Cerpen Hatmiati Masy’ud: Turun Ranjang
Senja mengapung, lembayung memancarkan panorama jingga yang warnanya tidak terlalu jingga, mengabur tersaput awan. Angin dingin berhembus, sesekali terlihat burung bergegas kembali ke sarang.Rianti berdiri melepaskan penat pikiran yang sedari tadi membelitnya. Ini senja ke empat semenjak saudara kembarnya terbaring di rumah sakit. Sakit yang parah, sehingga membuat vonis dokter bahwa usia saudaranya tidak lebih dari tiga bulan.
Gerimis mulai turun, dingin semakin menyengat sampai ke sum-sum, Rianti melihat Rinata saudaranya, melambaikan tangan padanya.
“Ria, sekiranya kakak dipanggil yang kuasa, maukah kamu menggantikankku?” genggaman tangan lemah dan bisik lirih itu membuat kepala Rianti seakan-akan diganduli sekarung beras, sehingga membuatnya mengangguk. Terbayang, keponakannya yang masih lucu-lucu, Marisa 2 tahun, Ryan 5 tahun, dan Kesya 9 tahun.
Malam mulai terasa semakin pekat, Rianti dan kedua orang tuanya, juga Mas Ginanjar suami Rinata, dan tentu saja ketiga keponakannya berkumpul di sisi Rinata. Suara bapak dan ibunya membaca Yassin mengiringi nafas Rinata yang mulai tersengal-sengal, inilah saatnya menuntaskan takdir Sang Maha Pencipta, akhir kehidupan Rinata, saudara kembarnya tercinta. Dokter sudah angkat tangan, keluarga pun sudah meminta segala alat-alat kedokteran dilepaskan, mereka ingin Rinata mengakhiri hidupnya dengan tenang dikelilingi suami, anak, orang tua, dan saudara tercinta.
Sedu sedan mulai terdengar, Rianti tak sanggup menahan isak tangisnya, mata Ginanjar memerah sambil memegang tangan istrinya, Rinata sudah tak mampu berbicara, hanya senyum liris yang terbayang dibibirnya yang mulai bergetar, tepat menjelang subuh, dengan bimbingan suaminya, kalimat LA ILAHA ILLALLAH, dengan bisikan lirih diucapkan Rinata, dia berpulang dalam pelukan cinta suaminya. Air mata Rianti mengucur tanpa suara, dia mendekap ketiga keponakannya, bapaknya menghela nafas, sementara ibunya tak henti membaca surah Yasin demi menguatkan hati.
Matahari mulai memancarkan cahayanya, ambulans yang membawa mayit Rinata sudah meluncur menuju kota Amuntai, sedangkan Rianti dan ketiga keponakannya ikut Ginanjar naik mobil yang mengikuti ambulans dari belakang.
Sebelum shalat djuhur, mayit Rinata sudah disemayamkan, hanya kesedihan yang tertinggal di rumah Rinata. Isakan Kesya, si sulung yang sudah mengerti bundanya meninggal terasa menyayat hati, perih sekali. Rianti merasa dadanya sesak, Kesya dipeluknya dengan erat. Sementara, Marisa dan Ryan sudah tertidur di ayunan.
Keluarga di rumah Rinata masih sibuk, malam ini sampai tujuh malam berikutnya akan diadakan pengajian di rumah.
Semua keluarga merasakan kesedihan yang dialami Ginanjar dan ketiga anaknya.
Tujuh hari berlalu, Rianti telah kembali ke tempat tugasnya di Balangan, sedangkan kedua orang tuanya masih menemani Marisa, Ryan, dan Kesya. Malam menjelang kepergian Rianti, ibunya sudah meminta Rianti untuk menggantikan posisi Rinata menjadi ibu dari Marisa, Ryan, dan Kesya. Rianti diam, berat hatinya mengiakan permintaan ibunya. Tiga bulan setelah kepergiannya, orang tua Ginanjar juga telah meminangnya dengan resmi kepada orang tuanya.
Hati Rianti terbelah. Separuh hati dia sayang sekali dengan keponakannya, tetapi separuh hatinya yang lain begitu berat memenuhi permintaan itu. Bagaimana dengan tanggapan orang-orang kalau dia menikah dengan suami saudara kembarnya, bagaimana pula dengan Ginanjar, apakah dia memang menginginkannya menjadi istrinya. pikiran-pikiran itu terus menerus berkecamuk dalam pikiran Rianti, menguras energinya, lebih-lebih saat ini Rianti juga sedang dekat dengan seseorang, meskipun hubungan itu tidak lebih dari teman biasa, tetapi orang itulah yang selama ini mengisi hari-harinya di tempat tugas.
Senja turun berkabut, gerimis mulai meningkahi cahaya yang semakin pudar, Rianti menghela nafas, berat. Permintaan ibunya agar dia pulang mengurasnya emosinya. Rianti tahu, kepulangannya hanyalah untuk memastikan kapan tanggal pernikahannya dengan Ginanjar. Ibu dan bapaknya telah bulat untuk menerima pinangan Ginanjar dan membiarkan dirinya menerima Ginanjar tanpa penolakan.
Banjarmasin masih seperti biasa, macet. Rianti hanya bisa mengeluh dalam hati,angkutan antarkabupaten yang membawanya mulai Balangan penuh dengan barang-barang, sumpek, segala macam bau bercampur. Ketika sampai di terminal pal 6, Rianti bergegas turun dan menaiki angkutan kota menuju tempat tinggal orang tuanya di Kayutangi.
Malam berjalan pelan, selepas shalat isya, Rianti diam dalam pandangan bapak dan ibunya.
“Ria, bapak dan ibu ingin sekali kamu rela dan ikhlas menerima perjodohan ini, tetapi kami memang tidak memaksamu, seandainya malam ini kamu berkeras tidak mau menerima Ginanjar sebagai suamimua, tak mengapa. Berarti, kita sekeluaarga juga harus siap kalau Marisa, Ryan, dan Kesya akan memiliki ibu tiri.”
Senyap bergelimangan dalam kepala Rianti. Dia sangat mencintai keponakannya dan tidak rela jika keponakannya itu memiliki ibu tiri. Pilihan yang berat, meskipun akhirnya sepotong kata “ya”, memupus senyap malam itu.
Senyum terukir di bibir bapak dan ibunya, mereka lega karena akhirnya Rianti memutuskan untuk menerima pinangan Ginanjar dan menjadi ibu sebenarnya dari Marisa, Ryan, dan Kesya.
Subuh menjelang, Rianti telah lama tenggelam mengadukan nasibnya dengan Allah SWT, sajadah menjadi temannya memupus kegundahan hati. Ketika matahari mulai menebar cahaya, Rianti masih mengurung diri di kamar, sampai panggilan mamanya mengajak sarapan pagi terdengar.
Semenjak kepulangannya, melalui pembicaraan yang singkat dan atas permintaannya untuk sebuah pernikahan yang sederhana, Rianti dan Ginanjar mengurus sendiri segala persiapan penikahannya.
Rianti cantik sekali hari itu, kebaya kuning gading dengan jilbab senada, dan untaian ronce melati, menambah cantik wajahnya. Sedangkan Ginanjar, terlihat kaku dalam balutan jas coklat, namun tatapannya pada Rianti begitu sumringah. Ada ucapan terima kasih yang tak tersampaikan melalui kata-kata, hanya tatapan, tatapan yang menyiratkan harapan, semoga Rianti ikhlas menerimanya sebagai suami.
Akhirnya hari itu resmilah, Rianti menjadi istri dari Ginanjar dan menjadi ibu dari keponakan-keponakan yang sangat disayanginya.
Bahagialah yang didamba keduanya, pernikahan ini penyempurnaan separuh agama, dan Rianti menerima segala takdirnya dan menjalani dengan penuh keikhlasan.***
(Sejauh apapun kita dipisahkan, sepasang tulang rusuk akan tetap dipertemukan)
Sumber:
Masy'ud, Hatmiati. 2013. Turun Ranjang Menjaring Angin. Banjarbaru: Scripta Cendekia
https://www.facebook.com/hatmiati/posts/1379655615409877
0 komentar: