya.
Jika kasus semacam itu terjadi hanya pada bagian dialognya, bukan dalam narasi, tentu saja hal itu masih dapat dimaklumi. Pilihan bahasa dialog tentunya dimaksudkan untuk mempertahankan konteks cerita yang mungkin menuntut para tokohnya harus menggunakan bahasa Indonesia, misalnya, sehingga alur cerita terasa lebih hidup dan lebih mendekati realitas sosial yang direpresentasikannya.[5] Namun, jika masuknya unsur-unsur bahasa Indonesia tersebut terjadi dalam narasi yang notabene mencerminkan tingkat penguasaan bahasa Banjar pengarangnya, tentu saja hal itu harus dipandang sebagai suatu kelatahan. Kendati, memang, harus disadari pula bahwa masuknya unsur-unsur bahasa Indonesia ke dalam cerpen-cerpen Banjar merupakan salah satu konsekuensi semakin pesatnya perkembangan bahasa Indonesia yang sejak 18 Agustus 1945 telah resmi menjadi bahasa negara dan bahasa nasional di negeri ini.
Pesatnya perkembangan bahasa Indonesia seiring dengan pesatnya perkembangan pendidikan yang mensyaratkan digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Para pengarang —termasuk para sastrawan Banjar— tentunya merupakan kaum terpelajar yang secara langsung maupun tidak pernah menyerap bahasa Indonesia melalui jalur pendidikan, yakni ketika mereka belajar di bangku sekolah atau bahkan di perguruan tinggi. Dengan demikian, kiranya tidaklah mengherankan jika dalam karya-karya cerpen Banjar seringkali terlihat adanya unsur-unsur bahasa Indonesia, sebagaimana juga terjadi dalam tradisi sastra Jawa modern seperti yang diinformasikan dalam hasil penelitian Utomo dkk.[6] Hal itu mungkin terjadi karena para pengarangnya tidak mengetahui dengan pasti kata-kata yang tepat dalam bahasa Banjar ketika ingin mengungkapkan sesuatu (pikiran maupun perasaan) dalam karya-karyanya sehingga yang muncul kemudian justru kosakata bahasa Indonesia. Kemungkinan lainnya, boleh jadi, karena kemiskinan perbendaharaan kata dalam bahasa Banjar sendiri sehingga tidak ada pilihan lain bagi para pengarang kecuali dengan cara mengadopsi sepenuhnya kosakata bahasa Indonesia atau setidak-tidaknya dengan cara membanjarkannya.[7]
/ 5 /
Sebagaimana telah dikatakan di atas, di samping adanya kelompok cerpen yang tingkat pengaruh bahasa Indonesianya relatif tinggi, terdapat pula karya-karya cerpen Banjar yang tingkat pengaruh bahasa Indonesianya relatif rendah. Jika pengelompokan ini ingin lebih dipertajam, sesungguhnya kita masih dapat memilah-milahnya menjadi dua golongan lagi. Pertama, karya-karya yang penggunaan bahasa Banjarnya kurang murni. Kedua, karya-karya yang penggunaan bahasa Banjarnya lebih murni. Sekali lagi, klasifikasi ini terutama dilihat dari segi penggunaan kosakatanya.
Karya-karya yang termasuk dalam kategori kurang murni (penggunaan bahasa Banjarnya) tampaknya cukup dominan mewarnai khazanah cerpen Banjar yang ada selama ini. Cerpen-cerpen dimaksud antara lain berjudul “Aluh Hati’ah” (Adjim Arijadi), “Amun Tambus Hanyar Kawin” (Ian Emti), “Batandu” (Noor Aini Cahya Khairani), “Ingguk Anuman” (B. Sanderta), “Kai Iyus” (B. Sanderta), “Kambang Pambarian” (Sabrie Hermantedo), “Kaluku Tapilih Bangkung” (Y.S. Agus Suseno), “Pitua” (A. Rasyidi Umar), “Pitua Ma Haji Banjar” (B. Sanderta), “Rak Rak Gui” (Burhanuddin Soebely), “Sajampal Patirai” (M. Sulaiman Nazam), “Sapanjang Pamatang Panjang” (Syukrani Maswan), “Sawat Babulik” (Jaka Mustika), “Si Duri Rukam” (B. Sanderta), “Si Jek Siyup” (Sabrie Hermantedo), “Surapil Mauk” (A. Rasyidi Umar), “Tajajak Suluh” (Jakaria Kastalani), “Tambus nang Manyamani” (Abdus Syukur MH), “Taparukui” (M. Haderani Thalib), “Tihang Bamata Malingan” (Aria Patrajaya), “Tuhalus” (Abdul Majid bin Lazim), dan “Tuli Sarumahan” (B. Sanderta). Struktur sintaksis bahasa Banjar yang digunakan dalam cerpen-cerpen tersebut pada dasarnya masih relatif terpelihara. Namun begitu, jika kita perhatikan dari aspek kosakatanya, di sana-sini hampir selalu kita temukan adanya penggunaan sejumlah kosakata bahasa Indonesia, khususnya dalam bentuk serapan adaptatif. Untuk lebih jelasnya, mari kita cermati lagi kutipan paragraf dari cerpen bertajuk “Tuli Sarumahan” karya B. Sanderta di bawah ini.
“Dahulu, sudah ampat tahun labih, Pamilihan Umum diadakan Pamarintah,” ujar Pambakal Tundakan Hulu mulai maarahakan patugas Pantarlih nang ada di kampungnya. “Kapada patugas Pantarlih nang batugas mandaftarakan Calon Pamilih, diharapakan canggih!”Kutipan di atas jelas memperlihatkan masih adanya unsur-unsur bahasa Indonesia yang masuk ke dalam teks cerpen Banjar. Penggunaan kata-kata seperti pamilihan umum, pantarlih, mandaftarakan, maarahakan, dan patugas atau batugas tampaknya menunjukkan faktor “ketakterelakkan” linguistis bagi sang pengarang karena konteks ceritanya yang bertema sosial-politik kontemporer tersebut (suasana menjelang pelaksanaan pemilihan umum) memang menghendaki pemakaian istilah-istilah khusus semacam itu, di samping lantaran kosakata tersebut memang tidak terdapat dalam leksikon bahasa Banjar sehingga ia terpaksa harus membanjarkannya saja.
(“Dulu, sudah empat tahun lebih, pemilihan umum diadakan pemerintah,” kata Kepala Desa Tundakan Hulu mulai memberi pengarahan kepada petugas pantarlih yang ada di kampungnya. “Kepada petugas pantarlih yang bertugas mendaftarkan calon pemilih diharapkan canggih!”)
Namun, kendati sesungguhnya agak sulit untuk membedakan secara tegas, hal itu berbeda dengan sejumlah karya lainnya yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok cerpen dengan kategori lebih murni (penggunaan bahasa Banjarnya) dan yang secara kuantitatif terhitung cukup langka. Beberapa di antara yang sedikit itu adalah cerpen-cerpen berjudul “Aluh Campaka” (B. Sanderta), “Babini Pulang” (Sabrie Hermantedo), “Hayam Walik” (Ajamuddin Tifani), “Jabakan Kupi Kamandrah” (B. Sanderta), “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” (Y.S. Agus Suseno), “Karindangan” (Seroja Murni), “Latupan Cabi” (Abdus Syukur MH), “Lawang” (A. Rasyidi Umar), dan “Racun” (Y.S. Agus Suseno). Baik dari segi penggunaan kosakata maupun struktur kalimatnya, dalam cerpen-cerpen tersebut tampak sekali ada upaya para pengarangnya untuk secara serius mempertahankan kemurnian bahasa Banjar yang mereka gunakan. Sekadar contoh, perhatikan kutipan paragraf dari cerpen bertajuk “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” karya Y.S. Agus Suseno di bawah ini.
“Tuhuk haja sudah ulun baihtiar, ning-ay. Bilang parak saban malam ulun sumbahyang tahajut lawan istiharah. Sudah jua inya ulun pinta-akan banyu ka wadah urang alim. Suwah jua ulun umpani lawan bakas makanan itik, sakira inya tabulik. Naitu ti, sarat barian urang Bukit. Tagal, taharat anggit urang, saku-ah?”Juga kutipan paragraf dari cerpen “Karindangan” karya Seroja Murni ini.
(”Sudah cukup saja saya berikhtiar, Nek. Hampir tiap malam saya sembahyang tahajud dan istikharah. Dia pernah saya mintakan air-doa kepada orang pintar. Pernah pula saya beri makan dengan bekas makanan itik, supaya ia kembali. Itu petuah dari orang Bukit. Tapi, mungkin masih lebih ampuh punya orang?”)
Dasar anak urang nang paasian lawan kuitan, kada banyak bunyi kada, babaya libas baamin limbah baudu, mangunyur ka kamar. Aku gin kada kawa bakutik jua, rasa ringan manggawi nang sidin padahakan naitu.Dengan usaha pemurnian kosakata dan struktur bahasa Banjarnya sebagaimana tampak dari kedua kutipan di atas, tentu muatan warna lokal Banjarnya pun akan lebih terjaga. Bahkan, beberapa ungkapan dan pilihan katanya tidak mungkin dapat diindonesiakan secara harfiah. Istilah-istilah seperti anak urang, kada banyak bunyi kada, atau babaya libas baamin (dalam cerpen “Karindangan”) akan terasa sangat janggal apabila diterjemahkan menjadi ‘anak orang’, ‘tidak banyak bunyi tidak’, dan ‘begitu selesai beramin’ karena dapat merusak makna kontekstualnya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan struktur antara sistem morfologi maupun sintaksis bahasa Banjar dengan yang berlaku dalam kaidah bahasa Indonesia. Perbedaan tersebut akan menjadi lebih jelas jika kita bandingkan dengan warna kedaerahan yang nyaris terkikis dari akar budayanya seperti tampak dalam sejumlah cerpen yang disebut sebelumnya, yaitu cerpen-cerpen yang tingkat pengaruh bahasa Indonesianya relatif tinggi.
(Memang anak yang taat kepada orang tua, tidak banyak bicara, begitu selesai berdoa selepas berwudu, langsung masuk kamar. Aku pun seakan tak berdaya, serasa ringan melakukan apa saja yang beliau katakan tadi.)
Di samping tingkat pengaruh bahasa Indonesianya yang sangat rendah, dalam cerpen-cerpen yang penggunaan bahasa Banjarnya relatif murni itu terdapat satu ciri tambahan lagi yang turut memberinya “nilai lebih” sebagai karya sastra daerah, yakni digunakannya sejumlah peribahasa dan ungkapan tradisional Banjar. Secara literer, kehadiran unsur-unsur tersebut setidak-tidaknya telah memberi kekuatan tersendiri dalam membangun warna lokal atau rasa kedaerahannya. Dalam cerpen-cerpen “Aluh Campaka”, “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Daikung, Alam Kada Batawing”, “Karindangan”, dan “Racun”, misalnya, terdapat sejumlah peribahasa dan ungkapan khas masyarakat Banjar yang turut mendukung kekuatannya sebagai karya sastra daerah. Beberapa di antaranya adalah babustan, sindawa putih, sandu bakut, diam parang diam pisau, cucuk pata lawan habar, mambasuh siku, bacakut papadaan, kaya mambuang kalimpanan, kaya pantul lawan amban, nang kaya amas hanyar dituang, muha basungkam buntut mahambat, dan ambak-ambak bakut, sakali maluncat limpua hampang —yang jika diindonesiakan, sederet ungkapan dan peribahasa Banjar ini tentunya akan memerlukan uraian yang seringkali cukup panjang.
Bahkan, dalam cerpen “Tuhalus” karya Abdul Majid bin Lazim yang bahasa Banjarnya sesungguhnya relatif banyak dipengaruhi unsur-unsur bahasa Melayu-Malaysia (misal: darjah, ayah, mihanu, mamuruti, parit, pagi, patang, bakasut, manikam, marandang, guri, talah, digaul, manggagau), setidak-tidaknya akan kita temukan 28 bentuk ungkapan dan peribahasa yang secara sosiologis (juga dalam kacamata semiotik) mencerminkan tradisi-budaya orang Banjar. Dalam cerpen ini tampak ada kecenderungan pengarangnya yang seakan ingin mengeksplorasi seluruh kemampuan linguistis dan pengetahuan kebanjarannya, kendati kadangkala terasa agak berlebihan karena beberapa di antaranya justru keluar dari tuntutan konteks ceritanya.
Selain penggunaan beberapa bentuk peribahasa dan ungkapan tradisional, aspek lain yang juga turut mendukung bangunan estetika bahasa sastra dalam karya-karya cerpen Banjar selama ini adalah pemanfaatan potensi-potensi stilistis (gaya bahasa). Beberapa bentuk potensi stilistis yang cukup menonjol digunakan antara lain tampak pada pemanfaatan gaya repetisi, tautologi, metafora, personifikasi, depersonifikasi, hiperbola, simile, paralelisme, eufemisme, dan sarkasme. Beberapa ungkapan dan peribahasa yang telah disebutkan terdahulu sebagian besar pada dasarnya sudah merepresentasikan bentuk-bentuk gaya bahasa tertentu. Ungkapan-ungkapan seperti sindawa putih, sandu bakut, ambak-ambak bakut, diam parang diam pisau, atau cucuk pata lawan habar adalah bentuk-bentuk metafora; kaya mambuang kalimpanan, kaya pantul lawan amban, atau nang kaya amas hanyar dituang termasuk jenis simile; kujihing-kujihing atau kurihing-kurihing dapat mewakili gaya tautologi,[8] sedangkan gaya bahasa sarkasme sangat kentara dalam nukilan dialog cerpen “Aluh Campaka” karya B. Sanderta berikut ini.
“Luh, ikam nangini Aluh Campaka buruk! Kidas! Sundal! Pandayangan! Binatang! Kurang ajar!! Mun pina gatal handak balaki, jangan laki urang nang dililik….”Penggunaan bentuk-bentuk gaya bahasa di atas sesungguhnya merupakan upaya seorang pengarang untuk mencapai efek emotif maupun efek estetis tertentu. Keterharuan, kesedihan, kegembiraan, kemarahan, atau kebencian pembaca kepada tokoh tertentu merupakan beberapa pengaruh yang dapat muncul akibat ketepatan dan kesesuaian penggunaan suatu gaya bahasa dalam mendukung makna cerita secara keseluruhan. Demikian pula rasa keindahan, bahkan katarsis, bisa ditimbulkan oleh berbagai bentuk pengulangan atau penekanan gaya bahasa tertentu. Namun, di samping “bumbu” stilistis semacam itu, dalam karya-karya cerpen Banjar pada umumnya sangat kentara penggunaan gaya bahasa atau gaya tuturan yang spontan. Hal ini relatif menandai masih kuatnya pengaruh tradisi lisan; bahwa situasi kelisanan dalam masyarakat Banjar tertampakkan juga melalui karya-karya sastra modernnya.
(”Luh, kamu ini Aluh Campaka buruk! Genit! Sundal! Hantu! Binatang! Kurang ajar!! Kalau memang sudah gatal mau bersuami, jangan suami orang yang diincar!”)
/ 6 /
Kecuali beberapa gejala yang telah diuraikan di atas, unsur kebahasaan lainnya yang juga mengemuka dalam karya-karya cerpen Banjar yang ada selama ini adalah kuatnya rasa humor. Beberapa cerpen bahkan dengan sengaja disajikan sebagai cerita-cerita banyolan —sebagaimana menjadi ciri dominan cerita-cerita rakyat dalam tradisi sastra lisan Banjar di masa lampau— sehingga dapat dikatakan bahwa unsur humor merupakan salah satu kekuatan yang ditonjolkan. Kekuatan humor tersebut bisa kita temukan dalam dialog-dialog antartokoh maupun dalam bagian narasinya. Unsur-unsur humor itu sendiri ada kalanya tecermin melalui suatu ungkapan atau kata-kata tertentu, pemilihan nama-nama tokoh, atau melalui latar dan alur ceritanya.
Beberapa cerpen Banjar yang bermuatan humor relatif tinggi antara lain cerpen bertajuk “Amun Tambus Hanyar Kawin” (Ian Emti), “Babini Pulang” (Sabrie Hermantedo), “Batandu” (Noor Aini Cahya Khairani), “Hayam Walik” (Ajamuddin Tifani), “Ingguk Anuman” (B. Sanderta), “Jabakan Kupi Kamandrah” (B. Sanderta), “Kai Iyus” (B. Sanderta), “Kaluku Tapilih Bangkung” (Y.S. Agus Suseno), “Latupan Cabi” (Abdus Syukur MH), “Lawang” (A. Rasyidi Umar), “Pitua” (A. Rasyidi Umar), “Pitua Ma Haji Banjar” (B. Sanderta), “Sajampal Patirai” (M. Sulaiman Nazam), “Si Jek Siyup” (Sabrie Hermantedo), “Siyup” (Fathurrachman), “Surapil Mauk” (A. Rasyidi Umar), “Taparukui” (M. Haderani Thalib), “Tajajak Suluh” (Jakaria Kastalani), “Tambus nang Manyamani” (Abdus Syukur MH), dan “Tuli Sarumahan” (B. Sanderta). Cerpen-cerpen tersebut seakan sekadar perpanjangan estetis dari tradisi lisan masa lampau ke dalam tradisi tulisan sekarang. Sekadar contoh, mari kita perhatikan kutipan paragraf dari teks cerpen “Si Jek Siyup” karya Sabrie Hermantedo di bawah ini.
Pas tangan Julak Ijai handak mambuka kancing salawar si Jek, ancap tangan bini si Jek manangkap tangan Julak Ijai.Juga kutipan dari cerpen “Surapil Mauk” karya A. Rasyidi Umar berikut ini.
“Jangan dibuka, Julakai,” ujarnya.
“Napa garang?” Julak Ijai manyahuti.
“Ayuha, jar ulun jangan, jangan tu,” bini si Jek mangarasi sambil satangah sarik.
Anang Jidin takurinyum, inya tahu banar si Jek nangitu kada suwah mamakai salawar dalam. Bini si Jek manyumpah dalam hati, “Anang Jidin nangini dasar sundal, handak mambari supan unda di tangah urang banyak.”
(Ketika Julak Ijai akan membuka kancing celana si Jek, spontan tangan istri si Jek mencekal tangan Julak Ijai.
“Jangan dibuka, Julak!” katanya.
“Memangnya kenapa?” tanya Julak Ijai.
“Pokoknya, kalau kubilang jangan, ya jangan!” Istri si Jek bersikeras dengan setengah marah.
Anang Jidin tersenyum-senyum kecil. Ia tahu benar kebiasaan si Jek yang tidak pernah mengenakan celana dalam. Istri si Jek menggerutu dalam hati, “Anang Jidin ini memang sundal, mau mempermalukan aku di tengah orang banyak.”)
Malam datang, bulan salau-salau. Listrik kaya puting ruku. Banyak jua carunungan palita. Takajut Jabaril, di hidungnya ada bau nang ganjil. Iya-ah Surapil, kadakah. Baunya… itu, baunya. Di bawah umbayang, Jabaril bahandusut bajalan tunggal lingkangan. Ai, napa… itu, pina kubut-kubut kaya patung baurak. Cagat di higa tugu, napa itu. Rarasa yakin, gap, diragap ulih Jabaril. Basah tangan Jabaril, sakalinya bancir bakamih badiri-diri. Ruknya diangkat tinggi-tinggi. Pantas, bau lalakian kada, bau babinian kada. Apa ada, Jabaril bukah mancicing. Takutan kalu ditangkap satpam.Suasana humor semacam itu sudah tentu akan menjadi lebih terasa setelah kita menikmati seluruh rangkaian cerita dalam cerpen-cerpen tersebut. Demikian juga, hal serupa dapat kita rasakan melalui pilihan nama-nama tokoh seperti Anang Jidin, Julak Ijai, Nini Acai (dalam cerpen “Si Jek Siyup”), Ondel, Amang Ayi, Anang Gondang (dalam “Batandu”), Ingguk Anuman, Dulinak (dalam “Ingguk Anuman”), Acak, Amak, Abul, Badun, Ikur (dalam “Kai Iyus”), Amang Dulhak, Durmas Pahanawan, Udin Kikit, Imuk Tungkih, Julak Idup, Kudas (dalam “Kaluku Tapilih Bangkung”), Kintau, Ijul, Diang Lantih (dalam “Lawang”), Rakip, Katui, Diang Japang, Diang Halus, Utuh Hirang (dalam “Sajampal Patirai”), Iluk, Bitin, Aluh Iyang, Galuh Ilia (dalam “Siyup”), Pakacil Gupran, Utuh Bayut, Amat Galai, Anang Sandu (dalam “Tambus nang Manyamani”), Mat Sibuk (dalam “Tuli Sarumahan”), dan lain-lain.
(Malam tiba, bulan remang-remang. Cahaya listrik pun bagai puntung rokok. Tampak pula beberapa pelita berkelap-kelip. Jabaril kaget, di hidungnya tercium bau yang aneh. Benar Surapil atau bukan ya? Tapi, baunya…, baunya itu. Di bawah bayang-bayang, diam-diam Jabaril pun beringsut selangkah demi selangkah. Oh, apa itu…, kelihatannya seperti patung bergerak-gerak? Tegak di samping tugu, apa itu? Begitu merasa yakin, luk, dipeluk oleh Jabaril. Basah tangan Jabaril, ternyata seorang waria tengah kencing sambil berdiri. Roknya diangkat tinggi-tinggi. Pantas saja, bau laki-laki tidak, bau perempuan juga tidak. Maka, seketika Jabaril pun lari pontang-panting. Takut kalau-kalau ditangkap satpam.)
Selain itu, muatan humor juga dapat kita rasakan melalui penggunaan nama-nama latar tempat seperti Kampung Indah Marista (dalam cerpen “Latupan Cabi”), Kampung Padang Jalukap (cerpen “Kaluku Tapilih Bangkung”), dan Mungkur Iril (cerpen “Tuli Sarumahan”). Jika kita perhatikan lebih jauh, terutama dengan cara memahami makna konotatif di balik pilihan nama-nama tersebut, jelas hal itu akan mengundang penafsiran ke arah suasana kejenakaan. Istilah kampung indah marista, misalnya, mengandung pengertian ‘kampung yang tidak mau nelangsa’. Pemilihan nama latar tempat semacam itu jelas akan menimbulkan efek jenaka oleh karena terdengar agak aneh, sekadar main-main, khususnya di telinga para penutur asli bahasa Banjar.
Munculnya unsur-unsur humor dalam banyak karya cerpen Banjar, sekali lagi, pada dasarnya merupakan salah satu bentuk perpanjangan dari tradisi lisan pada masa lampau dan yang masih berakar kuat dalam lingkungan budaya masyarakat Banjar hingga dewasa ini. Dengan kata lain, sampai saat ini para pengarang Banjar —yang dalam batasan tertentu dapat dianggap merepresentasikan tradisi-budaya masyarakat Banjar— sebenarnya masih berada dalam ketegangan kultural antara kelisanan (orality) dan keberaksaraan (literacy). Sebagai implikasi dari ketengangan demikian, nuansa humoristik yang pada masa-masa sebelumnya diungkapkan secara lisan dalam bentuk cerita-cerita rakyat (misalnya cerita-cerita Si Palui dan Intingan, Nini Randa, atau Surawin), kini —dengan sedikit inovasi dan modifikasi— dikemas kembali dalam bentuk cerpen, dengan ciri-ciri struktur sastra modern.
Namun demikian, simpulan itu tentunya tidak dapat ditafsirkan secara mutlak sebagai generalisasi dari seluruh tradisi penulisan cerpen Banjar yang ada selama ini oleh karena memang ada indikasi yang menjadi pengecualiannya. Kendati selipan humor mungkin terdapat pula dalam beberapa cerpen seperti “Aluh Campaka” (B. Sanderta), “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” (Y.S. Agus Suseno), “Kambang Pambarian” (Sabrie Hermantedo), “Karindangan” (Seroja Murni), “Kebebasan” (Noor Aini Cahya Khairani), “Mambari Maras Ni Diang” (S. Ripani Im), dan “Bau Harum matan Surga” (Ahmad Fahrawi), misalnya, tetapi jelas dalam karya-karya tersebut tampak sekali ada upaya yang serius dari para pengarangnya untuk benar-benar menunjukkan karakteriknya sebagai karya sastra modern —terlepas dari nilai literer sastranya yang relatif rendah dan kurang mencerminkan warna lokal Banjar pada beberapa cerpen tertentu.
/ 7 /
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari aspek bahasanya secara keseluruhan, satu hal yang pasti bahwa karya-karya cerpen Banjar yang ada selama ini tidak terlepas dari berbagai persoalan sosiolinguistis yang memang merupakan ciri dari suatu lingkungan masyarakat yang dinamis, yang sedang bergerak menuju kemajuan, dari tradisionalitas ke modernitas. Munculnya gejala-gejala kebahasaan berupa pengaruh negatif bahasa Indonesia terhadap upaya pemurnian bahasa Banjar, juga alih kode dan campur kode, dalam berbagai tindak komunikasi —termasuk dalam komunikasi sastra— jelas merupakan konsekuensi logis dari kondisi masyarakat semacam itu, sebagai ongkos yang harus dibayar dari suatu perubahan.
Namun demikian, ditinjau dari aspek estetika sastranya, tak dapat disangkal pula bahwa sejumlah karya cerpen Banjar yang ada selama ini jelas sudah menunjukkan suatu kemajuan. Kecuali dari segi bentuknya yang sudah meneladani struktur sastra modern, juga tampak adanya upaya-upaya kreatif-eksploratif dari para pengarangnya dalam pemanfaatan khazanah peribahasa dan ungkapan-ungkapan tradisional yang sekaligus dapat mewakili bentuk-bentuk gaya bahasa tertentu. Dan, sekali lagi, semua itu merupakan fakta-fakta tekstual bahwa tradisi penulisan cerpen Banjar selama ini (1980—2000) masih memperlihatkan gejala ketegangan kultural, yakni pergeseran dari kelisanan ke keberaksaraan. []
Batu Ampar, 20 Oktober 2004
CATATAN :
[1] Faktanya, sejauh yang dapat saya amati, hingga tahun 2000 itu tidak ada satu pun cerpenis Banjar yang mampu menghasilkan 10 judul cerpen sepanjang karier kepengarangan mereka. Dari 30 nama cerpenis Banjar yang ada, B. Sanderta tergolong paling produktif dengan menulis 7 cerpen. Sementara, cerpenis Banjar lainnya hanya mampu menulis antara 1—3 cerpen saja.
[2] A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 1.
[3] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hlm. 272.
[4] Kata-kata tersebut —ditambah banyak kosakata serupa— tersebar dalam sejumlah cerpen, antara lain dalam cerpen “Kebebasan” (Noor Aini Cahya Khairani), “Mambari Maras Ni Diang” (S. Ripani Im.), “Malam Kumpai Batu” (M. Rifani Djamhari), “Mangkusari” (Hijaz Yamani), “Luka nang Kada sing Baikan” (Hijaz Yamani), “Ingguk Anuman” (B. Sanderta), “Jujuran” (Saidah Bulkis), “Candi Agung” (Saidah Bulkis), “Imah” (Satmawati), “Didawa” (Nurul Amini), “Siyup” (Fathurrachman), dan “Bau Harum matan Surga” (Ahmad Fahrawi). Beberapa cerpen di antaranya malah termasuk dalam golongan kedua.
[5] Secara sosiolinguistis, hal ini berkaitan dengan gejala alih kode (code switching) yang mengandaikan terjadinya pergeseran dari suatu bahasa atau variasi bahasa ke bahasa atau variasi bahasa lainnya secara alih-alih dalam suatu tindak komunikasi. Namun, sejauh yang dapat saya amati, gejala ini justru tidak tampak dalam karya-karya cerpen Banjar yang ada selama ini.
[6] Lihat uraian Imam Budi Utomo dkk., Eskapisme Sastra Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 175—180.
[7] Proses pembanjaran bahasa Indonesia pada umumnya —khususnya mengacu pada dialek bahasa Banjar Hulu— hanya melalui penyesuaian fonologis (terutama vokal) dengan cara mengganti fonem-fonem /¶/ menjadi /a/, /é/ menjadi /i/, dan /o/ menjadi /u/. Misalnya, bentuk [m¶rdéka] diubah menjadi [mardika] atau [botol] menjadi [butul]. Namun, untuk bentuk-bentuk yang mengandung konsonan rangkap seperti [traktor] akan cenderung menjadi [taraktur] oleh karena bentuk semacam itu memang tidak lazim dalam kaidah bahasa Banjar.
[8] Sederetan contoh yang dikutipkan ini terdapat dalam sejumlah cerpen, antara lain dari teks “Aluh Campaka” (B. Sanderta), “Karindangan” (Seroja Murni), “Racun” (Y.S. Agus Suseno), “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” (Y.S. Agus Suseno), dan “Tuhalus” (Abdul Majid bin Lazim).
Sumber:
http://sastra-banjar.blogspot.co.id/2015/04/esai-sastra-banjar-7.html
0 komentar: