Cerpen Hamberan Syahbana: Ada Apa dengan Kucing Anggora Itu
Rusbandi yang biasa dipanggil Bandi itu sedang asik mengelus salah satu kucing anggora. Seluruh harapan hidupnya bertumpu pada kucing-kucing anggora yang ada di rumahnya. Itulah sebabnya sedikitpun ia tak mau menoleh Mirna yang sudah berjam-jam menunggunya. Kenapa? Bukankah Mirna dan Bandi itu sama-sama cinta pertama? Tetapi mengapa rasa sayang itu tak tampak lagi pada Bandi? Apakah perasaan sayangnya sudah beralih ke kucing-kucing anggora itu?Sudah berbulan-bulan ia tak terlihat di kampus. Ternyata sibuk mengurus kucing-kucingnya ini. Rumahnya yang berada di kota kecamatan ini dimodifikasinya menjadi sebuah galery kucing anggora. Di sinilah ia membesarkan anak-anak anggora dan menjualnya kembali bila sudah sampai saatnya untuk dijual. Dia juga menyewakan kucing-kucing anggora ini untuk mengikuti kontes kucing anggora. Mirna sama sekali tidak mengetahui bahwa anggora-anggora ini ada yang bisa disewa untuk mengikuti kontes. Disini ada sepuluh kucing anggora yang berwarna putih di tiap kandang yang berukuran 90 x 63 x 65 cm. Ternyata di kandang-kandang itu terpampang tulisan mulai Rp. 15.000.000,- sampai Rp. 30.000.000,-. Dan di kandang-kandang anak anggora terpampang harganya mulai dari @ Rp. 150.000,- Sampai @ Rp. 15.000.000,-
“Mahal betul harga kucing-kucing ini,” kata Mirna membuka pembicaraan.
“Yang ini bukan harga, harganya jauh lebih mahal lagi.”
Kemudian ia berapi-api dan begitu rinci menjelaskan kucing-kucing itu. Ternyata itu bukan harga, tetapi hasil yang didapat dalam tiga kali kontes. Tulisan itu sekaligus menyatakan kualitas kucing-kucing anggora itu. Kecuali yang di kandang anak-anak angggora, itu memang harga anak anggora per ekor. Ia baru baru tahu Bang Bandi sangat menikmati hobi barunya ini. Sayangnya ia tak tertarik, bahkan penjelasan itu sangat memusingkan kepalanya. Hanya demi menjaga perasaan Bang Bandi saja ia berbuat seakan-akan begitu serius mendengarkan penjelasan itu.
Ia sadar bahwa perubahan itu semata-mata hanya karena salah tanggap belaka. Kini masalahnya jadi ruwet. Padahal kini ia menginginkan jalinan kasih yang terputus belakangan ini bisa bersatu kembali. Untuk itulah ia datang dan harus bicara, tetapi bingung, khawatir dan takut Bang Bandi akan tersinggung.
“Bang, Mirna mau bicara nih,” katanya memberanikan diri.
“Ya, bicara saja.”
“Begini Bang, Mirna minta maaf atas kesalahan yang dulu. Abang mau kan?”
“Maaf apa? Mirna tidak bersalah tidak bersalah apa-apa. Jadi tidak perlu minta maaf. Sebaliknya Abanglah yang harus minta maaf, karena tak tahu malu mencintai Mirna.”
“Tapi Bang, Mirna sadar gara-gara kesalahan Mirna dulu kan Abang jadi begini? Dan Mirna mau kita kembali seperti dulu lagi. Kita bisa mulai dari awal lagi. Abang mau kan?”
Sesaat Bandi menatap Mirna, lalu diam dan kembali menyibukkan dirinya dengan kucing anggora itu. Mirna tahu betul sifat Bang Bandi. Diam baginya adalah pertanda bahwa ia sangat marah. Bahkan ia bisa diam berminggu-minggu tanpa bicara.
“Baiklah, Abang maafkan. Selesai kan?”
Waw, betapa leganya hati Mirna mendengar ucapan itu. Tetapi ia ingin lebih dari sekedar ucapkan itu.
“Belum Bang, masih ada lagi Bang. Mirna ingin ...”
“Katanya mau minta maaf? Kan sudah Abang maafkan? Apa lagi? Sudah ya? Abang sibuk mempersiapkan kucing-kucing ini menghadapi kontes akbar kucing anggora. Semua kucing-kucing ini akan ikut kontes,” Bandi kembali diam tak bicara apa-apa.
Sudah berjam-jam Mirna menunggu untuk bicara dengan Bang Bandi, tetapi sia-sia. Dia tetap tak memperhatikan Mirna, ia berbuat seolah-olah Mirna tak ada. Bahkan lebih sibuk lagi. Kini ia sibuk memberikan air putih dan catfood untuk makan sore kucing-kucing itu. Setelah selesai ia menyisir bulu kucing-kucing itu agar tidak kusut dan tetap indah.
Betapa pedih hati Mirna melihat perlakuannya. Padahal Mirna ingin bicara banyak. Hari ini ia terpaksa pulang tanpa hasil. Sepulangnya di rumah, malamnya ia tidak bisa tidur. Ia bingung, Rusbandi yang dikenal sebagai aktivis mahasiswa panutan, tiba-tiba menjadi penyedia yang menyewakan kucing anggora khusus untuk kontes, sekaligus menjadi jokinya. Hampir semalam suntuk ia terkenang saat-saat indah bersama Bang Bandi, ujung-ujungnya iapun tak henti-hentinya menyesali kejadian itu. Ingin rasanya ia mengutuk dirinya sendiri.
***
Pertama kali Mirna mengenal Bandi ketika mengikuti OSPEK di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Baginya Bandi adalah mahasiswa senior yang baik arif bijaksana, santun dan menyenangkan. Sungguh ia sangat beruntung bisa mengenal Bandi. Ternyata Bang Bandi tidak hanya panitia OSPEK, tetapi juga ia adalah salah satu pimpinan BEM Universitas. Sebagai aktivis mahasiswa ia disegani dan tegas dalam bertindak. Argumentasinya selalu rasional dan dapat diterima semua pihak. Ia juga menjadi idaman para mahasiswi, salah satu diantaranya adalah Mirna.
Mirna sangat beruntung Bandi telah memilihnya sebagai teman dekat. Sudah bukan rahasia lagi di mana ada Bandi di sana juga ada Mirna. Mereka selalu bersama, hanya berpisah saat kuliah karena jam kuliah mereka memang berbeda.
***
Seminggu kemudian Mirna datang lagi. Sama seperti dulu, Bang Bandi juga masih asik dengan anggora-anggoranya. Dia tetap tak menghiraukanny. Padahal kedatangannya ini bermaksud menyambung kembali jalinan kasih mereka yang terputus selama ini. Hari ini ia harus berhasil, harus bicara apa adanya. Ia akan berupaya bagaimanapun caranya agar Bang Bandi itu kembali tegar seperti dulu. Meskipun ia tahu Bang Bandi mungkin akan tesinggung, ia tetap harus bicara.
“Bang, apakah Bang Bandi tak mau bicara lagi?” tanya Mirna memberanikan diri.
“Ya, bicara saja,” jawabnya masih tak perduli sedikitpun.
“Setahu Mirna, ini bukan Bang Bandi yang sebenarnya. Bang Bandi yang dulu Mirna kenal tidak begini. Semua ini gara-gara kata-kata Mirna dulu kan? Masa Bang Bandi tersinggung hanya dengan kata-kata gurauan?”
“Oh ya? Gurauan katamu?”
Kemudian ia memasukkan anggora ke kandangnya. Nampaknya ia mulai terpancing untuk lebih serius lagi. Tatapan matanya begitu tajam.
“Ya, Mirna hanya bergurau.”
“Kamu bisa bilang itu hanya gurauan. Tapi bagiku itu adalah kata-kata serius. Seperti orangtuamu bilang, kau sudah dijodohkan dengan Arman. Tentu kau memilih Arman ketimbang memilihku. Kau pasti memilih dia kan?”
“Tidak Bang, dengar dulu penjelasan Mirna.”
“Tidak perlu! Semuanya sudah jelas. Dasar matre.”
“Abang salah. Mirna tidak memilih dia. Justru Abanglah yang Mirna pilih.”
“Oh gitu ya? Dulu tidak seperti itu yang aku dengar. Pasti kau berbohong. Kau bohong kan? Telingaku ini tidak tuli.”
“Benar Bang, Mirna tidak bohong. Mirna benar-benar memilih Abang”
“Ah masa? Aku tidak percaya!”
“Sumpah Bang. Bagi Mirna Abanglah yang terbaik. Meskipun dia lebih kaya, tetapi kekayaan itu tidak membuat Mirna buta. Tetapi kenapa Abang pergi sebelum Mirna mengambil keputusan? Mirna bingung tak tahu kemana Abang pergi. Ternyata Abang sembunyi di desa ini.”
“Tidak mungkin! Aku masih ingat kata ayahmu, masa depanmu akan suram jika memilih aku. Apa itu masih kurang jelas?”
“Tidak. Bang Bandilah pilihan Mirna. Bukankah Abang sudah terbukti mandiri? Tidak seperti dia yang hanya mengandalkan orangtua. Sedangkan Abang cukup dengan usaha sendiri sudah berhasil memiliki sebuah minimarket, Meski masih sangat sederhana, tetapi itu sudah lebih dari cukup. Sayang Abang sudah menjual minimarket itu, dan pergi sebelum menyelesaikan kuliah.”
“Itu hanya status terminal, bukan berhenti kuliah. Itu juga karena sudah tak ada harapan lagi memilikimu,” katanya keceplosan.
Sejenak Bandi tertunduk malu keceplosan bicara. Entah sadar atau tidak, ucapannya ini telah membuka rahasia besar yang selama ini ditutupnya rapat-rapat. Apakah itu pertanda bahwa ia sudah ... ?
“O jadi? Bang Bandi putus asa? Kemudian membeli kucing-kucing kontes yang tak berarti itu.”
“Apa? Tidak berarti? Semua ini adalah kucing anggora pilihan. Semuanya istimewa. Tak ada yang tak berarti. Lihatlah bulunya yang berwarna putih dengan odd-eyed. Lihatlah yang ada di sebelah sini semuanya bermata biru dan yang di sana itu semuanya bermata hijau kekuning-kuningan. Itu adalah tanda-tanda yang dicari semua penyuka anggora. Dan semua tanda-tanda itu ada pada kucing-kucing anggora ini.”
“Sudahlah Bang. Anggora-anggora ini hanyalah pelarian Bang Bandi saja kan? Mirna juga tahu Abang masih suka Merna kan? Sebaiknya anggora-anggora itu dijual saja. Ini Mirna datang Bang. Dan Mirna bersedia melakukan apa saja buat Abang. Kita baikan seperti dulu lagi ya Bang.”
Sejenak Bandi diam, dia menatap Mirna dalam-dalam kemudian tertunduk malu. Bicara hanya antara hati. Mirna suka itu, berarti Bang Bandi sudah kembali seperti dulu lagi. Dan dalam pikiran yang jernih, tentu Bang Bandi akan menerima baik usulnya.
“Lho? Bagaimana dengan Arman? Bagaimana pula dengan ayahmu yang keras kepala itu?”
“Semuanya tak ada masalah. Nggak usah dipikirkan lagi.”
Alhamdulillah, Bang Bandi sudah luluh. Diam-diam Mirna mendekat memberanikan diri memegang tangan Bandi. Dia diam saja. Sementara anggora-anggora di kandang itu masih tak tahu bagaimana nasibnya. Ada apa dengan kucing anggora itu? Apakah perempuan calon pendamping tuannya itu juga akan sayang kepada mereka? Yang jelas, langit kelabu itu sudah berlalu.
Banjarmasin, Pebruari 2015.
Sumber:
https://www.facebook.com/hamberan.syahbana/posts/10205907713092481
0 komentar: