Esai Hatmiati Masy’ud: Sastra Banjar dan Konstruksi Budayanya (Tentang Novel Pambatangan Karya Jamal T. Suryanata)
Di tengah masih minimnya tradisi penulisan novel di Kalimantan Selatan (Kalsel) hingga dewasa ini, sebuah novel telah terbit dan diluncurkan dalam rangkaian kegiatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) XIII di Kabupaten Tanah Laut pada penghujung tahun lalu (4 Desember 2016). Novel tersebut terlahir dari tangan dingin seorang Jamal T. Suryanata (selanjutnya disingkat JTS), penulis multigenre yang sudah menunjukkan banyak prestasi. Karena itulah, kiranya tak perlu banyak pujian untuk sastrawan Kalsel yang sudah menulis sejak awal 90-an dan telah menghasilkan puluhan karya ini. Akan tetapi, menjadi menarik bila kita coba mengamati novel terbarunya yang dikemas dalam bahasa Banjar ini, Pambatangan (Banjarmasin: Tahura Media, 2016).Novel setebal 237 halaman ini mengusung tema tentang kehidupan masyarakat Banjar yang bekerja sebagai pambatangan, sebuah profesi lama yang (karena beragam alasan) kini mulai ditinggalkan. Novel yang mengangkat berbagai sisi kehidupan orang yang bekerja sebagai pambatangan ini merupakan karya pertama JTS yang ditulis dalam bahasa Banjar. Dengan alasan tertentu, novel ini mungkin sengaja disajikan tanpa kata pengantar, tanpa daftar isi, bahkan tanpa biodata penulisnya sehingga saya harus membuka beberapa karya JTS yang lain untuk mengetahui secara singkat riwayat kepenulisannya.
Sebagai gambaran awal, novel Pambatangan ini terdiri dari dari sembilan bagian, dimulai dengan Hapatan Panambayan sampai dengan Hapatan Paampihan. Bentuk novel tanpa penyebutan subjudul tentu saja bukan hal baru dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Ahmad Tohari, misalnya, dalam novel Bekisar Merah-nya juga tanpa daftar isi dan subjudul untuk menyatakan pembagian alur novelnya. Namun, Ahmad Tohari menggunakan istilah “Bagian Pertama” sampai dengan “Bagian Keenam” sebagai penanda bab atau subjudul pada setiap bagian novelnya.
Jujur saja, sebagai pengguna bahasa Banjar, saya merasa geli saat membaca pilihan kata yang digunakan JTS untuk menandai pembagian novelnya ini. Sebab, penggunaan diksi hapatan sebagai pengalihan dari bentuk bab dalam novel ini bisa menjadi agak sensitif bagi orang Banjar, terutama bagi kaum wanita. Sebenarnya, ada beberapa pilihan kata lainnya yang bisa digunakan (misal: hirisan, bidangan, atau kupakan). Kata-kata yang saya tuliskan (dalam tanda kurung) tersebut terasa bermakna lebih netral sehingga tidak akan menimbulkan persepsi yang bermakna ganda. Namun, dibandingkan dengan kandungan isinya, tentu saja hal itu tidaklah terlalu penting untuk dibicarakan lebih lanjut.
Dalam catatan singkat ini, fokus persoalan yang akan saya soroti adalah bagaimana sebenarnya konstruksi masyarakat Banjar yang coba dibangun JTS dalam novel Pambatangan ini. Sebab, sebuah karya sastra bercorak lokal (apalagi diungkapkan dalam bahasa daerah) dapat dipastikan akan memiliki kecenderungan untuk mengkonstruksi kebudayaan masyarakat pendukungnya. Berdasarkan asumsi demikian, catatan saya tentang novel Banjar karya JTS ini tidak hanya mengacu pada aspek kebahasaan dan struktur sastranya saja, tetapi juga pada konteks budaya yang dibangunnya.
Novel ini dibuka dengan deskripsi bercorak narasi yang sangat panjang (sekitar 10 halaman, hanya ada percakapan sepintas pada halaman 4). Deskripsi ini memang memberi informasi awal tentang kehidupan rumah tangga dan pekerjaan yang dilakoni oleh tokoh Alan atau Lana (lengkapnya Maulana Jalaluddin bin Haji Juhransyah) yang menjadi tokoh sentral dan sekaligus diposisikan sebagai tokoh protagonis dalam novel ini. Sepanjang halamannya, novel ini menggunakan sudut pandang (point of view) yang berpindah-pindah; pada beberapa bagiannya menggunakan sudut pandang orang pertama (first-person point of view), tetapi pada beberapa bagian lainnya menerapkan sudut pandang orang ketiga (third-person point of view). Sementara itu, alur cerita berjalan dengan teknik lompat dan dikemas menggunakan alur campuran. Namun begitu, sejauh yang dapat saya tangkap, cerita cenderung berjalan datar dan minim konflik. Tak ada kejutan-kejutan yang menarik dalam setiap alurnya. Bagian cerita yang mengisahkan tentang terpisahnya tokoh Alan dengan gadis yang dicintainya (Hasnah) juga tidak membuat cerita ini berjalan secara mengejutkan sehingga tampak hanya hal-hal sepele yang terjadi. Bahkan, pada beberapa bagian, JTS banyak sekali bermain deskripsi (misalnya ketika JTS menjelaskan tentang kota Martapura, tokoh Alan, atau pada saat menjelaskan kampung Taluk Yakin (desa kelahiran Alan), termasuk juga ketika menjelaskan tentang sosok Haji Juhransyah (ayah Alan).
Secara umum, dengan kehadiran novelnya ini, ada kesan bahwa sang penulis hanya berusaha menyenangkan pembaca karena minim tokoh antagonis. Sepanjang alur ceritanya, hampir tidak ada tokoh antagonis yang menjadi rival dari tokoh protagonis. Kalaupun ada, kehadirannya hanya muncul sepintas saat tokoh Alan berada di Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih yang berakibat Alan dan sahabatnya, Karim, kabur dari pondok pesantren tersebut. Kutipan berikut menjelaskan tokoh antagonis yang dibangun JTS.
Malam arinya pada manggangsang kami mancarii urangnya. Tapakai taktik 007 ala James Bond. Limbah tadapat lawan Tarmiji, saitu-saini kami batak inya bakakarasan ka padang kadap di balakang asrama. Tangan nang satadian hudah asa gatal handak lakas manutui balalu haja kada kawa dilalamahi lagi… (hal.76).
Kalau saya tak khilaf, hanya sekali itu JTS menunjukkan adanya tokoh antagonis di sepanjang halaman novel ini. Dalam kutipan di atas, Tarmiji digambarkan sebagai tokoh yang melaporkan Alan dan Karim saat mereka mengintip santriwati yang sedang mandi di sungai. Peristiwa ini menjadi titik tolak kaburnya Alan dari pondok pesantren di Pamangkih tersebut. Peristiwa itu pula yang digunakan JTS sebagai pola pengembangan ceritanya.
Dalam konteks ini, minimnya tokoh antagonis itulah yang menurut hemat saya bahwa dengan novelnya ini JTS hanya berusaha menyenangkan pembaca. Cerita yang disajikan juga lebih banyak berkutat pada tokoh Alan yang sekaligus menjadi tokoh sentral dalam novel Pambatangan ini. Selain itu, beberapa tokoh hanya sekadar numpang lewat untuk membantu Alan agar ceritanya menjadi utuh. Misalnya kemunculan tokoh Karim (teman sepondok dan sama-sama kabur ketika peristiwa pemukulan Tarmiji) dan Dayat (teman sepondok di Martapura). Padahal, sebenarnya ada banyak celah bagi JTS untuk mengembangkan ceritanya, misalnya melalui tokoh Karim yang suka menggunakan jurus kapalipitan. Di sini, jurus kapalipitan akan membuat tokoh Karim dapat di-setting menjadi tokoh yang berhasil di bagian lain novel ini atau menjadi tokoh yang sama sekali berbeda karena sikapnya itu. Namun, sayangnya hal tersebut tidak dilakukan oleh JTS karena dia justru memunculkan tokoh Dardi yang sama sekali tak disinggung dalam perjalanan kehidupan tokoh Alan sebelumnya. Selain itu, tokoh Dayat juga bisa dikembangkan dengan lebih baik. Dalam arti, tidak hanya difungsikan sebagai kurir cinta antara Alan dan Hasnah saja, tetapi bisa menjadi tokoh yang dipertemukan kemudian setelah mereka terpisah karena berhentinya Alan dari Pondok Pesantren Darussalam di Martapura.
Kesan menggurui juga sangat kental dalam novel Pambatangan ini. Misalnya pada saat menjelaskan tentang Tuan Guru, JTS menjelaskan dengan narasi yang lumayan panjang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Bubuhan tuan guru tuti inya dasar hudah lain maqam-nya lamun dibandingakan lawan bubuhan guru atawa mualim. Ilmu jahir wan ilmu batin bubuhan sidin nangitu kada sahibar pacah haja pang, tagal hudah basampuk buku jua. Makanyaam, lamunnya bubuhan mualim atawa guru pina uumpatan mamuruk bulang jua, balalu haja di mata urang hudah lain bacaannya. Lamun kada handak minta tangguh, iya taka subalah andaknya. Lamun kada riya, kada lain pada kurang timbangan ngarannya (hal.57-58).
Gaya penjelasan panjang lebar seperti ini digunakan JTS pada beberapa bagian novelnya. Bagi saya, hal ini seharusnya menjadi celah yang dapat ditutupi dengan menggunakan dialog antartokoh agar pembaca tidak merasa digurui. Selain itu, sebagai novel realis saya juga tidak menemukan kebaruan dalam novel ini. Teknik alur lompat (campuran) yang digunakan oleh JTS juga sudah banyak digunakan oleh pengarang novel lainnya. Bahkan, saya merasa agak terganggu pada beberapa bagian karena kesengajaan penulis membuat teknik narator (dalang) sebagai tukang cerita untuk masuk ke bagian berikutnya. Cara ini terkesan sekadar tempelan, artifisial, dan tak masuk dalam cerita. Hal itu dapat dilihat pada contoh kutipan berikut.
Alahai, Alan wan Hasnah, nang kaya apa lagi dadalang handak mangarawatah manyambungakan kisah ikam badua nangini. Habar kadada, inguh pahinakan ikam kada tadangar jua. Tagal, kisah musti basambung, jalan carita musti ditarusakan. Jadi, biar bubuhan ikam basimpan di langit banganga musti disasahi jua hampai batamuan…. Alalia, pun apa karsani. Daripada mangabuau haja, ayu kita batanjak pulang! (hal. 117-118).
Menurut saya, teknik dalang ini tidak elok kiranya ada di dalam sebuah novel utuh yang ceritanya terangkai dan saling berkait dari bagian pertama sampai bagian terakhir. Teknik dalang ini tidak penting dan tidak berpengaruh terhadap jalannya cerita, bahkan justru dapat mengganggu pembaca dalam memahami sebuah cerita secara utuh.
Kemudian, hal lain yang ingin saya soroti adalah penggunaan istilah-istilah kekinian (entah dimaksudkan sebagai apa) yang menurut hemat saya juga sangat dipaksakan sehingga nilai-nilai esensial dari masyatakat Banjar menjadi kabur. Misalnya, kata-kata kacian deh lu! (hal. 47), dunia tak selebar daun kelor (hal. 145), cinta lama bersemi kembali (hal. 176), atau suami-suami takut istri (hal. 202). Kesan saya sebagai pembaca, penulis hanya ingin menunjukkan bahwa novelnya ini (meskipun berbahasa Banjar dan mengusung tema lokalitas) juga masih kekinian dan modern.
Oh iya, hampir lupa, saya juga menemukan banyak sekali penggunaan kata-kata seperti akayah/akayyah. Saya tidak memahami mengapa kata ini sering muncul, misalnya pada kalimat “Akayah, apam nangapa-lah ngarannya?” (hal. 13), “Ubui, asa liwar marista hidup nang kaya ngini. Jar paribasa urang Malayu jua, ‘Bukan perpisahan yang kutangisi, tapi pertemuan yang aku sesali. Akayyaahhh!’ (hal. 120). Dalam hal ini, sepertinya JTS menggunakan kata-kata semacam itu hanya untuk bercanda atau ingin membuat kedekatan dengan pembaca. Akan tetapi, justru kata itu membuat novel ini menjadi tidak serius dan hanya bermain-main dalam setiap cerita yang dibuatnya.
Kebudayaan, menurut Jenks (2013), dipahami sebagai seluruh cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Sementara itu, budaya masyarakat Banjar merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat dinamis dan selalu berkembang. Lalu, bertolak dari pemikiran tersebut, bagaimanakah kehidupan masyarakat Banjar (selaku orang yang berprofesi sebagai) pambatangan dalam novel Pambatangan karya JTS ini? Akankah nilai-nilai kearifan lokal yang akrab dengan budaya dan kehidupan masyarakat Banjar itu tergambar secara jelas dalam novel ini?
Sebagai pembaca, membaca Pambatangan dan melihat budaya yang dikonstruksi dalam novel ini malah membuat saya agak kecewa. Pertama, pambatangan yang dikenali oleh masyarakat Banjar sebagai pekerjaan mambatang atau menjaga kayu-kayu gelondongan (log) yang dilarutkan dari hulu sungai menuju muara justru baru tergambar pada bagian lima, Hapatan nang Kalima (hal. 133-145). Jadi, dari novel setebal 237 halaman ini, sangat minim gambaran tentang profesi pambatangan itu sendiri sebagaimana yang diusung dalam judulnya. Bagi orang Banjar yang mengenal istilah pambatangan dan tahu bagaimana pekerjaan itu dilakoni orang tentu akan terkejut karena ternyata pambatangan yang dimaksudkan dalam novel ini seakan telah bergeser maknanya. Sebab, secara detil JTS menulis pada bagian awal tentang ujik kayu seperti dalam kutipan berikut.
Ujik kayu, damintu urang mangarani gawian Alan lawan kakawalannya nang balima nangitu. Ada nang mambawa kayu ulin saurang, ada jua nang sahibar maambil upah mambawaakan ampun urang. Bubuhannya nang baanam nangini tamasuk nang maambil upah haja (hal. 42).
Akan tetapi, pada bagian lain JTS memang masih mencoba memberi pemahaman yang jelas sesuai dengan pengetahuan masyarakat selama ini tentang pambatangan. Kutipan pekerjaan Alan sebagai pambatangan dapat dibaca dalam berikut ini.
Alan kada saurangan. Di atas lanting batang nangitu ada urang baampat nang bajaga, di haluan badua wan di bagian panangahan badua jua. Alan wan Juhdi badiri di panangahan, ada Bain wan Sawal di haluan. Mata nang baampat nangini sama pina takuringis kana hindauan cahaya matahari nang lagi panas-panasnya. Lamun Alan wan Bain batupi purun gasan malindungi kupala sampaya kadapati kapanasan, Juhid wan Sawal malahan batangkuluk tapih nang kaya bubuhan acil-acil di pasar tarapung di muhara Kuin atawa di Luk Baintan (hal. 134).
Kutipan di atas sebenarnya menggambarkan Alan dan teman-temannya sedang berada di atas lanting batang untuk menjaga kayu-kayu tersebut agar tidak lepas atau hilang. Budaya selalu dinamis, interaktif, dan berkembang. Pada suatu masa, budaya suatu masyarakat akan mengalami pergeseran, demikian pula yang coba digambarkan oleh JTS tentang pambatangan. Dengan demikian, sangat mungkin pambatangan dalam arti sesungguhnya (baca: menjaga batang-batang kayu di sungai dari hulu menuju muara) telah tergantikan oleh kehadiran ojek kayu pada masa sekarang.
Kedua, JTS lebih banyak membahas tentang kehidupan Alan saja, yang digambarkan berganti-ganti pekerjaan, terakhir sebagai ojek (ujik) kayu. Penggambaran kondisi Alan ini seakan mengkonstruksi orang Banjar yang susah mencari perkerjaaan di tengah alam Kalimantan yang sangat kaya raya, tidak kreatif, dan tergantung pada orang lain. Kondisi ini justru bertolak belakang dengan istilah yang selalu dimunculkan penulis untuk menunjukkan eksistensi orang Kandangan dengan ungkapan Kandangan cingai, sebuah istilah yang sebenarnya digunakan untuk menunjukkan bahwa orang Kandangan itu tidak bisa dianggap remeh. Mereka mampu berdikari, mandiri, dan tidak gampang menyerah. Dengan istilah yang digaungkan JTS tersebut, seharusnya tokoh Alan tidak terpuruk apalagi sampai menjadi tukang ujik kayu.
Mengapa hal itu menjadi perhatian saya? Karena, tokoh Alan digambarkan sebagai tokoh yang cerdas, berpendidikan, sempat pula mengecap kehidupan pondok pesantren. Dia dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang sangat harmonis dan taat beragama. Seharusnya dengan penggambaran tokoh (orang Banjar) seperti itu maka tidak selayaknya tokoh ini terpuruk. Akan tetapi, apakah JTS memang ingin menggambarkan bahwa orang Banjar itu demikian adanya? Entahlah.
Ketiga, novel ini sangat ‘laki’, mulai dari pemilihan bahasanya sampai pada cerita yang dituturkan, mulai dari Hapatan Panambayan sampai dengan Hapatan Paampihan. Secara jelas novel ini mengusung genre ‘patriarki’, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat Banjar masih terjadi kondisi demikian.
Terkait dengan masalah tersebut, Fakih (2006) menjelaskan bahwa bentuk ketidakadilan gender bagi perempuan antara lain adalah marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja lebih berat pada perempuan. Selain itu, ada pula anggapan bahwa ada jenis pekerjaan tertentu yang dianggap cocok untuk perempuan karena keyakinan gender merupakan bentuk dari marginalisasi perempuan. Secara gender, perempuan dianggap tekun, sabar, pendidik, dan ramah. Karenanya, jenis pekerjaan yang dianggap cocok bagi mereka adalah sekretaris, guru TK, penerima tamu, bahkan juga pembantu rumah tangga.
Bertolak dari hal itu, pantaslah kalau Siti Hasnah yang lulusan sebuah SMA Negeri di Banjarmasin dalam novel ini digambarkan hanya menjadi seorang guru TK. Dan setelahnya, menjadi ibu rumah tangga semata-mata mengikuti suami (Alan yang akhirnya bertemu kembali setelah kurang lebih lima tahun terpisah). Akan tetapi, saat Alan terpuruk, Siti pulalah yang harus berkorban menjual perhiasan demi modal berdagang, sementara Alan tak punya penghasilan. Konteks yang dibangun JTS ini jelas memosisikan bahwa dalam masyarakat Banjar perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun perempuan itu berpendidikan, pada akhirnya dia hanya menjadi ibu rumah tangga yang wajib mengikuti suaminya. Pertanyaan saya, apakah memang begitu seharusnya perempuan, selalu tidak lepas dari perkara 3UR (kasur, sumur, dapur)?
Dalam novelnya ini, JTS juga menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat Banjar dalam kurun waktu tahun 1983-2015. Mengambil latar tempat kota Kandangan, Pemangkih, Martapura, Banjarmasin, dan Kintap. Penulis memilih memulai cerita di Kintap, dengan mengurai kebiasaan orang Banjar (sebagian lelaki pekerja berat) yang suka mawarung untuk melepas lelah. Mawarung ini memang menjadi kebiasaan orang Banjar, baik masyarakat Banjar Hulu, Banjar Batang Banyu, maupun Banjar Kuala. Akan tetapi, mawarung yang tergambar dalam novel ini bukanlah dalam arti mawarung biasa. Hal ini bisa dilihat pada kutipan berikut.
Alan hudah hapal jua warung nangapa nang paguni hakun babuka batangahmalaman nangini. Balalu inya takurihing saurang. Dalam hatinya, warung nangapa lagi mun kada “warung jablai” ngarannya--ngini astilah hanyar di banua, sasambatan bubuhan kakanakan hagan wawarung nang andaknya di bubuncu kampung. Wawarung nang rancak mahilung dua-talu ikung bibinian lanji gasan malayani bubuhan lakian nang musti katuju malanji jua (hal. 9).
Dari kutipan itu terlihat bahwa JTS mencoba membangun pemahaman tentang konsep mawarung yang terjadi di masyarakat saat ini. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsep mawarung yang dikenal di masyarakat Banjar pada umumnya. Mawarung yang menjadi kebiasaan orang Banjar adalah ke warung sebelum bekerja, misalnya yang bekerja menyadap karet, berhuma/berladang, atau sebagai nelayan biasanya pergi ke warung dulu, minum teh, kopi, atau susu dan memakan hidangan lainnya. Sementara, mawarung yang digambarkan dalam novel ini lebih pada warung-warung yang muncul di tempat-tempat sepi dan memiliki penjaga-penjaga warung yang menjadi daya tarik sekaligus pemikat bagi para lelaki hidung belang untuk melampiaskan nafsunya. Sekalipun penulis kemudian menggambarkan warung-warung jablai itu dibakar oleh masyarakat yang tidak senang dengan adanya aktivitas maksiat tersebut, tetapi pada bagian selanjutnya dijelaskan pula bahwa beberapa tahun kemudian warung-warung itu satu demi satu kembali bermunculan di ujung-ujung kampung yang sepi. Begitulah sang penulis telah mengkonstruksi sosial budaya masyarakat Banjar dewasa ini, jauh dari keadaan yang sudah sangat modern di mana arus globalisasi turut serta mengajak orang Banjar berperan di dalamnya.
Novel ini ditutup dengan kembalinya tokoh Alan dan Hasnah ke kampung halaman yang secara diskursif kondisi ini memberi isyarat tentang gagalnya perantauan (madamnya) Alan dan Hasnah. Saya katakan gagal karena mereka tidak mampu menunjukkan eksistensi sebagai orang Kandangan (orang Banjar) yang pantang menyerah, waja sampai ka puting, terutama dengan slogan orang Kandangan yang terkenal: Kandangan cingai! Sebagai pembaca tentu saja saya protes dengan konstruksi yang dibangun tersebut karena orang Banjar terkenal sangat mumpuni di tempat-tempat lain. Ketika mereka merantau (orang Banjar terkenal sebagai perantau sukses), maka steorotif negatif (pemalas, tidak disiplin, dan suka menyia-nyiakan waktu) akan tanggal dengan sendirinya. Mereka mampu beradaptasi dengan cepat di lingkungan baru yang mereka datangi. Ada banyak contoh tokoh Banjar yang mampu bersaing di kancah nasional maupun internasional, sejak dahulu hingga sekarang. Sebut saja yang sudah sangat terkenal Idham Chalid, Ustadz Arifin Ilham, H, Ahmad Fahir, Syaifullah Tamliha, Sulaiman HB, Supiansyah, dan lain-lain.
Terlepas dari semua itu, Pambatangan ini merupakan novel Banjar pertama yang saya baca secara utuh dan saya beri catatan (dan ini bukan kritik Pak JTS, tetapi hanya menyampaikan sedikit unek-unek saya selaku pembaca). Sebagai penulis yang sudah sangat mumpuni, dalam teknik penulisannya JTS memang sangat detil terhadap novel Banjar debutannya ini. Pembagian tahun dalam kurun waktu 1983-2015 untuk memisahkan konflik yang dibangun di dalam cerita benar-benar diperhitungkan secara jeli dan teliti. Selain itu, dari segi kebahasaannya novel ini ditulis dengan cermat dan selaras dengan penulisan Ejaan Bahasa Indonesia.
Bagi para penikmat sastra Banjar, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya rekomendasikan novel ini untuk Anda dibaca. Paling tidak, selain untuk bernostalgia terhadap beberapa bagian yang penulis munculkan pada saat masa kecil Alan, Anda juga bisa mendaras bahasa Banjar yang mungkin sudah banyak terlupakan (#SaveBahasaBanjar). Selamat untuk terbitnya novel Pambatangan ini, semoga menjadi inspirasi bagi semua penulis sastra Banjar untuk terus berkarya (#SaveSastraBanjar).
Amuntai, 1 Januari 2017
Sumber:
Media Kalimantan, 8-9 Januari 2017
https://www.facebook.com/hatmiati/posts/1371255069583265
0 komentar: