Cerpen Hatmiati Masy’ud: Pukul Satu Dinihari

22.38 Zian 0 Comments

“Jihad itu seperti terlahir kembali, kalianlah yang menjadi tumpuan, harapan, dan masa depan bangsa ini. Kita tidak bisa membiarkan kondisi kacau balau terus melanda negeri ini. Kita harus bergerak. Negara khilafah harus kita tegakkan.”
Suasana sehening kuburan.
“Malam ini, kalian akan diberi identitas baru sekaligus bekal untuk kalian. Dan, mulai malam ini setelah dibai’at, kalian sudah terlahir kembali, suci kembali, sebagaimana bayi yang baru dilahirkan. Langkah kalian selanjutnya adalah berdakwah dan berjihad.”
Setiap orang terdengar menghela nafas. Senyap menggantung. Gelap senyawa dengan kerlip cahaya yang seterang kunang-kunang.
“Kita secepatnya bergerak, setelah malam ini kalian sudah menyebar di tempat-tempat yang sudah kita tentukan.”
“Sambil menunggu jemputan untuk menuju lokasi pembai’atan, kalian silakan duduk dengan rapi lebih baik lagi sambil berzikir, ingatlah dunia hanya persinggahan, akhiratlah yang kekal abadi. Kalian harus camkan itu, apa gunanya hidup kalau hanya menjadi sampah. Kalian juga harus mampu berdakwah, mengajak orang-orang mengikuti apa yang sudah menjadi keyakinan kita.”

“Mbak dari mana?” Linggar berbisik sambil menggamit seorang perempuan yang duduk di sebelahnya.
“Dari Jawa Mbak.”
“Kuliah?”
“Tidak Mbak, hanya buruh di pabrik.” Linggar mengangguk. Sesaat matanya hinggap pada seorang perempuan berjilbab hitam lebar yang duduk tak jauh darinya. Linggar bergerak pelan.
“Mbak, asli mana?”
“Madiun. Mbak sendiri?”
“Jakarta, Mbak.”
“Kuliah atau masih sekolah?”
“Kuliah baru semester satu.”
“Di mana?”
“UI Mbak, HI.”
“Mbak kuliah juga? Eh nama Mbak siapa?”
“Aku Ratih, masih semester lima fakultas kedokteran.”
“Aku Linggar Mbak.”
Sesaat percakapan itu terhenti, seorang lelaki yang menggunakan gamis berwarna putih lewat di depan mereka. Linggar mengenalnya sewaktu dia memberikan sambutan pada acara organisasi yang digelar secara tertutup di Tangerang Selatan. Kang Malik, biasa mereka memanggilnya. Tampan sekali, dengan wajah kearab-araban dan mata setajam elang. Dada Linggar berdegup kencang antara gugup dan ketakutan saat bersitatap dengan Malik.
“Mbak, aku takut. Kita ini mau diajak ke mana? Bai’at apa?” Linggar kembali berbisik.
“Aku juga tidak tahu. Selama ini kita kan hanya diceramahi, diberikan pemahaman tentang negara yang menurut mereka harus kita perjuangkan. Kita harus berjihad karena negara kita tidak sesuai dengan tuntunan agama yang kita yakini. Gerakan kita harus mampu melahirkan negara khilafah agar tercipta kehidupan yang aman dan damai”
“Tetapi Mbak, mengapa kita tidak boleh bicara dengan orang tua, padahal tujuan kita baik. Tidak boleh juga bicara dengan siapapun.” Linggar terus berbisik.
“Iya. Karena gerakan kita ini masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak semua orang bisa mengerti. Nanti kalau sudah saatnya semua akan terbuka dan kita berada di garis terdepan.” Linggar termangu sambil melirik jam tangan, pukul satu dinihari. Orang tuanya mungkin sudah membaca surat yang ditinggalkan di meja rias. Terbayang ibunya akan menangis histeris, ayahnya akan tergesa mencarinya ke rumah teman-temannya.
“Mbak, aku takut. Aku ingin pulang saja. Orang tuaku pasti mencariku.”
“Pelan-pelan bicaranya. Itu ada yang mendekat.”
“Kita harus mencari pertolongan, Mbak.” Ratih mengangguk tanpa terlihat.
“Ada apa, Dik?” Dua orang lelaki yang memakai kasual mendekat.
“Mas, saya mau pipis.”
“Tahan sebentar Dik, jemputan akan tiba lima menit lagi.”
“Sudah tak tahan.” Linggar mulai meringis, dia semakin ketakutan dan merasa harus pergi dari tempat yang dia juga tidak tahu di mana.
“Iya baiklah. Imran temani adik ini ke rumah penduduk.”
“Boleh saya dengan kakak ini?” Linggar menunjuk Ratih.
“Tak usah.”
“Malu kalau sendiri Mas, biar ada yang menemani ke rumah itu.”
“Bawa dua sepeda motor, Imran dan Andi antar adik-adik ini.” Tiba-tiba, Kang Malik sudah berada di dekat mereka.
Linggar dan Ratih dibonceng ke rumah penduduk yang jaraknya kurang lebih 500 meter. Tengah malam mengetuk pintu rumah orang di perkampungan jelas menimbulkan kecurigaan, tetapi saat seorang bapak-bapak melihat dari balik jendela dua orang gadis yang berada di depan pintu rumah, dia kemudian membukakan pintu.
“Pak, maaf numpang buang air, boleh?” Linggar bersuara agak keras, sengaja agar dua orang lelaki yang mengantar mereka mendengarnya.
“Pak, maaf kami perlu pertolongan Bapak.” Ratih bersuara pelan, “dua orang lelaki di belakang sana ingin membawa kami. Kami tidak ingin ikut. Tolong Pak.”
Bapak itu melihat ke belakang, dua orang lelaki yang ditatap oleh bapak itu gelisah, apalagi ketika bapak itu kemudian menunjuk-nunjuk lelaki itu. Sesaat, bapak itu berteriak.
“Maling! Maling! Maling!” Suara nyaring memecah keheningan malam. Kedua lelaki itu buru-buru memutar motor yang masih menyala dan secepatnya berlalu. Masyarakat Kampung geger, setiap lelaki yang ada di rumah keluar membawa senjata seadanya, tetapi kedua lelaki itu telah menghilang di kegelapan malam.
“Ada apa Pak Budiman, di mana malingnya?” Seorang lelaki paruh baya bertanya.
“Tidak, bukan maling, ini kedua gadis ini mau diculik.”
“Oh, syukurlah selamat.” Semua lelaki yang malam itu berkumpul menarik nafas lega. Kini perhatian terpusat kepada Linggar dan Ratih.
“Mohon maaf Pak, ini desa apa? Bagaimana caranya agar kami bisa kembali ke Jakarta?” Ratih bertanya.
“Maaf nama adik-adik ini siapa?” lelaki yang menolong Ratih dan Linggar balik bertanya.
“Saya Ratih Pak, dan ini Linggar. Kami berdua akan dibawa ke suatu tempat yang kami tidak tahu ke mana. Kami ingin pulang ke Jakarta.”
“Kalau begitu, baiknya adik-adik ini pulang malam ini juga, takutnya mereka masih berkeliaran di sekitar desa ini. Pak Rahman, tingkatkan keamanan kampung kita, malam ini ronda harus terus dilakukan. Dan, kamu Arif, minta tolong dengan Pak Masduki untuk mengantar adik-adik ini ke pangkalan taksi, biar mereka bisa pulang malam ini.” Pak Budiman memberi perintah, ternyata beliau adalah ketua RT di kampung itu.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada warga kampung yang telah menolong mereka, Linggar dan Ratih kemudian diantar ke pangkalan taksi menggunakan dua buah motor. Dengan cepat, Linggar dan Ratih naik ke motor, mereka berpacu dengan waktu.

***

Linggar sedang asyik memilih buku di Gramedia, ketika seorang perempuan cantik berjilbab lebar menyapanya dengan ramah.
“Kuliah di mana dik?”
“Di UI Mbak, jurusan HI. Baru semester satu.”
“Wah, mau jadi diplomat ya?” Linggar tersipu.
“Mbak?”
“Baru lulus Dik, tapi jurusan Dakwah di UIN.”
“Oh, gitu. Tapi Mbak terlihat masih muda banget.” Linggar menatap wajah putih yagn merona kemerahan, cantik sekali. Obrolan berlangsung santai setelahnya, Linggar dan Aisyah bertukar nomor HP.
Beberapa kali, Linggar bertemu dengan teman-teman Aisyah yang akrab disapanya Kak Ais. Linggar menjadi senang dan merasa mendapat pengetahuan baru. Dia menyadari betapa banyak hal yang dia tidak ketahui. Linggar mulai merasa lingkungannya tidak kondusif lagi. Bahkan, Linggar merasa bahwa kedua orang tuanya telah melakukan kesalahan-kesalahan dalam memperlakukannya. Linggar harus turut serta memperbaiki kondisi ini dan keinginan itu disambut antusias oleh Kak Ais.
Sejak saat itu, Linggar aktif dalam pertemuan-pertemuan yang digelar secara tertutup oleh kelompok mereka. Pengajian-pengajian yang diisi dengan cemarah para ustadz/ustadzah telah mengalirkan semangat jihad dalam diri Linggar. Dia bersyukur bisa bergabung dalam gerakan ini. Dia berusaha memahami ayat-ayat yang sudah disampaikan oleh para penceramah tentang jihad, Linggar merasa sangat berdosa kalau dia tidak ikut dalam gerakan ini. Hanya satu yang selalu mengganjal di pikirannya, mengapa dia tidak boleh berbicara kepada orang tuanya, mengapa mereka nantinya harus diberi identitas baru. Tetapi setiap kali, hal itu mengganggu pikirannya, Linggar selalu menemukan pembenaran bahwa mereka hidup hanya sementara, apalah artinya di dunia karena surgalah yang menjadi tujuan akhirnya.

***

“Dik, malam ini sudah siap ya? Sore nanti Kak Ais jemput.” Suara telepon dari Aisyah masih terngiang di telinga Linggar. Sudah beberapa hari ini Linggar tidak masuk kuliah. Saat ayah dan ibunya pergi bekerja, Linggar menyusun barang-barang seperlunya yang dimasukan ke dalam ransel kecil, tak lupa sepucuk surat pendek ditulisnya untuk kedua orang tuanya. Sesekali airmatanya merembes, dia adalah anak satu-satunya, tetapi jihad ini juga panggilan jiwa, biarlah mereka kelak bersama di surga saja karena itulah yang kekal abadi.

***

Sore menjelang, langit Jakarta semerah tembaga, Linggar sudah shalat ashar dan santai duduk di teras ditemani orang tuanya. Tak lama sebuah mobil putih singgah di depan rumahnya. Aisyah keluar dengan anggun.
“Assalamu’alaikum, Pak, Bu.”
“Wa’alaikum salam, mari masuk Nak Ais. Tumben mampir sore-sore begini.”
“Iya Bu, mau mengajak Linggar, ada pengajian.”
“Oh, silakan Nak. Tapi minum dulu, itu ada teh juga pisang goreng.”
“Terima kasih Bu, kebetulan tadi sudah makan di rumah.”
Linggar mengambil ransel kecil yang sudah disiapkannya, menyalami kedua orang tuanya dan mengucapkan salam. Linggar masuk ke mobil, ternyata di mobil sudah ada Kang Malik.
“Dik Ais, sebelum berangkat, kita makan dulu.”
“Iya, Kang.” Aisyah menjawab sambil terus menyetir tanpa menoleh ke belakang. Linggar yang duduk di samping hanya diam membisu.
“Dik Linggar, ini ada uang, silakan adik ambil dan gunakan uangnya sebagai bekal untuk sementara, nanti adik akan diberi pengarahan oleh kakak-kakak di lokasi.” Linggar menerima amplop coklat yang lumayan tebal. “Selain itu, nanti Adik akan diberi identitas baru, tetapi baru akan diserahkan setelah prosesi acara selesai.” Lanjut Kang Malik lagi. Linggar mengangguk.

***

Ibu Linggar terisak, surat Linggar telah dibaca tuntas, anaknya ingin berjihad di jalan Allah. Ayah Linggar sudah dari tadi sibuk menelepon nomor HP Linggar dan Aisyah yang sudah tidak aktif lagi. Siapa lagi teman-teman Linggar, selama ini yang akrab hanya Aisyah, sedangkan teman-teman kuliahnya tidak ada yang tahu ke mana Linggar. Baru ayahnya menyadari bahwa Linggar sudah beberapa hari ini tidak masuk kuliah.
“Ayah harus lapor polisi. Linggar itu ikut apa tuh Pak, organisasi apa?”
“Lapor polisi, harus 2 x 24 jam Bu, lagipula ini baru pukul satu dinihari, Bu.”
“Lapor dululah,” Ibu Linggar semakin histeris. Malam mulai bergerak menuju subuh.
Beberapa keluarga sudah dihubungi, tak ada yang tahu di mana Linggar. Selama ini sejak kenal dengan Aisyah, Linggar memang agak tertutup. Padahal dulu anak itu sangat periang dan sering sekali berkumpul dan bercengkrama dengan sepupu-sepupunya, bahkan sesekali menginap di rumah keluarganya. Baru sekarang ayah dan ibu Linggar menyadari perubahan sikap Linggar.

***

Taksi membelah malam menuju Jakarta, Linggar menggigil dalam pelukan Ratih, mereka sama-sama menangis. Setelah hampir dua jam, taksi itu berhenti di depan rumah Linggar. Rumah yang terang benderang dan pintu terbuka lebar.
“Ayaah, Ibuu!” Teriakan histeris Linggar membuat warga sekitar terkejut. Linggar menghambur ke dalam pelukan ibunya.
“Anakku.” Ibu Linggar memeluk anaknya dan menangis, sementara Ratih berdiri terdiam, supir taksi mendekati ayah Linggar dan meminta ongkos taksi.
Malam itu, Ratih menginap di rumah Linggar.

***

Subuh di Jakarta, kesibukan berlangsung seperti biasa, Linggar dan Ratih masih terjaga di ruang tamu bersama ayah dan ibunya. Masing-masing bercerita saling melengkapi, sampai akhirnya azan subuh berkumandang. Setelah shalat, Linggar dan Ratih kemudian menuju kamar dan tidur. Sedangkan ayah dan ibunya melanjutkan berbincang-bincang sambil beberapa kali menghubungi keluarganya bahwa Linggar sudah ditemukan.
Pukul sepuluh pagi, Linggar dan Ratih bangun dari tidur dan pergi ke ruang makan untuk sarapan. Iseng-iseng setelah sarapan mereka menghidupkan televisi, breaking news, pemboman di Sarinah. Linggar menggigil, dia kenal wajah pelaku yang melakukan bom bunuh diri.
“Kak Ratih, itu Kang Malik.” Ratih terkejut. Lelaki tampan yang sedang di close up itu Kang Malik, lelaki baik yang sering memberi tausyiah kalau mereka mengadakan pengajian. Dia terkapar bersimbah darah, tetapi wajahnya masih terlihat bersih dengan senyum simpul yang sering dilirik Linggar ketika pengajian berlangsung.
“Iya, Dik.”
“Dia sudah syahid Kak, sesuai keinginannya. Mungkin Kang Malik sudah bertemu para bidadari yang menyambutnya di pintu surga.” Ratih mengangguk.
Jakarta semakin panas dan bising, Linggar dan Ratih tenggelam dalam isak lirih yang resah.

(Amuntai, saat menemani Mama tercinta 200117)

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 17 januari 2016
https://www.facebook.com/hatmiati/posts/1383167941725311

0 komentar: