Cerpen Hamberan Syahbana: Perempuan yang Memelihara Minyak Kuyang

21.13 Zian 0 Comments

Tiba-tiba saja warga di kawasan perdesaan ini jadi heboh. Lantaran Perempuan Yang Memelihara Minyak Kuyang itu datang lagi. Tiga bulan yang lalu ia diam-diam telah pergi meninggalkan desa ini sebelum diusir warga lantaran dituduh sebagai Perempuan Yang Memehara Minyak Kuyang.
Perempuan itu bernama Mahdibah biasa dipanggil Dibah. Meski orang tuanya tergolong miskin ia tetap nekad ingin kuliah. Orangtuanya terpaksa menggadaikan tanah yang secuil itu. Ia sangat beruntung termasuk siswa berprestasi bisa meneruskan kuliah dengan beasiswa dan selesai tepat waktu. Sayangnya ia tak pernah lulus tes penerimaan CPNS. Meski tak pernah lulus ia tetap nekad tinggal di Banjarmasin. Meski tak bekerja ia tetap mengirim biaya hidup orangtuanya, termasuk juga biaya untuk menebus tanah yang tergadai itu. Duit dari mana?

Sejak kedua orangtuanya meninggal, ia pulang kampung dan tinggal menetap di rumah peninggalan orang tuanya yang sudah direnovasinya. Rumahnya juga dilengkapi dengan faslitas listrik dan air bersih PDAM, termasuk juga pemasangan antena parabola. Di sini ia juga tak bekerja apa-apa. Tanah peninggalan orangtuanya itu sudah dijualnya. Anehnya uang penjualan tanah itu semua diserahkannya kepada panitia perbaikan langgar di desanya. Sehari-harinya ia mengurung diri di rumahnya. Meski demikian ia tak pernah kekurangan duit. Bahkan selang dua hari sekali ia pergi ke kota membeli keperluan seperlunya. Duit dari mana? Orang-orang pun mulai curiga, bisa jadi ia memelihara minyak kuyang. Lho? Tapi kenapa tidak pernah ada kabar kuyang yang terbang malam-malam? Kuyang itu kan biasa keluar malam-malam? Tetapi yang terbang hanya kepalanya saja dengan seluruh isi perutnya yang terburay kelap kelip bagai kembang api merah menyala. Dia terbang mencari perembuan hamil yang sedang melahirkan, lalu kuyang itu menghisap seluruh darah yang keluar saat melahirkan. Lalu kenapa ia dituduh sebagai perempuan yang memelihara minyak kuyang? Kenapa?
Dia memang memelihara minyak kuyang tetapi bukan untuk menjadi kuyang. Tetapi ia memiliki minyak kuyang yang lain. Konon katanya duit yang sudah diulesi minyak kuyang itu akan kembali lagi kepada pemiliknya. Biasanya membeli barang seharga sepuluh atau dua puluh ribuan dengan uang kertas seratus ribuan. Itu berarti barangya gratis, uangnya kembali dan mendapat uang kembaliannya. Yang lebih untung lagi uangnya digunakan untuk membeli emas, uangnya kembali, emasnya dijual lagi. Lalu uangnya dibelikan lagi, emasnya dijual lagi dan uangnya kembali lagi, begitulah seterusnya.
Diam-diam warga sekitar mulai mencurigainya. Akhirnya tak ada seorangpun yang mau menerima uangnya. Ia tak bisa membeli apapun. Itu berarti ia telah dikucilkan di kampung halamannya sendiri. Sampai akhirnya warga kampung sepakat merencanakan akan mengusirnya dari desa ini. Dan besoknya ia sudah tak ada lagi. Ternyata diam-diam ia telah pergi meninggalkan desa ini sebelum diusir warga.

***

Kini tiba-tiba saja Perempuan yang Memelihara Minyak Kuyang itu telah kembali ke desa ini. Warga di kawasan perdesaan ini jadi heboh karenanya. Hanya dalam tiga hari berita kepulangannya itu sudah menyebar kemana-mana. Tak ada seorangpun yang tidak mengetahui kedatangannya. Bahkan berita itu sudah menjadi buah bibir di mana-mana. Dan beritanya pun sudah dibumbu-bumbui. Sore ini ia ke majlis ta’lim. Seperti biasa dari jauh ia sudah tersenyum kepada ibu-ibu yang ada di teras mesjid. Merekapun pun balas tersenyum, tetapi dengan senyum sinis menyakitkan.
“Ssst!” bisik salah seorang ibu yang duduk di teras mesjid.
“Ada apa?” tanya yang lain
“Itu tuh, Si Dibah Perempuan Yang Memelihara Minyak Kuyang.”
“Ya ada apa dengan Dibah?”
“Ssst, ini rahasia lho. Jangan bilang siapa-siapa ya.”
“Iya, rahasia apa?”
“Ia tidak hanya punya minyak kuyang buat mengulesi duit, tetapi juga punya minyak kuyang yang lainnya.
“Yang lainnya bagaimana?” tanya yang lain lagi.
“Minyak kuyang yang bisa digunakan buat memikat hati orang lain.”
“Minyak guna-guna?”
“Ya itu maksud saya.”
“Waduh! Suami kita bisa kena pikat semua.”
“Nah itu dia. Terbayang kan?”
“Wah gawat ini.”
“Ssst! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ini di mesjid. Sebentar lagi acara akan dimulai,” sela Ibu Hajjah yang disegani di desa ini.
Dibah itu pun datang menyalami ibu-ibu diiringi senyum ramahnya. Ibu-ibu itu juga senyum tetapi diiringi dengan cibiran yang menyakitkan. Ia tak terpengruh dengan cibiran ibu-ibu itu. Tak lama setelah ia duduk acara pun dimulai dengan membaca surah-surah pendek.

***

Kini Dibah kembali mendiami rumah yang ditingalkannya tiga bulan yang lalu. Dia bukan lagi perempuan yang selalu menggunakan surat miskin kemana-mana. Bahkan kini rumahnya telah dilengkapi dengan dan AC. Itu lebih memperkuaat dugaan masyarakat bahwa ia benar-benar memelihara minyak kuyang. Imej buruk itu telah melekat pada dirinya. Akibatnya dimana pun ia selalu menjadi bahan pergunjingan.
“Aduh jilbabnya!“ kata seorang ibu yang menunggu anaknya di sekolah TK.
“Tidak disangka ya? Dia yang begitu santun berpenampilan seperti muslimah sejati, ternyata itu hanya luarnya saja.” sahut ibu yang lain.
“Kita harus tetap waspada.”
“Waspada bagaimana?”
“Kabarnya ia itu juga punya minyak kuyang guna-guna. Kita harus menjaga suami kita jangan sampai kena guna-guna.”
“Kabarnya ia juga punya minyak penunduk yang membuat orang tunduk padanya.
Akhirnya sampai juga bisik-bisik itu ke telinganya. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Kalau saja ia kurang sabar barangkali sudah terserang strok. Selanjutnya ia mulai dikucilkan ibu-ibu yang takut suaminya kena guna-guna. Ketika ia mengadakan selamatan, tak ada yang datang selain dari penceramah Hajjah Maimunah. Ibu-ibu tak mau datang, takut terminum air penunduk. Kata orang-orang siapa yang minum air penunduk itu, ia akan tunduk dan mau melakukan apa saja yang disuruhnya.
“Sungguh tega mereka menuduh dan memfitnahku yang sama sekali tidak benar,” curhatnya kepada Hajjah Maimunah. “Itu fitnah kan Bu Hajjah? Punya miyak kuyanglah, guna-gunalah, air penunduklah. Itu syirik kan Bu?”
“Sabar. Yang penting tuduhan itu tidak benar kan?” hibur Hajjah Maimunah.
”Iya Bu Hajjah, itu sama sekali tidak benar.”
”Begini ya Dibah, aduh gimana nanyanya ya?”
”Kenapa Bu? Ini pasti tentang minyak kuyang itu kan?”
”Maaf ya, apakah benar begitu?”
”Ya tidak lah Bu. Saya juga masih punya iman Bu. Kata mereka saya tidak bekerja. Saya juga kerja Bu.”
”Kerja di mana?”
”Saya kerja rumahan saja Bu. Saya jual jasa online liwat internet.”
”Jual jasa apa?”
”Saya perancang gambar cover buku khusus melayani beberapa penerbit. Selain itu saya juga menerima pesanan merancang desain busana wanita. Kasarnya saya menjual rancangan busana, dan busana itu dibuat bukan atas nama saya sebagai perancangnya, Pesanan melalui internet dan pembayarannya melalui rekening bank saya. Dan uangnya bisa saya tarik kapan saja saya mau.”
”Warga di sini sudah tahu?”
”Belum. Tapi Pak Lurah dan Ketua RT dan beberapa tetuha masyarakat sudah tahu Bu. Termasuk juga Ibu Ustadzah. ”
”Nah itu dia masalahnya. Ya nggak apa-apa yang penting tuduhan itu tidak benar. Nanti Pak Lurah dan Ketua RT yang memberitahu ibu-ibu itu.”
”Rencana saya hari ini memberitahu Ibu-ibu itu, tetapi mereka tak ada yang datang.
”Yang penting kamu sudah berusaha. Allah SWT pasti menerima niat baikmu itu.”
“Tapi mereka sudah kelewatan Bu. Semoga Tuhan menyengsarakan mereka.”
“Astagfirullah, Dibah. Tidak boleh begitu. Berdoalah dengan doa yang baik-baik. Mereka hanya takut suaminya akan terpikat. Sebenarnya kamu sangat beruntung. Sebab orang-orang yang memfitnah itu, nanti akan menyerahkan pahala mereka kepadamu”.
“O begitu ya”
“Tapi lebih beruntung lagi kalau kamu memaafkan mereka.”
”Memaafkan mereka? Fitnah itu sudah menyengsarakan saya Bu.”
Dibah bingung tak tahu harus bagaimana. Haruskah aku memaafkan mereka? Setelah direnungkannya dalam-dalam, anjuran ustadzah itu patut juga dipertimbangkan. Mereka belum mengerti bahwa itu akan merugikan diri mereka sendiri.
“Bagaimana?” tanya Hajjah Maimunah.
”Hm ... Aku pilih memaafkan mereka Bu.”
“Alhamdulillah, ternyata pintu maafmu lebih besar dari dendammu, Dibah.”
Dibah kedalam dan sebentar kemudian keluar lagi membawa kantong kresik berisi beberapa nasi kotak dan selembar amplop. Lalu menyerahkannya kepada Ustadzah.
”Apa ini?”
”Ini sekedar ucapan terima kasih Bu.”
”Tapi? Ceramahnya kan nggak jadi?”
”Nasehati Ibu sudah mencerahkan saya. Sebaiknya Ibu bacakan doa selamat saja Bu.”
Alhamdulillah, plong rasanya hati ini. Kini tak ada lagi yang mengganjal di hatinya. Setelah menyantap nasi kotak, Ustadzah Hajjah Maimunah pun pulang. Tetapi tak berselang lama, tiba-tiba saja dari jauh terdengar teriakan ibup-ibu memanggil-manggil namanya. Mereka itu langsung menuju ke rumah perempuan yang mereka kira memelihara minyak kuyang itu.
Dibah bingung ia cepat berlari menyelamatkan diri. Ia pontang-panting gelasak-gelusuk masuk gang keluar gang menyelamatkan dari amukan berpuluh-puluh ibu-ibu kalap yang mengejarnya. Riuh rendah teriakan ibu-ibu yang kalap bagaikan raungan serigala lapar yang memburu mangsanya. Suasana makin mencekam saat hujan guntur dan halilintar saling kejar saling sambar. Rasanya tidak mungkin ia bisa lolos begitu saja dari kejaran orang-orang kalap itu. Dengan tenaganya yang masih tersisa ia mencoba menyelematkan diri ingin cepat-cepat tiba di Kantor Polisi. Tetapi tiba-tiba ia terpelesat di tanah becek bekas hujan tadi. Dalam keadaan terpojok ia dijambak dan ditendang dipukul bertubi-tubi akhirnya ia pingsan tak sadarkan diri. Untunglah pada saat itu datang patroli polisi bersama Ketua RT.

Banjarmasin, awal Pebruari 2015.

Sumber:
https://www.facebook.com/hamberan.syahbana/posts/10205921626480307

0 komentar: