Cerpen Hamberan Syahbana: Perempuan yang Melepas Jilbab
Tiba-tiba saja warga di sepanjang bantaran sungai ini jadi heboh. Kenapa? Karena perempuan yang melepas jilbab itu telah kembali. Sebenarnya namanya Mihwanah, dulu ia biasa dipanggil Imih dan di sekolah dipanggil Emi. Dulu ia dikenal sebagai remaja Muslimah yang taat. Kemana-mana tak pernah lepas jilbabnya. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia melepas jilbabnya. Kemana-mana tak pernah lagi memakai jilbab. Sejak saat itulah ia disebut Perempuan Yang Melepas Jilbab. Tak lama kemudian ia tak terlihat lagi. Kabarnya ia terpikat lelaki yang sudah berkeluarga. Karena tak direstui orangtuanya ia nekad kawin lari. Setelah itu bertahun-tahun lamanya tak terdengar lagi kabar beritanya. Bahkan ketika ibunya meninggal pun ia juga tak pulang. Baru sekarang ia kembali ke Kota Seribu Sungai ini. Anehnya ia pulang berbusana muslimah yang taat. Kini kemana-mana ia selalu berjilbab. Berarti sebutan Perempuan Yang Melepas Jilbab itu sama sekali tidak tepat. Tetapi warga di bantaran sungai ini selalu saja menyebutnya Perempuan Yang Melepas Jilbab. Sebutan itu sudah terlanjur melekat tak mudah dihilangkan lagi.Hanya dalam tiga hari berita kepulangannya itu sudah menyebar kemana-mana. Tidak ada seorangpun di bantaran sungai ini yang tidak mengetahui kedatangannya. Bahkan berita itu sudah menjadi buah bibir di mana-mana. Dan beritanya pun sudah dibumbui dengan hal-hal negatif yang tidak elok diceritakan. Bahkan hampir di setiap tempat dan di setiap kesempatan berita itu sudah menjadi topik terhangat saat ini. Di pasar, di arisan, bahkan di majelis ta’lim pun tidak luput dari pembicaraan orang.
Sore ini ia pergi ke majlis ta’lim. Setelah memarkir kendaraannya, seperti biasa ia pun mengumbar senyum kepada ibu-ibu yang ada di teras mesjid. Ibu-ibu itu pun balas tersenyum, tetapi dengan senyum sinis diiringi cibiran yang menyakitkan.
“Ssst!” bisik salah seorang ibu yang diam-diam memperhatikannya.
“Ada apa?”
“Itu tuh, Perempuan Yang Melepas Jilbab. Menurut kabar burung di sana ia menjadi istri simpanan.”
“Itu sih biasa. Di sini juga ada istri simpanan.”
“Tapi ia itu luar biasa.”
“Luar biasa bagaimana?” tanya ibu yang lain.
“Ssst, ini rahasia lho. Jangan bilang siapa-siapa ya.”
“Iya, rahasia apa?”
“Ia itu jadi istri simpanan milik bersama tiga orang lelaki asing.”
“Kok bisa? Bagaimana nikahnya?” sahut yang lain balik bertanya.
“Ya bisa lah. Kan bisa nikah siri?”
“Nikah siri juga perlu kejelasan tentang status calon mempelai perempuannya kan? Kawin atau tidak kawin? Perawan atau duda?”
“Itu mudah diatur. Namanya juga nikah siri. Nggak perlu surat itu ini dan lain-lain sebagainya. Masalah wali, saksi dan yang menikahkannya bisa diatur. Pokoknya wani piro. Iya kan?”
“Waw! Sungguh sangat menjijikan.” Sahut yang lain.
“Nah itu dia. Tak terbayangkan kan? Satu istri tiga suami?”
“Bagaimana caranya?”
“Namanya juga milik bersama. Ibarat makanan bisa dimakan sama-sama kan?”
“Waw! Lalu? Apa bedanya dengan pelacur?”
“Jawab aja sendiri, hahahaha.”
“Ssst! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ini di mesjid. Sebentar lagi acara akan dimulai,” sela Ibu Hajjah yang disegani di bantaran sungai ini.
Perempuan yang melepas jilbab itu pun duduk bersama mereka di teras mesjid ini. Sama seperti biasa, ia menyalami ibu-ibu itu diiringi senyum ramahnya. Ibu-ibu itu juga sama seperti biasa membalas senyum sinis diiringi dengan cibiran yang menyakitkan. Nampaknya ia tak terpengruh dengan senyum sinis dan cibiran ibu-ibu itu. Sebentar kemudian acara pun dimulai dengan membaca surah-surah pendek.
***
Konon kabarnya ketiga suaminya itu sudah kembali ke negaranya masing-masing, karena kontrak kerjanya sudah habis. Itulah sebabnya ia kembali ke Kota Seribu Sungai ini. Dan anehnya ia kembali dengan berbusana muslimah seperti saat ia masih remaja yang kemana-mana tak pernah melepas jilbabnya. Tetapi kini ia bukan lagi perempuan yang selalu menggunakan surat miskin kemana-mana. Kini ia adalah seorang perempuan yang cukup mapan setidaknya menurut ukuran orang-orang di bantaran sungai ini. Meski demikian sebutan Perempuan Yang Melepas Jilbab itu tetap saja melekat lengkap dengan kabar buruknya.
Berita buruk itu bagaikan beribu anak panah yang lepas dari busurnya tak bisa kembali lagi. Bahkan kabar buruk itu begitu cepat menjebar bagai kanker ganas yang akarnya sudah menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Akibatnya dimana pun ia berada selalu menjadi bahan pergunjingan yang tidak sehat. Seperti sekumpulan ibu-ibu yang menunggu anaknya di TK itu juga tidak ketinggalan merumpi sekitar berita hangat akhir pekan ini. Apa lagi kalau bukan sekandal perempuan yang menjadi istri simpanan tiga lelaki asing itu.
“Aduh jilbabnya!“ kata seorang ibu yang menunggu anaknya di sekolah TK.
“Tidak disangka ya? Dia yang begitu santun berpenampilan seperti muslimah sejati, ternyata itu hanya luarnya saja.” sahut ibu yang lain.
“Luar biasa! Keahliannya menipu kita-kita ini memang luar biasa. Kepandaiannya bergaul juga memang luar biasa! Dengan orang tua? Sikapnya sangat hormat. Dengan sesama tetangga? Ia selalu memberikan bantuan yang diperlukan. Aneh, kenapa orang-orang mulai menyukainya,” sahut ibu yang satunya lagi.
“Iy aya? Bahkan ia mulai dihormati dan disegani. Dengan anak muda? Wah, wah, pokoknya gaul abis! Keakhliannya berkomunikasi nyaris sempurna.“ kata seorang ibu yang banyak tahu tentang ilmu komunikasi.
“Tapi, yang namanya sudah busuk tetap saja busuk. Sekali suka dengan suami orang ya tetap saja suka dengan suami orang. Meskipun dibungkus dengan wewangian berlapis-lapis tetap saja kebusukannya akan tercium.“ celoteh ibu yang lain.
“Aku bingung! Ada orang yang seperti itu, ya? Padahal dia itu dulunya kan remaja muslimah yang taat? Kasihan ya, Nggak disangka kok jadi begitu ya?”
“Kasihan apanya? Bayangkan, bagaimana kalau suami kita kecantol?”
“Jangan gitu, ah! Nanti malah kejadian lagi!“
“Yang aku tidak habis pikir, Bagaimana mungkin perempuan bejat seperti itu masih diperbolehkan tinggal di sini ya? Meskipun sudah dilaporkan berkali-kali, hasilnya ya tetap saja masih tinggal di sini. Barangkali dilindungi orang diatas, ya?”
“Lho? Kita kan juga tahu, Pak Lurah dan ketua RT itu temannya se kelas,“ kata seorang ibu yang lainnya lagi.
“Pantas saja dia tak takut-takutnya diusir. Punya beking sih.“
“Jangan-jangan beliau-beliau itu sudah dapat bagian masing-masing.”
“Bagian apaan? Bagian sembako?”
“Bagian yang itu.”
“Kok bisa?”
“Ya bisa lah. Dia itu kan pernah punya tiga suami.”
“Polyandri?”
“Ya gitu deh.”
***
Akhirnya sampai juga bisik-bisik itu ke telinganya. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Kalau saja ia kurang sabar barangkali sudah terserang strok. Selanjutnya ia mulai dikucilkan ibu-ibu yang takut suaminya akan terjerumus. Termasuk juga ibu-ibu tetangganya yang sering minta tolong padanya. Bahkan para lelaki yang biasa tebar pesona pun tak ada l;agi yang berani PDKT. Takut diamuk istrinya masing-masing. Kini tak ada lagi yang mau bertamu ke rumahnya. Bahkan ketika menyambut giliran arisan Yasinan, tak ada yang datang selain dari Ustadzah Hajjah Mahfuzah. Ibu-ibu tak mau datang, takut terminum air penunduk. Kata orang-orang siapa yang minum air penunduk itu, ia akan tunduk dan mau melakukan apa saja yang disuruhnya. Keji benar mereka menuduhnya memelihara ajir penunduk itu. Cepat sekali tersebar berita fitnah itu. Astagfirullah. Pemikiran macam apa itu?
“Sungguh tega mereka menuduhku memelihara air penunduk itu,” curhatnya kepada Ustadzah Hajjah Mahfuzah. “Ibu Hjjah kan tahu, itu fitnah namanya. Apa dasarnya tuduhan itu? Memelihara air penunduk? itu syirik, begitu kan Ibu Hajjah?”
“Sabar. Yang penting tuduhan itu tidak benar kan?” hibur Hajjah Mahfuzah.
”Iya Bu Hajjah, itu sama sekali tifak benar.”
”Tapi, ...”
”Tapi apa Bu?”
”Maaf aya, boleh nanya nggak?”
”Ya boleh lah. Masa nggak boleh? Nanya aja. Bu Hajjah mau nanya apa?”
”Begini ya Mih .. Aduh gimana nanyanya ya? Nggak jadi.”
”Kok nggak jadi? Kenapa Bu? Ini... ini pasti tentang istri simpanan itu kan?”
”Iya. Maaf ya, apakah benar begitu?”
Ia sama sekali tidak terkejut mendengar pertanyaan itu, karena sudah memduga pasti akan seperti itu. ”Ya, itulah yang mereka tuduhkan kepada saya.”
”Tapi, ... tidak benar kan?”
”Ibu Hajjah percaya?”
”Percaya sih tidak.”
”Syukurlah kalau begitu.”
”Tapi kan aku juga perlu mendengar secara langsung?”
”Ya tidak lah Bu. Saya juga masih punya iman Bu. Tunggu sebentar ya Bu.”
Perempuan yang sudah berjilbab lagi itu masuk ke kamar, sebentar kemudian keluar lagi membawa buku kecil bersampul hijau kebiru-biruan. Sepertinya itu akta nikah untuk istri dan yang satunya lagi surat apa ya? Ternyata betul. Ia menyerahkan keduanya kepada Ustadzah Hajjah Mahfuzah untuk mencermati keabsahan surat nikah itu.
”Bagaimana Bu? Sudah yakin kan Bu?”
”Iya, iya ini benar asli akta nikah dan ini surat keterangan sudah cerai. Apakah ibu-ibu itu sudah mengetahuinya?”
”Belum. Tapi kemaren Pak Lurah dan Pak RT sudah tahu Bu.”
”Nah itu dia masalahnya. Ya nggak apa-apa yang penting tuduhan itu tidak benar, lagi pula Pak Lurah dan Pak RT sudah membaca. Itu sudah lebih dari cukup. Sayang ya tahunya baru kemaren. Jadi tak sempat memberitahukan sama ibu-ibu yang lain.”
”Rencananya hari ini saya akan memperlihatkan buku nikah ini Bu. Sayang mereka tak ada yang datang. Padahal saya sudah memesan katering nasi kotak dari warung makan. Jadi dijamin tak ada makanan dan air minum dari rumah saya. Jadi tak ada air penunduk, karena saya memang benar-benar tak punya air haram itu.”
”Yang penting kamu sudah berusaha. Allah SWT pasti menerima niat baikmu itu.”
“Tapi mereka itu sudah kelewatan bu. Betapa teganya mereka memperlakukan saya seperti itu. Semoga Tuhan mengazab mereka, semoga Tuhan menyengsarakan mereka.”
“Astagfirullah, Imih. Istigfar Mih. Kamu tidak boleh berdoa begitu, berdoalah dengan doa yang baik-baik saja. Lagi pula mereka itu sebagian besar cuma ikut-ikutan terpengaruh saja. Sebagiannya takut suaminya terpikat oleh kecantikanmu.”
”Ibu mudah saja berkata begitu, karena Ibu kuat beragama. Tidak seperti saya yang awam. Tak sanggup rasanya saya mengahadapi fitnah yang sangat keji itu. Kenapa harus didoakan yang baik?”
“Sebenarnya kamu sangat beruntung. Sebab orang-orang yang memfitnahmu itu, nanti akan menyerahkan pahala mereka kepadamu”.
“O begitu ya”
“Tapi kamu lebih beruntung lagi kalau kamu memaafkan mereka.”
”Apa? Memaafkan mereka? Bagaimana mungkin saya memaafkan mereka? Fitnah ini sudah membuat hidup saya terpuruk berantakan.”
Ia lalu tertunduk bingung, tindakan apa yang aaus diambilnya. Ada dua pertanyaan yang saling bertabrakan di hatinya. ”Apakah aku harus membiarkan begitu saja? Dan menganggap semua itu tidak pernah terjadi? Bukankah orang-orang itu nanti akan menyerahkan semua pahala mereka? Kalau pahalanya sudah habis mereka akan menanggung semua dosa-dosaku. Ataukah aku harus memaafkan mereka?”
Setelah direnungkannya dalam-dalam, ternyata anjuran Ustadzah itu patut juga dipertimbangkan. Habis mau bagaimana lagi? Mereka itu belum mengerti bahwa itu akan merugikan diri mereka sendiri. Semoga Tuhan mengampuni kesalahan mereka.
“Bagaimana ya? Kalau begitu aku pilih ……. memaafkan mereka.”
“Alhamdulillah, ternyata pintu maafmu lebih besar dari rasa dendammu. Belum pernah aku mendengar orang seperti kamu, Imih.”
Ia masuk kedalam dan sebentar kemudian keluar lagi membawa kantong kresik besar berisi beberapa kantong kresik kecil yang berisi nasi kotak dan juga selembar amplop terima kasih. Lalu menyerahkannya kepada Ustadzah itu.
”Apa ini?”
”Ini sekedar ucapan terima kasih, ibu sudah sudi datang.”
”Waduh, banyak sekali nasi kotaknya. Lagi pula ceramahnya kan nggak jadi?”
”Nasehati Ibu sudah mencerahkan saya. Sebaiknya Ibu bacakan doa selamat saja Bu.”
Alhamdulillah, dari jendela terlihat cuaca yang tadinya mendung berubah cerah secerah hatinya. Kini tak ada lagi yang mengganjal di hatinya. Terima kasih ya Allah.
Banjarmasin, akhir Januari 2015.
Sumber:
https://www.facebook.com/hamberan.syahbana/posts/10205907931937952
0 komentar: